"Kamu belum tidur Mas?" tanyaku.
Mas Ardan seolah terkejut saat tiba-tiba aku bertanya. Ia segera menyumputkan ponselnya.
"Eh, kok kamu belum tidur? Emm ... ini balas chat teman untuk meeting besok. Tau sendiri pekerjaan sekarang ini sangat banyak," kilahnya.
"Kenapa panik begitu? Kau tidak sedang berbohong bukan?"
"Panik? Ee ... enggak. Aku hanya terkejut, aku pikir kamu tidur. Jangan nuduh-nuduh yang tidak-tidaklah Han!"
"Aku tidak menuduh Mas, sebaiknya kamu istirahat Mas, ini sudah malam. Kau bisa bicarakan besok lagi bersama temannmu!" Aku mebalikkan tubuhku membelakanginya.
Entah kenapa aku tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan suamiku, ada yang menganjal direlung hatiku. Astaga, semoga saja suamiku masih bisa menjaga kepercayaan dan keutuhan rumah tangga kami.
Pagi harinya seperti biasa aku melakukan aktivitasku dengan berkutat di dapur, anak-anak lambat kaun mulai mandiri. Mereka dapat menyiapkan keperluan mereka sendiri untuk kesekolahan.
"Sayang sarapan dulu, baru nanti berngkat sekolah bareng Ayah."
Amara memang berangkat selalu berbarengan dengan ayahnya sedang Adnan masih Tk masuknya lebih siang, terpaksa aku yang mengantarkannya karena tidak tega jika dia berangkat pagi-pagi dan belum ada temannya di sekolahan.
"Bun, apa tidak sebaiknya aku di antar Bunda saja?" bisik Amara pelan.
"Lho kenapa Nak?" tanyaku.
Amara seolah melihat sekeliling takut seseorang mengawasi dirinya.
"Sering telat Bun, karena Ayah selalu mengajak tante Siska di mobilnya."
Deg
Hatiku mendadak nyeri, mungkinkah ini jawaban dari kecurigaanku semalam.
"Siska siapa Nak?" tanyaku kepada Amara.
"Yang rumahnya di deket gang depan."
"Sudah Nak, kamu sekarang sarapan dulu biar nanti Bunda bilang ke Ayah agar tidak telat."
Aku akan menanyakan hal ini kepada Mas Ardan. Tak bisa jika aku harus menunggu, aku harus tau sekarang juga!
"Mas, memangnya kamu selalu janjian dengan Siska?"
Mas Ardan terperangah bahkan dasi di bajunya sampai mengikat lehernya terlalu kencang saat ia terkejut oleh pertayaanku.
"Uhuk ... uhuk! Kau mengejutkanku, hampir saja dasi ini menyekikku." Ia menarik kembali dasinya dan membenahkannya.
"Apa yang aku tanyakan itu benar Mas? Kau janjian dan berangkat dengan Siska?"
Huh
Mas Ardan menghela nafasnya pelan, kini ia meraih jemariku.
"Sayang, kau tau dari mana? Amara? Begini ya, Siska rumahnya di ujung gang dan pekerjaannya tak jauh dari kantorku aku mengajaknya berbarengan karena hal itu, itu saja. Toh di mobil tidak hanya aku dan dia, ada Amara di sana."
Dia pikir aku tidak mengerti. "Iya, tapi setelah kau menurunkan Amara di sekolahan tentu ada kesempatan kalian berdua bukan?"
Lagi-lagi suamiku menghela nafasnya.
Aku tidak macam-macam Han, tolong percaya. Aku hanya menurunkan di depan tempat kerjanya dan langsung ke tempat kerjaku. Itu saja, kenapa sekarang kau mudah curiga? Mana Hana yang dulu yang aku kenal yang selalu percaya dengan suami?" ujar Mas Ardan.
"Bukan aku tidak mau percaya denganmu Mas, tapi aku hanya tidak ingin ada kebohongan! Hidup kita sekarang sudah susah, tidak seperti dulu bukan?"
"Aku tidak bohong Sayang," Sahut Mas Ardan sembari mengecup keningku.
Entah kenapa, hanya begitu saja aku luluh. Perlakuan lembutnya membuatku terlupa dengan emosiku.
"Oh, ya Mas. Aku minta uang ya, beras untuk besok sudah habis."
"Lho, bukannya seminggu ini kamu sudah bekerja jadi tukang cuci? Kamu ada uang 'kan Han, pakai dululah uangmu. Uang Mas, mepet untuk beli bensin ini nanti."
Selalu begitu ucapan Mas Ardan sekarang, saat tau aku bekerja jadi buruh cuci di tempat tetangga. Awalnya Mas Ardan menolak, ia tidak ingin aku buruh cuci. Tapi hasilnya lumayan untuk menutup kekurangan pengeluaran di dapur. Lumayan untuk membelikan si mertua lauk agar tidak bernyanyi sepanjang hari. Maka tetap aku jalani hal ini, meski menurutku ini pekerjaan berat. Toh sekarang Adnan sudah besar dan sudah sekolah TK.
"Tapi Mas, bulan kemarin pun sudah pakai uangku, kamu belum memberikan kepadaku bukan? Kalau begitu, biar aku kembali bekerja di kantor Mas! Aku tidak mau jadi buruh cuci lagi!"
Sebenarnya menjadi buruh cuci bukan kemauanku hanya saja tidak ada pilihan untukku bekerja kantoran tak mendapat izin suami mau jualan pun modal tidak di berikan.
