Share

Bab 5 Uang Beras

"Kamu belum tidur Mas?" tanyaku.

Mas Ardan seolah terkejut saat tiba-tiba aku bertanya. Ia segera menyumputkan ponselnya.

"Eh, kok kamu belum tidur? Emm ... ini balas chat teman untuk meeting besok. Tau sendiri pekerjaan sekarang ini sangat banyak," kilahnya.

"Kenapa panik begitu? Kau tidak sedang berbohong bukan?"

"Panik? Ee ... enggak. Aku hanya terkejut, aku pikir kamu tidur. Jangan nuduh-nuduh yang tidak-tidaklah Han!"

"Aku tidak menuduh Mas, sebaiknya kamu istirahat Mas, ini sudah malam. Kau bisa bicarakan besok lagi bersama temannmu!" Aku mebalikkan tubuhku membelakanginya.

Entah kenapa aku tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan suamiku, ada yang menganjal direlung hatiku. Astaga, semoga saja suamiku masih bisa menjaga kepercayaan dan keutuhan rumah tangga kami.

Pagi harinya seperti biasa aku melakukan aktivitasku dengan berkutat di dapur, anak-anak lambat kaun mulai mandiri. Mereka dapat menyiapkan keperluan mereka sendiri untuk kesekolahan.

"Sayang sarapan dulu, baru nanti berngkat sekolah bareng Ayah."

Amara memang berangkat selalu berbarengan dengan ayahnya sedang Adnan masih Tk masuknya lebih siang, terpaksa aku yang mengantarkannya karena tidak tega jika dia berangkat pagi-pagi dan belum ada temannya di sekolahan.

"Bun, apa tidak sebaiknya aku di antar Bunda saja?" bisik Amara pelan.

"Lho kenapa Nak?" tanyaku.

Amara seolah melihat sekeliling takut seseorang mengawasi dirinya.

"Sering telat Bun, karena Ayah selalu mengajak tante Siska di mobilnya."

Deg

Hatiku mendadak nyeri, mungkinkah ini jawaban dari kecurigaanku semalam.

"Siska siapa Nak?" tanyaku kepada Amara.

"Yang rumahnya di deket gang depan."

"Sudah Nak, kamu sekarang sarapan dulu biar nanti Bunda bilang ke Ayah agar tidak telat."

Aku akan menanyakan hal ini kepada Mas Ardan. Tak bisa jika aku harus menunggu, aku harus tau sekarang juga!

"Mas, memangnya kamu selalu janjian dengan Siska?"

Mas Ardan terperangah bahkan dasi di bajunya sampai mengikat lehernya terlalu kencang saat ia terkejut oleh pertayaanku.

"Uhuk ... uhuk! Kau mengejutkanku, hampir saja dasi ini menyekikku." Ia menarik kembali dasinya dan membenahkannya.

"Apa yang aku tanyakan itu benar Mas? Kau janjian dan berangkat dengan Siska?"

Huh

Mas Ardan menghela nafasnya pelan, kini ia meraih jemariku.

"Sayang, kau tau dari mana? Amara? Begini ya, Siska rumahnya di ujung gang dan pekerjaannya tak jauh dari kantorku aku mengajaknya berbarengan karena hal itu, itu saja. Toh di mobil tidak hanya aku dan dia, ada Amara di sana."

Dia pikir aku tidak mengerti. "Iya, tapi setelah kau menurunkan Amara di sekolahan tentu ada kesempatan kalian berdua bukan?"

Lagi-lagi suamiku menghela nafasnya.

Aku tidak macam-macam Han, tolong percaya. Aku hanya menurunkan di depan tempat kerjanya dan langsung ke tempat kerjaku. Itu saja, kenapa sekarang kau mudah curiga? Mana Hana yang dulu yang aku kenal yang selalu percaya dengan suami?" ujar Mas Ardan.

"Bukan aku tidak mau percaya denganmu Mas, tapi aku hanya tidak ingin ada kebohongan! Hidup kita sekarang sudah susah, tidak seperti dulu bukan?"

"Aku tidak bohong Sayang," Sahut Mas Ardan sembari mengecup keningku.

Entah kenapa, hanya begitu saja aku luluh. Perlakuan lembutnya membuatku terlupa dengan emosiku.

"Oh, ya Mas. Aku minta uang ya, beras untuk besok sudah habis."

"Lho, bukannya seminggu ini kamu sudah bekerja jadi tukang cuci? Kamu ada uang 'kan Han, pakai dululah uangmu. Uang Mas, mepet untuk beli bensin ini nanti."

Selalu begitu ucapan Mas Ardan sekarang, saat tau aku bekerja jadi buruh cuci di tempat tetangga. Awalnya Mas Ardan menolak, ia tidak ingin aku buruh cuci. Tapi hasilnya lumayan untuk menutup kekurangan pengeluaran di dapur. Lumayan untuk membelikan si mertua lauk agar tidak bernyanyi sepanjang hari. Maka tetap aku jalani hal ini, meski menurutku ini pekerjaan berat. Toh sekarang Adnan sudah besar dan sudah sekolah TK.

"Tapi Mas, bulan kemarin pun sudah pakai uangku, kamu belum memberikan kepadaku bukan? Kalau begitu, biar aku kembali bekerja di kantor Mas! Aku tidak mau jadi buruh cuci lagi!"

Sebenarnya menjadi buruh cuci bukan kemauanku hanya saja tidak ada pilihan untukku bekerja kantoran tak mendapat izin suami mau jualan pun modal tidak di berikan.

"Apaan sih kamu, kalau kamu kerja kantoran pulangnya bisa malam siapa yang urus rumah dan anak-anak. Kalau buruh cuci bisa sesempetnya kamu saja. Dan  tentu kamu bisa menjaga anak-anak," ujarnya lagi.

Dengan wajah cemberut akhirya Mas Ardan mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu.

"Ini, untuk beri beras!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status