"Lihat! Istrimu itu bisanya menghamburkan uang saja," cetus wanita berkacamata itu berkacak pinggang.
Raut wajah Safira seketika berubah sedih, senyuman yang menghiasi wajahnya pun memudar. Ia menelan air liurnya dan langsung menunduk seraya meremas bungkusan skincare yang sedang dipegangnya.
"Safira cuma beli mesin cuci, Bu, karena mesin cuci yang lama sudah rusak," kata Sadam seraya membuka kardus paket besar yang disandarkan ke tembok.
"Cuma, kamu bilang? Mesin cuci lama masih bisa digunakan, 'kan? Dan ini skincare terus yang dibeli," ketus Mirah seraya merebutnya dari tangan sang menantu.
"Me-mesin cuci lama sudah tidak berfungsi, Bu. Cuma pengeringnya yang masih bisa digunakan," jawab Safira.
"Ya, itu, pengeringnya masih bagus. Nyucinya bisa pakai tangan, 'kan?" Mirah memberikan skincare-nya kepada Safira seraya mendorong menantunya itu.
Jantung Safira berdegup kencang, bulir bening yang sedari tadi dibendungnya kini mengalir perlahan menuruni pipi.
"Sudahlah, Bu. Lagian ini semua pakai uang Safira, tak sedikit pun kami meminta sama Ibu," bela Sadam.
"Bela saja terus istrimu itu! Lebih baik uangnya disimpan bukan dibuang-buang percuma seperti ini," geram Mirah.
"Sudah, Bu, sudah," kata Sadam, tak ingin ada pertengkaran antara ibunya dan sang istri.
"Istri tak tahu diri, bisanya menghabiskan uang saja! Beli skincare juga buat sendiri saja, tak ingat orang lain," gerutu Mirah seraya berlalu meninggalkan anak dan menantunya dengan kesal.
Sadam merangkul bahu istrinya yang menangis dalam diam sambil terus menunduk. Ia menuntun sang istri menuju kamarnya. Pria bertubuh tinggi itu mengerti apa yang dirasakan sang istri. Ia mencoba menenangkannya.
"Maafkan Ibu, ya," ucap Sadam mendudukkan Safira di tepi tempat tidur.
Safira masih bergeming dan hanya terisak. Punggung tangannya mengusap pipi, menghapus air mata yang membasahinya.
Tubuhnya sangat letih dan lelah karena baru saja pulang kerja. Tiba di rumah malah kena marah oleh ibu mertuanya hanya gara-gara membeli mesin cuci baru, padahal memakai uangnya sendiri.
"Maafkan Ibu, ya, Sayang." Sadam memohon.
Kini tangan Sadam yang menyeka air mata Safira. Ia memandang wajah sang istri yang terlihat sangat sedih.
"Aku tak mengerti mengapa Ibu selalu bersikap seperti itu padaku? Selalu memperlakukan aku dengan buruk. Padahal selama ini aku selalu menghormati dan menghargainya, tak pernah sekali pun perhitungan dengannya. Semua yang aku beli untuk keperluan di rumah ini bukan untuk aku sendiri dan memakai uang kita bahkan uangku sendiri," tutur Safira, menatap lekat wajah sang suami.
"Iya, aku tahu. Tolong maafkan Ibu, ya." Sadam mencium kedua tangan Safira.
Hati Safira sangat sakit, terlalu sering diperlakukan tidak baik oleh ibu mertuanya. Semua yang dilakukan selalu salah di mata Mirah. Padahal Safira selalu mencoba dan berusaha membuat sang mertua senang.
Ia menatap wajah Sadam yang memelas memohon maaf atas perkataan ibunya yang menyayat hati. Safira menghela napas panjang, menenangkan hatinya yang baru saja terluka. Kemudian, ia mengangguk dan tersenyum samar. Demi sang suami, ia memaafkan Mirah. Kalau saja bukan ibu dari suaminya, tentu Safira sudah melawan.
"Terima kasih, Sayang." Sadam mengecup kening Safira.
Pria bercambang itu mengakui bahwa istrinya memang sangat baik. Selama dua tahun pernikahan, Safira bisa bertahan dengan sikap sang ibu.
