"Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan proses pembelajaran seumur hidup. Aku tidak akan mudah menyerah. Aku akan merubah diri dan berusaha membawa orang-orang disekitarku berubah menuju jalan yang baik. Jika tidak berhasil, barulah aku akan mundur tanpa perlu menoleh lagi dan tanpa rasa menyesal karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa." - Neng Rere
***"Neng, nih mas udah gajian. Ayok! Mau jalan kemana kita?" Sepulang kerja mas Yandri langsung menuju kamar menemuiku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari."Mau belanja bulanan mas, banyak yang udah abis. Ke supermarket yuk?" aku menyambut ajakan mas Yandri dengan gembira.Keseharianku yang hanya dirumah dengan segala pekerjaannya membuat kegiatan rutin belanja bulanan sebagai cara untuk merefresing pikiran. Tidak perlu belanja berlebih, cukup melihat lampu dan jalanan saja aku sudah senang."Iya hayu, kamu siap-siap sana. Mas mau ke ibu dulu ngasi jatah bulanan." Mas Yandri keluar kamar mencari ibunya.***Aku tidak tau berapa pastinya gaji Mas Yandri. Selama ini ia selalu memberi jatah untuk belanja bulanan stok kebutuhan rumah setiap gajian. Setelahnya, setiap minggu aku diberikan uang sebesar 500 ribu untuk makan kami semua. Untuk kebutuhan listrik, galon, air, dll ia sendiri yang mengurus.Pernah aku bertanya karena penasaran. Selain itu aku ingin ia terbuka padaku tentang penghasilannya. Namun jawaban yang waktu itu kuterima malah membuatku emosi."Kamu ngga ada hak buat tau gaji mas berapa neng. Yang penting cukup untuk sampai ke gajian lagi. Mas ga akan kasih kamu semua gaji mas karena mas punya kewajiban untuk membiayai ibu serta menyekolahkan Ana dan Lita."Saat itu aku langsung berpikir cepat. Aku tidak mau dijatah seadanya dan harus pusing jika ternyata kurang. Jika dari awal dia sudah memulai aturan seperti itu, maka akupun memiliki aturanku sendiri."Oke mas kalo gitu. Neng tidak masalah. Tapi jangan lupa ya, uang untuk kebutuhan makan neng yang urus karena neng yang masak. Untuk stok bahan rumah tangga juga harus dibeli setiap bulan sekali. Untuk belanja makan silakan kalau mau dijatah tiap minggu atau tiap hari asalkan sesuai dengan daftar harga yang neng kasih. Jangan kaya di sinetron, ngasi 20 ribu minta makan daging. Kalo sampai kaya gitu, neng kasi daging tikus sekalian. Tuh di got banyak." Aku menjelaskan panjang lebar.Untuk mencegah penolakan mas Yandri, aku sudah mempersiapkan daftar harga serta beberapa screenshot berita tentang harga bahan pokok yang semakin naik harganya. Benar perkiraanku, awalnya mas Yandri menolak dengan beralasan daftar harga yang kubuat terlalu besar. Aku kembali memaparkan satu persatu seolah sedang presentasi.Dan setelah perdebatan kecil yang alot, kami menemui kata sepakat."Oh iya jangan lupa nafkah neng tiap bulan. Nafkah neng tidak termasuk uang makan ya mas. Karena mas kan tau kalau makan itu kewajiban mas. Neng minta satu juta untuk nafkah neng pribadi. Peruntukannya terserah neng mau digunakan untuk apa."Mata mas Yandri mendelik tidak percaya."Satu juta neng? Banyak banget! Emang kamu mau beli apa tiap bulan dengan uang nafkah segitu? Mas harus ngasi juga ke ibu loh. Mas berkewajiban karena surga mas ada pada ibu." Nada suara mas Yandri mulai meninggi.Aku menghembuskan nafas dan memasang wajah tanpa emosi. Astagfirullah! Rupanya sangat sulit untuk menahan emosi. Jika mengikuti adatku, mungkin sudah kutonjok mukanya."Mas, neng tiap bulan itu butuh beli barang-barang pribadi. Pembalut, makeup, skincare, dll. Mas gimana sih,? Ngajak nikah tapi kok ngga ngerti masalah nafkah!Neng tau surga mas ada sama ibu, itu makanya mas harus berbakti, iya 'kan?" TanyakuSuamiku itu mengangguk pelan."Nah, kalau mas mementingkan untuk menggapai surga dengan memenuhi kewajiban pada ibu, jangan lupa, mas juga bisa masuk neraka jika mengabaikan kewajiban mas pada neng. Hidup itu menuntut keseimbangan yang wajar mas. Kalau surga mas ada pada ibu, maka neraka mas ada pada neng! Gitu kata pak ustad," ucapku tegas.Karena ucapanku tersebut, kami kembali mencapai kata sepakat. Yihaaa! Inilah tujuanku. Intinya, dia bebas mempergunakan uang gajinya selama tidak menyalahi aturan agama dan juga kebutuhanku terpenuhi.