Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana.
Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan tersenyum. Beberapa dari tetangga baruku mulai memanggilku neng Rere. Selain mereka tau jika aku berasal dari tanah Pasundan, mereka juga mendengar saat mas Yandri memanggilku untuk pamit kerja. Oh iya, ibu sinis itu pengecualian."Pak, bumbu racik ayam gorengnya satu ya," tambahku diikuti anggukan bapak penjual. "Ih pake bumbu racik mana enak! Rere ngga bisa masak ya? Belajar dong, Re. Jadi istri itu harus segala bisa. Masa bumbu ayam aja beli jadi!" Ya Allah Ya Tuhanku, masih dengan ibu yang sama. Aku tidak mengerti, dari awal kenapa manusia satu ini seperti tidak suka padaku. Entah dimana kesalahanku. "Iya bu, saya ngga bisa masak. Ngga apa-apa ngga bisa masak, yang penting masih bisa makan." Aku berucap santai tanpa beban. Aku tidak peduli pada perkataan orang lain selama yang diucapkan orang tersebut bukan kritik atau saran yang membangun. Jika perkataan itu bertujuan menjatuhkan atau meremehkan, mohon maaf, orang tuaku mengajarkanku untuk tidak ambil pusing."Kamu ya, lancang! Dikasi tau sama orang yang lebih tua kok jawabannya gitu?!"Sumpah demi Tuhan, aku tidak tau bagian mana dari perkataanku yang membuatnya berpikir jika aku lancang. "Mohon maaf jika ucapan saya menyinggung ibu, terus saya harus jawab gimana? Tolong kasih tau. Jujur aja, saya lebih suka kalau ibu ngasi tau saya bumbu asli ayam goreng yang dibuat secara manual daripada sekedar nyuruh saya buat belajar." Beberapa ibu-ibu dan bapak penjual terlihat menahan senyum. "Udah bu Jejen, biarin aja Neng Rere mau gimana juga. Kan dia yang masak. Ngga nyusahin ibu 'kan?" Seorang ibu dengan pashmina biru tua membelaku. Ibu yang dimaksud hanya mencebikkan bibir dan melihatku sinis.'Oke Bu Jejen, kutandai kau!' Ucapku dalam hati.***Menjelang pukul 5 Mas Yandri membuka pagar. Aku yang sedang rebahan disofa setelah mandi, keluar menghampirinya. Terlihat jika beberapa ibu-ibu sudah duduk dengan manis tepat diseberang rumahku. Beberapa dari mereka menatap ke arahku dan Mas Yandri."Bersih-bersih dulu mas, Neng mau nyiapin makan." Aku berkata seraya menyodorkan segelas air putih dingin. Kota ini luar biasa panas. Aku yang dari lahir tinggal di kota yang cenderung dingin dan berawan sepanjang waktu menjadi tidak tahan jika harus berada diluar rumah terlalu lama. Saat menghampiriku di meja makan, Mas Yandri sudah terlihat segar. "Nanti malam kita ke rumah RT ya neng. Laporan, sekalian ngasi tau kalau kita mau ngadain syukuran pengajian. Nanti kamu yang urus ya. Biayanya ambil aja dari atm yang ada di kamu." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ketua RT di lingkungan ini sangat ramah. Beliau pensiunan dosen dari salah satu universitas negeri di kota ini. Sedangkan istrinya juga tidak kalah ramah. Bu RT aktif diberbagai pengajian dan menawarkan jika aku ingin bergabung. Dengan senang hati aku menerimanya. Saatnya upgrade diri melalui jalur spiritual. Pengajian dilakukan seminggu setelah kunjungan kami ke rumah RT. Waktunya bertepatan saat weekend sehingga Mas Yandri ada dirumah. Suamiku sudah banyak membantuku dari pagi. Walaupun tidak banyak yang harus dikerjakan karena aku memilih untuk memesan nasi box beserta kue-kuenya. Untuk cemilan saat acara berlangsung, aku beli dari sebuah supermarket yang cukup dekat dari rumah. Aku berdiri di depan pintu menyambut para tetangga yang sudah berdatangan. Rata-rata semua menyambutku dengan ramah. Bu Jejen sudah jelas tidak termasuk. Ia hanya menyalamiku dengan wajah sinisnya. Dapat kulihat, matanya menyapu seisi rumah dan bicara berbisik-bisik dengan kedua temannya. 