💐
Bulan yang ditunggu tiba, Daffa menghubungi Gendis jika Yasmin akan melahirkan. Mereka sudah di rumah sakit sejak siang hari.
"Bu, ayo ke sana," ajak Agung yang tampak tak sabaran.
"Iya, tunggu dong, Yah, masih rapihin rambut. Bagusan di jepit tengah apa di cepol terus kasih jepitan?" Gendis bersolek di depan cermin meja rias.
"Apa aja Ibu selalu cantik," puji Agung.
"Halah gombal." Gendis menahan senyum. Ia cepol rambutnya, lantas menyematkan jepitan rambut bentuk bunga. "Oke siap. Dressku bagus juga kan, Yah, nggak norak warnanya?"
"Nggak, ayo buruan. Kasihan Daffa pasti nungguin kita."
"Nungguin buat apa? Minta dibayarin biaya lahirannya? Mbel gedes, maaf ya, nggak, deh." Gendis lalu menenteng tas tangan yang berisi macam-macam, dari tisu kering, tisu basah, minyak angin, lengkap pokoknya.
Agung mendengkus, Gendis benar-benar akan memberi pelajaran sendiri untuk anaknya.
Nanda dijemput di tempat les, masih memakai seragam sekolah, remaja itu masuk ke dalam mobil. Ia menyapa kedua orang tuanya dengan menyalim tangan.
"Ayah pulang cepet, dong?!" seru Nanda.
"Iya. Nggak masalah. Eh kamu gimana tadi hasil final examnya? Kapan nilainya keluar?" Agung memang begitu perhatian dengan pendidikan anak-anaknya.
"Lancar. Besok katanya. Nanda ke tempat les sama temen, ya, Yah." Nanda menyandarkan kepala ke kaca sebelah kiri karena lelah menjalani hari itu.
"Temen? Siapa?" sambar Gendis.
"Kenzo, temen satu tempat les." Nanda mengutak ngutik ponselnya.
"Anak mana? Orang tuanya kerja apa?" cecar Gendis lagi.
"Anak Jakarta, lah, Bu ... Papanya kerja di kementrian luar negeri, staf kedutaan Indonesia di Swiss. Ibunya desainer kebaya sama baju yang biasa dipake Ibu-ibu pejabat." Nanda sangat santai menyampaikan jawaban.
Gendis tersenyum. Fix, keluarga baik-baik.
"Kenzo mau kuliah di mana? Kalian temen biasa atau--"
"Mulai deh, Ibu ... Kenzo itu temen, Bu, dia udah punya pacar, kok. Dia mau kuliah jurusan hubungan internasional apa komunikasi gitu, biar jadi diplomat."
"Lho, kok bisa ... punya pacar tapi perginya besok sama kamu, gimana maksudnya?" Nada bicara Gendis penuh keheranan.
"Pacarnya Kenzo itu temen sekelas Nanda di sekolah, Bu. Nggak bakal dia cemburu sama Nanda. Bu, udah deh introgasinya. Kita fokus ke Bang Daffa." Nanda menguap, ngantuk juga ternyata.
Di rumah sakit, hanya dua orang yang boleh masuk ke ruang bersalin itu pun bergantian. Kedua orang tua Yasmin mempersilakan Gendis dan Agung masuk.
Yasmin sedang meringis menahan sakit, Daffa mencoba menyemangati.
"Udah pembukaan berapa?" Gendis mengusap pinggang Yasmin.
"Empat, Bu," jawab Yasmin lirih. Ia meremas jemari tangan Daffa. "Nggak kuat, Daf," keluhnya lalu menangis.
Daffa terus menyemangati. Agung beradu tatap dengan Gendis yang mengelus perut Yasmin.
"Sabar ya, ayo semangat," bisik Agung ke Yasmin yang masih menangis memeluk Daffa.
Agung dan Gendis keluar, kedua orang tua Yasmin tampak waswas.
"Bu Gendis, Pak Agung," sapa ayahnya Yasmin. Mereka bersalaman. Nanda berdiri bersandar pada dinding, diam memperhatikan.
"Dari kapan pembukaan empat?" tukas Gendis.
"Dari jam tiga sore, sekarang sudah jam tujuh malam, belum nambah pembukaannya. Anak saya ... sudah nggak kuat," isak ibunya Yasmin.
