"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere
***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh cinta saat pertama melihat rumah ini. Rumah minimalis yang indah. ***Mas Yandri hari ini masih berada dirumah. Rencananya besok ia akan mulai masuk kerja sesuai tanggal yang tertera di Surat Keputusan. Orang yang kemarin menjemput kami di bandara mengatakan akan menjemput mas Yandri dan memperkenalkannya secara resmi pada karyawan lain. "Neng, ada barang yang harus kamu beli ngga?" Mas Yandri bertanya saat kami sedang membongkar bawaan kami. "Belum tau mas, kan masih belum keliatan karena belum diberesin. Nanti kalau ada yang perlu dibeli, neng bilang." Karena barang bawaan kami yang tidak banyak, menjelang Dhuhur kami sudah bisa bersantai. Aku juga sudah memiliki catatan beberapa barang yang dibutuhkan. Setelah sholat, kami memutuskan keluar untuk mencari makan dan berbelanja dengan menggunakan kendaraan dinas yang sudah terparkir di carport. ***Kondisi komplek perumahan ini cukup sepi di siang hari. Nampaknya karena sebagian besar penghuni sedang bekerja. Saat sedang menutup pagar, ada seorang ibu dengan anak kecil yang menyapaku ramah. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku memperkenalkan diri dan menanyakan lokasi warung terdekat. Bukan apa-apa, kedepannya aku akan sering mengunjungi warung. Setelah proses perkenalan yang singkat, aku dan mas Yandri beranjak pergi. Menjelang sore, setelah mendapatkan apa yang kami cari dan berkeliling kota sebentar, kami pun pulang. ***Aku melihat ada beberapa ibu-ibu sedang duduk berkumpul di rumah tetangga depan rumahku. Beberapa dari mereka terlihat sedang menyuapi anak-anak makan. Aku berkata pada mas Yandri akan menghampiri mereka sebentar untuk memperkenalkan diri. "Assalamualaikum. Perkenalkan, saya Rere, penghuni baru rumah itu," ucapku sambil menunjuk ke arah rumah.Beberapa dari mereka tersenyum dan membalas sapaanku. Sedangkan beberapa yang lain hanya diam. Wow, aku bahkan bisa melihat ada beberapa yang menatapku sinis. Ibu-ibu yang menyambut perkenalanku bertanya darimana asalku, dan dimana suamiku bekerja. Kami mengobrolkan hal-hal yang ringan saat seorang ibu memotong pembicaraan kami. "Disini kalo memperkenalkan diri harus resmi, ngadain pengajian! Bukannya ngobrol di jalan!" Aku melongo mendengarnya. Beberapa ibu-ibu menatapku dengan pandangan meminta maaf. Aku hanya tersenyum. "Oh gitu ya? Sebenernya saya dan suami memang berniat mengadakan pengajian setelah keadaan rumah kondusif. Tapi karena melihat ibu-ibu sedang berkumpul disini, saya putuskan untuk menyapa terlebih dahulu. Daripada nanti dianggap sombong 'kan? Nanti saya lagi yang salah. Bisa-bisa jadi bahan omongan." Aku berkata santai.Ibu yang berkata barusan hanya diam menatapku sinis. "Insya Allah kalau sudah selesai membereskan rumah, saya akan berkeliling untuk menyampaikan undangan pengajian. Saya pamit masuk dulu ya ibu-ibu. Assalamualaikum." Saat aku berjalan menjauh, samar-samar aku mendengar mereka mulai membicarakan diriku. ***"Neng sini," panggil mas Yandri saat aku sedang membereskan sisa makan malam kami. Aku duduk disebelahnya, "Kenapa mas?" Mas Yandri mengeluarkan selembar kertas dengan banyak angka didalamnya. Saat aku melihat, ternyata itu rincian gaji mas Yandri."Ini perincian gaji sebagai kepala cabang di sini neng. Kemarin jadi satu sama Surat Keputusan. Karena inilah, mas tertarik untuk pindah. Gaji pokok dan tunjangannya besar. Insya Allah gajian selanjutnya, nominalnya persis sama dengan yang tertera dikertas ini." Aku mengucap hamdalah tanda bersyukur. Di umur yang masih muda, mas Yandri dipercaya untuk mengurus