"Alhamdulillah, semua masalah telah selesai ya! Gak ada jambak-jambakan atau maki-memaki. Cuma sebentar aja sudah menangis sambil berpelukan. So sweet banget ya! Andai aja Bu Khadijah punya banyak anak lelaki, aku tidak akan takut untuk menikah. Banyak orang bercerita kalau menantu itu sering berseteru dengan mertua. Kalau begini mertuaku, duh, aku mau deh nikah minggu depan," celetuk Laura, tersenyum memandangi kami. Sofa tempat kami duduk dengan Santi memang menghadap pintu dn jelas terlihat dari balai bambu tempat mereka menunggu. "Mertua kamu juga pasti baik, Lau. Kan sudah ibu bilang, bawa calonmu kemari, anggap ibu sebagai mertuamu. Lalu, kenapa harus khawatir? Kalian memang sudah pantas menikah, Nak," balasku setelah melepas pelukan dari menantuku. "Iya, Bu. Kami harus yakin kalau mertua kami nanti juga orang yang penyayang. Nih ada Bu Dijah contohnya. Kita harus segera mendesak calon masing-masing nih kayaknya," kekeh Dila yang diiyakan teman-temannya Santi. Alhamdulillah
***"Mal! Kamu ada teman atau kenalan yang lagi cari jodoh, gak?" celetukku sambil menjahit kancing bajuku yang terlepas. Di sampingku, Santi sedang mengamati gerakan tangan keriput ini memainkan jarum kecil itu. Hari ini Akmalku tidak ke kantor, sehingga kami bisa quality time untuk mengakrabkan diri karena waktunya lebih banyak dihabiskan di kantor. "Apaaa? Ibu mau nikah lagi?" seru Akmal, menyemburkan sedikit teh yang ia minum. Aku juga ikutan terperanjat hingga jarum menusuk jempolku. Akmal mungkin telah salah sangka mengartikan ucapanku. "Ya Allah, Bu. Tangan Ibu berdarah!" Santi bergegas mengambil kotak P3K, mengambil obat biru dan mengoleskannya di jempol. Aku tersenyum melihat reaksi menantuku yang begitu perhatian. Ini hanya luka kecil yang tidak butuh obat apapum juga sudah sembuh. "Salah Abang nih. Kenapa juga bikin Ibu kaget? Sini, Bu! Santi aja yang lanjutin," sergah menantuku, mengambil alih baju yang tadi kupegang. "Duh, sakit gak, Bu? Maafkan Akmal!Kalau memang Ibu
"Bu! Sepertinya aku sakit deh. Badanku terasa lemas. Aku mual terus dan eneg juga dengan bau itu tuh, bunga-bunga Ibu," keluh menantuku. Dia menggunakan masker dua lapis agar tidak mencium aroma berbagai macam bunga yang sedang bermekaran. Santi memang tidak terlalu suka merawat tanaman, tapi dia tak pernah mual jika membantuku menyiram bunga yang indah dan menyejukkan pandangan ini. Apakah Santi sedang mengandung? Ah, tidak baik kalau terlalu bahagia sebelum tahu dengan pasti. Nanti kami bisa kecewa. "Apa kamu punya riwayat sakit magh, San?" tanyaku khawatir."Iya, Bu. Tapi Santi gak ada terlambat makan kok," balasnya. Aku mengajak menantuku duduk di sofa, mengambil minyak kayu putih dan membalurkannya di leher cintanya anakku. "Kamu makan sesuatu yang asam-asam? Asam juga bisa memicu magh jadi kambuh, Nak," cecarku lagi. Santi mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat-ingat apa yang dia makan. Kemaren dia keluar sama teman-temannya sehingga aku tak tahu apa yang dia makan."Cuma
***"Ini masih samar, Bu. Sepertinya memang Bu Santi ini hamil. Biar garisnya lebih terang dan makin pasti, coba dicek seminggu lagi," ungkap Bidan berkulit kuning langsat. "Alhamdulillah!" seruku, Akmal dan Santi dengan senyum terkembang. Tak bisa dielakkan, walaupun masih samar garisnya, kami tetap bahagia. "Boleh datang ke sini atau dicek sendiri pakai alat ini ya, Bu," ujar Bidan berlesung pipi itu, menyerahkan sebuah alat tes kehamilan. Ia kemudian memberikan berbagai macam obat untuk menantuku. Aku tidak pernah memakai benda yang diberikan bidan, tapi kutahu bentuk dan fungsinya dari internet. Saat hamil Akmal, aku hanya memeriksakan diri ke dukun beranak. Zaman sudah semakin canggih dan orang tua harus mengikuti. Paling tidak harus terbuka dengan dunia luar. Pernah suatu hari warga kampung kami geger. Seorang ibu-ibu sering menemukan alat kontrasepsi dan juga penguji kehamilan di tas sekolah anak perempuannya. Ia membuangnya tanpa banyak bertanya. Kejadian itu berulang