Aku tersenyum menatap Bang Jo, kemudian mengangguk. Bang Jo pasti tahu apa yang aku pikirkan.
Hari ini aku tidak pergi ke kantor, karena Bang Jo ada urusan dan tidak bisa menunggu warung. Kesibukan di warung sudah dimulai. Warti dan Minah sudah datang dan menyiapkan semua perlengkapan warung. Sebenarnya capek buka usaha warung makan, tapi yang namanya bekerja itu memang capek. Kalau semua dilakukan dengan ikhlas dan senang hati, insyaAllah capek pun akan tetap senang. Inilah hidup yang harus aku syukuri."Bu, Nayla sudah bangun," kata Warti."O ya?" Aku segera masuk ke kamar, Nayla suka menangis kalau dia bangun tidak ada orang disebelahnya."Bu, Nay mau susu!" kata Nayla."Nay pipis dulu, Ibu bikin susu! Ya?" kataku membujuk Nayla untuk buang air kecil.Nayla bergegas bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi."Nay sudah pipis Bu! Nay mau nonton televisi ya, Bu?" kata Nayla.Aku segera menghidupkan televisi dan mencari acara kesukaan Nayla. Nayla menonton film kartun sambil minum susu."Ibu ke warung ya? Kalau Nay mau apa-apa panggil Ibu!" kataku pada Nayla."Iya Bu!" jawab Nayla.Aku kembali ke warung, ternyata sudah ada pembeli yang dilayani oleh Warti. Kesibukanku di warung pun dimulai. Biasanya waktu jam makan siang, warung cukup ramai.***"Nova, kamu sudah beli kado?" tanya Emak yang datang tiba-tiba. Emak memang suka seperti itu. Datang tiba-tiba tanpa salam, pulang juga tanpa pamit."Sudah, Mak!" jawabku sambil membereskan meja."Beli berapa?" tanya Emak lagi."Beli dua, untuk Intan dan Nayla.""Kok Sheila nggak dibelikan sekalian?" sahut Emak.Aku menghentikan kegiatanku dan menatap Emak. Aku berusaha berhati-hati berbicara dengan Emak. Jangan sampai membuatnya tersinggung."Mak, Sheila punya orangtua. Ya orang tuanya yang beli! Masa aku juga yang harus membelikan kado.""Susah ngomong sama orang pelit. Sama keponakan sendiri perhitungan," jawab Emak."Mak, kata Emak gaji papanya Sheila banyak. Mella tabungannya juga banyak, kok untuk beli kado saja harus aku yang membelikan? Kado ulang tahun Sheila kemarin kan masih ada, ambil saja satu untuk kado hari ini. Hutang Mella padaku saja belum dibayar, janjinya hari ini! Sampai siang ini belum kelihatan batang hidungnya!" jawabku kesal."Ya sudah, sini Emak minta uang untuk beli kado.""Mak, ini ada uang untuk jatah Emak hari ini. Kalau mau dipakai beli kado, ya silahkan. Tapi Emak jangan minta jatah lagi untuk hari ini," kataku sambil memberikan uang pada Emak."Dasar menantu durhaka, sama mertua juga perhitungan. Mudah-mudahan warungmu ini bangkrut, dan kamu jadi miskin!" teriak Emak, sampai beberapa pelanggan melihat ke arah Emak."Mak, ada apa?" tanya Bang Jo yang baru datang."Istrimu pelit, sama keponakan sendiri perhitungan. Beli kado hanya dua untuk Intan dan Nayla. Untuk Sheila nggak dibelikan!" Emak mengadu pada Bang Jo."Sheila kan punya Mama, ya suruh minta sama mamanya. Katanya uangnya Mella banyak, masa beli kado saja sampai menyuruh Emak minta sama Nova," sindir Bang Jo."Huh, kamu dan Nova sama saja! Sama-sama pelit. Semoga warungmu bangkrut!""Amin Mak, semoga doa emak terkabul. Jadi Emak tidak akan meminta uang sama Nova lagi!" kataku dengan geram."Emak, kalau mendoakan itu yang baik-baik! Selama ini siapa yang sering memberi uang sama Emak? Apakah Deni dan Mella? Yang ada justru Deni dan Mella yang selalu minta uang sama Emak! Emak memang benar-benar pilih kasih sama anak sendiri! Kalau susah larinya kesini, kalau sedang senang, lupa sama kami. Bahkan sama cucu sendiri saja pilih kasih. Selalu Sheila yang dibela! Nayla itu juga cucu Emak! Kalau memang Emak benci sama Jo dan Nova, nggak apa-apa! Tapi jangan benci