Share

Episode 7

"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere

***

Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. 

Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. 

Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. 

Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh cinta saat pertama melihat rumah ini. Rumah minimalis yang indah. 

***

Mas Yandri hari ini masih berada dirumah. Rencananya besok ia akan mulai masuk kerja sesuai tanggal yang tertera di Surat Keputusan. Orang yang kemarin menjemput kami di bandara mengatakan akan menjemput mas Yandri dan memperkenalkannya secara resmi pada karyawan lain. 

"Neng, ada barang yang harus kamu beli ngga?" Mas Yandri bertanya saat kami sedang membongkar bawaan kami. 

"Belum tau mas, kan masih belum keliatan karena belum diberesin. Nanti kalau ada yang perlu dibeli, neng bilang." 

Karena barang bawaan kami yang tidak banyak, menjelang Dhuhur kami sudah bisa bersantai. Aku juga sudah memiliki catatan beberapa barang yang dibutuhkan. 

Setelah sholat, kami memutuskan keluar untuk mencari makan dan berbelanja dengan menggunakan kendaraan dinas yang sudah terparkir di carport. 

***

Kondisi komplek perumahan ini cukup sepi di siang hari. Nampaknya karena sebagian besar penghuni sedang bekerja. Saat sedang menutup pagar, ada seorang ibu dengan anak kecil yang menyapaku ramah. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku memperkenalkan diri dan menanyakan lokasi warung terdekat. Bukan apa-apa, kedepannya aku akan sering mengunjungi warung. Setelah proses perkenalan yang singkat, aku dan mas Yandri beranjak pergi. Menjelang sore, setelah mendapatkan apa yang kami cari dan berkeliling kota sebentar, kami pun pulang. 

***

Aku melihat ada beberapa ibu-ibu sedang duduk berkumpul di rumah tetangga depan rumahku. Beberapa dari mereka terlihat sedang menyuapi anak-anak makan. Aku berkata pada mas Yandri akan menghampiri mereka sebentar untuk memperkenalkan diri. 

"Assalamualaikum. Perkenalkan, saya Rere, penghuni baru rumah itu," ucapku sambil menunjuk ke arah rumah.

Beberapa dari mereka tersenyum dan membalas sapaanku. Sedangkan beberapa yang lain hanya diam. Wow, aku bahkan bisa melihat ada beberapa yang menatapku sinis. 

Ibu-ibu yang menyambut perkenalanku bertanya darimana asalku, dan dimana suamiku bekerja. Kami mengobrolkan hal-hal yang ringan saat seorang ibu memotong pembicaraan kami. 

"Disini kalo memperkenalkan diri harus resmi, ngadain pengajian! Bukannya ngobrol di jalan!" 

Aku melongo mendengarnya. Beberapa ibu-ibu menatapku dengan pandangan meminta maaf. Aku hanya tersenyum. 

"Oh gitu ya? Sebenernya saya dan suami memang berniat mengadakan pengajian setelah keadaan rumah kondusif. Tapi karena melihat ibu-ibu sedang berkumpul disini, saya putuskan untuk menyapa terlebih dahulu. Daripada nanti dianggap sombong 'kan? Nanti saya lagi yang salah. Bisa-bisa jadi bahan omongan." Aku berkata santai.

Ibu yang berkata barusan hanya diam menatapku sinis. 

"Insya Allah kalau sudah selesai membereskan rumah, saya akan berkeliling untuk menyampaikan undangan pengajian. Saya pamit masuk dulu ya ibu-ibu. Assalamualaikum." 

Saat aku berjalan menjauh, samar-samar aku mendengar mereka mulai membicarakan diriku. 

***

"Neng sini," panggil mas Yandri saat aku sedang membereskan sisa makan malam kami. 

Aku duduk disebelahnya, "Kenapa mas?" 

Mas Yandri mengeluarkan selembar kertas dengan banyak angka didalamnya. Saat aku melihat, ternyata itu rincian gaji mas Yandri.

"Ini perincian gaji sebagai kepala cabang di sini neng. Kemarin jadi satu sama Surat Keputusan. Karena inilah, mas tertarik untuk pindah. Gaji pokok dan tunjangannya besar. Insya Allah gajian selanjutnya, nominalnya persis sama dengan yang tertera dikertas ini." 

