Share

Episode 3

"Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan proses pembelajaran seumur hidup. Aku tidak akan mudah menyerah. Aku akan merubah diri dan berusaha membawa orang-orang disekitarku berubah menuju jalan yang baik. Jika tidak berhasil, barulah aku akan mundur tanpa perlu menoleh lagi dan tanpa rasa menyesal karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa." - Neng Rere

***

"Neng, nih mas udah gajian. Ayok! Mau jalan kemana kita?" Sepulang kerja mas Yandri langsung menuju kamar menemuiku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari.

"Mau belanja bulanan mas, banyak yang udah abis. Ke supermarket yuk?" aku menyambut ajakan mas Yandri dengan gembira.

Keseharianku yang hanya dirumah dengan segala pekerjaannya membuat kegiatan rutin belanja bulanan sebagai cara untuk merefresing pikiran. Tidak perlu belanja berlebih, cukup melihat lampu dan jalanan saja aku sudah senang.

"Iya hayu, kamu siap-siap sana. Mas mau ke ibu dulu ngasi jatah bulanan." Mas Yandri keluar kamar mencari ibunya.

***

Aku tidak tau berapa pastinya gaji Mas Yandri. Selama ini ia selalu memberi jatah untuk belanja bulanan stok kebutuhan rumah setiap gajian. Setelahnya, setiap minggu aku diberikan uang sebesar 500 ribu untuk makan kami semua. Untuk kebutuhan listrik, galon, air, dll ia sendiri yang mengurus.

Pernah aku bertanya karena penasaran. Selain itu aku ingin ia terbuka padaku tentang penghasilannya. Namun jawaban yang waktu itu kuterima malah membuatku emosi.

"Kamu ngga ada hak buat tau gaji mas berapa neng. Yang penting cukup untuk sampai ke gajian lagi. Mas ga akan kasih kamu semua gaji mas karena mas punya kewajiban untuk membiayai ibu serta menyekolahkan Ana dan Lita."

Saat itu aku langsung berpikir cepat. Aku tidak mau dijatah seadanya dan harus pusing jika ternyata kurang. Jika dari awal dia sudah memulai aturan seperti itu, maka akupun memiliki aturanku sendiri.

"Oke mas kalo gitu. Neng tidak masalah. Tapi jangan lupa ya, uang untuk kebutuhan makan neng yang urus karena neng yang masak. Untuk stok bahan rumah tangga juga harus dibeli setiap bulan sekali. Untuk belanja makan silakan kalau mau dijatah tiap minggu atau tiap hari asalkan sesuai dengan daftar harga yang neng kasih. Jangan kaya di sinetron, ngasi 20 ribu minta makan daging. Kalo sampai kaya gitu, neng kasi daging tikus sekalian. Tuh di got banyak." Aku menjelaskan panjang lebar.

Untuk mencegah penolakan mas Yandri, aku sudah mempersiapkan daftar harga serta beberapa screenshot berita tentang harga bahan pokok yang semakin naik harganya. Benar perkiraanku, awalnya mas Yandri menolak dengan beralasan daftar harga yang kubuat terlalu besar. Aku kembali memaparkan satu persatu seolah sedang presentasi.

Dan setelah perdebatan kecil yang alot, kami menemui kata sepakat.

"Oh iya jangan lupa nafkah neng tiap bulan. Nafkah neng tidak termasuk uang makan ya mas. Karena mas kan tau kalau makan itu kewajiban mas. Neng minta satu juta untuk nafkah neng pribadi. Peruntukannya terserah neng mau digunakan untuk apa."

Mata mas Yandri mendelik tidak percaya.

"Satu juta neng? Banyak banget! Emang kamu mau beli apa tiap bulan dengan uang nafkah segitu? Mas harus ngasi juga ke ibu loh. Mas berkewajiban karena surga mas ada pada ibu." Nada suara mas Yandri mulai meninggi.

Aku menghembuskan nafas dan memasang wajah tanpa emosi. Astagfirullah! Rupanya sangat sulit untuk menahan emosi. Jika mengikuti adatku, mungkin sudah kutonjok mukanya.

"Mas, neng tiap bulan itu butuh beli barang-barang pribadi. Pembalut, makeup, skincare, dll. Mas gimana sih,? Ngajak nikah tapi kok ngga ngerti masalah nafkah!

Neng tau surga mas ada sama ibu, itu makanya mas harus berbakti, iya 'kan?" Tanyaku

Suamiku itu mengangguk pelan.