dengan Nayla, cucu Emak sendiri!" teriak Bang Jo, kemudian Bang Jo masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya."Apa salah kita ya? Kok Emak sampai tega mendoakan yang jelek untuk kita," keluh Bang Jo."Sudah Bang, nggak usah diambil hati omongan Emak. Dari kemarin Emak selalu mendoakan kita seperti itu. Yang penting kita tetap mendoakan yang terbaik untuk Emak," kataku meredakan emosi Bang Jo.Bang Jo menarik nafas panjang."Benar ya Dek, watak Emak memang seperti itu. Harus sabar, kalau Abang marah-marah malah nanti tekanan darah Abang naik," sahut bang Jo."Nay...Nayla!" Terdengar suara Intan memanggil Nayla.Aku lupa, Nayla belum siap-siap mau ke acara ulang tahun Irsa. Gara-gara Emak kesini tadi jadi lupa semuanya."Ya ampun, Bang. Aku lupa belum menyiapkan pakaian untuk Nayla pergi." Aku pun buru-buru mencari pakaian untuk Nayla."Sebentar Intan, masuk saja!" seruku sambil menyiapkan baju untuk Nayla."Nayla belum ganti baju ya?" tanya Intan."Iya Intan, Ibu tadi banyak kerjaan jadi sampai lupa!" jawabku dengan berbohong."Oh, pasti gara-gara Makwo marah-marah tadi! Dari rumah sudah marah terus Makwo tadi!" kata Intan."Marah kenapa?" tanya Bang Jo."Sheila ngambek karena belum dibelikan kado sama Tante Mella. Tante Mella sibuk main ponsel terus," jawab Intan.Bang Jo melirik padaku. Aku hanya mengangkat bahu saja. Memang seperti itu kerjaan Mella, aktif di medsos. Sering posting-posting foto selfie. Seolah-olah masih gadis remaja padahal sudah punya anak. Maklumlah, baru kenal medsos jadi semua kegiatan di-posting di medsos."Nah, sudah selesai! Intan, jaga adiknya ya?" kataku pada Intan."Iya Bu!""Ayo Ayah antar kalian!" kata Bang Jo."Ini kadonya jangan lupa. Nay, jangan nakal ya? Nurut sama Mbak Intan!""Oke bos!" kata Nayla sambil cengengesan.Nayla dan Intan diantar ayahnya ke acara ulang tahun. Mereka berdua terlihat sangat bahagia. Aku melambaikan tangan ke arah mereka.Aku meraih ponsel yang ada di meja, ingin menjelajah dunia Maya. Menyambangi medsos yang beberapa waktu terakhir tidak sempat aku buka. Sejenak melupakan permasalahan di dunia nyata. Bagiku medsos hanya sebagai hiburan semata, aku juga jarang posting.Mataku tertuju pada status medsos Mella, ia memposting acara ulang tahun Sheila kemarin. Terlihat mewah, tapi sayang modalnya berhutang. Aku heran, kenapa Emak sampai rela berhutang demi merayakan hari ulang tahun Sheila."Nayla!" Terdengar suara Emak memanggil Nayla. Aku segera meletakkan ponsel, supaya tidak Emak tidak merepet terus."Ada apa, Mak?" tanyaku menyambut kedatangan Emak."Mana Nayla?""Pergi ke acara ulang tahun.""Kok nggak bareng Sheila?""Nayla dan Intan diantar ayahnya." Aku menjelaskan dengan pelan."Kok Sheila nggak diajak sih? Mereka berdua memang bersekongkol nggak mengajak Sheila. Kasihan Sheila papanya nggak ada disini, jadi dia nggak ada yang ngantar." Emak masih saja mengomel.Aku hanya terdiam, tidak mau mengomentari ocehan Emak."Sabar…sabar." Aku berkata dengan pelan."Bu Nova, mau beli daster nggak? Barangnya baru semua lho!" kata Mbak Siti, tukang kredit pakaian keliling. Ia turun dari motornya sambil membawa tas berisi barang dagangannya. Kemudian duduk di balai bambu yang terdapat di teras rumahku. Balai bambu itu sering kami pakai untuk duduk-duduk santai sambil menunggu pembeli yang datang. Bahkan Intan dan Nayla sering tidur-tiduran dan bermain di balai bambu itu."Ayo Bu, silahkan dipilih! Ini warnanya cocok untuk Bu Nova," kata Mbak Siti."Namanya orang dagang, pasti bilangnya cocok. Biar nanti dibeli," kataku sambil memilih-milih daster.Warti dan Minah juga ikut melihat-lihat daster karena kebetulan warung sedang sepi. Jualannya Mbak Siti boleh dibayar dengan sistem kredit atau tunai. Tentu saja harganya berbeda antara kredit dan tunai."Pilihkan satu untuk Bik Sarni!" kataku pada Warti."Ini cocok nggak Minah untuk Bik Sarni!" kata Warti."Terlalu ramai coraknya!" jawab Minah sambil memilih-milih."Kalau ini?" tanya Warti lagi."Nah it
