Home / Rumah Tangga / Mertua Masa Gini? / Bu Sukun cari perkara

Share

Bu Sukun cari perkara

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2024-12-12 06:06:26

💐

Gendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.

Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.

Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.

Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.

Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.

Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum.

"Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana.

"Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu.

"Nggak papa kali, Raffa santai orangnya," sambung Daffa sambil menikmati es buah.

"Nggak, Bang. Gue juga masih siapin beberapa hal, kantor lagi banyak proyek. Kirana juga setuju nunggu setahun lagi." Kali ini calon adik ipar yang menyahut. Daffa manggut-manggut.

"Emang elo. Udah DP duluan. Gila lo! Amit-amit, Bang Daffa, jangan sampe anak lo ngikutin jejak buruk lo sama Yasmin. Lo pikir nggak jadi dosa turun temurun?" sindir Kirana enteng. Daffa mengangguk, sebenernya ia menyesal juga, tapi nasi sudah jadi bubur, mau gimana lagi.

"Jadi fix nih namanya Ganindra? Panggilannya siapa?" Kirana menatap Daffa.

"Maunya Yasmin itu. Gue sih pinginnya nama yang lain."

"Dih! Ya tolak lah. Milih nama anak rembukan berdua dong!" protes Kirana yang mulai BT karena kakaknya apa-apa mengalah dari Yasmin.

"Namanya bukan Ganindra, tapi ... Danaraja Anggana," sambar Gendis. Ia duduk di karpet juga. Mengusap kepala cucunya dengan sayang.

"Bu, nanti Yasmin protes, ribet Daffa nanggepinnya," keluh Daffa dengam raut wajah melas.

"Protes ke Ibu kalau berani!" bentak Gendis kesal. "Bukannya bersyukur apa-apa di bantu Ibu dan Ayah, masih bertingkah. Pak Ustadz juga udah setuju anakmu dikasih nama itu, di doain. Mana Yasmin dan keluarganya. Sibuk urusin makanan sisa yang mau dibungkus. Untung Tante Soraya ngawasin, kalau nggak sama wadah-wadahnya dibawa pulang!" celetuk Gendis yang membuat Kirana menahan tawa.

"Lagian elo, Bang. Nemu di mana sih, bini lo?! Sekalinya cinta sama cewek modelan begitu. Sorry, ya, nggak maksud hina, fakta aja." Kirana itu cuek seperti Gendis, ceplas ceplos. Daffa hanya diam, karena memang ia menahan semuanya selama ini dan pendapat keluarganya selalu benar.

***

"Ndis! Ayo cepetan!" Soraya, Endah dan Yuni sudah berdiri di depan pagar rumah Gendis.

"Iya, ya, ampun." Gendis menenteng tas kecil di tangan kanan, lalu plastik besar berisi dua dus kue-kue. Mbak Inong menutup pagar saat Gendis sudah berjalan kaki ke rumah bu Padmo, lokasi arisan bulan itu.

"Kamu bawa kue? Kan udah ada dana konsumsi, Ndis?" tegur Yuni.

"Kue doang, santai, lah, Yun. Lagian ini baru mulai lagi arisan RTnya, itung-itung ramein sama kue-kue." Gendis berjalan satu payung dengan Yuni. Arisan di rumah bu Padmo dimulai pukul dua siang, biasanya selesai pukul empat.

Rumah bu Padmo tiga gang ke belakang rumah Gendis. Bangunan bergaya nuansa Jepang karena anak perempuan bu Padmo seorang arsitek dan bekerja di Tokyo. Rumahnya asri, adem, banyak tanaman hijau. Melambangkan kekayaan.

"Ndis, nggak ada niat renov rumah jadi keren kayak punya Bu Padmo?" bisik Soraya.

"Buat apa? Anak-anakku nanti mental semua setelah nikah, rumah diisi aku sama Agung, sayang duitnya. Ujung-ujungnya bisa bikin ribut anak-anak, nggak, deh."

"Terus rumah itu nanti gimana? Dijual ke orang?" sambar Endah.