"Baju bayi sudah disiapkan? Terakhir saya sidak, masih belum dicuci semua," sindir Gendis.
"Udah, Bu, saya tiga hari ini di rumah mereka. Bu Gendis, apa Yasmin operasi aja, ya."
Gendis sudah bisa menebak.
"Ditanggung kantor Daffa, kan? Operasi aja," sahut Gendis santai.
"Ya kalau nggak ditanggung kantor, masa iya Bu Gendis dan Pak Agung diam saja. Nggak mungkin, kan."
Tanpa merasa terbeban, kalimat itu meluncur dari bibir sang besan. Nanda menggeleng pelan, ia sudah paham keluarga seperti apa yang dihadapi mereka.
Daffa keluar, ia tampak panik. "Yasmin terus kesakitan, Abang nggak tega," katanya.
"Yaudah! Operasi aja. Kantormu cover, kan?" tegas Gendis.
"Nggak, Bu. Asuransi dari kantor baru pindah perusahaannya, belum aktif jadi--"
Gendis mengarahkan telapak tangan ke depan wajah Daffa. Ia tak tega juga, apalagi ini tentang nyawa cucunya.
"Ayah, ayo," ajak Gendis berjalan ke meja perawat. Setelah mencari informasi dan bicara dengan dokter, maka operasi secar disetujui.
"Jadi ambil kelas berapa?" ujar perawat.
"Kelas satu aja. Deposit berapa?" Gendis mengeluarkan kartu debit. Agung menahan, ia berikan kartu debit miliknya.
"Ayah aja, ya." Agung tersenyum.
"Total biaya diluar obat, dua puluh juta lima ratus, ditambah obat sampai pulang nanti dua juta lima ratus, jadi semuanya dua puluh tiga juta. Deposit lima puluh persen." Perawat memberi arahan. Daffa yang berdiri di samping Gendis hanya diam saja setelah menandatangani surat persetujuan operasi.
"Lunas aja. Kami ke lantai berapa untuk pembayaran?" Gendis menggamit lengan Agung.
"Mari saya antar, Bu. Pak Daffa temani istrinya bersiap di kamar, ya."
Daffa paham, ia malu dengan kedua orang tuanya. Hanya bisa berjalan lemas kembali ke kamar.
"Tuh, Bang, ujung-ujungnya orang tua, kan? Bilangin Kak Yasmin, jangan cuek ke Ibu." Nanda berjalan menjauh, menyusul orang tuanya ke lantai satu.
***
Bayi laki-laki lahir dengan selamat, kamar kelas satu hanya ada Yasmin jadi seperti kamar VIP saja.
Senyum Yasmin merekah, melahirkan secara secar, lalu di kamar nyaman karena sebelumnya kelas tiga, sepertinya moodnya kembali membaik.
Gendis kembali datang di hari kedua Yasmin di rawat untuk pemulihan. Ia sendiri, mengemudikan mobilnya sendirian juga.
"Waduh, cucu Nini udah mandi," puji Gendis lalu menggendong cucunya.
"Nanti aja digendongnya, Bu, baru di taruh di box bayi, takut bau tangan," tegur Yasmin halus.
"Biarin. Bau tangan Nininya ini, bukan orang lain," sewot Gendis.
"Bukan gitu, Bu ... maksud Yasmin--"
Gendis membelakangi Yasmin, ia timang-timang cucunya. Daffa mendekat ke Yasmin, memberi kode supaya jangan tegur Gendis.
"Kita jadi sewa babysitter, kan, Daf?"
Kalimat Yasmin membuat Gendis gatal untuk berkomentar tapi ia memilih diam dulu.
"Nggak jadi, Yas, dananya nggak cukup," tukas Daffa.
"Hah? Terus aku sendirian? Aku nggak bisa, Daf ...," rengek Yasmin. "Kamu bayar biaya semua ini bisa, masa bayar gaji babysitter nggak bisa?" dumal Yasmin.
"Urus sendiri, dong. Seorang Ibu akan natural rawat anaknya. Lagian irit, kan? Kamu juga di rumah, nggak kerja." Gendis berbalik badan menghadap Yasmin.
"Bu, masalahnya--"
"Masalahnya anak Ibu, suamimu gajinya selalu habis di tengah bulan dan biaya semua ini, Ayah dan Ibu suamimu yang menanggung. Suamimu rejekinya seret. Sebabnya apa? Coba kalian renungi bersama." Gendis meletakkan cucunya perlahan ke box bayi lagi. Ia berdiri menatap anak dan menantunya dengan serius.