Pernah beberapa kali Safira meminta keluar dari rumah itu dan ingin mengontrak, tetapi Mirah selalu melarang mereka pergi. Sadam pun mengalah dan memberi pengertian kepada istrinya.
"Iya, Mas. Ya sudah aku mau beresin belanjaan dulu," ucap Safira.
Hatinya masih terasa sangat sakit, tetapi ia mencoba untuk tenang. Safira merasa lebih baik menyibukkan diri dengan membereskan belanjaan yang dibelinya tadi setelah pulang dari kantor.
"Sudah biar aku yang bereskan, kamu istirahat saja, ya." Sadam melarang Safira yang hendak keluar dari kamar.
Ia meminta istrinya itu untuk beristirahat saja di kamar. Pria berkulit sawo matang itu melihat raut wajah sang istri yang sangat lelah.
Akhirnya, Safira membiarkan Sadam yang membereskan belanjaannya. Ia memilih untuk membersihkan diri daripada hanya berbaring di tempat tidur.
Keesokan harinya Safira sudah bangun dari sebelum Subuh. Ia sudah sibuk memasak untuk sarapan semua orang di rumah, termasuk mertua dan adik iparnya. Setelah sarapan sudah siap Safira beres-beres dan bersiap ke kantor.
Sekitar pukul tujuh semua orang di rumah Mirah sudah siap di meja makan untuk menikmati makanan yang dimasak Safira. Pagi ini perempuan beralis tipis itu memasak ayam kecap dan capcay.
Seperti biasa Safira membuatkan secangkir teh panas untuk mertuanya. Dengan hati-hati ia menyajikan di depan Mirah. Kemudian ia duduk di sebelah Sadam untuk sarapan bersama.
Namun, saat Mirah mendekatkan cangkir teh itu ke bibirnya yang merona tiba-tiba ia melempar cangkir tersebut hingga terjatuh pecah berhamburan.
Safira tersentak dengan dadanya yang naik turun. Mata Safira terbelalak melihat pecahan cangkir yang berserakan di lantai.
"Menantu kurang ajar! Kau sengaja mau buat bibir dan lidahku melepuh, ya?" teriak Mirah, mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya lalu meraih tisu dan mengelap teh yang tumpah ke bajunya.
"Ma-maaf, Bu. Aku baru buat tehnya, tadi buru-buru mandi dulu," gugup Safira.
"Alasan saja! Kau sengaja ingin buat bibir dan lidahku melepuh. Kau memang sengaja, 'kan?" teriak Mirah seraya membetulkan kacamatanya.
"Berisik, Bu, masih pagi teriak-teriak," tegur Zafar, adik Sadam yang duduk di sebelah Mirah.
"Ma-maaf, Bu. Safira tidak bermaksud melukai Ibu."
"Bohong! Bereskan semua ini sampai bersih!" perintah Mirah seraya berdiri dan menunjuk pecahan cangkir di lantai.
Safira langsung berdiri lalu berjongkok di depan pecahan cangkirnya dengan lutut dan tangannya yang gemetar. Matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi dan ia mencoba membendung air matanya.
"Cukup, Bu! Jangan terus memperlakukan Safira dengan kasar seperti ini!" teriak Sadam bangkit dari duduknya.