"Ya enggak, lah. Ari-ari empat anakku di tanam di halaman rumah semua, siapa yang mau nempatin nantinya, tempatin aja. Sampai kapan nggak akan dijual. Warisan anak-anak udah aku sama Agung siapin. Aman, lah," tukas Gendis diakhiri tawa.

Dari keempatnya, memang hanya Gendis yang punya anak banyak. Endah anaknya dua, Soraya satu, Yuni satu. Jadi mereka khawatir anak-anak Gendis jadi rebutan warisan.

"Assalamualaikum," ucap Endah ke pemilik rumah. Mereka melepas sandal lalu masuk ke dalam.

"Waalaikumsalam, ayo masuk. Kirain empat sekawan nggak datang," sambut bu Padmo senang.

"Datang, dong. Waktunya silaturahmi," jawab Soraya.

Suasana sudah ramai, Gendis memberikan plastik besar ke bu Padmo yang menyambut dengan sumringah. Kue jajanan pasar tapi buatan chef di tokonya, rasa premium dengan harga terjangkau.

Saling menyapa dengan bercipika cipiki di lakukan. Gendis dan kawan-kawan duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Bu Agung, denger-denger istrinya Daffa sudah lahiran, ya? Perasaan nikahnya baru enam bulan." Mulut usil bu Sukun mulai bersuara.

"Kata siapa, Bu?" balas Gendis. Soraya, Endah dan Yuni ketar ketir, Gendis emosinya sumbu pendek, tak segan menghajar siapapun.

"Denger berita aja, sih," ujar bu Sukun lalu tertawa.

Hm, minta dihajar balik, nih, batin Gendis.

"Bu Sukun, gimana kabar menantunya? Udah nggak memar lagi digebukin sama suaminya. Anak Bu Sukun, kan? Ya ampun ... kok bisa sih, mukulin istri. Di depan anaknya juga ya? Haduh ... ikut prihatin ya, Bu," sindir Gendis.

Soraya menyikut lengan Gendis, tapi Gendis masa bodo.

"Kata siapa, Bu?! Anak menantu saya baik-baik aja! Jangan fitnah, ya!" Bu Sukun sampai menunjuk-nunjuk Gendis.

"Lho, bukannya ini udah jadi konsumsi umum, sampe tukang sayur keliling aja tau, lho, Bu. Kalau nggak bener, ya santai aja responnya, Bu Sukun. Kalau benar, nasehatin anak mantunya biar rukun damai tentram berumah tangga."

Keadaan semakin panas. Gendis maju tak gentar. Semua orang mulai menikmati tontonan itu. Bu Sukun berulah lagi dengan berkata jika Kirana suka pulang malam diantar cowok.

"Oh, ya ampun. Cowok itu calon suaminya Kirana, bos perusahaan tempat Kirana kerja. Saya sama Agung udah tau kok, dan setiap Kirana pulang malam, kami di teras duduk nungguin. Bu Sukun kan nggak lihat sampai teras, cuma ngintip dari pagar kan? Nggak akurat nih, jelek-jelekin anak saya." Gendis tertawa lepas.

Bu Sukun mulai kesal, wajahnya ditekuk. Ketua arisan menyela dengan memulai acara, lalu uang setoran arisan dikumpulkan ke bendahara. Satu orang tiga ratus ribu, total yang ikut dua puluh orang.

"Bu Ketua, uang arisan saya sekalian bulan depan, ya, saya antar uangnya sore ini, lupa nggak bawa dompet," ujar Bu Sukun.

Gendis membuka tas, lalu mengambil dompet. Ia keluarkan uang tunai tiga ratus ribu. "Bu Sukun, nih, saya talangin ya. Nanti antar aja uangnya ke rumah, malam kalau perlu sekalian lihatin Kirana pulang diantar calon suaminya, jadi nggak salah informasi."

Yuni menahan tawa. Sedangkan ibu-ibu lain melongo.

