7 tahun berselang,
"Serius lo mau pindah ke Jakarta, Mel?" itu respon dari Kak Elvin saat pertama kali mendengar kabar tentang kepindahanku ke ibu kota.
Aku sih hanya mengangguk sekilas tanpa menatap sepasang manik matanya yang mengerjap penasaran.
"Woo … ya jelas dong," jawabku sambil mengerling pada akhirnya.
"Alasannya?"
Ternyata perempuan cantik yang baru tiga minggu melahirkan ini tetap saja mengejarku dengan pertanyaan senada. Elvin Eleanor, atau yang biasa aku panggil Kak Vin, adalah salah satu penulis novel ternama yang beberapa bukunya meledak di pasaran. Enam dari delapan novel cetak karyanya aku yang menjadi editornya saat itu. Lambat laun kami jadi sangat dekat, apalagi setelah tahu kalau Kak Vin ini seniorku di kampus yang sama.
"Nggak usah pura-pura nggak tau alasannya deh, Kak," gurauku meninju pelan lengan atasnya.
"Bayu?"
Aku menaikkan kedua alisku bersamaan. Nama itu memang menjadi salah satu alasan kepindahanku ke Jakarta. Pria yang sempat aku sayangi sepenuh hati namun ternyata sangat tega membohongi dengan begitu keji. Makhluk bangsat memang!!
"Ada alasan lain sih sebenernya," seruku lagi lantas duduk di sebelah Kak Vin.
"Alasan apa?"
"Gue dapet promosi dong, jadi managing editor di kantor pusat Gayatri," sambungku sambil menaikturunkan alis bersamaan.
"Whooaah ngeri, ngeri, ngeri," respon Kak Vin berlebihan. "Tapi itu artinya elo bakalan pindah permanen dong di sana, jarang ketemuan lagi dong kita." Ibu dua anak itu langsung memeluk erat tubuhku dan manyun berlagak sedih.
"Diih, lebay. Ini cuma ke Jakarta kali, bukan ke Zimbabwe yang jauhnya nggak ngotak."
"Ya tetep aja, nggak bisa ketemu sering-sering kayak gini lagi," keluh Kak Vin lagi. Berlebihan sih, tapi ya memang seperti itu perangainya. Aku sudah hapal luar dalam sejak menjadi sahabatnya bertahun-tahun lalu.
"Kalau lagi liburan kan tetep bisa ketemu, Kak," sanggahku menepis kekhawatiran sahabat terbaikku ini.
“Terus nyokap lo?"
"Nyokap ya nggak gimana-gimana, tetap di sini sama Mbak Merry." Mbak Merry itu kakakku satu-satunya. Sudah berumah tangga dan sekarang sedang sibuk mengajar di salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya.
"Maksud gue, emang sekarang elo nggak dikekepin lagi sama Tante Nisa? dari dulu kan tante selalu berat ngelepas elo jauh-jauh setelah hampir jadi korban gempa yang dulu itu."
Mendengar kalimat panjang Kak Vin, sontak membuatku tergelak. Apalagi karena ia masih mengingat tentang kejadian dimana aku hampir menjadi korban bencana alam saat awal-awal menjadi jurnalis tujuh tahun silam. Masa-masa gemilang yang mengawali karirku saat ini di Gayatri Publishing, sekaligus masa yang ingin aku kubur dalam-dalam jika mengingat sekelumit romansa yang sempat membuat hatiku patah berkali-kali.
"Nggak lah, nyokap oke-oke aja kok. Gue udah bukan ABG labil lagi Kak, nggak akan bolak balik ke perantauan demi cowok lagi kayak jaman firaun dulu," sahutku masih tergelak. Sepertinya menertawakan diri sendiri memang bisa jadi obat mujarab untuk mengurangi patah hati.
