Share

Daster

"Bu Nova, mau beli daster nggak? Barangnya baru semua lho!" kata Mbak Siti, tukang kredit pakaian keliling.

Ia turun dari motornya sambil membawa tas berisi barang dagangannya. Kemudian duduk di balai bambu yang terdapat di teras rumahku. Balai bambu itu sering kami pakai untuk duduk-duduk santai sambil menunggu pembeli yang datang. Bahkan Intan dan Nayla sering tidur-tiduran dan bermain di balai bambu itu.

"Ayo Bu, silahkan dipilih! Ini warnanya cocok untuk Bu Nova," kata Mbak Siti.

"Namanya orang dagang, pasti bilangnya cocok. Biar nanti dibeli," kataku sambil memilih-milih daster.

Warti dan Minah juga ikut melihat-lihat daster karena kebetulan warung sedang sepi. Jualannya Mbak Siti boleh dibayar dengan sistem kredit atau tunai. Tentu saja harganya berbeda antara kredit dan tunai.

"Pilihkan satu untuk Bik Sarni!" kataku pada Warti.

"Ini cocok nggak Minah untuk Bik Sarni!" kata Warti.

"Terlalu ramai coraknya!" jawab Minah sambil memilih-milih.

"Kalau ini?" tanya Warti lagi.

"Nah itu cocok, warnanya lembut!" jawab Minah.

"Berapa semuanya?" tanyaku pada mbak Siti.

"Punya Warti dan Minah juga?" tanya Mbak Siti.

"Iya, empat buah daster," sahutku.

"Kredit atau tunai!"

"Tunai," jawabku.

"Dua ratus ribu semuanya Bu? Yang punya Mak Amir nggak dibayar sekalian Bu?" tanya Mbak Siti.

"Lho Emak memangnya beli juga?" tanyaku dengan heran.

"Iya, Emak ambil satu buah katanya nanti yang bayar Bu Nova. Mbak Mella juga ngambil tadi!" kata Mbak Siti.

Dalam hati aku merasa kesal dengan kelakuan emak. Seenaknya saja minta aku yang bayarin, seharusnya ngomong dulu. Kalau seperti ini aku merasa ditodong. Mau nggak mau ya harus mau. Harus mesti banyak bersabar memiliki mertua seperti Emak.

"Jadi berapa semuanya?" tanyaku pada Mbak Siti.

"Sama yang punya Mak Amir dan mbak Mella?" sahut mbak Siti.

"Punya Emak saja, kalau Mella biar bayar sendiri!" sahutku.

"Jadi totalnya dua ratus lima puluh ribu," jawab mbak Siti.

"Warti, tolong ambilkan uang di laci ya?" kataku pada Warti.

"Baik Bu," sahut Warti sambil berjalan masuk ke warung.

"Ini Bu, uangnya," kata Warti.

"Kasihkan sama Mbak Siti!" jawabku.

"Makasih Bu? Semoga rejekinya Bu Nova lancar!" sahut Mbak Siti.

"Amin." Kami menjawab bersamaan.

"Kalian bersyukur kerja disini! Bu Nova orangnya baik," kata Mbak Siti.

"Iya Mbak, Alhamdulillah! Punya bos sebaik Bu Nova," kata Warti.

"Iya, betul." Minah menimpali.

"Jangan memuji seperti itu, nanti aku bisa terbang lho!" gurauku.

Semua tertawa.

"Yang punya Mbak Mella biar dia yang bayar ya, Bu," kata Mbak Siti lagi.

"Iya, dia kan punya suami. Gaji suaminya itu besar, tabungannya juga banyak! Memang dia ambil berapa?" jawabku penasaran.

"Ambil daster tiga Bu! Kalau uangnya banyak, masa dia bilang yang bayar dasternya Bu Nova," kata Mbak Siti.

"Emang dia bilang gitu?" tanyaku lagi.

"Iya, Mak Amir juga bilang seperti itu!"

kata Mbak Siti sambil merapikan dagangannya.

"Siti, dasterku sudah dibayar kan?" tiba-tiba Emak datang menghampiri kami, diikuti oleh Mella dibelakang Emak.

"Sudah, tapi punya Mbak Mella belum," jawab Mbak Siti.

"Kok nggak dibayar sekalian sih Nov?" tanya Emak padaku.

"Mella kan uangnya banyak, ya biar di bayar sendiri Mak. Masa aku yang harus bayar dasternya, tiga lagi," sahutku.

