Share

Mertua Bengis dan Pilih Kasih
Mertua Bengis dan Pilih Kasih
Penulis: saffaghania

Sah Menikah Walau Dipermalukan

“Sah!”

Para saksi pernikahan kami mengucapkan kata-kata itu selepas suamiku mengucapkan ijab-qabul. Para hadirin bertepuk tangan karena suamiku mengucapkannya dengan lancar tanpa hambatan.

Ada pemandangan aneh di palang pintu gedung sebelah kiri, sekumpulan orang yang begitu banyak layaknya rombongan piknik, berkumpul di satu titik pintu tersebut.

"Bang! Itu yang di palang pintu masuk sebelah kiri siapa ya? Kok banyakan?" tanyaku menepuk tangan Bagaskara pelan. 

"Abang juga gak tahu, Yang!" jawab Bagaskara memantau sekumpulan orang itu.

Rombongan pengantar pengantin pria yang tengah duduk di dalam gedung, beranjak pada acara ramah-tamah, berbaris mengantre hidangan parasmanan yang telah disediakan, diikuti oleh sekumpulan orang yang berkumpul di palang pintu tadi.

"Loh! Mereka rombongan pengantar rupanya, Bang?!" ujarku menoleh pada Bagaskara.

Bagaskara menunduk diam, lalu meminta maaf padaku karena ia pun tidak tahu akan hal itu. Mama dan Papa saling memandang aneh, karena masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Mereka banyak sekali, tidak salah, Nak Bagas?" tanya Papa.

"Bagas juga gak tahu, Pa! Ibu bilang sih yang ikut hanya 25 orang saja. Ibu sudah sepakat dengan Mama dan Papa, bukan?" tanya Bang Bagas.

"Betul, tapi kamu lihat sendiri, anak-cucu-cicit ikut semua tuh kayaknya." Kekeh Papa mencandai Bagaskara.

"Semoga saja hidangannya tidak kurang ya, Pa!" harap Bagaskara tersenyum simpul.

"Itu yang Papa harapkan, Nak!" jawab Papa mengusap punggung Bagaskara-suamiku.

Usai masalah list pengantar yang tidak sesuai janji, datang lagi masalah lainnya yang membuat kepala penat.

Di sebelah kanan tempat photoshoot, Kak Hana sibuk mengatur fotografer untuk keluarga Bang Bagas berfoto bergiliran tanpa menghiraukan siapa pemilik acara sesungguhnya.

Kak Alana melirikku, seolah tidak terima, dengan sikap tak santun kak Hana. Tangan Kak Lana mengepal gemas ingin protes pada Kakak iparku itu.

"Bang! Lihat Kakakmu di sudut sana! Sibuk sekali di tempat photoshoot, aku jadi gak enak sama Mama dan Papa." Bisikku tepat di rungu suamiku.

"Duh, Kak Hana ini! Bisanya malu-maluin aku aja!" kesal Bang Bagas.

Bang Bagas merogoh ponsel di tas kecilnya, lalu menghubungi wanita yang ditakdirkan menjadi Kakak kandungnya.

"Kak! Sudah dong! Jangan foto-foto melulu! kan bukan kakak yang bayar, aku malu!"

"Ya gak apa-apa juga kali, ini kan acara pernikahan kamu, sah-sah aja, kan!"

"Sah itu kalau kakak yang bayar, terus Ibu sumbang uang belanja yang cukup untuk pernikahanku pada Mamanya Kanaya." 

"Sombong kamu, Gas! Baru punya mertua gitu aja berani menjelekkan Ibu kamu sendiri."

"Sudah lah! Susah memang bicara sama kakak!"

Ketika yang lain tengah duduk manis menikmati hidangan, nampak Ibu mertuaku yang juga ikut makan bersama mereka, begitu juga Kak Hana dan suaminya.

"Makanannya gini-gini aja ya, gak berkelas, katanya orang terpandang, tapi kok begini kasih makanan untuk tamunya." Celetuk Kak Hana pada suaminya.

"Ssst, nanti kedengeran, kamu ini suka ceplas-ceplos!" bentak suami Kak Hana.

Kak Lana yang tak sengaja mendengar perkataan Kak Hana, langsung menghampiri dengan geram, netranya memerah menahan emosi.

"Maaf, Jeng Hana! Kalau anda tidak puas dengan hidangan dan menu yang kami sediakan, silakan makan saja di restoran pilihan anda!" tegas Kak Lana berdiri di depan Kak Hana memandang wajahnya tanpa takut.

"Rupanya Kakaknya Kanaya begini ya, sukanya nge-gas!"

"Masih bagus kami bisa melangsungkan acara di aula hotel, dengan varian menu yang banyak. Padahal adik anda tidak memberi mas kawin yang besar, loh!" marah Kak Lana.

