“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka
Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S
Arfino Hesta namanya, aku biasa memanggilnya Bang Pino, alih-alih Fino seperti yang lain memanggilnya. Iya sih aku baru mengenalnya hampir satu tahun belakangan. Belum terbilang lama. Entah kenapa, aku nyaman ketika berdekatan dengan pria jangkung ini. Senyumnya, tatapan hangatnya, suara ramahnya, tutur katanya, sopan santunnya. Semuanya.Kalau kata Kak Rika aku sedang terserang sindrom cinta pertama. Maka dari itu semua hal yang ada pada Bang Pino selalu aku puja tanpa secuil cela. Entahlah, aku memang masih awam soal cinta, jadi aku iyakan saja pendapat dari Kak Rika.Aku dan Bang Pino memang berjanji akan bertemu malam ini. Malam terakhir dimana aku bisa menemui pria itu sebelum esok siang aku harus terbang puluhan kilometer untuk kembali ke kota kelahiranku di Jawa Timur. Malam ini malam terakhir, di mana aku bisa menyimpan semua moment kebersamaan kami selama hampir satu tahun saling mengenal, merasa nyaman dan hampir terlena dengan sejuta angan akan masa depan."Hai, Lisa," sapa
7 tahun berselang,"Serius lo mau pindah ke Jakarta, Mel?" itu respon dari Kak Elvin saat pertama kali mendengar kabar tentang kepindahanku ke ibu kota.Aku sih hanya mengangguk sekilas tanpa menatap sepasang manik matanya yang mengerjap penasaran."Woo … ya jelas dong," jawabku sambil mengerling pada akhirnya."Alasannya?"Ternyata perempuan cantik yang baru tiga minggu melahirkan ini tetap saja mengejarku dengan pertanyaan senada. Elvin Eleanor, atau yang biasa aku panggil Kak Vin, adalah salah satu penulis novel ternama yang beberapa bukunya meledak di pasaran. Enam dari delapan novel cetak karyanya aku yang menjadi editornya saat itu. Lambat laun kami jadi sangat dekat, apalagi setelah tahu kalau Kak Vin ini seniorku di kampus yang sama."Nggak usah pura-pura nggak tau alasannya deh, Kak," gurauku meninju pelan lengan atasnya."Bayu?"Aku menaikkan kedua alisku bersamaan. Nama itu memang menjadi salah satu alasan kepindahanku ke Jakarta. Pria yang sempat aku sayangi sepenuh hati n
Sial, sial, sial..!!Bukan aku mendadak terngiang-ngiang lagu populer yang dibawakan penyanyi cantik Mahalini. Bukan. Namun, ini karena aku baru menyadari perasaanku pada Bang Fino tak pernah usai bahkan hingga bertahun lamanya kami terpisah.Terbelenggu pada perasaan yang sama selama bertahun-tahun ternyata sangat menyiksa dan semenyesakkan ini ya? Sekuat apapun aku mencoba menyangkal, kenapa semua rasa tetap tertuju pada satu nama itu. Ckk, lagi-lagi sial kan?! Padahal beberapa kali aku pernah menjalin kedekatan dengan pria berbeda sejak kenyataan pahit yang aku dapatkan dari kisah kami berdua. Aku dan Bang Pino maksudnya. Kalau dia, entah bagaimana kelanjutan hidupnya, yang aku tahu hanya ... Bang Pino mengingkari janjinya padaku sejak ia menikahi perempuan lain. Selebihnya, aku memilih tak tahu dari pada harus mengulang perihnya luka karena terbakar cemburu.Dan ini semua karena obrolan dengan Kak Vin dan Mas Rega beberapa hari lalu. Pasangan itu sengaja menyebut nama Bang Fino di
Badanku rasanya mau remuk, pun demikian dengan tulang-tulangku yang terasa lunglai. Aku baru selesai merapikan apartment sekitar pukul tujuh malam, yang artinya aku berjibaku dengan barang-barang dan kamar baruku sekitar empat jam lamanya. Mulai dari menata buku-buku di rak yang ada di dalam kamar, menyusun baju-baju ke dalam lemari, merapikan koper kosong, memasang sprei, memasang humidifier dengan aroma favoritku, aah … pokoknya banyak yang aku kerjakan. Jadi pantas saja kalau sekarang perutku meronta karena lapar, tampang kumal, satu-satunya yang kupikirkan saat ini hanya tempat tidur dan bantal-bantal empuk yang melambai-lambai. Mama sengaja tak kuijinkan ikut serta dalam kegiatan menata ulang tempat tinggal baruku ini. Beliau sudah pasti kelelahan selama perjalanan Surabaya Jakarta, jadi biarlah tugas ini itu aku saja yang melakukannya. Karena bosan hanya duduk diam, mama akhirnya memutuskan untuk belanja persediaan bahan makanan di supermarket yang ada di sebelah apartment. Mama
"Mel, kita-kita udah tahu kali kalau lo dapet promosi, gantiin Mbak Yuni, kan?" sambut Anin ketika aku berangkat kerja hari ini. "Hmm," aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Kata Mbak Ajeng?" Aku balik bertanya. "Iyalah, Mbak Ajeng koar-koar kalau lo bakalan dipindah ke pusat. Gue sih udah curiga aja kalau elo bakalan gantiin posisi Mbak Yuni." Nathan ikut berkomentar. "Rumor says it, bener tebakan gue?" Anin kembali memicingkan mata menatapku. "Ya ... kan, rejeki nggak boleh ditolak bestie, pamali," akuku sembari mengulum senyum. "Tuuh kan bener," ujar Nathan spontan menepuk lengan Anin hingga gadis itu mendelik. "Berengsek! sakit Nath!" "Ehh, sorry, sorry kelepasan. Saking happy-nya ini gue, karena Mbak Yuni digantiin sama Meli," kelakar Nathan bertepuk tangan. "Setidaknya gue bisa bernapas lega karena bisa lepas dari keruwetan ibu yang satu itu." "Ya, kalau Mbak Yuni resign karena ikut suaminya, kan emang harus ada yang gantiin posisinya, Nath, Nin." Aku t
Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini. “Mel, makan siang yuk,” seru Anin sudah membuka pintu ruanganku. “Duluan deh, gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino. Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri. “Gue tungguin di meja gue deh, ya? ma