Share

Jarimu Harimaumu!

"Iya Mak, ada apa?" tanya Bapak.

"Dicariin dari tadi kok malah kesini, sarapan disini ya? Kayak di rumah nggak dikasih makan, Pak?" gerutu Emak sambil melirik ke arahku.

"Memangnya kenapa kalau sarapan disini? Tadi sarapan sama Nayla," jawab Bapak

"Nay, kok nggak mau main sama Sheila? Sheila punya mainan baru lho," ucap Emak pada Nayla, untuk mengalihkan pembicaraan.

"Nggak mau, Sheila pelit! Kalau punya mainan nggak mau minjemin." Nay menjawab dengan ketus.

"Eh, siapa bilang?" tanya Emak.

"Nay yang bilang. Emang Sheila pelit kok. Nay pegang mainannya saja nggak boleh."

"Tuh, anak diajarin ngomong nggak benar. Adiknya sendiri dikatain pelit!" kata Emak padaku dengan tatapan sinis. Aku menghela nafas sebelum menjawab perkataan Emak.

"Mak, Emak juga sering bilang kalau aku pelit. Mungkin Nay ikut-ikutan ngomong pelit karena ada yang ditiru." Aku membalas ucapan Emak.

"Benar itu Mak, anak kecil itu akan meniru omongan orang dewasa." Bapak ikut menimpali.

"Huh, ngomong sama kalian memang susah," gerutu Emak.

"Mak, Deni pulang ya?" tanya Bang Jo mengalihkan pembicaraan.

"Iya, beli oleh-oleh banyak. Bawa uang banyak Deni itu." Emak bicara dengan senyum sumringah.

"Alhamdulillah, kalau bawa uang banyak. Berarti hutangnya Mella nanti pasti dibayar sama Deni ya Bang! Lumayan untuk tambahan belanja warung," ucapku dengan bahagia.

"Kamu itu sama adik sendiri perhitungan, pelit sekali. Hutang segitu saja diungkit-ungkit terus." Emak menggerutu lagi.

"Tuh, Emak selalu ngomongin kami pelit. Kalau memang Deni dan Mella nggak punya uang, kami ikhlas hutangnya nggak dibayar. Tapi mereka selalu foya-foya kalau Deni baru pulang," sahut Bang Jo dengan kesal.

"Siapa bilang mereka nggak punya uang? Kamu menghina ya?" bela Emak.

"Makanya Mak, kalau mereka punya uang, seharusnya mereka membayar hutangnya. Yang namanya hutang, satu rupiah pun nanti ada hitungannya di akhirat," kataku memberi penjelasan.

"Baru belajar mengaji saja sudah seperti ustadzah. Sok ngajarin orang tua," cibir Emak.

"Itulah Mak, ayo sekali-kali ikut saya ngaji. Biar banyak teman untuk saling berbagi ilmu. Emak bisa berbagi ilmu, Emak kan sudah kenyang dengan pengalaman hidup, bisa berbagi dengan kami yang masih muda-muda," sahutku lagi.

"Tuh benar yang dikatakan Nova, sekali-kali ikut pengajian. Jangan hanya ghibah saja kerjanya dan mudah sekali dihasut Mella." Bapak ikut menimpali. Aku tersenyum mendengar ucapan Bapak.

"Bapak sok tahu ah," kata Emak tidak mau kalah.

"Mak, kita ini sudah tua. Nggak usah ikut-ikutan urusan anak muda. Emak tuh selalu ikut campur urusan anak-anak. Mereka kan sudah dewasa, biarlah mereka mengurus urusan mereka sendiri. Emak juga jangan suka pilih kasih sama anak dan cucu. Selalu membela Mella dan Sheila padahal mereka belum tentu benar. Bapak benar-benar stress mikirin tingkah laku Emak. Semakin tua kok makin nggak karuan. Bikin malu saja!" Bapak mengeluarkan keluh kesahnya.

Emak hanya diam, tidak berani membalas ucapan Bapak.

***

"Mbak, coba lihat. Ini status adik ipar Mbak Nova. Lebay sekali," kata Rita, teman kerjaku di kantor desa.

Ia menunjukkan ponselnya padaku. Kulihat Mella membuat status di medsos berlambang F. Dengan caption "Terima kasih suamiku atas hadiahnya. Semakin love deh sama kamu".