"Kamu boleh nggak senang sama Ibu, ya, Yasmin, tapi ... jangan kamu bikin anak Ibu susah karena maumu yang selangit. Kalian pacaran lama, masa iya nggak saling paham?!" Gendis diam sejenak.
"Ibu nggak mau campuri urusan kalian mau pake babysitter kek, pembantu sampe sepuluh, kek. Asal mampu bayar silakan. Bukan memaksakan juga. Yang ada kalian sengsara sendiri."
Yasmin memalingkan wajah, terlihat tak senang dengan komentar mertuanya.
"Kalau cara kalian berumah tangga seperti ini, jangan salahkan Ibu campuri karena kalian harus ditatar. Suka nggak suka, ini Ibu kalian. Mertuamu, Yasmin dan Ibu kandungmu, Bang Daffa. Paham?!" tegas Gendis. Suasana kamar rawat mendadak tegang, tapi Gendis tak peduli.
bersambung,
Halo, selamat membaca-----Seketika Daffa kepikiran dengan kata-kata Aisyah. Sambil berjalan mengekor sang istri masuk ke dalam rumah, Daffa tak sanggup menegur. Rasanya kalimatnya tertahan di kerongkongan. "Aku mau ke rumah Raffa, kamu mau ikut?" ajak Daffa saat Aisyah duduk di ruang makan menikmati jajanan yang dibeli. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kursi meja makan diseret perlahan, Daffa duduk berjarak dengan Aisyah. "Aku tau Bariq suka sama kamu karena ada informan yang bilang, Syah."Aisyah melirik tajam sebelum kembali menatap layar TV yang menyala. "Aku nggak mau rumah tanggaku hancur lagi." Kepala Daffa sedikit menunduk, ia juga remas kedua jemari tangannya yang diletakkan di atas meja makan. Kembali hanya lirikan yang bisa Aisyah layangkan ke suaminya. Keduanya sama-sama diam bahkan hingga Aisyah selesai makan, tak ada pembicaraan lagi. Daffa beranjak cepat menuju kamar, sedangkan Aisyah menatap kosong ke arah tempat menjemur baju dari jendela dapur. "Mbak A
Aisyah akhirnya makan buah-buahan di rumah juga minum susu ibu hamil supaya asupan untuk bayi yang dikandungnya tetap terjaga. Gendis dan Agung sudah tidur, jadi Aisyah tak perlu cari alasan lagi kenapa makan sendirian. Daffa sendiri sedang keluar rumah, kumpul dengan teman masa kecilnya yang juga Aisyah tau. Setelah Daffa pulang pukul sebelas malam, Aisyah masih terjaga sambil merapikan lemari pakaiannya. "Kenapa belum tidur?" tegur Daffa. "Belum ngantuk." Aisyah melipat beberapa pakaiannya yang kurang rapi. "Tadi aku juga makan buah dulu, laper," sindir Aisyah mencoba memancing perhatian Daffa. "Oh, sekarang udah kenyang?" Daffa merebahkan diri di ranjang. "Lumayan. Belum makan nasi jadi masih sedikit laper." Aisyah bicara tapi sambil melipat pakaiannya. "Mau beli? Aku pesenin biar diantar ojol." Daffa sudah meraih ponsel yang tadi ia letakkan di nakas samping ranjang. "Mau." Aisyah tak menolak. Lalu ia ingat ada hal yang
Hai, maaf ya lama nggak update. Selamat membaca!Perkara niat mau membeli rumah KPR akhirnya Aisyah urungkan sementara karena kurang setuju jika Gendis, sang mertua ikut campur kesekian kalinya. Aisyah diberitahu Daffa jika akan ada acara ulang tahun perusahaan yang diadakan di hotel berbintang yang ada di pusat Jakarta. Sejak dua hari lalu, Daffa sudah memberikan undangannya ke Aisyah, bahkan ada dress code yang diwajibkan. Setelan jas warna coklat muda, kemeja putih, sepatu pantofel coklat tua sudah Aisyah siapkan untuk dipakai Daffa. Sedangkan dirinya, tak punya gaun malam. Lagi pula ia tak pernah mau memakainya karena terlalu ribet juga memperlihatkan lekuk tubuhnya, tak nyaman. Daffa masuk ke dalam kamar setelah selesai membantu Agung menyiram tanaman di depan sambil berbincang sore. Ia melirik ke Aisyah yang berdiri sambil mencari kerudung warna coklat muda senada dengan setelan jas yang akan dipakai Daffa. "Kamu nggak punya gaun pesta?" tegurnya pelan. Aisyah menoleh ke arah
