Akhir-akhir ini Mas Ardan sering sekali pulang malam, biasanya jam lima ia sudah pulang. Tapi lebih heranku hari ini ia membawa seseorang masuk ke dalam rumah.
Aku tengah mengajari putra dan putriku belajar di kamar karena mendengar suara seseorang aku segera keluar dan mencari tahu siapa yang datang.
"Itu dia Hana, maklum lah Relia dia ini hanya Ibu rumah tanggal yang tidak punya kesibukan apa pun jadi jam segini sudah tidur!" ucap mertuaku saat melihatku keluar dari kamar.
Relia tersenyum menatapku, sahabatku sewaktu aku bekerja di kantor ini tersenyum hangat kepadaku. Ada kerinduan kepadanya, sudah sangat lama aku tak bertemu dengannya.
"Hana!" serunya.
"Relia," balasku.
Kami pun saling berpelukan, aku baru sadar jika Relia datang bersama Mas Ardan. Tumben biasanya ia datang selalu sendiri.
"Kok kalian bisa barengan begini?" tanyaku heran.
"Aneh sekali sih Han 'kan kita satu kantor. Tentu bisa kita barengan," celetuk suamiku.
Aku hanya ber 'oh' panjang. Ada rasa aneh tapi ya sudahlah.
"Han aku kesini karena merindukanmu," tutur Relia.
"Iya Rel aku juga sangat merindukanmu, oh ya ... kalian sudah makan?"
Relia tampak melirik Mas Ardan.
"Kebetulan belum," jawab mereka serentak.
"Duh, kompak sekali." Ibu mertua menimpali.
Aku sendiri hanya tersenyum kecut.
"Ya sudah kalian makan dulu, tapi maaf ya hanya seadanya maklumlah istri Ardan ini sangat perhitungan untuk di dapur," celetuk mertuaku.
Aku hanya menghela nafasku pelan, tak ada niatan sedikitpun untuk membalas ucapan mertuaku. Segera aku ajak Relia ke ruang makan dan kami pun segera menuju ruang makan, kebetulan putra-putriku sudah makan duluan tadi. Kami segera makan dengan lauk seadanya yang telah kusiapkan.
Setelah selesai makan, mertuaku buru-buru pamit ia ingin menonton sinetron kesayangannya.
"Kalian lanjutin saja! Ibu duluan ya, mau nonton sinetron," ucapnya penuh semangat.
"Iya Tante," sahut Relia dan disambut senyum hangat Ibu.
Sedangkan Relia, aku dan Mas Ardan masih berada di ruang makan.
"Relia kamu mau kemana?" tanyaku saat melihat Relia membawa piring kotor ke dapur.
"Aku mau bantu nyuciin piring kotor ini," jawabnya.
"Eeh ... nggak perlu kamu tamu, biar aku saja ya!" sahutku.
"Nggak apa-apa Han, kamu kaya baru kenal aku aja. Udah kamu istirahat aja, aku tahu kamu pasti capek," kata Relia dengan tersenyum.
"Tapi tak enaklah Rel."
"Udah santai aja!" Relia segera berlalu dengan piring kotornya.
"Lho Mas, kamu mau kemana?" tanyaku heran saat melihat suamiku beranjak ke arah dapur.
"Bantuin Relia lah, nggak enak dia tamu masa suruh nyuci sendiri. Sudah kalau mau istirahat, istirahat aja," timpalnya dan belalu meninggalkanku.
Heran? Iya tentu, tidak biasanya Mas Ardan seperti ini. Denganku saja biasanya tidak perduli mau piring kotor dicuci atau tidak ia tak mau tahu. Boro-boro membantu menyuci, membawakan ke dapur saja ia tidak mau.
Setelah selesai membereskan sisa makanan aku ingin melihat anakku sebentar di kamarnya memastikan kalau mereka sudah tidur atau masih belajar. Kulihat Adnan tertidur di meja belajarnya mungkin ia kelelahan segera aku membopongnya dan kupindahkan keranjangnya. Tak lupa menyelimuti dan mencium keningnya.
Aku langkahkan kakiku keruang tengah, belum juga kulihat Relia maupun Mas Ardan di sana. Lalu kemana mereka apa masih di dapur?
'Apa mereka masih di dapur?' batinku dalam hati.
Segera ku melangkah ke dapur betapa terkejutnya aku.
"Kalian, seru amat kayaknya?" sindirku.