***Kami bersiap dan keluar kamar saat ibu mertua menegur, "Mau kemana kalian?"Mas Yandri menjelaskan jika kami akan belanja stok bulanan ke supermarket besar."Ga usah jauh-jauh, ke alfamart aja. Ntar si Rere banyak jajan," ucap ibu mertuaku.Aku emosi mendengar perkataan ibu. Sampai tempat belanja saja dipersoalkan. Namun, jika aku membantah, yang ada aku akan kena semprot darinya dan mas Yandri tentu saja."Iyalah ga apa-apa ke alfamart aja mas. Disana juga neng bisa jajan banyak," sahutku sambil menepuk-nepuk tas slempangku.Ibu mertua hanya menggelengkan kepalanya. Skak!***Sebenarnya ibu ratu mertuaku tidak sekejam mertua yang kutemui dalam sinetron. Cuma ya namanya manusia, terkadang suka nyinyir dan mencari-cari kesalahan. Ditambah lagi, mungkin dia takut kehilangan sosok anak laki-laki penopang hidupnya.Kedua iparku pun sama, mereka terbiasa tidak mengerjakan pekerjaan rumah apapun dan mengikuti sikap ibu yang jutek. Dulu sebelum mas Yandri menikahiku, ibu yang mengerjakan semuanya. Alasannya karena kedua anak gadisnya itu cukup sibuk dengan studi mereka masing-masing."Besok teteh mau ngerendem baju setelah subuh. Kalau mau nitip, keluarin cepet. Kalo telat ga akan teteh cuciin." Aku bersuara pada kedua adik iparku saat kami sedang berkumpul di depan televisi."Apa sih neng, kamu kok ribut banget." Mas Yandri menegurku."Apa sih mas? Orang neng lagi ngasi tau Ana sama Lita. Kan neng yang bertanggung jawab nyuci disini. Ya ikut aturan neng dong. Kalo ngga mah ya nyuci sendiri aja." Aku menjawab santai.Ibu mertua menoleh dengan muka jutek ke arahku."Kan emang kewajiban kamu nyuci baju, kamu kan menantu ya kamu dong masuk ke kamar mereka ngambil baju kotor!"Aku menarik nafas 3 kali untuk meredam emosi yang semakin lama semakin sulit kukendalikan. Dengan nada yang kuusahakan datar, aku menjawab ibu mertua."Ibu paduka ratu yang ku sayang. Neng mana tau yang mana baju kotor mereka, kan neng bukan asisten pribadi mereka. Neng nyuci tiap pagi, tapi biasanya di jam 8 baju kotor tambahan itu baru pada keluar dari kamar Ana dan Lita. Ibu tau efeknya seperti apa?"Ibu mertua menggeleng. Wajahnya masih saja jutek."Nih ya bu, kalau baju kotor mereka telat neng rendem, yang ada neng harus rendem ulang. Kasih air lagi, sabun lagi, pewangi lagi, ibu bisa memperkirakan bukan, berapa banyak air dan sabun serta pewangi tambahan yang neng pake. Makin banyak bu. Ibu aja sering nyuruh neng nyuci tanpa mesin cuci biar hemat listrik. Kalau gitu caranya mana bisa hemat air, sabun dan lain-lain?"Sumpah demi Tuhan, aku berusaha keras berbicara dengan tenang dan seolah bercanda. Jika aku berbicara dengan nada keras mungkin yang ada kami akan bertengkar. Aku belajar untuk menyampaikan unek-unekku dengan tutur bicara yang halus. Ternyata sulit sekali pemirsa!Ibu kembali menolehkan kepala ke televisi setelah sebelumnya berucap,"Ana, Lita, denger 'kan kata teteh?" Perkataannya disambut anggukan kedua iparku."Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain" ( Ali Imran : 134 )***Setiap hari aku belajar. Belajar bagaimana cara memperbaiki diri, terutamanya belajar bagaimana menahan emosi. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. ***"Teteh! Teteeeh!" Suara Ana memanggilku keras dari dalam kamarnya selepas aku sholat shubuh. "Naon?" ucapku menghampiri. Didepan gadis itu sudah ada setumpukan baju kotor beserta dalamannya. "Nih, cucian kotor aku," dia berkata sambil menyentuh baju kotor dilantai dengan menggunakan kaki. Aku menatap tajam tepat dikedua matanya dan masih diam. Nyatanya perbuatanku membuat gadis itu salah tingkah. "Apa liat-liat? Cepet tuh cuciin!" Dia membalikkan badannya bersiap untuk pergi.
"Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere***Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap. "Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap. Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung. Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suam
Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku. "Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi." Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit. "Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja. "Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuc
"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh c
Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da