"Kenapa, Mbak?" Suara Rita mengagetkanku. Sepertinya Rita memperhatikan aku dari tadi.
"Kamu ini ngagetin aku aja. Nggak apa-apa kok!" Aku berusaha mengatur emosiku."Nggak mungkin nggak apa-apa. Dari tadi aku memperhatikan Mbak Nova. Setelah memegang ponsel, wajah Mbak Nova berubah menjadi seperti marah. Pasti ada sesuatu di ponsel Mbak. Apakah ada yang memberi tahu sesuatu?" selidik Rita, aku yakin kalau dia sangat kepo.Aku menyerahkan ponselku pada Rita, matanya langsung terbelalak menatap layar ponsel."Ini status Dewi?" tanya Rita, sepertinya ia kurang yakin.Aku mengangguk sambil mengatur nafas, yang tadi sempat naik turun karena emosi. Benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya Dewi membuat status seperti itu di F******k."Sudah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Biarkan saja. Orang-orang sudah tahu, kalau Mbak Nova nggak seperti itu. Kalau diladeni, nanti malah ramai dan membuat masalah baru." Rita menenangkanku. Kemudian ia membuka ponselnya dan mencari akun Dewi."Iya, aku nggak mau meladeni anak kecil.""Sip, nggak level ya Mbak. Lihat Mbak, Dewi terlibat perang komentar dengan seseorang. Sepertinya, gurunya Dewi. Wah, bakal jadi masalah besar ini. Bisa-bisa Dewi dipanggil guru BK." Rita memberitahu, dengan mata masih menatap layar ponsel."Bisanya jadi tukang ngadu, memfitnah dan mencari muka. Beruntunglah kalian yang tidak memiliki ibu tiri. Ternyata benar cerita di sinetron itu. Ibu tiri yang hanya menumpang hidup dan ingin menguasai harta." Itulah status yang dibuat oleh Dewi.[Tidak semua ibu tiri itu jahat. Banyak kok ibu tiri yang baik.]Komentar dari seseorang di status F******k Dewi. Dewi langsung membalas komentar itu.[Ibu tiri yang aku kenal, orangnya tidak baik, pandai mencari muka dan suka memfitnah.]Ada yang berkomentar lagi.[Jangan buat status di F******k seperti ini, nanti akan menimbulkan masalah.]Sepertinya Dewi tidak suka dikritik, ia pun membalas komentar tersebut.[Biarin, nggak usah ikut campur urusanku!]Aku hanya mengamati dan membaca komentar yang ada. Tak lama kemudian ada komentar bijak dari seseorang.[Aku kenal dengan ibu tirimu, beliau orangnya baik. Beruntung kamu punya ibu tiri seperti dia.][Baik apaan! Bisanya cuma memfitnah saja dan ingin menguasai harta ayahku.]Deg! Hatiku terasa panas membaca balasan komentar dari Dewi. Jadi selama ini ia pikir aku ingin menguasai harta ayahnya. Aku yakin Dewi mendapat hasutan dari orang lain. Karena beberapa hari ini, aku dan Dewi tidak ada masalah apa-apa.Kasihan Dewi, jiwanya masih labil. Kebetulan dia mendapatkan masukan yang tidak baik, dan langsung diluapkan melalui medsos.***"Kok lesu sekali, ada masalah apa?" tanya Bang Jo, ketika aku pulang dari kantor."Nggak apa-apa kok, cuma banyak kerjaan saja. Jadi badan agak capek. Aku ke dalam dulu ya, Bang?" Aku segera masuk ke kamar.Bang Jo mengangguk, karena ia masih sibuk membantu Warti membungkus nasi. Aku tidak mungkin menceritakan masalah status Dewi di medsos dengan Bang Jo. Hanya masalah kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kalau sampai Emak tahu, bakal jadi perang dunia ketiga."Bu...Bu…." Suara Minah memanggilku."Iya, ada apa, Minah?" Aku membuka pintu kamar."Ibu dipanggil Bapak, disuruh ke warung," kata Minah."Iya, sebentar lagi Ibu kesana," jawabku.Aku segera berganti pakaian dan kemudian berjalan menuju warung. Disana sudah ada Dewi dan Bapak mertua."Ada apa, Bang?" tanyaku pada Bang Jo.Bang Jo terlihat marah pada Dewi dan Bapak berusaha menenangkannya."Begini Nova, ponsel Dewi disita oleh gurunya di sekolah. Karena waktu jam pelajaran tadi, ia main ponsel. Besok orangtuanya disuruh ke sekolah untuk mengambil ponsel." Bapak menjelaskan padaku."Oh, betul itu, Dewi? Kamu main ponsel saat pelajaran sedang berlangsung." Aku bertanya menyelidik pada Dewi."Iya, Bu." Dewi menjawab dengan entengnya dan tatapan matanya sepertinya menantangku. Kalau anakku sendiri, sudah aku remas mulutnya. Kebiasaan selalu menganggap remeh orang lain."Ya sudah, biar besok