Mas Ardan benar-benar berubah, dia tidak lagi seperti dulu. Semenjak pindah di rumah ibu sekarang menjadi suami pemarah dan uring-uringan. Saya mengira jika ini semua karena pekerjaan. Saya tahu bekerja di kantor tempat Relia dan Mas Ardan saat ini tengah banyak pekerjaan. "Hana aku mengirimkan makanan untukmu dan juga keluarga. Aku telah mengirimkan melalui ojek online," ucap Relia di balik telepon. "Kamu mengirim makanan, untuk apa? Bahkan aku sudah memasak Re.""Saya hanya berbagi rejeki saja Han, mumpung libur dan saya memasak banyak di apartemen. Saya meminta Anda untuk membantu menghabiskan. Oh ya, aku juga mengirim seafood kesukaan Mas Ardan. Kau berikan padanya ya," imbuh Relia kembali. Kesukaan? Bahkan aku tidak pernah mengatakan apa yang disuka suamiku kepada orang lain termasuk Relia, bagaimana dirinya bisa tahu? "Apa Re, kesukaan Mas Ardan? Kamu tahu makanan kesukaan Mas Ardan?" tanyaku lembut. "Ah emm iya." Aku dapat menangkap suaranya yang tampak mencolok. Seanda
"Bu, Ibu belum ngasih uang ke Hana jadi ya Hana tidak ngasih uang setoran arisan sama Bu Lilis." Aku berkata terus terang kepada ibu.Sekalian biar ia sadar jika tidak bisa menindasku begitu saja."Huh! Kamu itu memang menantu pelit! Menyesal aku mengambil kamu sebagai menantuku, kamu tidak bisa bersikap baik kepada mertuamu!""Bu, uang pemberian Mas Ardan hanya untuk kebutuhan dapur dan anak-anak. Tidak untuk bersenang-senang makan di restoran bareng temen-temen!""Kamu! Berani ya kamu menfitnahku makan di restoran!" Aku tidak menfitnah, justru ini adakah kenyataanya. Aku sudah tau kebiasaan mertuaku ini."Aku tidak menfitnah Bu,""Huh, tidak mengmfitnah tapi menuduh!" ceplosnya.Aku hanya menghela nafas ini, aku lirik putraku setelah Neneknya pergi dari hadapanku."Bun, Nenek kenapa tiap hari marah-marah?" tanya putraku yang masih memeluk kaki kiriku karena takut neneknya berbicara lantang."Tidak marah Sayang, Nenek hanya tanya sesuatu sama Bunda. Kebetulan ngomongnya Nenek agak k
Aku melihat mertuaku terjatuh di lantai, dia mengaduh kesakitan karena kakinya terantuk kursi. "Aduhh!" Terdengar ibu mengaduh. "Ibu tidak apa-apa?" tanyaku. "Gundulmu itu, udah tau sakit masih tanya gak apa-apa? Hayo bantu Ibu!" Perintah ibu agar aku segera membantu mengangkatnya. Saya menurut saja, lagi kasihan juga jika saya tinggalkan dia. "Ibu kenapa bisa jatuh?" Saya kembali bertanya setelah ibu berhasil berdiri. "Ini gara-gara kursi sialan itu!" Ibu menunjuk kursi yang masih di tempatnya. "Hati-hatilah Bu makanya, masa kursi disalahkan." "Kamu itu ya, ini pasti kamu yang menaruh kursi itu!" Lho... aneh sekali mertuaku ini, kursi sudah dari kapan tau di sana kenapa baru sekarang dipermasalahkan? "Ibu sepertinya kurang istirahat, sebaiknya istirahat dulu Bu! Kursi itu sudah dari kemarin-kemarin di sini." Aku berbicara sambil menahan tawa. "Huh, ini semua gara-gara kamu!" Aku menggeleng pelan, heran dengan mertuaku ini. Seperti biasanya aku menjemput Adnan pukul 12.00
Pov HanaMataku membulat saat Mas Ardan memberikan beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Aku tidak tahu jika ia memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa kemarin saat ibunya marah karena tidak ada lauk dia diam saja."Tapi ...." Aku berpikir dari mana Mas Ardan mendapatkan uang. "Katanya tidak ada uang Mas, lha ini apa?"Dia hanya membisu tak menjawab."Gajimu naik? tapi kenapa jika gajimu naik kamu selalu memberiku uang pas-pasan bahkan untuk makan saja aku harus mencuci baju ke tempat tetangga!" imbuhku lagi.Mas Ardan hanya menjawab jika ia menyisihkan uangnya itu saja. Rasanya ada yang aneh, aku telah menghitung-hitung gaji mas Ardan
"Kalian, seru amat kayaknya?"Aku dan Relia sama-sama terkejut tapi aku berusaha setenang mungkin agar terlihat biasa saja di hadapan Hana.Aku menanyakan anakku kemudian meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar anak-anak agar mereka dapat berbicara. Tapi setelah keluar ternyata Relia sudah mau pulang. Ibu menyuruhku untuk mengantarkannya. Tentu dengan senang hati aku mengantarkan Relia pulang."Mas kamu berhutang penjelasan kepadaku!" kata Relia saat di dalam mobil."Hah?""Kenapa seperti terkejut begitu?" tanya Relia."Maksudmu apa Sayang, apa yang harus ku jelaskan kepadamu?""Dengan siapa saja kau berhubungan Mas?""Maksudmu apa Sayang?""Kau tidak hanya menjalin hubungan kepadaku, tapi dengan tetanggamu saja! Iya 'kan?" Pertanyaan Relia mampu membuatku terkejut.Dari mana Relia tau apa ia sengaja memata-mataiku?"Mana mungkin aku seperti itu. Jika denganmu saja sudah lebih dari cukup. Aku
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.