Share

Aksi Pertama

Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (6)

"Pergi dulu ya, Vir. Baik-baik di rumah," pamit Mas Alvin sebelum menaiki sepeda motornya menuju tempat kerja.

Aku tersenyum tipis, mengiringi kepergian suamiku dengan hati yang ... entah.

Sepeninggal Mas Alvin, aku kembali masuk ke dalam rumah. Rencananya hendak membereskan sisa makanan bekas sarapan Mas Alvin yang tadi masih ada di meja makan.

Namun, langkahku terhenti saat mendengar keriuhan di depan sana. Kulihat Mbak Yuni dan anak-anaknya juga ibu sedang mengelilingi meja makan yang dipenuhi oleh hidangan beraneka macam.

Entah kapan ibu atau Mbak Yuni memasaknya. Yang jelas tiba-tiba saja semuanya sudah ada di sana.

Padahal barusan Mas Alvin terpaksa membeli nasi uduk sepuluh ribu karena hingga hendak berangkat, belum ada apapun yang terhidang di meja makan.

"Enak ya, Bu. Makan tinggal pesan go fo*d kek gini. Semuanya enak, nggak kayak biasanya, makan nggak pernah enak karena duit dipegang Vira sialan itu terus." ucap Mbak Yuni sembari dengan lahap memakan hidangan yang tersedia.

Mendengar ucapan Mbak Yuni, ibu tampak menganggukkan kepala. "Iya, tahu gini dari dulu kita paksa Alvin ngasih gajinya ke kita ya daripada buat nyenangin anak orang!' timpal beliau sembari tertawa lebar.

"Iya, Bu. Nanti selesai makan kita simpen aja sisanya di lemari. Biar si Vira sialan itu nggak bisa makan, biar kelaparan, biar nggak bisa lagi ngelawan-ngelawan mertua dan ipar, ya nggak, Bu." Mbak Yuni cekikikan.

"Iya, bener biar kapok. Eh, tapi kalau dia ngadu ke Alvin gimana?" Ibu bertanya dengan nada khawatir.

"Tenang aja, Bu. Kita buat Alvin lebih percaya sama kita daripada sama istrinya sendiri. Kita foto makanan ini dan kirim ke Alvin sebagai bukti kalau di rumah selalu ada makanan. Kalau Vira ngadu nggak dikasih, suruh dia kirim buktinya. Gampang kan, Bu?" sahut Mbak Yuni dengan enteng.

"Pinter kamu. Kita bikin dia kelaparan dulu biar nggak betah tinggal di sini lagi. Biar dia minta cerai dari Alvin dan kita bisa hidup bebas di rumah ini...." 

"... dan kita bisa menikahkan Alvin sama Ayu, Bu. Ngomong-ngomong aku kemarin ketemu sama dia di pasar. Kayaknya dia masih berharap jadi istri Alvin, lho, Bu. Ini kesempatan bagus buat kita. Kalau Ayu jadi menantu di rumah ini, hidup kita bakalan enak, Bu karena dia orang kaya." Mbak Yuni berucap kembali. Kali ini sembari menyebut kembali nama seorang perempuan yang akhir-akhir ini membuat hatiku tidak tenang.

Ya, ada hubungan apa sebenarnya Mas Alvin dan Ayu hingga ibu dan Mbak Yuni ngebet sekali ingin menjadikan gadis itu sebegai istri Mal Alvin?

"Betul. Sudah kaya, baik hati pula. Nggak rugi kalau kita menikahkan dia sama Alvin daripada seperti sekarang. Heran, apa sih yang dicari Alvin dari Vira? Sudah miskin, nggak punya-punya anak lagi," ibu mendengkus kesal.

"Iya, Bu. Jangan-jangan mandul. Eh, gimana kalau ibu pura-pura udah nggak sabar pengen nimang cucu dari dia, terus ibu kasih waktu berapa bulan gitu supaya dia bisa hamil, kalau nggak hamil juga, terpaksa harus mau diceraikan. Gimana, Bu?"

Ibu tampak berpikir-pikir sejenak mendengar usul Mbak Yuni. "Tapi kayaknya yang cinta berat Alvin-nya sih, Yun. Makanya ibu sangsi kalau dia mau cerai dari Vira. Udah sering ibu minta tapi Alvin yang nolak terus. Apa jangan-jangan Alvin udah dipelet sama Vira ya, Yun? Gawat kalau begitu...." suara ibu terdengar penuh kekhawatiran. Membuatku rasanya ingin tertawa sekaligus jengkel melihat sikap konyol yang mereka perlihatkan.