"Nasib percintaan kita kayaknya nggak jauh-jauh amat ya ngenesnya, Mel." Kali ini Kak Vin terkekeh. Ibu mudah itu sampai meletakkan bayi kecilnya di kasur sebelahnya agar tak ikut terguncang setiap kali sang ibu tertawa. "Dulu gue terjebak lama sama Ervan sebelum Mas Rega datang berkali-kali dan bikin gue melek mata dan hati. Sedangkan elo ... susah banget move on dari Bang Fino, eh begitu ketemu sama Bayu ternyata lebih bangsat lagi perangainya."
Eehh... Bang Fino?
Kenapa nama itu kembali membuat dadaku berdesir?
Ckk, Kak Vin nggak lihat sikon banget deh, kembali nyebut tuh nama sakral.
"Sssttt ... mulut lo Kak, ada di dekat bayi malah ngomong bangsat-bangsat," decihku mengalihkan perhatian.
Kak Vin buru-buru menepuk bibir beberapa kali seolah baru tersadar dengan kalimat kasarnya. "Laah, mulut lo juga, asem lo emang!"
"Eh, tapi emang bener sih ya? nasib percintaan kita gak ada yang beres. Elo mah enak, sekarang udah ajeg, tenang, tentram, damai, harmonis plus romantis abis sama Mas Rega. Lah gue? punya mantan suami bangsat kuadrat amat cuma jadiin gue tambang emas!"
"Ya udah kalau mantan suami bangciat, balik aja ke si Abang cinta pertama lo itu?"
"Cinta pertama gue udah jadi suami orang kali." Bibirku mencebik masam. Tapi dalam hati aku sempat mempertanyakan bagaimana kabar pria si cinta pertamaku itu?
"Eh iya ya? jangan deh, jangan sampe tragedi kebegoan gue dulu terulang di elo, Mel." raut wajah Kak Vin berubah sedikit lebih serius. Aku yang sudah mengenal Kak Vin luar dalam, paham betul apa maksud kalimatnya. Beberapa tahun silam drama rumah tangganya memang mencengangkan dan membuatku ikut pusing karena menjadi saksinya. Beruntung, drama pilu itu sudah berakhir manis. Sebaliknya, sekarang aku yang baru saja memulai drama lainnya.
"Sayang, Barra udah tidur kan? Bagas haus nih?" suara familiar Mas Rega-- suami Kak Vin, membuat kami kompak menoleh ke arah pintu.
"Sudah Mas, sini gantian Bagas yang aku susuin." Kak Vin mengulurkan tangannya hendak menggendong bayi mungil dari tangan sang suami.
Informasi saja, Kak Vin ini baru saja melahirkan bayi kembar laki-laki. Bayi mungil yang tengah tertidur di sebelahnya bernama Barra. Sedangkan bayi mungil yang baru saja dibawa masuk Mas Rega bernama Bagas, kembarannya. Bukan itu saja, keluarga mereka juga lengkap dengan adanya putri sulung mereka yang bernama Malika. Melihat bagaimana bahagianya Kak Vin saat ini membuatku ikut merasa lega. Namun juga ada sejumput rasa iri menyayat hati karena kisahku berkebalikan dengan kebahagiaan keluarga Kak Vin.
"Meli senyam senyum terus dari tadi, pengen gendong juga ya?" pertanyaan Mas Rega memecah gelembung lamunku. Pria itu duduk di sebelah Kak Vin di sisi yang lain karena akan menggendong bayinya yang satu lagi.
"Pengen sih, tapi masih takut, Mas. Kecil banget itu bayinya."
Bayi kembar Kak Vin memang begitu tampan menggemaskan, namun jujur, aku masih takut jika harus menggendong salah satu di antara mereka. Tubuhnya sangat kecil, aku yang tak ada pengalaman dengan bayi baru lahir tentu saja khawatir jika nanti salah posisi dan mengakibatkan tulang mereka patah. Berlebihan mungkin, tapi memang itu yang aku takutkan.
"Ajaib kalau baru lahir langsung gede, Mel." Tiba-tiba jemari usil Kak Vin mencubit lenganku.
"Ya makanya, aku baru berani gendong mereka nanti aja kalau udah gedean dikit," kilahku sambil mencebik kesal padanya.
