"Dengar koq, Sayang. Tapi buat apa ngontrak rumah? Menghabiskan uang saja. Ini kan juga rumah kita." kilah Dimas yang tak mau mengeluarkan uang tambahan untuk mengontrak rumah.
"Ih ... mas gitu banget. Mas gak tahu sih rasanya kalau lagi bersama dengan Mbak Hesti. Aku tuh merasa rendah banget loh. Bukan berasa nyonya rumah" tambah Laila merengek kepada Dimas.
Dimas menarik nafas dalam-dalam,
"Mas buktikan dong cintanya mas kepada Laila. Koq Mas diam saja sih?" Laila menggoyang-goyangkan tubuh Dimas karena pria itu belum menjawab apa yang dia inginkan.
"Memang kamu mau bukti apa sih, Cantiknya Mas?" Dimas masih mencoba bersabar kepada Laila. Terus terang, ia tak bisa berkonsentrasi kalau sudah membahas tentang uang.
"Satu, aku minta pindah rumah. Terserah mau kontrak atau tidak. Kedua, aku mau Mas memberitahu ke Mbak Hesti segera tentang pernikahan kita. Sampai kapan mas mau tutupi?" tegas Laila.
"Iya, kamu sabar dulu. Nanti baru aku ceraikan dia. Please jangan bahas itu dulu! Belum waktunya."
"Nanti itu kapan, Mas?" desak Laila. "Nanti kalau aku hamil gimana? Masa jawaban Mas nanti? Kalau perutku besar, bagaimana? Aku malu lah, Mas. Nanti anakku dikatakan sebagai anak haram dan aku tak rela untuk itu loh."
"Uhm ... kamu sabar saja. Mas pasti akan menceraikan Hesti. Tapi sebelumnya, Mas harus merencanakan dengan matang agar nanti setelah bercerai dari Hesti, mas tidak mengalami kerugian apapun. Kalau mas rugi, kan kamu juga ikutan rugi, Sayang."
"Rugi apa sih?" Laila penasaran.
"Nanti saja, jangan dibahas. Kamu tak perlu memikirkan, biar mas saja yang ambil alih caranya ya."
"Benar ya, Mas! Mas janji untuk segera menceraikan Mbak Hesti? Aku sudah tak betah untuk tinggal bersama dia. Aku mau punya rumah sendiri, Mas. Kalau bisa, dia ditendang saja dari rumah ini. Toh dia sama sekali tak berguna untuk mas, kan?"
Dimas bingung dan kehabisan kata-kata. "Iya, Sayang."
Hanya itu yang bisa Dimas katakan kepada Laila untuk menenangkan istri sirinya itu.
"Jangan bohongin Laila ya, Mas! Bohong itu dosa."
"Iya, Cantiknya Mas. Aku akan pastikan itu. Sekarang, boleh main lagi gak? Sebelum Hesti pulang dari tugas luar kotanya. Katanya nanti malam, dia mau pulang ke rumah. Mas sudah tak tahan nih. Satu ronde lagi yah."
"Tapi ... Mas gak boleh bercinta sama Mbak Hesti ya kalau dia pulang!" rajuk Laila.
"Iya. Kan sudah satu bulan juga, semenjak aku nikah sama kamu. Mas gak pernah sentuh Hesti koq. Cuma kamu yang mas sentuh selama satu bulan ini. Percaya deh sama Mas." bujuk Dimas dimana hasrat bercintanya sudah di ubun-ubun.
Namanya juga wanita yang baru, tentu lebih menggoda dan menyenangkan daripada yang lama. Apalagi ditambah dengan adrenalin takut ketahuan oleh istri pertama. Rasanya begitu menggebu-gebu.
"Bagus. Gitu dong, Mas! Artinya mas itu setia banget sama aku." Laila puas. "Gak boleh sentuh Mbak Hesti lagi! Haram hukumnya buat Mas!" tegas Laila mengingatkan Dimas.
"Hehe ... tentu, Sayang. Kamu yang paling halal buat mas! Gak ada wanita lain yang halal untuk Mas. Hesti sudah menjadi haram untuk disentuh sama Mas. Mas janji." balas Dimas dengan penuh bujuk dan rayu.
"Oh ya, Mas."
"Kenapa lagi?" Padahal Dimas sudah turn on untuk bermain dengan penuh gairah dengan Laila. Malah wanita itu terus bicara.
Waktu adalah uang. Kalau Hesti datang, bisa-bisa Dimas harus menunggu waktu lagi untuk bercinta dengan Laila, setidaknya menunggu Hesti pergi kerja.
Apalagi mulai besok sudah liburan natal dan tahun baru. Kantor Hesti dan Dimas sudah pasti liburan juga.
"Gak apa ..."
"Ya udah, main lagi yuks!"
Laila pun mengangguk dan Dimas dengan sepenuh hati membuat wanita muda itu mendesah di atas tempat tidurnya. Di atas ranjang pernikahan milik Hesti dan Dimas.