'Geng Bu Jejen itu toh,' batinku seraya menatap Bu Jejen sekilas.***Aku masih duduk berbincang dengan para tetangga satu blok setelah pengajian usai. Aku memang mengundang semua tetangga di blok ini. Sisanya, aku menyerahkannya pada bu RT. Bu RT berkata sebagian sisanya berasal dari blok belakang rumahku dan juga dari anggota pengajian rutin di mesjid dekat sini. "Kuenya ngga enak ih." Telingaku menangkap suara bu Jejen berkata pada kedua temannya yang pada akhirnya aku tau bernama bu Romlah dan bu Mumun."Iya ih, pengajian kok kuenya dari pasar," jawab bu Mumun. Ketiganya kemudian terkikik geli yang herannya sambil memakan kue yang menurut mereka tidak enak. "Oh itu kue pasar ya bu? Baru tau saya. Padahal di dusnya ada tulisan Holland Bakery." Aku menyahuti perkataan mereka. Bu Jejen terlihat terkejut dan membalik tutup dus. Matanya membelalak saat membaca dengan benar tulisan yang tertera. "Besok-besok kalau pengajian lagi, saya pesen kuenya dari pasar Jco deh. Kalau ngga dari pasar Starbucks." Muka ketiganya sudah memerah. Dengan cepat mereka membereskan dus kue milik mereka, bangkit menuju pintu depan dan melewatiku tanpa pamit."Bu, katanya ngga enak. Ngga apa-apa kok kalo ngga mau dibawa." Aku menatap mereka yang sedang rusuh memakai sendal. Dalam hitungan detik, ketiganya sudah tidak terlihat.Sumpah, aku tidak suka jika harus melawan orang yang lebih tua. Tapi jika aku diam saja, mereka pasti akan menganggapku sasaran empuk dan terus mengganggu. Aku akan meletakkan hormat pada orang yang memang pantas kuhormati. Dan untuk orang-orang yang berani mengusikku, aku juga tidak akan segan menunjukkan taring serta cakarku.Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da
Pukul 10 lebih saat suara mobil mas Yandri terdengar. Aku segera membuka pintu dan melihatnya sedang membuka pagar."Neng kenapa belum tidur?" Mas Yandri menyapaku. "Gimana neng bisa tidur atuh mas, kalau mas baru pulang jam segini. Pulang malem ngga ngasi kabar." Aku berucap seraya tersenyum.Dari tadi aku mati-matian menahan emosi dan ingin segera mendapatkan penjelasan. Namun, suamiku itu baru pulang kerja. Jika aku nekat bertanya, yang ada kami akan bertengkar dan tujuanku untuk mengetahui hal yang sebenarnya bisa gagal. "Mas mandi dulu sana, Neng angetin makannya." Mas Yandri mengangguk dan berjalan menuju kamar kami. ***"Neng ngga enak badan? Kok kaya yang lesu?" Tanya mas Yandri kepadaku saat ia telah selesai makan. Aku hanya tersenyum dan menawarinya kopi seperti biasa. Memang, sudah terlalu malam untuk menikmati secangkir kopi, tapi karena besok mas Yandri libur, ia pun tidak menolak. "Mas, lihat ini," aku membuka suara saat kami sudah sama-sama menghabiskan setengah g
Ketenangan yang diberikan bu Jejen dan kawan-kawannya rupanya hanya sebentar saja. Dia kembali lagi menyindirku. Entah secara terang-terangan atau secara tersirat di WA grup. Aku yang sering membaca sindirannya tidak mau ambil pusing dan menghabiskan energiku untuk meladeni omongannya yang tidak berdasar. Peristiwa dimana ia melihat Mas Yandri dengan wanita lain digunakannya sebagai kartu untuk menyindirku. Berkali-kali ia membahas pentingnya seorang istri menjaga penampilan agar suami betah dirumah. ***"Walaupun saya di rumah aja, saya tetep gaya. Biar mata suami adem gitu kalo ngeliat saya." Bu jejen berkata keras dan melirikku yang sedang berjalan menghampiri tukang sayur. Kedua temannya yang juga melihatku menjawab perkataan Bu Jejen dengan suara yang tidak kalah kencang. "Harus itu Bu Jejen. Kalau dirumah cuma pakai kaos dan celana pendek aja, gimana suami mau betah. Di kantor tuh kan banyak perempuan-perempuan yang modis, yang bikin adem mata. Giliran pulang ke rumah bawa
"Dzikir pagi dan petang seperti baju besi, semakin bertambah ketebalannya, maka pemiliknya semakin tidak terkenai (oleh bahaya). Bahkan kekuatan baju besi itu bisa sampai memantulkan kembali anak panah sehingga berbalik mengenai pemanahnya sendiri." - Ibnu Qayyim rahimahullah ***"Mas, Neng beli ini nih, ada promo di Bajada."Aku menyerahkan sebuah tasbih digital mungil pada Mas Yandri."Pas pengajian kemarin, Neng dikasih buku kumpulan doa dan Dzikir pagi petang. Kalau Mas lagi senggang di kantor, bisa dong dibaca-baca. Banyak manfaatnya Mas."Mas Yandri menerima pemberian dariku dengan tersenyum."Nanti Neng kirimkan ya apa aja dzikirnya. Setiap hari beda-beda, Mas baca sebanyak-banyaknya."Sejak pindah ke sini dan mengikuti beberapa kegiatan pengajian dan kajian bersama Bu RT, aku belajar banyak hal. Orang tuaku mengajarkan pemahaman tentang agama padaku, tapi sebatas kemampuan mereka. Itulah kenapa, saat ada peluang untuk menambah ilmu, dengan senang hati aku menerima. Bahkan Mas
Beberapa hari ini keadaan di rumah cukup pengap. Bukan, bukan karena suhu di kota ini yang memang panas. Aku juga tidak mengerti, apa penyebabnya. Seperti ada yang berbeda dari biasanya. Aku pikir hanya aku saja yang merasakan hal itu, nyatanya Mas Yandri juga. "Neng, kok kayanya hawa di rumah ngga enak ya. Kaya pengap gitu, bikin sesak." Kami baru saja makan malam dan sedang menikmati kopi di teras. "Ngga tau Mas, Neng juga heran. Selain pengap, sekarang sering banget di kamar mandi banyak binatang. Kadang cacing, kadang lintah, kadang kelabang." Mas Yandri terdiam beberapa saat. "Kalo Mas bilang sesuatu, Neng nanti takut ngga di rumah sendirian?" "Insya Allah ngga Mas, ya kalo takut sih, Neng ngungsi ke warung Bu Indah," ucapku seraya nyengir. "Mas beberapa kali sering banget nyium bau busuk, Neng. Busuk amis gitu. Kadang pernah juga wangi bunga." Gantian aku yang diam dan memutuskan bercerita tentang pemberian makanan dari anak buahnya tempo hari."Mas, kemarin itu makanan d
Sepulang dari dokter, aku dan Mas Yandri duduk berdua dan mulai mencari di mesin pencarian internet beberapa kemungkinan penyebab sakit yang kuderita. Penyakit autoimun yang tadi dijelaskan dokter pun bisa kutemukan penjelasannya. Namun menurut penelitian, kasus tersebut jarang sekali terjadi. Beberapa ciri yang ku rasakan merujuk pada kondisi syaraf terjepit. Aku bahkan menemukan juga iklan pengobatan alternatif. "Mas, ini ada pengobatan alternatif pijat refleksi buat syaraf terjepit." Aku memberitahu Mas Yandri. "Emang kamu mau nyoba kesana Neng? "Ya nyoba aja kan, siapa tau emang syaraf kejepit. Kalau ke spesialis syaraf terus ternyata disuruh MRI gimana? Biaya MRI mahal banget loh mas. "Mas Yandri menatapku, "Ya ngga masalah mahal juga, berapapun akan Mas usahakan asal kamu sehat lagi.""Iya tau, tapi Neng takut. Nyobain ke alternatif dulu ya Mas," bujukku. "Nyobain aja, kali memang syaraf kejepit. Soalnya, Neng sebelum sakit emang angkat-angkat barang terus nyapu-nyapu, ngep