"Belajar, Mel. Nanti kalau udah punya bayi sendiri biar semakin luwes," ujar Kak Vin memasang senyum lebar.
"Hadeeeh, calon bapaknya aja belum ada hilal, Kak. Gimana bisa bikin bayi? ngadi-ngadi lo ya!"
"Ya ... kali aja nanti di Jakarta dapet cowok oke yang nggak bangciat lagi, Mel."
"Loh, Meli mau pindah ke Jakarta?" Mas Rega menoleh cepat ke arahku. Alis tebalnya terangkat satu, membuat wajah tampannya terlihat lucu saat penasaran seperti ini.
"Yoi, Mas. Makanya aku ke sini nengokin baby sekalian mau pamitan sama kalian berdua."
"Pindah kerja?" imbuh suami Kak Vin itu lagi.
"Masih di Gayatri, cuma dipindah ke kantor pusatnya aja," jelasku membuatnya manggut-manggut.
"Naik jabatan dia, Mas. Makanya langsung sikat aja pas diminta pindah ke ibu kota. Eeh... sekalian ngelupain Bayu sih katanya," sambung Kak Vin memperjelas.
"Eeh, sorry ya, gue udah lupain si Bayu kok. Laki modelan berang-berang gitu mah gampang lupainnya," selaku cepat-cepat.
Seperti aku yang mengikuti perjalanan cinta Kak Vin dan Mas Rega, seperti itu pula mereka berdua paham dengan kisahku dan Bayu di masa lalu. Jadi tanpa sungkan aku bebas mencemooh mantan tak tahu aturan itu di depan mereka.
"Halah... sok ngatain berang-berang, tapi pernah cinta juga," goda Kak Vin sambil terkikik. Ternyata meskipun sudah menjadi ibu tak menyurutkan sifatnya yang suka mencibirku.
"Sekarang udah nggak bersisa, Kak. Gue mah gampang move on kalau berhadapan sama cowok karbitan kayak dia. Sial aja dulu cepat percaya sama tuh mulut comberan."
Bayu memang baik saat kami pertama kali kenal dan menjalin kedekatan. Kenapa aku bilang sial? karena aku terlalu percaya di awal, tapi kebusukannya baru terbongkar setelah kami menikah beberapa bulan. Sial kuadrat kan?
"Berarti kalau sama si abang yang satunya gak gampang move on ya?"
"Abang siapa? yang di Medan itu bukan?" Mas Rega ikut menimpali. Bapak-bapak masa kini ternyata kepo juga ya?
"Sstt ... nggak usah bahas dia lagi deh, kalau jantung gue kembali bergetar kalian mau tanggung jawab?" protesku membuat sepasang suami istri itu tergelak bersamaan. Dasar kampretlah mereka ini, kompak banget kalau soal merundung sahabatnya sendiri.
"Kalau elo masih jengkel dan ketar-ketir sama dia, berarti elo belum move on dari tuh cinta pertama lo, Meli!!"
Aku melengos enggan menjawab. Karena kalau boleh jujur, seorang Arfino Hesta memang tak pernah pergi dari sudut hatiku. Pria jangkung itu seolah punya tempat tersendiri yang tak akan terganti oleh pria manapun. Sekarang hingga selamanya.
"Iya kan?" lanjut Kak Vin lantas menaikturunkan kedua alisnya usil.
Aakhhh ... Kak Vin asemm!!
Jengkelin banget hari ini malah bahas si Bang Pinpin lagi. Kan sama saja seperti mengorek cinta lama yang terpaksa berpisah karena tak mendapat restu semesta!