Aku tertawa melihatnya. Tampak foto Mella memakai jam tangan baru, kemudian beberapa foto mesra Mella dan Deni. Bukannya aku iri, tapi menurutku itu sangat lebay. Kemesraan kita dengan pasangan tidak perlu dipamerkan. Pencitraan saja.

"Kenapa tertawa, Mbak?" tanya Rita dengan raut wajah yang penasaran.

"Ini namanya mempromosikan suaminya!" sahutku sambil menyerahkan ponselnya Rita.

"Kok bisa?" cecar Rita, ia tampak penasaran dengan ucapanku.

"Gini ya, Mella itu memberitahukan kepada seluruh dunia, bahwa suaminya itu baik, penyayang dan suka memberinya hadiah. Pasti ada saja perempuan yang iri melihat kehidupan Mella di medsos. Akhirnya si perempuan itu akan penasaran dengan suaminya Mella. Iseng-iseng, ia akan mengirimkan permintaan pertemanan pada suami Mella." Aku berhenti sejenak, Rita masih menatapku dengan serius.

"Terus?" Rita sepertinya sudah tidak sabar mendengar kelanjutan ceritaku.

"Sabar!" Aku tertawa, Rita malah kesal. Aku pun memasang wajah yang serius lagi.

"Apalagi di status itu Mella men-tag suaminya. Kalau suaminya Mella iseng juga, akhirnya menerima permintaan pertemanan itu. Mereka akan saling nge-like status, saling komen, saling inbox. Itulah awal mula perselingkuhan terjadi."

"Oh, iya ya." Rita manggut-manggut, "seperti teman sekolahku, suaminya berselingkuh gara-gara F******k."

"Nah, itu maksudku!" sahutku, "makanya, jangan pamer kemesraan dengan pasangan di medsos. Kadang-kadang, yang tampak mesra itu sebenarnya malah tidak mesra sama sekali."

"Nih, lihat Mbak ada yang komen, katanya enak punya suami seperti suami Mella," seru Rita sambil mata menatap di layar ponsel.

"Itu dia, sudah ada satu yang merasa iri dengan kehidupan Mella. Itu yang terang-terangan komentar. Yang nggak berkomentar, kan banyak," imbuhku.

"Memang benar ya Mbak, kita harus berhati-hati sekali di medsos. Ada pepatah yang mengatakan 'jarimu harimaumu'. Ih ngeri ya?" Rita bergidik.

"Betul itu. Kalau kita tidak pandai-pandai menahan jari kita, akan berakibat buruk bagi kita nantinya." Aku menjelaskan pada Rita.

"Mbak, Mella itu hutangnya banyak lho," sambung Rita.

"Masa sih! Tahu dari siapa kamu?" Aku heran, Rita ini kayak g****e saja. Tahu banyak informasi.

"Tahu dari orang-orang. Ada hutang baju, panci presto, Tupperware, karpet karakter, belum lagi arisan-arisan. Apa nggak pusing ya mikir cicilannya?" Rita bergumam sendiri.

"Nggak usah dipikirin, nanti malah kamu yang pusing," ledekku, melihat wajah Rita yang sangat serius.

"Iya ya, ngapain aku mikirin hutangnya orang. Haha." Rita tertawa menyadari kelakuannya.

"Wah ada yang sedang bahagia ya. Tertawanya renyah sekali." Suara Gino mengagetkan kami.

"Biasa Gino, Rita pagi-pagi sudah ngajak aku ghibah," selorohku.

"Bukan ghibah Mbak, tapi memberi informasi yang cepat dan akurat," sanggah Rita.

"Kayak testpack saja deh, cepat dan akurat," selorohku sambil tertawa. Rita dan Gino ikut tertawa.

"Memang ya perempuan itu kalau sudah ngumpul pasti ceritanya kemana-mana." Gino menimpali.

"Apa laki-laki nggak kayak gitu?" tanya Rita.

"Sama saja sih," canda Gino sambil tertawa.

Akhirnya kami kembali ke meja masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan kami. Aku sedang asyik mengerjakan tugasku, tiba-tiba ponselku berdering. Ada sebuah pesan masuk. Ketika kubuka, ternyata sebuah foto screenshot. Mataku terbelalak melihat foto tersebut.

"Astaghfirullahaladzim," kataku dalam hati, nafasku naik-turun, emosi jadi meningkat. Aku segera menarik nafas panjang untuk meredam emosi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status