Ia langsung menghampiri sang istri dan membantunya membereskan pecahan cangkir teh itu. "Bela saja terus istrimu. Jelas - jelas perempuan itu mau melukai bibir dan lidahku!" dengkus Mirah menengadah."Kamu salah pilih istri, Sadam!" teriak Mirah kepada putranya. "Istri macam apa itu? Cuma bisa menghamburkan uang! Sekarang ingin melukaiku," lanjutnya."Safira sudah meminta maaf, Bu. Kalau Ibu seperti ini terus lebih baik Sadam dan Safira keluar dari rumah ini," tegas Sadam.Bak di sambar petir hati Safira hancur berkeping-keping mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang mertua hingga tak terasa darah menetes dari telunjuknya terkena pecahan cangkir. Ia memejamkan mata sampai bulir bening yang dibendungnya kini menetes ke lantai. Safira masih tertegun tak menyangka kalau Mirah akan tega berkata seperti itu."Sampai kapan pun aku tak akan pernah mengizinkanmu keluar dari rumah ini! Aku yang sudah melahirkanmu. Sudah seharusnya kau berbakti kepadaku sebagai ibumu! Mau jadi anak du
"Dan untuk Ibu, aku membeli mesin cuci dengan uangku sendiri. Tak sedikit pun meminta kepada Ibu," tegas Safira, kini memandang lekat wajah sang mertua. Wajah kedua teman Mirah berubah masam, yang tadinya senyum-senyum penuh ejekan sekarang menjadi tak enak dipandang begitupun dengan sang mertua. "Kurang ajar! Berani kau bicara tak pantas kepada ibu dari suamimu, hah? Perempuan mandul!" cetus Mirah dengan dada naik turun. Amarahnya menggelora melihat wajah Safira.Bagai dihantam batu besar yang tiba-tiba turun dari langit. Hati Safira terasa sangat hancur menjadi seperti debu beterbangan. Bibirnya seolah terkunci dan tubuhnya kaku. Hanya air mata yang mulai bergerak perlahan dan lama-lama semakin deras sampai menetes ke sepatunya.Ia terpaku di tempatnya berdiri memandang ketiga wanita yang menjauh meninggalkannya sambil menggerutu membicarakan dirinya.***"Safiraa, Safiraa," teriak Mirah dari lantai dua memanggil menantunya.Safira yang sedang asyik dengan ponselnya di kamar seger
Perutnya mulai keroncongan minta diisi. Matahari pun mulai beranjak naik, tetapi Sadam belum juga pulang dari lari pagi setelah Subuh tadi.Safira memutuskan untuk mandi saja setelah rasa lelahnya mulai hilang sambil menunggu Sadam pulang. Semalam ia minta diantar berkunjung ke rumah orang tuanya karena sudah rindu ingin bertemu ibu dan bapaknya. Safira duduk di depan meja rias, memandangi wajahnya yang cantik dan anggun. Sebenernya, Mirah sangat beruntung punya menantu secantik Safira, hanya karena Safira yang tak kunjung hamil. Jadi, Mirah membenci dirinya. "Safiraa, Safiraa," teriak Mirah lagi membuat menantunya itu tersentak. "Astaga, apa lagi, sih?" Safira membanting tempat skincare-nya ke atas kasur saat berdiri.Safira berlari kecil keluar dari kamar menghampiri Mirah yang terus memanggil namanya. Ia berdiri di depan sang mertua yang berada dapur. Mata indahnya berkedip-kedip memandang wajah sang mertua yang tak enak dipandang. Ia merasa risih saat mata Mirah memindai setia
Ia hanya bisa mengadu kepada Sadam. Tak mungkin mengadu pada kedua orang tuanya kalau ia selalu diperlakukan buruk oleh sang mertua. Perempuan berwajah cantik itu tak ingin ibu dan bapaknya khawatir. Untungnya Sadam selalu membela dirinya selama ini. Hal itu adalah salah satu alasannya tetap bertahan meskipun terkadang merengek minta pindah rumah, mengontrak pun tak masalah bagi Safira."Keterlaluan sekali Ibu berani menamparmu. Biar nanti aku bicara dengannya," kata Sadam, sedikit marah kepada sang ibu."Sudah, biarlah, Mas. Mau bicara apa pun juga tak akan pernah mengubah sikap Ibu terhadap aku. Ia memang tak menyukaiku, Mas," tutur Safira, menatap lurus ke depan.Namun, Sadam tetap akan bicara dengan ibunya. Sebagai suami, ia tak terima istrinya sampai ditampar seperti itu. Ia pun tak pernah berlaku kasar kepada Safira apalagi sampai memukul dan menamparnya. "Ya sudah, terserah, Mas, saja," balas Safira, menghela napas panjang.Tak lupa Safira pun mengungkapkan unek-unek dalam hat