💐Mengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej
💐Kadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu
💐Menyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te
💐"Yakin mau ikut pindah?" Saat berjalan kaki dengan menenteng bubur ketan hitam, Daffa kembali memastikan kesiapan Aisyah. "Aku bisa aja lama di sana." Aisyah menoleh sejenak sebelum kembali menatap jalanan sepi di depannya. "Mas Daffa nggak suka aku ikut? Bukannya istri harus setia temani suaminya dinas kemanapun? Ya, kecuali kalau kamunya emang nggak mau karena bisa bebas.""Bebas maksudnya?" Daffa menghentikan langkah kakinya. Aisyah memijat pelipisnya sejenak sebelum berkata-kata. "Gini, Mas. Kita sama-sama tau kalau pernikahan ini karena Ibu. Bukan karena perasaan masing-masing kita. Mas Daffa sikapnya juga aneh, punya istri kayak nggak punya. Oke nggak apa-apa kalau emang kamu belum ada perasaan ke aku, tapi kenapa kamu hamilin aku?" tatap nanar Aisyah. Daffa diam saja. "Nggak bisa jawab apa nggak mau jawab apa emang aku dijadiin pelampiasan aja?" Aisyah lanjut berjalan, meninggalkan Daffa yang masih diam mematung. "Syah, aku juga bingung sama perasaan aku!" ujar Daffa sed
💐Pernikahan Kirana dan Henggar tinggal menghitung hari. Keluarga Daffa masih tidak tau jika Aisyah hamil. Rahasia itu tetap tersimpan rapat padahal Kirana gatal ingin membeberkan. "Mas Daffa, besok bisa temenin cek kandungan?" Aisyah menatap penuh kepasrahan. Sorot matanya sayu karena tau jawabannya Daffa apa. "Yah, besok, ya. Aku harus urus cuti dan kerjaan mau nggak mau dikejar. Kamu sendiri aja kayak biasanya bisa, kan? Aku transfer uangnya." Daffa meraih ponsel yang tergeletak di meja makan apartemen, tapi gerakannya ditahan Aisyah dengan tangan. "Nggak usah, Mas. Masih banyak uang dari kamu. Cukup. Mmm, kalau sekarang temenin aku beli makan malam sate padang di depan, mau?" Aisyah mencoba lagi. Daffa menatap sendu lalu menunjuk laptop yang menyala. "Oh, banyak ya kerjaannya. Yaudah nggak apa-apa, aku beli sendiri. Tadi Yasmin telepon, kasih tau kalau Raja nanti langsung ke tempat acara Kirana aja. Nggak bisa kalau nginep karena ada les piano sama renang." Aisyah meraih dom
💐 Agung sampai hampir tersedak saat Gendis cerita keributannya dengan Bu Sukun di tempat penjual bahan brokat dan kain. Sambil membersihkan tetesan kopi yang jatuh di celana pendek santainya dengan tisu, Agung menatap takjub karena istrinya tampak tenang. "Bu, kamu sama Bu Sukun nggak bisa akur sebentar? Ya memang, warga tau siapa dia apalagi banyak yang bilang suka omongin tetangga melulu."Gendis berdecak, "akur sama orang yang lidahnya enteng buat omongin si A, B, C muter lagi begitu-begitu aja nggak bisa dong, Yah. Sesekali kasih pelajaran! " Kalimat penuh penekanan itu dirasa ada benarnya. "Aku udah pernah tegur Pak Sukun, tapi dia nggak bisa apa-apa kecuali pasrah."Gendia tertawa meremehkan. "Itulah, Yah. Kalau suami apa-apa iya aja ke istrinya. Cuma dipake buat jadi sapi perah. Bu Sukun kalau suaminya nggak kasih apa yang dia mau, kan, suka cerita ke Bu Bagiyo sambil melas-melas nangis kayak hidupnya paling menderita sejagad raya. Habis itu, Bu Bagiyo nanti kasih salam tem