"Jangan cari masalah sama saya ya, Bu Sukun. Urus keluarga masing-masing," bisik Gendis ke bu Sukun dengan tatapan tajam. Bu Sukun hanya bisa diam mematung. Ia malu sendiri tapi tetap bisa santai dan cuek cengangas cengenges.

bersambung,

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mertua Masa Gini?   Rencana awal

    Halo, selamat membaca-----Seketika Daffa kepikiran dengan kata-kata Aisyah. Sambil berjalan mengekor sang istri masuk ke dalam rumah, Daffa tak sanggup menegur. Rasanya kalimatnya tertahan di kerongkongan. "Aku mau ke rumah Raffa, kamu mau ikut?" ajak Daffa saat Aisyah duduk di ruang makan menikmati jajanan yang dibeli. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kursi meja makan diseret perlahan, Daffa duduk berjarak dengan Aisyah. "Aku tau Bariq suka sama kamu karena ada informan yang bilang, Syah."Aisyah melirik tajam sebelum kembali menatap layar TV yang menyala. "Aku nggak mau rumah tanggaku hancur lagi." Kepala Daffa sedikit menunduk, ia juga remas kedua jemari tangannya yang diletakkan di atas meja makan. Kembali hanya lirikan yang bisa Aisyah layangkan ke suaminya. Keduanya sama-sama diam bahkan hingga Aisyah selesai makan, tak ada pembicaraan lagi. Daffa beranjak cepat menuju kamar, sedangkan Aisyah menatap kosong ke arah tempat menjemur baju dari jendela dapur. "Mbak A

  • Mertua Masa Gini?   Wajah sembab Aisyah

    Aisyah akhirnya makan buah-buahan di rumah juga minum susu ibu hamil supaya asupan untuk bayi yang dikandungnya tetap terjaga. Gendis dan Agung sudah tidur, jadi Aisyah tak perlu cari alasan lagi kenapa makan sendirian. Daffa sendiri sedang keluar rumah, kumpul dengan teman masa kecilnya yang juga Aisyah tau. Setelah Daffa pulang pukul sebelas malam, Aisyah masih terjaga sambil merapikan lemari pakaiannya. "Kenapa belum tidur?" tegur Daffa. "Belum ngantuk." Aisyah melipat beberapa pakaiannya yang kurang rapi. "Tadi aku juga makan buah dulu, laper," sindir Aisyah mencoba memancing perhatian Daffa. "Oh, sekarang udah kenyang?" Daffa merebahkan diri di ranjang. "Lumayan. Belum makan nasi jadi masih sedikit laper." Aisyah bicara tapi sambil melipat pakaiannya. "Mau beli? Aku pesenin biar diantar ojol." Daffa sudah meraih ponsel yang tadi ia letakkan di nakas samping ranjang. "Mau." Aisyah tak menolak. Lalu ia ingat ada hal yang

  • Mertua Masa Gini?   Kelas berbeda

    Hai, maaf ya lama nggak update. Selamat membaca!Perkara niat mau membeli rumah KPR akhirnya Aisyah urungkan sementara karena kurang setuju jika Gendis, sang mertua ikut campur kesekian kalinya. Aisyah diberitahu Daffa jika akan ada acara ulang tahun perusahaan yang diadakan di hotel berbintang yang ada di pusat Jakarta. Sejak dua hari lalu, Daffa sudah memberikan undangannya ke Aisyah, bahkan ada dress code yang diwajibkan. Setelan jas warna coklat muda, kemeja putih, sepatu pantofel coklat tua sudah Aisyah siapkan untuk dipakai Daffa. Sedangkan dirinya, tak punya gaun malam. Lagi pula ia tak pernah mau memakainya karena terlalu ribet juga memperlihatkan lekuk tubuhnya, tak nyaman. Daffa masuk ke dalam kamar setelah selesai membantu Agung menyiram tanaman di depan sambil berbincang sore. Ia melirik ke Aisyah yang berdiri sambil mencari kerudung warna coklat muda senada dengan setelan jas yang akan dipakai Daffa. "Kamu nggak punya gaun pesta?" tegurnya pelan. Aisyah menoleh ke arah

  • Mertua Masa Gini?   Kesabaran Aisyah

    💐Mengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej

  • Mertua Masa Gini?   Dituduh aji mumpung

    💐Kadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu

  • Mertua Masa Gini?   Adinda melahirkan, Aisyah pingsan

    💐Menyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status