"Nah, kalau mas mementingkan untuk menggapai surga dengan memenuhi kewajiban pada ibu, jangan lupa, mas juga bisa masuk neraka jika mengabaikan kewajiban mas pada neng. Hidup itu menuntut keseimbangan yang wajar mas. Kalau surga mas ada pada ibu, maka neraka mas ada pada neng! Gitu kata pak ustad," ucapku tegas.

Karena ucapanku tersebut, kami kembali mencapai kata sepakat. Yihaaa! Inilah tujuanku. Intinya, dia bebas mempergunakan uang gajinya selama tidak menyalahi aturan agama dan juga kebutuhanku terpenuhi.

***

Kami bersiap dan keluar kamar saat ibu mertua menegur, "Mau kemana kalian?"

Mas Yandri menjelaskan jika kami akan belanja stok bulanan ke supermarket besar.

"Ga usah jauh-jauh, ke alfamart aja. Ntar si Rere banyak jajan," ucap ibu mertuaku.

Aku emosi mendengar perkataan ibu. Sampai tempat belanja saja dipersoalkan. Namun, jika aku membantah, yang ada aku akan kena semprot darinya dan mas Yandri tentu saja.

"Iyalah ga apa-apa ke alfamart aja mas. Disana juga neng bisa jajan banyak," sahutku sambil menepuk-nepuk tas slempangku.

Ibu mertua hanya menggelengkan kepalanya. Skak!

***

Sebenarnya ibu ratu mertuaku tidak sekejam mertua yang kutemui dalam sinetron. Cuma ya namanya manusia, terkadang suka nyinyir dan mencari-cari kesalahan. Ditambah lagi, mungkin dia takut kehilangan sosok anak laki-laki penopang hidupnya.

Kedua iparku pun sama, mereka terbiasa tidak mengerjakan pekerjaan rumah apapun dan mengikuti sikap ibu yang jutek. Dulu sebelum mas Yandri menikahiku, ibu yang mengerjakan semuanya. Alasannya karena kedua anak gadisnya itu cukup sibuk dengan studi mereka masing-masing.

"Besok teteh mau ngerendem baju setelah subuh. Kalau mau nitip, keluarin cepet. Kalo telat ga akan teteh cuciin." Aku bersuara pada kedua adik iparku saat kami sedang berkumpul di depan televisi.

"Apa sih neng, kamu kok ribut banget." Mas Yandri menegurku.

"Apa sih mas? Orang neng lagi ngasi tau Ana sama Lita. Kan neng yang bertanggung jawab nyuci disini. Ya ikut aturan neng dong. Kalo ngga mah ya nyuci sendiri aja." Aku menjawab santai.

Ibu mertua menoleh dengan muka jutek ke arahku.

"Kan emang kewajiban kamu nyuci baju, kamu kan menantu ya kamu dong masuk ke kamar mereka ngambil baju kotor!"

Aku menarik nafas 3 kali untuk meredam emosi yang semakin lama semakin sulit kukendalikan. Dengan nada yang kuusahakan datar, aku menjawab ibu mertua.

"Ibu paduka ratu yang ku sayang. Neng mana tau yang mana baju kotor mereka, kan neng bukan asisten pribadi mereka. Neng nyuci tiap pagi, tapi biasanya di jam 8 baju kotor tambahan itu baru pada keluar dari kamar Ana dan Lita. Ibu tau efeknya seperti apa?"

Ibu mertua menggeleng. Wajahnya masih saja jutek.

"Nih ya bu, kalau baju kotor mereka telat neng rendem, yang ada neng harus rendem ulang. Kasih air lagi, sabun lagi, pewangi lagi, ibu bisa memperkirakan bukan, berapa banyak air dan sabun serta pewangi tambahan yang neng pake. Makin banyak bu. Ibu aja sering nyuruh neng nyuci tanpa mesin cuci biar hemat listrik. Kalau gitu caranya mana bisa hemat air, sabun dan lain-lain?"

Sumpah demi Tuhan, aku berusaha keras berbicara dengan tenang dan seolah bercanda. Jika aku berbicara dengan nada keras mungkin yang ada kami akan bertengkar. Aku belajar untuk menyampaikan unek-unekku dengan tutur bicara yang halus. Ternyata sulit sekali pemirsa!

Ibu kembali menolehkan kepala ke televisi setelah sebelumnya berucap,

"Ana, Lita, denger 'kan kata teteh?" Perkataannya disambut anggukan kedua iparku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status