"Apaan sih kamu, kalau kamu kerja kantoran pulangnya bisa malam siapa yang urus rumah dan anak-anak. Kalau buruh cuci bisa sesempetnya kamu saja. Dan tentu kamu bisa menjaga anak-anak," ujarnya lagi.
Dengan wajah cemberut akhirya Mas Ardan mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu.
"Ini, untuk beri beras!"
Mas Ardan dan Amara telah berangkat sekolah, butuh waktu untuk meyakinkan Amara agar mau pergi bersama Ayahnya. Bukan aku tidak mau mengantar, sekolah Amara berlawan arah dengan Adnan tentu butuh biaya lebih lagi untuk bensin. Sedangkan sekolah Amara searah dengan Ayahnya.Pagi ini aku baru pulang dari mengantar Adnan, sekalian aku mampir di tempat-tempat tetangga yang ingin menggunakan jasaku untuk menyuci baju mereka."Bu Hana, saya pikir Ibu sudah tidak mau menyuci baju lagi.""Lho kenapa Bu? Kan, lumayan untuk tambah-tambah bumbu dapur," ucapku dengan senyum."Iya, soalya kemarin saya lihat Ibu di Mall belanja banyak. Saya pikir Pak Ardan dapat bonus besar jadi bisa belanja sebanyak itu.""Belanja? Kemarin saya tidak kemana-mana Bu bahkan saya sedang tidak enak badan di rumah," jelasku heran."Lho, beneran Bu? Tapi saya lihat pak Ardan sama wanita saya pikir itu Ibu Hana belanja banyak baget. Saya mau negur tapi kalian jalan cepat sekali saya tak sanggup mengejar," jelas Bu Lili.
Akhir-akhir ini Mas Ardan sering sekali pulang malam, biasanya jam lima ia sudah pulang. Tapi lebih heranku hari ini ia membawa seseorang masuk ke dalam rumah.Aku tengah mengajari putra dan putriku belajar di kamar karena mendengar suara seseorang aku segera keluar dan mencari tahu siapa yang datang."Itu dia Hana, maklum lah Relia dia ini hanya Ibu rumah tanggal yang tidak punya kesibukan apa pun jadi jam segini sudah tidur!" ucap mertuaku saat melihatku keluar dari kamar.Relia tersenyum menatapku, sahabatku sewaktu aku bekerja di kantor ini tersenyum hangat kepadaku. Ada kerinduan kepadanya, sudah sangat lama aku tak bertemu dengannya."Hana!" serunya."Relia," balasku.Kami pun saling berpelukan, aku baru sadar jika Relia datang bersama Mas Ardan. Tumben biasanya ia datang selalu sendiri."Kok kalian bisa barengan begini?" tanyaku heran."Aneh sekali sih Han 'kan kita satu kantor. Tentu bisa kita barengan," celetuk suamiku.Aku hanya ber 'oh' panjang. Ada rasa aneh tapi ya sudahl
"Kalian, seru amat kayaknya?" sindirku.Kedua manusia di dapur itu terkejut menatap ke arahku."Ah, em ... Hana, aku pikir kamu sedang beristirahat." Relia terlihat gugup.Aku memutar bola mataku, kulihat Mas Ardan seakan salah tingkah. Memang mereka tidak melakukan apa pun, tapi aku melihat ada hal yang jangal di sini. Kulihat mereka bercanda bergurau seperti sepasang kekasih."Han, anak-anak sudah tidur?" Mas Ardan seolah mengalihkanku."Sudah Mas," jawabku."Ya sudah aku mau menengok anak-anak sebentar. Kalian kalau mau ngobrol silahkan aku tau kalian saling merindukan." Mas Ardan menatap aku dan Relia bergantian kemudian tersenyum kearah sahabatku.Astaga ada apa ini, mengapa hatiku mendadak gundah?"Han, kita sudah lama tidak bertemu apa kau tidak ingin bercerita sesuatu kepadaku?" "Bercerita apa Rel, mmm ... ayo sebaiknya kita kedepan di ruang tamu mungkin," ajakku.Relia mengikutiku dan duduk di ruang tamu."Relia, kamu betah sekali menyendiri kau tidak ingin menikah lagi?" uc
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.
"Kalian, seru amat kayaknya?"Aku dan Relia sama-sama terkejut tapi aku berusaha setenang mungkin agar terlihat biasa saja di hadapan Hana.Aku menanyakan anakku kemudian meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar anak-anak agar mereka dapat berbicara. Tapi setelah keluar ternyata Relia sudah mau pulang. Ibu menyuruhku untuk mengantarkannya. Tentu dengan senang hati aku mengantarkan Relia pulang."Mas kamu berhutang penjelasan kepadaku!" kata Relia saat di dalam mobil."Hah?""Kenapa seperti terkejut begitu?" tanya Relia."Maksudmu apa Sayang, apa yang harus ku jelaskan kepadamu?""Dengan siapa saja kau berhubungan Mas?""Maksudmu apa Sayang?""Kau tidak hanya menjalin hubungan kepadaku, tapi dengan tetanggamu saja! Iya 'kan?" Pertanyaan Relia mampu membuatku terkejut.Dari mana Relia tau apa ia sengaja memata-mataiku?"Mana mungkin aku seperti itu. Jika denganmu saja sudah lebih dari cukup. Aku