Aku mengucap hamdalah tanda bersyukur. Di umur yang masih muda, mas Yandri dipercaya untuk mengurus kantor cabang dengan penghasilan besar.

"Sekarang ada yang mau mas omongin. Sebelumnya gaji mas segini," dia menunjukkan sebuah kertas yang lain. 

Aku tersenyum dalam hati. Kemajuan yang baik. Mas Yandri rupanya mulai terbuka. Baguslah, ada hal baru yang ia pelajari. Setidaknya aku sudah tidak penasaran lagi dan menerka-nerka gajinya selama ini. 

"Dan biasanya ini yang mas keluarkan setiap bulan." Sebuah kertas dengan coretan tangan mas Yandri kuterima. 

Catatan pengeluaran yang mas Yandri buat cukup lengkap. Mulai dari jatah belanja, jatah ibu, hingga nafkahku. Aku melihat setiap bulan mas Yandri bisa menyisihkan 300 ribu. 

"Sisa gaji mas, mas tabung neng. Semua ada disini." Ia menyodorkan sebuah ATM dan buku tabungan. 

"Sekarang mas mau nanya. Kamu mau pegang semua gaji mas dan mengatur semua pengeluaran, atau kamu mau tetap dijatah?" 

Aku berpikir sejenak dan mulai membandingkan ketiga kertas ditanganku. 

"Kalau untuk belanja dapur, neng mau dijatah aja mas, sama seperti waktu di rumah ibu. Tapi neng minta untuk langsung sebulan bukan mingguan lagi. Dan itu sudah termasuk gas dan galon. Sedangkan air dan listrik kan dibayarnya perbulan. Jadi nanti neng masukin ke kewajiban bulanan, disatuin sama belanja bulanan." 

Mas Yandri mengangguk mengerti. 

"Selain itu, karena gaji mas udah naik, neng mau ngasi saran nih. Gimana kalau jatah ibu, mas naikin? Ini neng lihat jatah ibu satu juta perbulan, sama kaya nafkah neng. Tambahin mas, jatah buat ibu, kan kita sekarang jauh, jadi kalo misal ibu ada butuh mendadak, ibu punya uang lebih." 

Mas Yandri tersenyum dan mengangguk. 

"Nah sekarang jatah buat orang tua kamu neng. Mas minta maaf, karena sebelumnya ngga bisa ngasi jatah buat orang tua neng. Neng lihat kan? Sisa gaji mas tiap bulan hanya 300 ribu dan kita juga perlu menabung. Kalau sekarang sih udah bisa, kan gaji mas naik." 

Aku menatap mas Yandri tidak percaya. Aku yang sempat berburuk sangka akan tabiat asli mas Yandri tertampar dengan kenyataan ini. Suamiku itu ternyata tidak seburuk yang aku kira. 

"Yakin mas? Ada jatahnya? Kan orang tua neng bukan kewajiban mas." Aku bertanya untuk menguji kesungguhan mas Yandri. 

"Yakinlah neng, mas maunya dari awal juga ngasi jatah. Tapi gaji kemarin kan mepet. Memang bukan kewajiban mas, tapi ngga ada salahnya ngasih kan? Hitung-hitung tanda bakti," jawabnya. 

Aku terharu. Sungguh, kali ini aku melihat sisi lain dari mas Yandri. Aku sungguh-sungguh sangat terharu. 

"Mas tau ngga? Selama ini neng ngasi kok ke orang tua neng." 

Mas Yandri menatapku tidak percaya. "Masa sih? Uang dari mana?" 

Aku tergelak, "Ya uang dari mas dong. Kan neng minta nafkah setiap bulannya. Dan dari awal neng tegaskan, peruntukannya terserah neng mau buat apa. Nah sebagian neng kirim ke orang tua neng. Kan nafkah itu hak neng. Terserah neng 'kan?" 

Gantian aku melihat wajah mas Yandri yang melongo menatapku. 

"Oke, kalau gitu nanti setelah gajian, mas tambahin nafkah untuk neng. Kita atur sama-sama anggaran rumah tangga kita." Mas Yandri menutup pembicaraan setelah melihatku mengangguk. 

***

"Proses belajar dalam pernikahan memakan waktu seumur hidup. Bukan hanya satu pihak. Tapi kedua pihak. Kedua pihak belajar menjadi tim yang solid dengan menerima dan mengerti segala perbedaan dan kekurangan masing-masing." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status