"Kenapa, Sayang?" tanya suamiku menatap wajahku dan barang hantaran itu.
Aku melanjutkan membuka satu per satu hantaran itu, sambil merasa heran, aku tak habis pikir mengapa bisa begini?
"Lihat deh, Bang! Hantaran yang keluargamu bawa beda dengan yang kita pilih sebelumnya. Katanya udah fix, kok jadinya begini?" heranku memperlihatkan satu hantaran utama pada suamiku.
"Abang gak tahu, Nay! Apa mungkin ada yang nuker? Tapi siapa?” jawab suamiku mencoba menenangkanku."Terus kalau gak ada yang nuker, ketuker gitu? Ketuker sama siapa, Bang? Suka aneh-aneh aja kamu. Ini lagi baju tidurnya kok jadi yang tipis banget kayak gini!" marahku melempar piyama tipis menerawang."Abang kan cuma mengira-ngira aja, Abang juga nggak tau jawabannya. Abang telepon Ibu aja, gimana?" tanya Bagaskara mengambil ponselnya di atas nakas.Aku buru-buru mencegahnya, karena tidak mau urusannya menjadi semakin rumit. Bagiku sama saja seperti menyulut api.
"Gak perlu, Bang! Pelakunya pasti keluarga kamu, siapa lagi kalau bukan mereka, sejak kejadian resepsi kita kemarin, aku jadi ilfil sama keluargamu, Bang! Maaf kalau aku terlalu jujur!" ketusku membelakangi Bagaskara.
"Belum tentu juga pelakunya keluargaku, gimana kalau hantaran itu memang tertukar sama pesanan orang lain? Jangan berburuk sangka dulu!" jawab Bagaskara membela."Itu jawaban yang konyol banget, Bang! Sebelum dihias dan dimasukkan kotaknya pasti mereka lihat dulu wujud barangnya, kalau salah dan memang tertukar, tinggal dikomplen aja, gampang kan?" kesalku memarahi suamiku lagi."Iya ... iya ... terserah kamu aja, Nay!" sahut suamiku.
"Bang! Bisa gak sih kalau hantaran ini, kita kembalikan lagi aja sama kakak kamu yang julid itu! Aku ikhlas kasihkan aja buat mereka, biar mereka ngerasain gimana rasanya pakai piyama tipis, mekap gak ada label halalnya, sepatu yang gampang rusak, dan ini, tas kecil kayak buat bocah!" marahku lagi.
"Jangan, Nay! Ibu nanti sakit hati pasti mereka merasa dituduh! Kamu gak boleh begitu, Yang! Baik buruk juga dia mertua kamu." Sahut Bagaskara.
"Terus? Aku harus gimana? Aku harus tuduh penjualnya gitu? Barang ini juga gak akan kepake, mesti aku kemanain, Bang!?" kesalku.
"Maafin Abang, Nay! Kamu gak usah perpanjang lagi masalah ini ya, Abang ganti aja sesuai pesanan kita sebelumnya, tapi gak langsung, Abang cicil ya?" tawar Bagaskara pelan merapikan barang hantaran yang kubuka.
"Enggak usah repot-repot, Pak Bagas! Saya sudah malas, titik!" ketusku membanting pintu.
"Kamu marah-marah terus sih, Abang harus gimana, Nay?" marahnya membalas.
"Sudahlah, Bang! Aku capek. Aku yakin, paling ini ulah keluargamu, siapa lagi." Ketusku lagi."Iya, Oke! Kalau kamu bersikeras itu ulah keluarga Abang, bakal Abang selidiki semuanya, kamu gak perlu merutuk terus!" kesalnya meninggalkanku di kamar."Gak tahu ah, Bang! Males banget bahasnya!" ketusku."Tenang, nanti Abang belikan lagi yang lebih bagus ya." Bujuk Bang Bagas."Gak perlu! Kamu malah jadi terbebani nantinya, sudah lah, lupain aja!" ketusku naik ke ranjang lalu tidur dalam kemarahanku.Bang Bagas nampak kesal padaku, tapi aku acuhkan saja. Aku terlanjur kesal pada keluarganya, aku pengin Bagaskara tegas pada keluarganya, tapi mengapa rasanya sulit?Gara-gara masalah hantaran ini, kami jadi bertengkar, sebenarnya aku tidak ingin mempermasalahkannya, tapi aku merasa ditipu oleh keluarganya, aku juga punya hak untuk mendapatkan sesuatu yang layak, tidak seperti ini!
"Nay! Maafin Abang dengan semua ketidaksempurnaan yang Abang dan keluarga Abang punya. Kami memang sungguh gak berguna!" sindir Bagaskara mengusap rambutku."Lepasin aku, Bang! Aku kecewa, aku gak sudi ketemu keluargamu lagi, mereka jahat sama aku, Bang!" ketusku menepis tangan Bagaskara sembari sibuk mengusap air mataku."Ya sudah kalau begitu dugaanmu, nanti juga bakal ketahuan siapa dalangnya, kalau ini ulah keluarga Abang, Abang gak akan tinggal diam!" jawab Bagaskara membalas membelakangiku.Keesokan harinya, Mentari pagi bersinar cerah ditengah gerimis hujan yang tak kunjung henti, kemudian pelangi muncul dibalik biasnya, membuat pemandangan indah di balik jendela kamarku.Namun, keindahan pelangi tak menyurutkan kekesalanku akan masalah hantaran kemarin. Aku menyendiri di bibir jendela, menatap fokus pelangi di depan kamarku, sambil menyadarkan diriku bahwa aku telah melakukan kesalahan pada Bagaskara."Aku mau minta maaf aja sama kamu, Bang! Tapi aku gengsi! Aku anggap aja kemarin gak ada apa-apa deh, beres." Batinku.
