Suasana di meja makan sebenarnya tidak secanggung yang dipikirkan oleh Merry. Ashton, Cathy dan Dawn asyik berbincang-bincang. Tentu saja mereka membicarakan masalah kampus. "Kamu kuliah di Aussie? Di mana?" tanya Ashton dengan antusias. "Di Monash. Oh iya, kalau Kak Liam kuliah di mana?" tanya Dawn balik. Tentu saja dia merasa antusias karena akhirnya bertemu dengan pria yang selama ini hanya diceritakan oleh Merry. Matanya bahkan tidak lepas dari meneliti wajah Liam. "Liam lulusan Stanford," balas Ashton entah kenapa malah dia yang menjawab. Ah, tentu saja itu karena Liam paling malas yang namanya berbasa-basi dan Ashton memahami hal itu. "Wah, keren banget lulusan Stanford," puji Cathy dengan tulus. Untuk membuat Cathy kagum memang bukan dari ketampanan wajah, melainkan dari pendidikan dan karir yang cemerlang. Walaupun dipuji oleh Cathy, wajah Liam tetap saja datar tanpa ekspresi. Namun dengan sopan, dia membalas pujian itu. "Terima kasih," ucapnya singkat tanpa senyum
Merry duduk dengan canggung di dalam bioskop. Ternyata hukuman yang diberikan Liam mengharuskan Merry duduk di sebelah pria itu. Sehingga Ashton duduk bersama Cathy, Dawn dan Benny sebagai gantinya. Posisi kursi yang mereka dapat memang tidak di depan, melainkan empat baris dari belakang namun benar-benar di area pojok kiri studio. Merry tidak pernah ada masalah duduk di manapun di dalam bioskop, tapi tidak kali ini. Rasanya Merry ingin pindah tempat duduk atau keluar studio saja sekalian. Masalahnya, mau berpura-pura seperti apapun, dia tidak bisa menghilangkan rasa jengah seperti sedang diperhatikan dari sebelah kirinya. Karena posisi mereka di bagian kiri studio, Merry harus sedikit serong ke kanan untuk melihat layar, dan posisi itu membuatnya sedikit memunggungi orang yang duduk di sebelah kirinya, yaitu Liam. Entah bagaimana, dia mendapat firasat kalau bosnya itu pasti sedang menatap dirinya. Ah, mungkin dia terlalu percaya diri mengenai hal itu. Namun dia tidak bisa menepis pe
Pukul sebelas, mereka semua berjalan keluar dari bioskop. Benny sibuk berceloteh membahas film yang baru saja mereka tonton. Dawn dan Cathy pun berbaik hati menyimak antusiasme anak lelaki itu. Sedangkan Ashton sibuk memperhatikan dua orang berwajah muram yang berjalan di sebelah mereka.“Oke, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kalian bertengkar di dalam bioskop?” tanya Ashton kesal tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya.“Kami tidak mungkin bertengkar,” jawab Merry cepat menggelengkan kepalanya. Ya, mana mungkin dia berantem sama bos di kantornya? Dia masih memerlukan pekerjaan itu.Benny, Cathy dan Dawn pun langsung tertarik dan ikut menoleh ke arah mereka bertiga.“Lalu kenapa wajah kalian berdua seperti itu?” tanya Ashton lagi.Benny, Cathy dan Dawn menatap wajah Merry lalu Liam. Merry terlihat jelas sedang panik, sedangkan Liam tidak merasa perlu bersusah payah menjelaskan apapun, wajahnya datar tanpa ekspresi sama sekali.“Apakah kalian berdua tertidur di dalam sana?” tanya
Wanita itu terkejut mendengar bentakan Liam, dia langsung bangkit dari kursi dan berjalan mendekat. "Stop!" teriak Liam. "Keluar dari kamarku!" "Liam, papamu menelepon dan ingin berbicara denganmu. Mas Landon bilang kau selalu menolak telepon darinya," ucapnya. "Hanya itu? Kau menerobos masuk kamarku dengan lancang hanya untuk menyampaikan hal itu? Apa bukan karena ada hal lain yang kau inginkan?" "Tidak ada hal lainnya." "Kalau begitu lekas keluar! Kau sangat bau alkohol!" "Kenapa kau sombong sekali sih? Kenapa kau nggak pernah bersikap baik padaku? Apa salahku padamu?" "Kau masih perlu bertanya apa kesalahanmu? Apa kau akan tetap berada di dalam kamar ini sebelum kau mendapatkan apa yang kau inginkan?" "Aku hanya ingin dekat denganmu!" teriak perempuan itu sempoyongan berjalan semakin mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh tubuh Liam. Liam merasa jijik dan tidak sudi disentuh olehnya, dia pun langsung menepisnya dan beranjak menuju telepon di meja nakas. Dia menelepon