***
Sial, sial, sial..!!Bukan aku mendadak terngiang-ngiang lagu populer yang dibawakan penyanyi cantik Mahalini. Bukan. Namun, ini karena aku baru menyadari perasaanku pada Bang Fino tak pernah usai bahkan hingga bertahun lamanya kami terpisah.Terbelenggu pada perasaan yang sama selama bertahun-tahun ternyata sangat menyiksa dan semenyesakkan ini ya? Sekuat apapun aku mencoba menyangkal, kenapa semua rasa tetap tertuju pada satu nama itu. Ckk, lagi-lagi sial kan?! Padahal beberapa kali aku pernah menjalin kedekatan dengan pria berbeda sejak kenyataan pahit yang aku dapatkan dari kisah kami berdua. Aku dan Bang Pino maksudnya. Kalau dia, entah bagaimana kelanjutan hidupnya, yang aku tahu hanya ... Bang Pino mengingkari janjinya padaku sejak ia menikahi perempuan lain. Selebihnya, aku memilih tak tahu dari pada harus mengulang perihnya luka karena terbakar cemburu.Dan ini semua karena obrolan dengan Kak Vin dan Mas Rega beberapa hari lalu. Pasangan itu sengaja menyebut nama Bang Fino di
Badanku rasanya mau remuk, pun demikian dengan tulang-tulangku yang terasa lunglai. Aku baru selesai merapikan apartment sekitar pukul tujuh malam, yang artinya aku berjibaku dengan barang-barang dan kamar baruku sekitar empat jam lamanya. Mulai dari menata buku-buku di rak yang ada di dalam kamar, menyusun baju-baju ke dalam lemari, merapikan koper kosong, memasang sprei, memasang humidifier dengan aroma favoritku, aah … pokoknya banyak yang aku kerjakan. Jadi pantas saja kalau sekarang perutku meronta karena lapar, tampang kumal, satu-satunya yang kupikirkan saat ini hanya tempat tidur dan bantal-bantal empuk yang melambai-lambai. Mama sengaja tak kuijinkan ikut serta dalam kegiatan menata ulang tempat tinggal baruku ini. Beliau sudah pasti kelelahan selama perjalanan Surabaya Jakarta, jadi biarlah tugas ini itu aku saja yang melakukannya. Karena bosan hanya duduk diam, mama akhirnya memutuskan untuk belanja persediaan bahan makanan di supermarket yang ada di sebelah apartment. Mama
"Mel, kita-kita udah tahu kali kalau lo dapet promosi, gantiin Mbak Yuni, kan?" sambut Anin ketika aku berangkat kerja hari ini. "Hmm," aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Kata Mbak Ajeng?" Aku balik bertanya. "Iyalah, Mbak Ajeng koar-koar kalau lo bakalan dipindah ke pusat. Gue sih udah curiga aja kalau elo bakalan gantiin posisi Mbak Yuni." Nathan ikut berkomentar. "Rumor says it, bener tebakan gue?" Anin kembali memicingkan mata menatapku. "Ya ... kan, rejeki nggak boleh ditolak bestie, pamali," akuku sembari mengulum senyum. "Tuuh kan bener," ujar Nathan spontan menepuk lengan Anin hingga gadis itu mendelik. "Berengsek! sakit Nath!" "Ehh, sorry, sorry kelepasan. Saking happy-nya ini gue, karena Mbak Yuni digantiin sama Meli," kelakar Nathan bertepuk tangan. "Setidaknya gue bisa bernapas lega karena bisa lepas dari keruwetan ibu yang satu itu." "Ya, kalau Mbak Yuni resign karena ikut suaminya, kan emang harus ada yang gantiin posisinya, Nath, Nin." Aku t
Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini. “Mel, makan siang yuk,” seru Anin sudah membuka pintu ruanganku. “Duluan deh, gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino. Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri. “Gue tungguin di meja gue deh, ya? ma