Ayah yang mengambil ponselnya," balasku."Tapi Johan tidak mau ke sekolah mengambil ponsel itu." Bapak menjawab ucapanku."Biarlah jadi pelajaran buat Dewi. Sudah dibilang, kalau ke sekolah nggak usah bawa ponsel. Tapi masih saja dibawa. Peraturan sekolahmu sudah jelas, tidak boleh membawa ponsel. Kalau ketahuan membawa, ponsel akan diambil guru. Jelas, kan?" Suara Bang Jo terdengar sangat tegas.Dewi hanya diam saja."Dewi, ponsel tadi kamu gunakan untuk apa? Main game atau main Tiktok?" tanyaku pada Dewi."Facebookan, Bu." Dewi menjawab dengan pelan."Oh, bikin status atau balas komentar status orang?" cecarku."Bikin status dan membalas komentar di statusku.""Yang status tentang ibu tiri itu ya?" sindirku langsung.Wajah Dewi berubah merah."Kamu membalas komentar kalau ibu tirimu itu tukang fitnah, menumpang hidup dan ingin menguasai harta ayahmu. Begitu kan?" ucapku dengan nada suara yang kubuat santai, padahal dalam hatiku seperti mau perang.Bang Jo dan Bapak kaget mendengar apa yang aku katakan."Dengar ya, Dewi. Walaupun Ibu menumpang hidup pada ayahmu, tapi Ibu juga bekerja. Tidak hanya meminta uang saja dengan ayahmu. Ingatkah kamu? Ayahmu membuka usaha warung nasi ini ketika menikah dengan Ibu. Jadi Ibu ada andil juga dalam usaha ini. Ibu juga sadar diri kok kalau Ibu memang menumpang hidup. Ibu tidak menyalahkan kamu. Ibu hanya kasihan sama kamu, karena kamu mendapatkan masukan yang tidak baik. Seharusnya kamu pikirkan dulu semuanya sebelum kamu membuat status di F******k itu. Jadi seolah-olah, ibu tiri itu semuanya jahat. Ibu sudah memaafkan kamu." Aku berusaha supaya air mataku tidak menetes."Benar yang dikatakan Ibu itu, Dewi?" tanya Bang Jo.Dewi mengangguk. Bang Jo terlihat emosi, aku segera memberinya isyarat supaya tidak marah-marah."Dewi, kenapa kamu bisa berpendapat seperti itu tentang ibu tiri?" tanya Bapak."Makwo dan Tante Mella yang mengatakan itu." Suara Dewi terdengar pelan.Kami semua kaget mendengar pengakuan Dewi. Benar dugaanku kalau Dewi hanya mendengar masukan yang salah."Nova, mana Johan?" tanya Emak yang tiba-tiba datang ke warung."Belum pulang, Mak," jawabku dengan sejenak menghentikan kegiatanku membungkus nasi."Kemana?" tanya Emak lagi."Tadi katanya mau ke sekolah Dewi, sesudah itu mau pergi bersama temannya. Ada apa, Mak?" Aku balik bertanya."Bilangin sama Johan, nanti ponselnya langsung kasihkan sama Dewi. Kasihan Dewi kalau nggak punya ponsel.""Iya, Mak.""Nova, ikut arisan ya? Satu juta sebulan.""Maaf, Mak, saya nggak sanggup terlalu besar. Saya sanggupnya cuma seratus atau dua ratus ribu sebulannya.""Masa kamu kalah sama Mella. Dia ikut lho. Nggak usah pelit-pelit, itu kan uangnya Johan. Emak yakin, Johan tidak akan keberatan kalau kamu ikut arisan itu." Emak semangat sekali mengompori. Aku mulai jengah dengan ucapan Emak."Maaf, Mak.""Hidup numpang saja, belagu!" gerutu Emak.Walaupun Emak berkata pelan, tapi aku masih mendengarnya. Hatiku terasa sangat panas. Warti dan Minah hanya diam saja, aku tahu mereka sebenarnya ingin berkome
"Tuh, menantu kesayangan Emak. Gayanya sok kaya, tapi hutang dimana-mana." Bang Jo berkata sambil tersenyum."Bu, ada yang nyariin Tante Mella," teriak Nayla dari luar."Suruh masuk kesini orangnya, Nay." jawabku spontan. Emak langsung melotot padaku."Assalamualaikum, Bu Nova," sapa orang yang dimaksud Nayla."Waalaikumsalam, eh Bu Lasmi. Mari masuk Bu!" jawabku sambil menoleh ke arah datangnya suara."Terimakasih Bu.""Ada apa ya Bu?" tanyaku."Saya mencari Mbak Mella, barangkali dia ada disini." Bu Lasmi menjelaskan."Ngapain kamu mencari Mella." Emak menimpali ucapan Bu Lasmi."Begini Mak Amir, Mbak Mella ada hutang sama saya, janjinya Minggu lalu mau dibayar. Setiap saya cari selalu tidak ada." Bu Lasmi menjelaskan."Hutang apa, Bu?" tanyaku penasaran."Jam tangan, Bu Nova," jelas Bu Lasmi."Hanya jam tangan saja kok, nanti juga dibayar sama Mella." Emak masih membela Mella."Memangnya berapa harga jam tangannya?" tanya Bapak."Lima ratus ribu." Bu Lasmi menjawab dengan semangat.