"Ada apa Nay?" tanyaku pada Nayla.Nayla tidak menjawab, hanya menangis terus."Maafkan Intan Bu. Intan lalai menjaga Nayla," kata Intan pelan sambil menunduk. Sepertinya ia ketakutan, kalau aku marah."Memangnya Nayla kenapa?" tanyaku dengan suara lembut."Nayla rebutan mainan sama Sheila. Sheila kalah, dia mencubit Nay dan merebut kembali mainan Nay. Intan nggak bisa mencegah Sheila karena Intan sedang mengambil minum untuk Nay. Maafkan Intan Bu," jawab Intan sambil menunduk.Aku mendekati Intan dan memegang tangannya. "Intan nggak bersalah. Intan sudah jadi kakak yang baik untuk Nayla. Buktinya Intan sedang mengambilkan minum untuk Nayla, ya kan?" kataku pada Intan.Intan mengangguk."Ibu nggak marah sama Intan?"Aku menggelengkan kepala."Sudah, sekarang Intan dan Nayla main di balai bambu saja. Ya?" kataku pada Intan.Nayla sudah berhenti nangisnya."Lihat Bu, tangan Nay yang dicubit Sheila," kata Nayla sambil menunjukkan tangannya yang sedikit lecet karena dicubit Sheila.Seben
"Iya Mak, ada apa?" tanya Bapak."Dicariin dari tadi kok malah kesini, sarapan disini ya? Kayak di rumah nggak dikasih makan, Pak?" gerutu Emak sambil melirik ke arahku. "Memangnya kenapa kalau sarapan disini? Tadi sarapan sama Nayla," jawab Bapak "Nay, kok nggak mau main sama Sheila? Sheila punya mainan baru lho," ucap Emak pada Nayla, untuk mengalihkan pembicaraan."Nggak mau, Sheila pelit! Kalau punya mainan nggak mau minjemin." Nay menjawab dengan ketus."Eh, siapa bilang?" tanya Emak."Nay yang bilang. Emang Sheila pelit kok. Nay pegang mainannya saja nggak boleh.""Tuh, anak diajarin ngomong nggak benar. Adiknya sendiri dikatain pelit!" kata Emak padaku dengan tatapan sinis. Aku menghela nafas sebelum menjawab perkataan Emak."Mak, Emak juga sering bilang kalau aku pelit. Mungkin Nay ikut-ikutan ngomong pelit karena ada yang ditiru." Aku membalas ucapan Emak."Benar itu Mak, anak kecil itu akan meniru omongan orang dewasa." Bapak ikut menimpali."Huh, ngomong sama kalian meman
"Kenapa, Mbak?" Suara Rita mengagetkanku. Sepertinya Rita memperhatikan aku dari tadi."Kamu ini ngagetin aku aja. Nggak apa-apa kok!" Aku berusaha mengatur emosiku."Nggak mungkin nggak apa-apa. Dari tadi aku memperhatikan Mbak Nova. Setelah memegang ponsel, wajah Mbak Nova berubah menjadi seperti marah. Pasti ada sesuatu di ponsel Mbak. Apakah ada yang memberi tahu sesuatu?" selidik Rita, aku yakin kalau dia sangat kepo.Aku menyerahkan ponselku pada Rita, matanya langsung terbelalak menatap layar ponsel."Ini status Dewi?" tanya Rita, sepertinya ia kurang yakin.Aku mengangguk sambil mengatur nafas, yang tadi sempat naik turun karena emosi. Benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya Dewi membuat status seperti itu di Facebook."Sudah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Biarkan saja. Orang-orang sudah tahu, kalau Mbak Nova nggak seperti itu. Kalau diladeni, nanti malah ramai dan membuat masalah baru." Rita menenangkanku. Kemudian ia membuka ponselnya dan mencari akun Dewi."Iya, aku nggak mau m