Ini benar-benar mau gila. Padahal tadi siang hanya hitungan menit saja aku bertatap muka dengan pria itu. Tapi kenapa efeknya sampai segitunya sih? Sekarang sudah hampir tengah malam, dan mataku masih terbuka lebar, padahal hampir seluruh dunia tahu kalau aku paling anti begadang. Bahkan biasanya jam sembilan atau sepuluh malam aku sudah berkelana di alam mimpi.Namun nyatanya? malam ini rasa kantuk tak juga berhasil membawa anganku pergi. Kilasan demi kilasan ingatan pada kejadian tujuh tahun lalu kembali menghampiri. Bagaimana bisa aku tak mengenali Bu Nadia sebagai istri seorang Arfino Hesta, pria menawan yang membuat duniaku jungkir balik karena terlalu memujanya. Aah ... tapi bisa saja, karena memang waktu itu aku tak fokus pada wajah si mempelai wanita. Saat itu, tatapan sedihku hanya terpaku pada sosok si pria yang nampak terkejut dengan kehadiranku yang mendatangi pestanya. Apalagi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat, karena tak sampai tiga puluh menit mendadak saja
"Kok Bu Nad, nyetir sendiri ya?" tanyaku begitu selesai memasang sabuk pengaman di depan tubuh.Aku bertanya hal demikian karena tak jauh dari mobil Anin aku melihat Bu Nadia masuk ke mobilnya dan langsung melaju begitu saja. Sore ini aku memang sengaja pulang menumpang mobil Anin karena katanya, gadis ini sedang butuh teman bicara melepas penat akibat pertengkarannya dengan sang kekasih. Ia tak bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan leluasa jika bersama Nathan, karena itu Anin sedikit memaksaku untuk menjadi pendengarnya. Diih, korban bucin ternyata bisa berantem juga."Laah, emang biasanya gitu," jawab Anin santai. Gadis berambut cokelat terang itu mulai mengarahkan mobilnya mengantre untuk keluar area parkir.“Bukannya diantar jemput sama suaminya ya?"Sejak obrolan di acara makan siang tadi, aku jadi sedikit penasaran dengan kehidupan rumah tangga antara Bang Fino dan Bu Nadia. Memang dasar akunya yang bodoh luar dalam kan? menanyakan hal seperti ini memang berpotensi mengoyak hat
"Selalu ada rasa yang tak tuntas jika itu tentang dia," gumamku lirih saat membaca sepenggal kalimat dalam naskah terjemahan yang pagi ini masuk ke emailku untuk final check. Kenapa kalimat itu seolah menyindirku ya, atau aku saja yang terlalu sensitif belakangan ini. Jujur saja, satu minggu pertama bekerja di kantor pusat membuat jantungku sedikit tak sehat. Bagaimna tidak, aku dan Bang Fino seolah berbagi peran menjadi Tom and Jerry yang hobby main petak umpet. Pokoknya apapun akan kulakukan demi tak bertemu dengan lelaki yang sampai detik ini masih membuat hatiku berdebar menyedihkan. Sepertinya pernyataan Anin yang menyebutkan bahwa suami boss kami itu jarang muncul di kantor tak berlaku lagi. Karena belum ada setengah jam yang lalu pria jangkung itu mondar mandir di depan ruang kerjaku. "Mel, makan!" pekik suara Nathan jelas terdengar saat ia membuka pintu kaca di ruang makan kerjaku. "Gue lagi ngejar deadline, Nath. Satu jam lagi gue kirim ke bagian printing," dustaku sambil
"Elo kok jadi diem mulu dari tadi, Mel?" Nathan menoleh sesekali ke arahku ketika kami sedang dalam perjalanan pulang. Nathan yang menawarkan tumpangan karena Anin hari ini dijemput sang kekasih tercinta. Aku hanya berdeham singkat merespon pertanyaannya. "Gue ada salah ngomong ya?" "Pikir aja sendiri!" semburku menahan kesal. Jalanan di depan kami masih sangat padat merayap. Padahal aku sengaja mengambil lembur beberapa jam, dengan harapan jalanan bisa sedikit lengang. Namun ternyata prediksiku salah besar, ibu kota dan jalanan macetnya tak pernah lekang dimakan waktu. "Hah?" Nathan menautkan alisnya saat kembali menoleh ke arahku. "Makan malam dulu deh, sumpek gue liat macet. Tapi lebih sumpek lagi kalau ada temen gue ngambek!" Nathan dan kepekaannya memang juara. Apalagi dia masih mengingat kebiasaan ngambekku yang selalu bisa diredakan dengan makanan lezat. Buktinya sekarang, pria itu malah membelokkan arah mobilnya ke salah satu mall dan menarik lenganku menuju restoran Jepang