"Ada apa, Den?" tanyaku pada Deni."Mella ada disini nggak Mbak?" tanya Deni, terlihat kalau ia sangat emosi.Belum sempat aku menjawab pertanyaan Deni, Mbak Siti langsung berbicara."Kayaknya tadi lari ke dapur lho, Pak," jawab Mbak Siti.Deni langsung berlari ke dapur yang dimaksud."Bu, saya permisi pulang. Kayaknya sebentar lagi ada perang dunia ketiga, haha!" kata Mbak Siti sambil menunjuk ke arah dapur. Aku langsung menepuk jidat. Benar saja apa yang dikatakan Mbak Siti. Terdengar perdebatan antara Deni dan Mella."Kamu ambil uang di dompetku ya Mel!" Suara Deni terdengar membentak Mella."Iya, Kak." "Untuk apa uang itu? Memangnya uang yang aku kasih kurang ya?" "Masa istri ambil uang suami kok nggak boleh?""Bukannya nggak boleh, tapi kamu harus izin dulu sama aku. Berapa yang kamu ambil?""Lima ratus ribu." "Jangan bohong kamu, berapa yang kamu ambil?""Delapan ratus ribu.""Untuk apa uang itu?" seru Deni."Bayar hutang.""Hutang apa!" bentak Deni."Hutang baju.""Astaghfi
"Assalamualaikum, Nova." Suara seorang laki-laki yang sangat kukenal. Aku langsung menoleh ke arah suara itu berasal."Bapak!" Aku kaget dan segera beranjak dari duduk, mendekati Bapak. Ya, Bapak kandungku datang. Aku mencium tangan Bapak, Bapak mengelus kepalaku. Bapak datang berdua dengan Manto, anak buah bapak. Aku duduk menemani bapak dan Manto. Bapak tinggal di kecamatan yang berbeda denganku. Dengan jarak sekitar dua jam perjalanan.Bapak dan ibuku bercerai ketika aku masih kelas satu SMA. Karena dulu bapak berselingkuh dengan mantannya. Aku benar-benar kacau saat itu, tapi beruntung aku tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif. Aku ikut nenek dari pihak bapak, ibu dan adikku satu-satunya ikut nenek dari pihak ibu. Bapak sudah menikah lagi, tapi tidak dengan selingkuhannya. Ternyata selingkuhannya itu hanya ingin memanfaatkan Bapak saja. Ibu Sis, begitu aku memanggil istri bapak yang bernama Siska. Dari pernikahan itu, lahirlah Anissa.Ibuku juga sudah menikah lagi, dan memi
Tiba-tiba Bang Jo memelukku dari belakang."Maafkan, Abang. Abang tidak bermaksud menyudutkanmu. Abang tetap mendukung setiap tindakanmu. Abang percaya padamu, Dek." Bang Jo semakin erat mendekapku, aku merasa sangat bahagia.Aku menghapus air mataku."Terima kasih atas kepercayaan Abang padaku," kataku dengan tersenyum. Semoga Bang Jo selalu mendukungku dalam susah ataupun sedih. "Abang nggak tahu kalau Emak berkata begitu. Tadi Emak bercerita dengan sedih tentang Deni dan Mella. Makanya Abang jadi ikut bersedih. Jangan khawatir, ada Abang disampingmu." Bang Jo menenangkan ku."Mella benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ia punya hutang dimana-mana. Pantas saja kalau Deni sangat marah. Aku jadi kasihan sama Deni.""Mereka sudah sama-sama dewasa. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita nggak perlu ikut campur," kataku pada Bang Jo. Bang Jo hanya mengangguk.***Aku baru pulang dari kantor, masuk ke warung. Minah membisikan sesuatu padaku. Aku kaget mendengar ucapan Mina