"Kamu memang pelit." Emak menjawab dengan ketus.

"Mak, kalau aku pelit, punya Emak nggak akan aku bayar!" jawabku kesal.

"Perhitungan sekali kamu. Orang pelit itu rejekinya sempit. Kasihan Mella itu suaminya jauh!" kata Emak lagi.

"Iya Mbak, jadi orang jangan pelit," sahut Mella. Mulai deh, Mella mencari muka.

"Mak, kalau memang suaminya jauh dan nggak punya uang, beli dasternya satu saja! Jangan beli tiga." Aku memberi pengertian pada Emak.

"Terserah aku dong mau ambil berapa," jawab Mella dengan ketus.

"Memang terserah kamu, mau diborong semua juga itu urusanmu. Tapi jangan minta aku yang membayarnya," kataku dengan sengit.

"Mella itu punya uang, jangan menghina kamu," teriak Emak.

"Kalau punya uang, kenapa nggak bayar sendiri dasternya! Berarti dia yang pelit, sayang mengeluarkan uang untuk keperluannya sendiri." Aku menjawab lagi.

Warti dan Minah senyum-senyum melihat aku berdebat dengan Emak. Mereka sudah terbiasa melihat adegan perdebatan antara menantu dan mertua, terkadang dengan ipar juga. Kalau mereka bilang, dapat tontonan secara langsung sinetron ikan terbang. Ada-ada saja mereka.

"Susah ngomong sama menantu durhaka," lanjut Emak lagi. Selalu itu yang dikatakan Emak, kalau aku adalah menantu durhaka.

"Mak Amir, seharusnya Mak itu bersyukur punya menantu seperti Bu Nova. Ini bisanya hanya menghina saja. Dimana-mana kalau bercerita selalu membanggakan Mbak Mella dan menjelek-jelekkan Bu Nova. Padahal Mbak Mella itu kalau beli apa-apa yang bayar kan Mak Amir juga," jawab Mbak Siti sambil menatap Mella. Mella jadi salah tingkah mendengar ucapan Mbak Siti.

Aku kaget mendengar ucapan Mbak Siti.

"Oh, gitu ya Mbak! Aku tuh nggak perlu dijelek-jelekkan aja udah jelek kok! Berarti Emak itu perhatian dan sayang sama aku Mbak. Buktinya selalu menceritakan tentang kejelekanku, jadi emak itu selalu ingat sama aku! Ya kan Mak?" kataku sambil tersenyum, walaupun hatiku sangat geram.

Emak langsung membuang muka dan berjalan pulang ke rumahnya.

"Tuh Mell, minta uang sama Emak untuk bayar dasternya," kataku sambil tersenyum.

"Sombong kamu Mbak! Mentang-mentang lagi punya uang. Nanti kalau Mbak butuh sama aku, aku nggak mau menolong," sahut Mella sambil melangkah pergi.

"Jangan lupa Mella, hutangmu! Katanya kemarin mau bayar? Masih aku tunggu lho sampai sekarang," kataku pada Mella.

Wajah Mella merah padam, ia terus berjalan pulang.

"Saya salut dengan Bu Nova, bisa bersabar punya mertua seperti Mak Amir dan ipar seperti Mbak Mella. Mbak Mella itu pintar sekali mencari muka di depan Mak Amir. Kalau saya, sudah ribut terus setiap hari," kata Mbak Siti.

"Itu rejeki saya Mbak, punya mertua dan ipar unik seperti mereka," jawabku sambil tersenyum.

"Semoga Ibu selalu diberi kesabaran ya Bu!" sambung Minah. Diikuti dengan anggukan Warti.

"Amin!" jawabku.

"Mbak, nasi!" teriak seseorang di warung.

"Iya!" jawab Minah dan Warti sambil berjalan menuju warung.

"Terimakasih ya Bu Nova! Semoga rejekinya lancar!" kata Mbak Siti.

"Amin Mbak, semoga dagangan Mbak Siti juga laris."

"Amin Bu! Saya pulang ya Bu."

Aku mengangguk. Aku berjalan menuju warung, kulihat ada beberapa orang yang sedang mengantri makanan. Aku segera berjalan menuju meja kasir.

"Nasi tiga Bu!" kata pembeli itu sambil menyodorkan uang lima puluh ribu.

"Terimakasih ya?" kataku sambil menyerahkan uang kembaliannya.

"Hu...hu...hu." Kudengar suara Nayla menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status