"Lo deket sama bos lo?" tanya Bianca. Merry terbatuk karena tersedak makanannya. Dia lekas meneguk minuman teh hijau dingin untuk menghentikan batuknya. Merry sama sekali tidak menyangka kalau Bianca akan mengucapkan kalimat itu. "Bagaimana mungkin gue dekat sama Pak Liam," jawab Merry akhirnya. Bianca manggut-manggut, terlihat bisa menerima jawaban Merry. "Iya, sih, Liam emang sulit buat dideketin. Ah, gue pikir bakalan bisa mendapatkan kelemahan dia!" gumamnya. "Apa, Bi?" tanya Merry seolah ingin memastikan kalau dia tidak salah dengar, "Lo kenal sama Pak Liam?" Bianca mengangguk, "Bisa dibilang kami sebenarnya punya story. Tapi dia memang sulit untuk dideketin kan?" "Ng, gue nggak paham sih, arah pembicaraan lo apa, karena ya ... gue nggak ada niat buat ngedetin Pak Liam juga. Cuma yang pasti, Pak Liam itu ... super nyebelin dan bossy!" Bianca tertawa mendengar keluhan Merry. "Dia di kantor memangnya bos yang seperti apa?" koreknya. "Nggak pernah tersenyum, tukang nyuruh, n
Selesai membuat kopi, Merry lekas kembali ke mejanya. Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja. Dia menarik napas panjang saat duduk di kursinya. Kemudian dia mulai menyalakan komputer untuk mulai bekerja. Tiba-tiba, konsentrasinya kembali dipecahkan oleh bunyi telepon genggamnya. Saat Merry melirik, ternyata telepon dari Pak Liam. Merry pun lekas mengangkatnya. "Ya, Pak?" sahut Merry. "Kenapa kau baru mengangkat telepon?" tanya suara di seberang telepon terdengar marah. "A ... maaf, tadi saya sedang ke pantry dan tidak membawa handphone, Pak. Kenapa, Pak?" tanya Merry merasa khawatir karena dia sudah melakukan kesalahan dan entah hukuman apa yang akan diberikan Liam padanya. "Ke ruangan saya sekarang!" "Sekarang? Sekarang, Pak?" "Iya, sekarang, masa besok!" "Ba-baik, Pak!" Merry menutup teleponnya. Dia merapikan rambut dan pakaiannya sebelum masuk ke dalam ruangan Liam. Tidak lupa dia membawa tablet untuk mencatat semua pekerjaan yang mungkin diberikan Liam padanya. Merry
Merry memakai kesempatan pergi ke toilet untuk memeriksa ponselnya dan membalas pesan-pesan yang masuk. Ada banyak pesan yang masuk, terutama dari Benny yang berisik meminta makan siang. Merry memang tidak memberikannya uang sebelum dia berangkat tadi pagi. Dia sama sekali lupa kalau ada Benny di apartemennya. Lagipula anak laki-laki itu belum bangun saat dia hendak berangkat. Merry akhirnya membelikannya makanan secara daring. Selain Benny, Dawn mengirimkannya beberapa pesan yang tidak penting, hanya mengeluh kalau dia merasa bosan tidak memiliki pekerjaan tetap. Merry : Cari kerja lah! Dawn : Sudah! Tapi nggak ada yang cocok jam kerjanya. Merry : Emangnya lo mau yang kayak gimana jam kerjanya sih? Jam kerja sama semua bukan? Dawn : Gue cuma mau kerja dari jam 10 sampai jam tiga sore. Merry : Nggak ada kerjaan semacam itu, Markonah -___- Dah lah, lo nggak usah cari kerja. Warisan lo kan banyak. Dawn : Ya, bosen gilak kali nggak ada yang bisa gue kerjain. Merry : Bikin konten
Saat Merry kembali ke ruang rapat, acara pertemuan sudah hampir selesai. Dilihatnya Liam sedang bersalaman dengan Bu Dira. Wajah Bu Dira terlihat berseri-seri dan bahagia. Namun yang paling disadari oleh Merry, Bu Dira menatap Liam dengan tatapan yang sangat diketahui oleh Merry. Tatapan yang hanya dilontarkan oleh seorang gadis yang sedang menyukai seorang laki-laki. Merry meletakkan kopi tersebut di atas meja. Bu Susan melihat kehadirannya dan langsung berjalan menghampirinya. "Maaf, Bu Dira, kopinya baru sampai. Kalau tidak keberatan, silakan dibawa untuk perjalanan pulang," ucap Bu Susan. "Ah ya, tentu saja. Terima kasih banyak," jawab Bu Dira tersenyum tipis. Salah satu asisten dengan sigap menerima ketiga kopi tersebut. Tak lama, ketiga tamu itu pun pergi meninggalkan ruangan rapat menuju lift dengan diantarkan oleh Bu Susan. Sementara Liam tetap berada di ruang rapat sambil menghela napasnya. "Ini kopi untuk bapak," ucap Merry meletakkan kopi khusus untuk Liam, Ice American