"Oh, mau menginap sama anak-anak, ya? Betul kata Nova tadi, bawa sekalian tasnya!" perintah Bapak.Mbak Narsih menatapku dengan wajah tidak suka. Aku tersenyum penuh kemenangan. Bapak memang selalu berada dipihakku.Dewi dan ibunya berjalan mengikuti Bapak. Tinggallah aku dan Bang Jo. Nayla dan Intan sudah pergi entah kemana. Bang Jo melihatku dengan tatapan aneh, mungkin dia marah. Aku pura-pura tidak mengerti kalau dia marah."Sudah makan, Bang?" tanyaku.Tidak ada jawaban darinya."Sudah ngopi?" tanyaku lagi.Masih tidak ada jawaban."Oh, ternyata sudah ngopi dengan ibunya Dewi, ya? Ya sudah kalau tidak mau menjawab. Nanti tidak bisa bicara sungguhan baru tahu rasa," ucapku sambil berjalan pergi meninggalkannya dan menuju ke warung.Minah sedang melayani pembeli. Warti masih mencuci piring di belakang."Bu, tidak Ibu rekam ya kejadian tadi?" tanya Minah ketika selesai melayani pembeli."Kejadian apa?" tanyaku pura-pura tidak paham."Tadi tuh, ada Pakwo di depan, terus saya panggil.
Aku diam saja, malas menanggapi. Kulihat Minah agak kesal mendengar ucapan Mbak Narsih."Diajak ngomong tuh jawab," seru Mbak Narsih."Memangnya Mbak tadi ngomong sama aku ya?" jawabku."Ya iyalah," sahut Mbak Narsih."Mbak kan nggak menyebut nama, jadi nggak tahu siapa yang diajak bicara," lanjutku dengan kesal.Muncul Bang Jo bersama dengan Nayla yang sudah kelihatan wangi."Anak Ibu sudah mandi ya?" tanyaku pada Nayla."Iya Bu, wangi nggak?" jawab Nayla."Wangi sekali, sudah minum susu?""Sudah, tadi Ayah yang buat."Bang Jo kelihatan gugup, mungkin mau menyapa Mbak Narsih tapi tidak berani. Mbak Narsih memandang Bang Jo tanpa berkedip. "Mas, sudah sarapan?" tanya Mbak Narsih."Sudah," jawab Bang Jo."Ayah, katanya tadi mau jemput Mbak Intan. Ayo!" ajak Nayla sambil mendekati Bang Jo."Iya, sebentar lagi," sahut Bang Jo."Ayo, Yah!" rengek Nayla sambil menarik tangan Bang Jo. "Mau jemput Mbak Intan ya? Tante boleh ikut?" tanya Mbak Narsih pada Nayla."Motornya nggak muat, Tante.
"Jangan suudzon gitu, Mak. Dosa." Bang Jo menimpali."Kenapa sih dari tadi kamu membela dia terus. Ingat, dia itu bukan lagi istrimu. Dia yang dulu meninggalkanmu, disaat kamu sedang terpuruk. Sekarang giliran kamu mulai menanjak lagi, dia malah datang. Apa kamu nggak curiga? Selama ini dia kemana? Apakah dia ingat sama anak-anaknya? Jangankan datang berkunjung, menelpon menanyakan kabar saja tidak pernah," teriak Emak.Aku kaget mendengar penuturan Emak. Benar juga yang dikatakannya. Selama lima tahun aku menikah dengan Bang Jo, baru beberapa kali ia menjenguk anaknya. Wah, aku harus waspada ini."Mak, jangan bicara sembarangan. Siapa yang sudah menghasut Emak? Apakah Nova yang melakukannya?" tanya Bang Jo."Tidak ada yang menghasut Emak. Pokoknya Emak tidak mau tahu. Malam ini tidak boleh menginap di rumah Emak." Kudengar langkah kaki, aku segera berlari menuju warung. Langsung aku duduk di kursi kasir dengan terengah-engah. Aku menarik nafas panjang. Warti yang melihatku tampak ke