"Nova, mana Johan?" tanya Emak yang tiba-tiba datang ke warung."Belum pulang, Mak," jawabku dengan sejenak menghentikan kegiatanku membungkus nasi."Kemana?" tanya Emak lagi."Tadi katanya mau ke sekolah Dewi, sesudah itu mau pergi bersama temannya. Ada apa, Mak?" Aku balik bertanya."Bilangin sama Johan, nanti ponselnya langsung kasihkan sama Dewi. Kasihan Dewi kalau nggak punya ponsel.""Iya, Mak.""Nova, ikut arisan ya? Satu juta sebulan.""Maaf, Mak, saya nggak sanggup terlalu besar. Saya sanggupnya cuma seratus atau dua ratus ribu sebulannya.""Masa kamu kalah sama Mella. Dia ikut lho. Nggak usah pelit-pelit, itu kan uangnya Johan. Emak yakin, Johan tidak akan keberatan kalau kamu ikut arisan itu." Emak semangat sekali mengompori. Aku mulai jengah dengan ucapan Emak."Maaf, Mak.""Hidup numpang saja, belagu!" gerutu Emak.Walaupun Emak berkata pelan, tapi aku masih mendengarnya. Hatiku terasa sangat panas. Warti dan Minah hanya diam saja, aku tahu mereka sebenarnya ingin berkome
"Tuh, menantu kesayangan Emak. Gayanya sok kaya, tapi hutang dimana-mana." Bang Jo berkata sambil tersenyum."Bu, ada yang nyariin Tante Mella," teriak Nayla dari luar."Suruh masuk kesini orangnya, Nay." jawabku spontan. Emak langsung melotot padaku."Assalamualaikum, Bu Nova," sapa orang yang dimaksud Nayla."Waalaikumsalam, eh Bu Lasmi. Mari masuk Bu!" jawabku sambil menoleh ke arah datangnya suara."Terimakasih Bu.""Ada apa ya Bu?" tanyaku."Saya mencari Mbak Mella, barangkali dia ada disini." Bu Lasmi menjelaskan."Ngapain kamu mencari Mella." Emak menimpali ucapan Bu Lasmi."Begini Mak Amir, Mbak Mella ada hutang sama saya, janjinya Minggu lalu mau dibayar. Setiap saya cari selalu tidak ada." Bu Lasmi menjelaskan."Hutang apa, Bu?" tanyaku penasaran."Jam tangan, Bu Nova," jelas Bu Lasmi."Hanya jam tangan saja kok, nanti juga dibayar sama Mella." Emak masih membela Mella."Memangnya berapa harga jam tangannya?" tanya Bapak."Lima ratus ribu." Bu Lasmi menjawab dengan semangat.
"Ada apa, Den?" tanyaku pada Deni."Mella ada disini nggak Mbak?" tanya Deni, terlihat kalau ia sangat emosi.Belum sempat aku menjawab pertanyaan Deni, Mbak Siti langsung berbicara."Kayaknya tadi lari ke dapur lho, Pak," jawab Mbak Siti.Deni langsung berlari ke dapur yang dimaksud."Bu, saya permisi pulang. Kayaknya sebentar lagi ada perang dunia ketiga, haha!" kata Mbak Siti sambil menunjuk ke arah dapur. Aku langsung menepuk jidat. Benar saja apa yang dikatakan Mbak Siti. Terdengar perdebatan antara Deni dan Mella."Kamu ambil uang di dompetku ya Mel!" Suara Deni terdengar membentak Mella."Iya, Kak." "Untuk apa uang itu? Memangnya uang yang aku kasih kurang ya?" "Masa istri ambil uang suami kok nggak boleh?""Bukannya nggak boleh, tapi kamu harus izin dulu sama aku. Berapa yang kamu ambil?""Lima ratus ribu." "Jangan bohong kamu, berapa yang kamu ambil?""Delapan ratus ribu.""Untuk apa uang itu?" seru Deni."Bayar hutang.""Hutang apa!" bentak Deni."Hutang baju.""Astaghfi
"Assalamualaikum, Nova." Suara seorang laki-laki yang sangat kukenal. Aku langsung menoleh ke arah suara itu berasal."Bapak!" Aku kaget dan segera beranjak dari duduk, mendekati Bapak. Ya, Bapak kandungku datang. Aku mencium tangan Bapak, Bapak mengelus kepalaku. Bapak datang berdua dengan Manto, anak buah bapak. Aku duduk menemani bapak dan Manto. Bapak tinggal di kecamatan yang berbeda denganku. Dengan jarak sekitar dua jam perjalanan.Bapak dan ibuku bercerai ketika aku masih kelas satu SMA. Karena dulu bapak berselingkuh dengan mantannya. Aku benar-benar kacau saat itu, tapi beruntung aku tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif. Aku ikut nenek dari pihak bapak, ibu dan adikku satu-satunya ikut nenek dari pihak ibu. Bapak sudah menikah lagi, tapi tidak dengan selingkuhannya. Ternyata selingkuhannya itu hanya ingin memanfaatkan Bapak saja. Ibu Sis, begitu aku memanggil istri bapak yang bernama Siska. Dari pernikahan itu, lahirlah Anissa.Ibuku juga sudah menikah lagi, dan memi