"Sombong benar, siapa anda berani menghina keluarga saya? Siapa suruh mau sama adik saya Bagas?" ketus Kak Hana membalas.

"Siapa suruh banyak janji! Bahkan Ibu anda menjanjikan uang pekah 10 juta kenyataannya nol besar, tiga juta pun tidak! Mohon maaf jika anda tersinggung!" kesal Kak Lana menatap fokus netra Kak Hana.

Perkataan Kak Lana benar. Pada akhirnya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai uang pekah hasilnya nihil, untungnya orang tuaku sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk dana pernikahanku, bagaimana jadinya jika kami tetap menunggu janji mereka yang kosong, bisa jadi acara pernikahanku tak dapat berjalan.

Kak Hana mendelik layaknya pemeran antagonis dalam film usai mendengar ucapan Kak Lana, lalu pergi meninggalkan aula tanpa basa-basi sembari melempar semangkuk empal gentong yang dipegangnya.

Anehnya, kedua mertuaku malah ikut pulang bersama Kak Hana dan rombongan pengantar. Dimana perasaan mereka?

"Kenapa Ibu dan Bapak malah pulang, Bang? Gak dampingin kamu dulu? Kalau saudara-saudaramu sih gak masalah. Masalahnya ini orang tua kamu, Bang!" keluhku sedih.

Betapa malangnya suamiku, ditinggalkan orang tuanya, tidak  didampingi menyalami para tamu undangan.

Bang Bagas nampak sedih, kecewa, marah, juga malu. Akibat mertuaku tidak nampak mendampingi di pelaminan, maka timbulah desas-desus bahwa pernikahan kami tidak mendapat restu mertua. Saat seharusnya aku berbahagia tanpa memikirkan apa pun, aku tak menyangka, akhirnya akan dipermalukan seperti ini. Bersyukur Mama dan Papa tidak mendendam. Mereka justru memberiku semangat. Aku tak dapat menahan tangisku, sesak sekali rasanya dadaku ini. 

Acara resepsi telah usai, kami semua tiba di rumah dengan kelelahan kami dan setumpuk penyesalan juga emosi yang terpendam.

"Sabar ya, Nay! Mama tahu kamu pasti mangkel, malu dan sakit hati. Tuhan pasti akan kasih kamu upah dibalik musibah ini, syaratnya sabar dan ikhlas." Tutur Mama lembut dan menentramkan hati.

Aku tumpahkan semua kesedihanku di atas hamparan sajadah, padaNya aku memohon ketenangan. Air mataku berlinang, menangis tanpa henti hingga sepasang netraku sembab.

"Naya, Sayang. Maafkan Abang ya, kamu menyesal menikah dengan abang?" tanya Bang Bagas memelukku yang masih lengkap dengan kain penutup aurat wanita muslim berwarna putih yang digunakan saat salat itu.

"Abang ngerti, gak ada yang harus kamu jelaskan, menangislah! Abang siap menerima konsekuensinya." Peluknya mengusap punggungku.

"Kenapa semua ini terjadi? Saat pernikahan kita yang seharusnya bahagia?" keluhku menumpahkan bulir air mata yang membasahi kais oblongnya.

"Kamu tahu? Sebenarnya Abang sudah tidak punya muka dihadapan keluarga kamu, Abang merasa sangat bersalah." Lirih Bang Bagas penuh penyesalan.

"Ini semua bukan salah kamu, Bang! Dan kamu tidak perlu malu dengan keluargaku, kami tidak sepicik itu memandang orang lain." Jawabku menghibur kesedihannya.

"Jika kamu ingin menebus kesalahanmu, cukup menjadi suami yang baik dan setia, sayangi orang tuaku seperti aku menyayangi mereka. Karena mereka adalah harta yang sangat bernilai bagiku," pesanku penuh harap.

"Baik, Abang akan berusaha menjadi suami dan menantu yang baik," jawabnya.

Bang Bagas, masih memelukku dengan hangat, rasanya nafas ini sedikit lega. Karena, walaupun keluarga suamiku tak dapat diharapkan, setidaknya aku masih memiliki suami yang baik dan perhatian padaku.

Bang Bagas lelaki yang baik, aku jatuh hati padanya tidak semata-mata karena wajahnya yang tampan saja, namun karena dia lelaki yang lembut, romantis, mengerti aku, dan selalu mengalah.

Lepas puas menangis, aku segera membuatkan kopi untuk suamiku. Kami bersantai dan menonton televisi, sejenak melupakan masalah keluarga kami yang rumit. Tiba-tiba, terbersit olehku perihal kado dan hantaran yang dibawa keluarga Bang Bagas. Iseng-iseng, kubuka hantaran lebih dulu, dan betapa mengejutkannya aku melihat isi dari hantaran tersebut.

"Loh! Bang? Kok beginian semua? Gimana bisa jadi kayak gini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status