Tak lama setelah itu, bel rumah berbunyi nyaring, Bang Bagas bergegas membuka pintu, dan terkejut melihat siapa yang datang."Bapak? Ibu?" heran Bang Bagas.Bang Bagas segera mencium punggung tangan kedua orang tuanya, lalu memanggilku walau ragu. Mungkin ia masih ingat pertengkaran semalam, tapi karena dia memang baik, dia tidak memperpanjang semuanya, ia bersikap seolah tidak terjadi apa pun."Nay! Sayang! Ada Ibu sama Bapak!" teriak Bang Bagas di bawah."Iya, Bang! Aku ke bawah," jawabku dengan wajah tanpa dosa."Naya tinggal dulu ke dapur ya, Bu! Pak!" pamitku berjalan menuju dapur membuatkan teh manis hangat untuk mertuaku."Bapak dan Ibu ke mana saja? Bagas sampai aneh kalian datang, kok tumben?" sindir suamiku."Kok kamu begitu sama orang tuamu, Gas? Kita juga kan pengin kunjungan ke rumah mertuamu." Jawab Bapak menoleh pada Ibu.
"Ya lagian, Bapak sama Ibu gitu sih sama Bagas!" protes Bagaskara.
"Maafin kami, kami mengaku salah, kami baru sempat nengok kamu dan istrimu sejak resepsi," tutur Bapak menundukkan kepalanya."Gak apa-apa, Pak! Cuma Bagas heran aja, ke mana Bapak dan Ibu waktu Bagas di pelaminan? Bukannya dampingin Bagas, Ibu sama Bapak malah pulang!" ketus Bang Bagas menatap wajah kedua orang tuanya."Bapak sama Ibu ikut pulang sama rombongan, sekali lagi maafin kami, Gas …," sahut Bapak lemah."Bapak sama Ibu ini tega sama Bagas, gara-gara kalian ninggalin Bagas, tetangga Naya menggunjingkan kami kalau pernikahan kami tidak direstui Ibu sama Bapak!" ungkap Bagaskara sedih."Begitu, Gas? Maafin Bapak ya! Ibu sih ngajakin Bapak pulang!" ketus Bapak menoleh pada Ibu."Bapak ini! Bisanya salahin Ibu! Lagian Hana kan yang ajak kita, katanya biar sekalian aja pulangnya," sesal Ibu menyalahkan Bapak.Pertikaian itu usai setelah aku menaruh dua cangkir teh manis hangat di meja tamu."Terima kasih, Naya!" ucap Bu Aini—Ibu mertuaku."Sama-sama, Bu!" Aku duduk di kursi sudut berwarna coklat tua yang sudah bertahun-tahun lamanya berdiri di rumahku. Kupandangi wajah kedua mertuaku yang tertunduk malu padaku."Bu! Sekalian aja Bagas mau tanya sama Ibu mumpung Naya ada disini, tapi maaf sebelumnya ya Bu!" izin Bang Bagas menoleh padaku."Bicara aja, Gas! Ibu dengarkan kamu, kok!" sahut Ibu."Sebelumnya Bagas minta maaf, Bu! Bagas mauntanya soal hantaran yang dikirim untuk Naya, kok beda dengan yang dipesan? Kan Ibu juga sudah setuju dengan pilihan Naya dan Bagas, terus kenapa yang Naya terima tidak sesuai?" telisik Bagaskara khawatir membuat ibunya tersinggung.
"Beda!? Mmm, Ibu ... gak tahu, Gas!" jawab Ibu mertuaku."Masa sih Ibu gak tahu? Ibu pasti ikut masukkin barangnya, ya kan?" tanya suamiku mendesak ibunya."Ibu gak ikut-ikutan soal hantaran, ibu waktu itu cuma duduk aja memantau dari jauh." Ibu beralasan lagi.
Dari gestur tubuhnya kulihat ibu nampak cemas dan gelisah. Seolah ada yang ingin ditutupinya.
"Apalagi kalau ibu ikut mantau, pasti tahu dong, Bu!" jawab Bagaskara menjebak.
"Ibu gak tahu, Gas! Pak! Kita pulang aja yuk, Hana mau ke rumah katanya."Bu! Jangan menghindari pertanyaan Bagas, dong! Kok tiba-tiba mau pulang aja sih!" ketus lelaki yang sudah sah menjadi suamiku bersandar ke kursi mengela nafasnya."Iya, Bu! Selesaikan dulu masalahnya, kalau benar Ibu tidak tahu, santai saja, kalau tahu ya Ibu harus jawab dengan jujur!" saran Bapak menepuk pelan pundak Ibu."I-itu, anu, Gas! Ibu—”"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib