Akhirnya Miya masak sendiri makanan untuk suaminya Alan sambil terus menggerutu. "Sialan Mira! Kenapa juga pintunya pakai di kunci segala. Ibu juga malah ikut-ikutan tidur, huh dasar orang-orang tak berguna!" gerutunya. Akhirnya setelah ia penuh perjuangan dalam menyelesaikan masakannya, akhirnya terhidanglah sebuah masakan yang menurutnya begitu sempurna. "Wah cantik juga telor ceploknya, dan mie rebus ini juga matang sempurna," Miya memandang masakannya dengan penuh kekaguman. Dengan senyum yang merekah, Miya memanggil suaminya untuk makan. "Sayang, ayo makan!" ajak Miya. "Sudah siap makanannya, sayang?" tanya Alan, ia merangkul bahu Miya penuh kasih sayang. "Sudah, mari kita turun. Nanti keburu dingin tidak enak!" ajak Miya. Alan dan Miya menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan, mereka terlihat begitu mesra. Bak sepasang kekasih yang baru saja jadian. Alan menarik kursi meja makan dan duduk, begitu pun dengan Miya, ia duduk di samping Alan. Miya menyendokan makanan
Mira pergi keluar rumah meninggalkan mereka yang sedang memperebutkan uang jatah harian. Mira mengendarai mobil mewahnya menembus padatnya jalanan kota Metropolitan.Mira menuju ke cafenya sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor pengacaranya. Ia ingin mengecek cafe miliknya."Pagi Bu," sapa para karyawan Cafe."Pagi," jawab Mira sambil tersenyum. Ia berusaha untuk profesional dengan tidak mencampur adukan urusan rumah tangganya dengan pekerjaan.Mira masuk ke dalam kantornya yang ada di lantai atas, ia meminta Jena untuk datang ke kantornya."Jena, nanti ke kantor!" perintah Mira pada gadis yang berkaca mata itu."Baik Bu," jawab Jena santun.Jena pun menyusul Mira naik ke atas dan mengetuk pintu kantor milik bosnya.Tok! ... Tok!"Masuk!" jawab Mira dari dalam kantornya."Permisi Bu," Jena menyodorkan sebuah map berwarna biru terang ke hadapan Mira.Lalu Mira pun memeriksanya. Di dalam map itu ada tertulis laporan bulanan dan bahan-bahan yang harus di beli. Dulu, pekerjaan itu ya
Mira tak percaya, ternyata ia di bawa ke sebuah rumah yang sudah ia kenal. Rumah yang baru menjadi temannya beberapa waktu lalu.Mobil laki-laki itu, memasuki halaman depan rumah yang begitu asri dengan banyak tanaman hias yang di tanam di sana."Ayo turun!" ajak Laki-laki itu.Mira turun dari mobil itu, ia mengikuti langkah kaki laki-laki yang memintanya untuk menjadi pacar palsunya."Masuk!" ajak laki-laki itu lagi."Duduklah! Aku akan memanggil Mama," ucap laki-laki itu. Dan Mira mematuhinya.Tak lama kemudian Laki-laki itu datang bersama dengan wanita baya yang masih nampak terlihat cantik meski kerutan di wajahnya sudah terlihat jelas.Sosok wanita yang sudah dikenalnya, ia adalah Bu Carolina yang pernah menolongnya saat Mira tengah terpuruk karena rasa sakit akibat melihat suaminya menikah lagi, dan parahnya lagi pernikahan itu di gelar di rumahnya sendiri.Mira tersenyum saat melihatnya, mata Bu Carolina memberi kode dengan mengedipkan sebelah matanya. Mira mengerti dengan kode
"Apa kata kalian?" tanya Carolina tak percaya saat dirinya disentak oleh putranya dan Mira."Mama!""Tante!"Ucap mereka secara serentak. Mereka mendekati Carolina berbarengan dan memohon maaf."Maafkan aku, Mah," mohon Valentino dengan wajah memelas."Maafkan aku juga, Tante," ucap Mira sembari memohon."Baiklah!" ucap Carolina sembari tersenyum.Carolina mengajak mereka berdua untuk duduk kembali ke sofa, "ayo minum tehnya!""Apa sih yang kalian ributkan, kelihatannya seru banget sampai pakai lempar-lemparan bantal segala?" tanya Carolina pada mereka berdua."Tidak ada!" ucap mereka secara serentak bersamaan."Duh kalian udah kompak banget ya! Andaikan ini sungguh terjadi, Mamah pasti bahagia sekali," ucap Carolina sembari menatap mereka bergantian lalu tertunduk sedih. "Apa maksud, Mama?" tanya Valentino tak mengerti."Sudahlah, hentikan sandiwara kita Valentino. Sebenarnya Mama kamu sudah tahu, kalau aku adalah istri orang," jawab Mira, ia menatap Valentino."Jadi, maksud kamu ...