"Ibu bicara apa, sih?" Sadam mulai kesal dengan sikap ibunya kepada sang istri. "Memang istrimu seperti itu, 'kan? Maunya hidup enak dan senang. Bisanya menghabiskan uang saja, heh," cetus wanita yang memakai daster selutut dan lengan pendek itu."Aku katakan sekali lagi, ya, Bu. Saat pulang kerja kadang aku merasa lelah sekali, tetapi masih harus mengurus cucian dan pekerjaan rumah lainnya," tukas Safira."Diam! Beraninya kau bicara lancang padaku," timpal Mirah.Safira pun terdiam, menghela napas kasar dan wajahnya berubah cemberut. Senyuman yang menghiasi wajahnya kini berubah seketika. Perasaan senang setelah bertemu kedua orang tua kini berubah kembali menjadi kesediaan dan sakit hati yang teramat.Ia benar-benar merasa sangat lelah dan butuh bantuan orang lain. Selama ini Mirah tak pernah sedikit pun membantunya. Setidaknya kalau tak ingin membantu, biarkan orang lain saja.Namun, justru keinginan Safira dan Sadam sangat ditentang oleh Mirah. Safira dicibir terus-menerus oleh m
"Mertuamu itu memang tak bisa masak enak, ya, Sadam," cetus Mirah. "Ayamnya ini terlalu pedas! Mau bikin Ibu sakit perut, iya, hah?" imbuh Mirah yang mengalihkan pandangan ke menantunya."Bukannya Ibu suka makan pedas. Lagi pula ini tak terlalu pedas," bela Sadam."Kau selalu saja membela perempuan ini," ketus wanita berkulit putih itu. "Lihat, Nala! Adikmu selalu tidak mempedulikan Ibu," ucapnya kepada putri pertamanya."Kalau Ibu memang tak suka masakan ibuku, tak perlu dimakan," sela Safira.Selera makannya kembali hilang, padahal sebelumnya ia sangat senang dibawakan makanan oleh ibunya sendiri. Masakan sang ibu membuat nafsu makannya bertambah, tetapi malah dihina oleh ibu dari suaminya."Diam kau!" bentak Mirah."Cukup! Cukup, Bu! Sikap Ibu terhadap Safira sudah keterlaluan, selalu saja ada hal yang dipermasalahkan. Ibu juga sudah berani menampar Safira, istri Sadam, yang selalu dijaga dengan baik. Aku, suaminya, tak pernah sedikit pun menyakiti Safira." Sontak Sadam berdiri den
Namun, Safira menolak karena masih lelah. Ia meminta waktu untuk beristirahat sejenak dan malah menyuruh mertuanya untuk minta tolong Nala yang membereskan semua karena kakak iparnya itu seharian ada di rumah."Beraninya kau menyuruh putriku!"Tangan Mirah mengayun hendak menampar kembali pipi Safira, tetapi tiba-tiba teringat Sadam dan tangannya terhenti mengambang di udara. Safira memandang lekat mata mertuanya seakan menantang. Ia yakin bahwa Mirah tak berani lagi menampar pipi mulusnya. Hati kecilnya ingin tersenyum melihat wajah sang mertua, tetapi ia tahan. "Tukang ngadu!" umpat Mirah kesal. "Ibu, sudah-sudah." Tangan Nala menarik lengan Mirah. Dada Mirah bergemuruh, kembang kempis menahan rasa kesal kepada Safira. Kalau saja bukan karena perkataan Sadam semalam, ia sudah menampar menantunya lagi lebih keras. Wanita beralis tipis itu yakin Safira akan mengadu lagi kepada putranya kalau sampai telapak tangannya itu mendarat lagi di pipi Safira."Em, Safira, aku baru saja data
"Memangnya sampai kapan Mbak Nala di sini? Tapi tadi juga ia tak mau membantuku," kata Safira memajukan bibirnya."Entahlah, mungkin satu atau dua minggu seperti biasanya."Safira menghela napas panjang. Ia berharap apa yang dikatakan Sadam betul, kakak iparnya akan membantu di rumah selama berada di sini. Satu pekan berlalu, ternyata kedatangan Nala dan kedua anaknya malah menambah beban pekerjaan di rumah untuk Safira. Tetap saja, ia yang membereskan rumah dan memasak. Belum lagi mencuci dan menyetrika baju yang kini bertambah banyak karena Safira juga yang harus mencuci dan menyetrika baju kakak ipar dan dua keponakannya. Ditambah ia harus berkali-kali membersihkan dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah Oza dan Kieran. Seharusnya Nala yang bertanggung jawab atas kedua keponakannya itu. Safira tak menyalahkan Oza dan Kieran yang masih lucu karena memang kedua anak itu butuh bermain.Selama seminggu ini pula ia merengek dan mengeluh kepada suaminya untuk menegur Nala dan