"Bisa jadi, Bu...." gumam Mbak Yuni membenarkan dugaaan konyol ibu.

Mendengar percakapan mereka aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan perasaan geram dan tidak habis mengerti. 

Sebegitu buruk akhlak ibu mertua dan kakak iparku itu ternyata. Selalu berpikiran buruk pada orang lain. Ah, andai dari awal aku tahu sifat buruk keluarga ini, mungkin aku yang duluan menolak menjadi menantu di sini.

Aku juga merasa heran melihat pola makan yang mereka lakukan setelah gaji Mas Alvin diserahkan pada mereka. Seperti katak dalam tempurung. Orang yang tadinya tidak pernah punya uang dan makan enak lalu tiba-tiba disediakan makanan enak-enak. Terheran-heran. 

Jika hal seperti ini diterus-teruskan tak menutup kemungkinan tidak sampai setengah bulan, uang gaji Mas Alvin yang dipegang ibu dan Mbak Yuni akan habis tak bersisa. Ah, kasihan Mas Alvin.

Tapi, sudahlah. Itu bukan urusanku lagi. Mau habis atau tidak, biar saja mereka yang memikirkan sendiri. Toh, mereka yang bernafsu ingin mengelola keuangan di rumah ini, bukan aku.

Aku membalikkan tubuh, kembali menuju kamar. Enggan rasanya meneruskan niat masuk ke dapur dan berurusan dengan dua orang tidak punya perasaan itu. Bikin bad mood dan darah tinggi naik. Nanti kalau mereka sudah tidak kelihatan lagi, baru akan kubereskan bekas makan Mas Alvin tadi. Sekarang aku mau ke pasar dulu, mengambil uang di tabungan hasil royalti menulis dan mulai memanjakan diri.

Ya, bodoh rasanya selama ini capek-capek menabung dan hidup hemat jika ujung-ujungnya hanya dinikmati dua orang tak punya perasaan itu. Apalagi setelah tahu bahwa mereka punya rencana hendak menyingkirkan aku dari hidup Mas Alvin.

Lebih baik aku senang-senang daripada ujungnya makan hati sendiri. Ini hasil kerja kerasku, jadi hakku mau berbuat apa saja.

***

Keluar dari ATM dan menarik semua uang hasil royalti menjadi penulis, tempat pertama yang kumasuki adalah sebuah restoran terkenal di kota ini yang harga menunya cukup fantastis sebenarnya, tetapi karena rasanya yang enak, tak sedikit orang sengaja menyisihkan uang untuk bisa makan di sini.

Dulu sebelum menikah, aku dan Mas Alvin beberapa kali makan di sini, maklumlah masih belum punya tanggungan apa-apa.

Namun, setelah menikah aku sendiri yang enggan diajak Mas Alvin makan di sini. Alasanku daripada menghabiskan uang untuk foya-foya, lebih baik disimpan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat.

Mas Alvin pun setuju jika kemudian kami hidup berhemat demi cita-cita yang lebih tinggi. Sayang, kehadiran ibu mertua dan kakak ipar memporak-porandakan semuanya. Jujur, saat ini aku sendiri bahkan dilanda keraguan, dapatkah perkawinan kami dipertahankan jika ingat sikap ibu dan Mbak Yuni yang selalu memusuhiku.

Aku menatap hidangan yang tersaji di depanku. Sepiring besar kepiting saos padang yang dari tampilannya sungguh menggugah selera.

Kuambil piring berisi kepiting itu dan mulai membuka kaki dan capitnya kemudian membuka bagian punggungnya, yang memperlihatkan daging kepiting yang menggiurkan selera. Tak lupa sebelum makan, aku berfoto selfi dulu dengan gaya secantik mungkin bersama menu mahal itu dan mengunggahnya pada status w* yang kusetel hanya bisa dilihat orang tertentu saja yakni ibu dan Mbak Yuni.

Aku ingin tahu bagaimana reaksi kedua orang itu kalau tahu menu makan siangku setelah tak lagi menerima gaji bulanan Mas Alvin adalah kepiting besar super enak andalan restoran mahal ini.

Sekadar iri kah atau makin menjadi memusuhiku?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status