"Hari sudah semakin sore, saya pamit Bu!" Mira memutuskan untuk pulang."Antar aku balik ke kantor, Mas!" Pinta Mira pada Valentino."Ayo!" Valentino berdiri, ia juga berpamitan pada Carolina untuk mengantar Mira kembali ke kantornya."Kantor? Kamu bekerja, Nak?" Carolina bertanya dengan lembut."Iya Bu, demi untuk menjaga kewarasan diri ini," jawab Mira sembari tersenyum kecut."Benar! Kamu jangan banyak berdiam diri di rumah. Jika tidak, maka kamu akan gila!" Carolina mengatakan hal yang membuat Mira tertawa."Ibu bisa saja. Mira tak semudah itu menjadi gila hanya karena mereka, rugi besar jika hal itu terjadi!" ucap Mira sembari terkekeh. Hanya di luar Mira bisa menjadi senang dan melupakan persoalan rumah tangganya."Ibu senang mendengarnya, Nak! Tetap semangat, masa depanmu masih panjang!" Carolina memberi motivasi pada Mira."Kalau begitu aku pamit! Nanti kena semprot bos kelamaan di luar," Mira berpamitan pada Carolina. Ia mencium punggung tangan yang sudah berumur itu takzim. C
Plak! Mira menampar balik Miya. Kini Mira tak peduli lagi dengan apa yang namanya nama baik. Di rumah ada wanita jalang, maka ia juga harus berlaku keras."Apa yang kamu lakukan, wanita jalang sialan!" maki Miya, rupanya ia lupa kalau dirinyalah yang jalang."Siapa yang kau panggil jalang? Aku? hahahah ... apa tak salah?!" Mira tertawa mengejek Miya. Ucapan yang Miya lontarkan membuat Mira tertawa geli."Heh, yang jalang tuh kamu, sendirinya jalang meneriaki orang jalang!" Mira kembali meledek Miya dengan mengatainya jalang."Kalau bukan jalang apa namanya ha! Malam-malam di saat orang terlelap tidur, kamu justru malah menggoda suami orang, dasar perempuan tak tahu diri!" Miya mengucapkan kata-kata yang pantasnya untuk dirinya sendiri."Hahahaha ..., benar-benar tak habis pikir. Aku kau sebut tak tahu diri karena telah menggoda suami orang! Kamu sendiri apa?! Datang ke rumah orang dengan tanpa malu merebut suami orang. Kamu pikir Alan itu siapa? Sebelum sama kamu, Alan adalah suamiku,
Mira merasa dirinya begitu bodoh karena sempat terbuai oleh bujuk rayu Alan. Meskipun Alan suaminya tetap saja, ia merasa dirinya telah melakukan sesutu yang menjijikan telah bersentuhan dengan laki-laki yang telah berselingkuh. Mira memutuskan untuk mandi dan membersihkan tubuhnya yang terasa lengket setelah seharian beraktifitas. Kini Mira merasa tubuhnya sudah segar kembali, ia merebahkan tubuhnya yang terasa letih dan lelah. Pikirannya mengembara di mana ia pertama kali mengenal Alan suaminya. Saat itu Alan yang baru ditinggalkan oleh Miya karena ditentang oleh keluarganya mengalami depresi, ia terluka parah secara fisik dan jiwanya. Mira dengan sabar mendampingi Alan yang terluka akibat dipukuli dan terkena luka tembak di pahanya. Setiap hari Mira mundar-mandir ke rumah sakit demi untuk menemani Alan dan menghiburnya. Bahkan Mira harus merelakan uang tabungannya demi untuk membayar biaya rumah sakit Alan. Tabungan yang ia kumpulkan sepeser demi sepeser, sedikit demi sedikit u
Sebuah petaka menimpa orang tua Alan, ibunya mengalami stroke ringan. Sebagai bentuk baktinya pada suami dan orang yang telah berjasa pada suaminya, Mira memutuskan untuk merawat ibunya Alan yang terkena stroke.Mereka memboyong dari desa ke tempat mereka di kota. Mira merawat ibunya Alan dengan sangat telaten. Meski kadang, caci dan makian kerap kali harus ia terima."Jadi menantu tak becus bekerja, lihat nih kakiku hampir melepuh karena air untuk berendamnya kepanasan, dasar mantu sialan!" maki ibunya Alan dengan suara yang sedikit tak terdengar kurang jelas."Maaf bu, tapi, tadi airnya sudah aku campur dengan air dingin kok!" ucap Mira membela diri saat dirinya dituduh oleh ibunya Alan."Kalau dibilangin jawab melulu, kualat kamu nanti!" Bu Prapty, ibunya Alan malah menyumpahi Mira.Mira lebih memilih diam, ia tak mau berdebat jadi ia mengganti air itu. Mira membawa air yang ada di baskom itu kehadapan Bu Prapty. Ia membantu ibu mertuanya untuk merendam kakinya.Setelah itu, Mira