hing
"Kenapa bilang begitu, Bu? Bukannya tadi Bu Lilis tak suka pada saya? Hanya menompang di rumah menantumu ini. Saya hanya benalu di dalam rumah tangga menantumu," pancingku. Sengaja menggunakan kata 'menantumu' dari pada anakku. Supaya dia merasa lebih dekat pada Akmal, anak kesayangan dan juga semata wayangku. Bu Lilis menggeleng seraya mengusap pelupuk mata yang menggenang. Ia mengatur nafas, lantas bersuara. "Sa-saya cuma iri, Bu Dijah. Ibu mendapatkan anak yang soleh dan sekaligus bisa menganggap Santi seperti putri sendiri. Bu Dijah seperti punya sepasang anak yang sayang pada Ibu. Mereka juga tinggal bersama Ibu, sedangkan saya kini tak memiliki apa-apa. Ibu semakin lengkap, tapi saya kesepian," cerocos besanku, mengeluarkan uneg-uneg yang membuat dia selalu ketus padaku. Aku tersenyum seraya mengusap bahu besanku. Apakah dia mengira kalau aku sudah merebut putrinya? "Santi itu masih putri Bu Lilis dan Akmal anggaplah sebagai putra Ibu. Seorang istri memang seharusnya ikut s
"Oh ternyata begini kelakuanmu di belakangku, Ma. Kamu jelek-jelekin suamimu sama besan kita? Kenapa pergi ke sini gak kabarin papa dulu? Memangnya Santi itu anakmu saja? Aku juga orang tuanya," cerocos papanya Santi. Entah mulai kapan dia berdiri di belakang kami. "Eh Pak Wiro, kapan datang? Mari ke depan, Pak!" ujarku ramah lalu bangkit dan berjalan bersisian dengan Bu Lilis yang cemberut menuju ruang tamu. Di sana ada Akmal dan Santi sedang duduk bercengkrama."Kamu ngapain sih datang kemari, Pa? Kamu itu selalu bikin masalah. Dimana-mana ada utang. Harusnya papa itu kerja yang rajin biar hidup kita lebih makmur, Pa. Papa memang ngasih uang ke mama, tapi dengan cara minjam ke orang lain. Ujung-ujungnya mama juga yang pusing. Mama bosan ditagih rentenir setiap saat. Lebih baik Mama tinggal di sini aja sama Santi," sergah Bu Lilis.Anak menantuku berpandangan seraya membeliakkan mata. Santi mendekat dan duduk di antara orang tuanya."Mama sama Papa apa gak malu bertengkar terus? Ka
"Sayang! Maafkan mama ya telah membuat kamu malu dan juga kesal. Permasalahan mama dan papa pasti sudah membebani pikiranmu. Padahal kamu sedang mengandung," ujar Bu Lilis, mengusap bahu menantuku. "Iya, papa juga minta maaf ya, Nak. Kami ini orang tua kamu, tapi tidak bisa memberikan contoh yang baik. Papa tak bisa menjaga ucapan karena melihat mama kamu diam-diam ke sini tanpa memberitahu papa." Pak Wiro menimpali. "Udahlah, Pa. Kita ini mau minta maaf, bukan mau saling ngungkit kesalahan," cetus Bu Lilis. "Ya Allah! Sakit!" Santi meringis sambil memengangi perutnya. Kutahan lengan Akmal agar tidak masuk. Aku juga khawatir kalau terjadi apa-apa dengan calon cucuku."Kamu kenapa, San? Perut kamu sakit? Kita ke Dokter, ya?" cecar Bu Lilis. Kedua besanku mendekati Santi dengan sedikit membungkuk. Santi membuang muka ke arah jendela. Aku dan Akmal yang berdiri di muka pintu kamar jadi deg-degan. Takut kalau Santi dan orang tuanya jadi berdebat lagi. "San! Jangan diamin kita terus
Kebetulan ada dua tanggal merah di minggu ini dan Lita diijinkan bosnya cuti beberapa hari agar bisa seminggu di kota ini. Aku sengaja menyuruh Lita datang ke sini agar bisa bertemu dengan calon yang dipilihkan Akmal. Aku sudah merindukan gadis manis itu. Seminggu di sini, aku bisa membawanya keliling-keliling kota. Lita adalah keponakanku dengan pemikiran cukup modern. Kasihan kalau dia terkungkung dengan pemikiran primitif masyarakat kampung kami. Makanya aku ingin dia menikah dengan orang kota agar bisa mengembangkan diri. Bukan aku tak ingin menyuruh Akmal mencari pekerjaan buat Lita di kota ini. Aku ingin sekali. Bahkan Akmal pernah membicarakan hal ini karena aku sering video call dengan Lita. Tapi di mana dia akan tinggal tentu menjadi tanggung jawabku. Aku takut kalau melepaskannya ngekost sendirian dan tidak ada yang mengawasi. Dia belum terbiasa menghadapi kerasnya kota dan pergaulan yang kurang baik. Namun membawa Lita tinggal bersama keluarga kecil anak menantuku juga bu