kantor cabang dengan penghasilan besar."Sekarang ada yang mau mas omongin. Sebelumnya gaji mas segini," dia menunjukkan sebuah kertas yang lain. Aku tersenyum dalam hati. Kemajuan yang baik. Mas Yandri rupanya mulai terbuka. Baguslah, ada hal baru yang ia pelajari. Setidaknya aku sudah tidak penasaran lagi dan menerka-nerka gajinya selama ini. "Dan biasanya ini yang mas keluarkan setiap bulan." Sebuah kertas dengan coretan tangan mas Yandri kuterima. Catatan pengeluaran yang mas Yandri buat cukup lengkap. Mulai dari jatah belanja, jatah ibu, hingga nafkahku. Aku melihat setiap bulan mas Yandri bisa menyisihkan 300 ribu. "Sisa gaji mas, mas tabung neng. Semua ada disini." Ia menyodorkan sebuah ATM dan buku tabungan. "Sekarang mas mau nanya. Kamu mau pegang semua gaji mas dan mengatur semua pengeluaran, atau kamu mau tetap dijatah?" Aku berpikir sejenak dan mulai membandingkan ketiga kertas ditanganku. "Kalau untuk belanja dapur, neng mau dijatah aja mas, sama seperti waktu di rumah ibu. Tapi neng minta untuk langsung sebulan bukan mingguan lagi. Dan itu sudah termasuk gas dan galon. Sedangkan air dan listrik kan dibayarnya perbulan. Jadi nanti neng masukin ke kewajiban bulanan, disatuin sama belanja bulanan." Mas Yandri mengangguk mengerti. "Selain itu, karena gaji mas udah naik, neng mau ngasi saran nih. Gimana kalau jatah ibu, mas naikin? Ini neng lihat jatah ibu satu juta perbulan, sama kaya nafkah neng. Tambahin mas, jatah buat ibu, kan kita sekarang jauh, jadi kalo misal ibu ada butuh mendadak, ibu punya uang lebih." Mas Yandri tersenyum dan mengangguk. "Nah sekarang jatah buat orang tua kamu neng. Mas minta maaf, karena sebelumnya ngga bisa ngasi jatah buat orang tua neng. Neng lihat kan? Sisa gaji mas tiap bulan hanya 300 ribu dan kita juga perlu menabung. Kalau sekarang sih udah bisa, kan gaji mas naik." Aku menatap mas Yandri tidak percaya. Aku yang sempat berburuk sangka akan tabiat asli mas Yandri tertampar dengan kenyataan ini. Suamiku itu ternyata tidak seburuk yang aku kira. "Yakin mas? Ada jatahnya? Kan orang tua neng bukan kewajiban mas." Aku bertanya untuk menguji kesungguhan mas Yandri. "Yakinlah neng, mas maunya dari awal juga ngasi jatah. Tapi gaji kemarin kan mepet. Memang bukan kewajiban mas, tapi ngga ada salahnya ngasih kan? Hitung-hitung tanda bakti," jawabnya. Aku terharu. Sungguh, kali ini aku melihat sisi lain dari mas Yandri. Aku sungguh-sungguh sangat terharu. "Mas tau ngga? Selama ini neng ngasi kok ke orang tua neng." Mas Yandri menatapku tidak percaya. "Masa sih? Uang dari mana?" Aku tergelak, "Ya uang dari mas dong. Kan neng minta nafkah setiap bulannya. Dan dari awal neng tegaskan, peruntukannya terserah neng mau buat apa. Nah sebagian neng kirim ke orang tua neng. Kan nafkah itu hak neng. Terserah neng 'kan?" Gantian aku melihat wajah mas Yandri yang melongo menatapku. "Oke, kalau gitu nanti setelah gajian, mas tambahin nafkah untuk neng. Kita atur sama-sama anggaran rumah tangga kita." Mas Yandri menutup pembicaraan setelah melihatku mengangguk. ***"Proses belajar dalam pernikahan memakan waktu seumur hidup. Bukan hanya satu pihak. Tapi kedua pihak. Kedua pihak belajar menjadi tim yang solid dengan menerima dan mengerti segala perbedaan dan kekurangan masing-masing."Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da
Pukul 10 lebih saat suara mobil mas Yandri terdengar. Aku segera membuka pintu dan melihatnya sedang membuka pagar."Neng kenapa belum tidur?" Mas Yandri menyapaku. "Gimana neng bisa tidur atuh mas, kalau mas baru pulang jam segini. Pulang malem ngga ngasi kabar." Aku berucap seraya tersenyum.Dari tadi aku mati-matian menahan emosi dan ingin segera mendapatkan penjelasan. Namun, suamiku itu baru pulang kerja. Jika aku nekat bertanya, yang ada kami akan bertengkar dan tujuanku untuk mengetahui hal yang sebenarnya bisa gagal. "Mas mandi dulu sana, Neng angetin makannya." Mas Yandri mengangguk dan berjalan menuju kamar kami. ***"Neng ngga enak badan? Kok kaya yang lesu?" Tanya mas Yandri kepadaku saat ia telah selesai makan. Aku hanya tersenyum dan menawarinya kopi seperti biasa. Memang, sudah terlalu malam untuk menikmati secangkir kopi, tapi karena besok mas Yandri libur, ia pun tidak menolak. "Mas, lihat ini," aku membuka suara saat kami sudah sama-sama menghabiskan setengah g
Ketenangan yang diberikan bu Jejen dan kawan-kawannya rupanya hanya sebentar saja. Dia kembali lagi menyindirku. Entah secara terang-terangan atau secara tersirat di WA grup. Aku yang sering membaca sindirannya tidak mau ambil pusing dan menghabiskan energiku untuk meladeni omongannya yang tidak berdasar. Peristiwa dimana ia melihat Mas Yandri dengan wanita lain digunakannya sebagai kartu untuk menyindirku. Berkali-kali ia membahas pentingnya seorang istri menjaga penampilan agar suami betah dirumah. ***"Walaupun saya di rumah aja, saya tetep gaya. Biar mata suami adem gitu kalo ngeliat saya." Bu jejen berkata keras dan melirikku yang sedang berjalan menghampiri tukang sayur. Kedua temannya yang juga melihatku menjawab perkataan Bu Jejen dengan suara yang tidak kalah kencang. "Harus itu Bu Jejen. Kalau dirumah cuma pakai kaos dan celana pendek aja, gimana suami mau betah. Di kantor tuh kan banyak perempuan-perempuan yang modis, yang bikin adem mata. Giliran pulang ke rumah bawa
"Dzikir pagi dan petang seperti baju besi, semakin bertambah ketebalannya, maka pemiliknya semakin tidak terkenai (oleh bahaya). Bahkan kekuatan baju besi itu bisa sampai memantulkan kembali anak panah sehingga berbalik mengenai pemanahnya sendiri." - Ibnu Qayyim rahimahullah ***"Mas, Neng beli ini nih, ada promo di Bajada."Aku menyerahkan sebuah tasbih digital mungil pada Mas Yandri."Pas pengajian kemarin, Neng dikasih buku kumpulan doa dan Dzikir pagi petang. Kalau Mas lagi senggang di kantor, bisa dong dibaca-baca. Banyak manfaatnya Mas."Mas Yandri menerima pemberian dariku dengan tersenyum."Nanti Neng kirimkan ya apa aja dzikirnya. Setiap hari beda-beda, Mas baca sebanyak-banyaknya."Sejak pindah ke sini dan mengikuti beberapa kegiatan pengajian dan kajian bersama Bu RT, aku belajar banyak hal. Orang tuaku mengajarkan pemahaman tentang agama padaku, tapi sebatas kemampuan mereka. Itulah kenapa, saat ada peluang untuk menambah ilmu, dengan senang hati aku menerima. Bahkan Mas
Beberapa hari ini keadaan di rumah cukup pengap. Bukan, bukan karena suhu di kota ini yang memang panas. Aku juga tidak mengerti, apa penyebabnya. Seperti ada yang berbeda dari biasanya. Aku pikir hanya aku saja yang merasakan hal itu, nyatanya Mas Yandri juga. "Neng, kok kayanya hawa di rumah ngga enak ya. Kaya pengap gitu, bikin sesak." Kami baru saja makan malam dan sedang menikmati kopi di teras. "Ngga tau Mas, Neng juga heran. Selain pengap, sekarang sering banget di kamar mandi banyak binatang. Kadang cacing, kadang lintah, kadang kelabang." Mas Yandri terdiam beberapa saat. "Kalo Mas bilang sesuatu, Neng nanti takut ngga di rumah sendirian?" "Insya Allah ngga Mas, ya kalo takut sih, Neng ngungsi ke warung Bu Indah," ucapku seraya nyengir. "Mas beberapa kali sering banget nyium bau busuk, Neng. Busuk amis gitu. Kadang pernah juga wangi bunga." Gantian aku yang diam dan memutuskan bercerita tentang pemberian makanan dari anak buahnya tempo hari."Mas, kemarin itu makanan d