Dan ... tanpa disangka oleh Dimas dan Laila yang sedang mengadu desah dan peluh, Hesti berada di depan pintu yang sedikit terbuka. Wanita itu melihat adegan panas antara suaminya dan wanita yang dikatakan sebagai sepupu oleh suaminya itu.
Apakah Hesti menangis?
Tidak ... Dia merekam semua kegiatan yang dilakukan oleh Dimas dan Laila.
Untuk apa?
Sebagai bukti di pengadilan kalau ia mau cerai dengan Dimas yang tukang selingkuh dan tukang bohong itu.
"Sebelum kamu bahagia, aku buat kamu hancur duluan bersama pelakor itu, Mas!" Hesti tersenyum sinis.
Ia pergi dari rumah dan tinggal di hotel. Ia harus mendinginkan kepalanya dan membuat strategi untuk menghancurkan Dimas dan Laila yang telah membohongi dirinya itu.
Hesti pun segera mengirimkan pesan kepada Dimas.
Hesti : Mas, sorry aku tak jadi pulang. Pesawatnya tiba-tiba delay. Besok baru aku pulang ke rumah.
Lama sekali tak dijawab. Mungkin sekitar satu jam kemudian. Mungkin juga Dimas masih sibuk bercinta dengan Laila, si istri baru yang menyebalkan itu. Dua orang pendusta dan tukang selingkuh.
Ting!
Tiba-tiba saja ponsel Hesti berbunyi pada pukul sebelas malam.
Dimas : Iya. Tak apa. Take your time. Kerja itu penting.
Hesti tersenyum kecut melihat balasan dari Dimas. Lalu, ia menarik nafas panjang. Ingin menangis, tapi rasanya air mata itu tiba-tiba kering. Hesti bukan wanita yang cengeng. Ia adalah pejuang. Dan sebagai seorang pejuang, ia akan membalas apa yang dilakukan oleh Dimas kepadanya.
"Aku kuat" Hesti mendoktrin dirinya sendiri. Ia langsung menghubungi teman baiknya sekaligus sang bos untuk berkonsultasi.
"Halo ..."
"Yes, Hesti. Ada apa?"
"Arga, apakah sekarang kamu sedang sibuk?"
"Gak sih. Ini baru sampai rumah."
"Bisa gak kamu ke hotel x?"
"Hotel? Ada apa dengan hotel? Bukannya tadi aku mengantarkan kamu ke rumah? Katanya kamu rindu suami kamu. Koq sekarang bisa ada di hotel sih?" Arga jadi heran sendiri.
"Pak ... " panggil petugas administrasi rumah sakit yang membuyarkan lamunan Dimas."Uhm ... apakah orang yang bernama Ari itu sudah siuman?" Dimas mengalihkan pertanyaan."Sudah, Pak.""Bagaimana kalau saya temui dia dulu? Baru setelahnya akan dibicarakan bagaimana pembayarannya.""Sebaiknya jangan lama-lama ya. Bu Laila butuh pertolongan cepat.""Bisa dilakukan dulu apa yang harus dilakukan untuk penanganan kecelakaankah? Memangnya tak punya belas kasihan, Bu?" ejek Dimas.Hal itu membuat petugas administrasi tak mau banyak bicara. Bahkan Dimas sekarang meninggalkan wanita itu dan berjalan ke arah bilik perawatan Ari. Ternyata Ari sudah siuman."Hai Pak Ari." sapa Dimas dengan penuh senyuman. "Anda siapa ya?""Ah saya lupa untuk memperkenalkan diri. Saya adalah Dimas." tanpa Dimas mau mengatakan bahwa dirinya adalah suami dari Laila. Dimas punya rencana sendiri."Dimas? Sepertinya pernah dengar." jawab Ari yang mencoba mengingat-ingat karena ia pernah mendengar nama itu."Iya, saya
"Apa kamu mengenalnya?" tanya Arga."Aku ingin melihat wajahnya dulu untuk memastikan." tukas Dimas yang tak ingin berburuk sangka. Nama Ari begitu banyak. Mungkin bukan yang ia kenal.Arga mengangguk. Lalu, ia mengantarkan Dimas ke bilik Ari. Pria itu menderita patah kaki yang tertimpa oleh motor, tapi tidak mengalami hal parah lainnya seperti yang dialami oleh Laila.Wajah Dimas begitu pucat saat melihat Ari, pria yang belum siuman itu. "Apakah anda kenal, Pak Dimas?" tanya Arga dengan sopan."Iya. Dia itu manager minimarket, tempat Laila membuka warung."Arga mengangguk-angguk saja. Entah kenapa, dia merasa ada sedikit kepuasan di dalam hatinya karena bisa jadi Laila selingkuh. Namun, ia tak berani menuduh.Arga tak mau membuat Dimas untuk berasumsi. Biar Dimas sendiri saja yang bertanya kepada Ari dan Laila. Itu bukan urusan dari Arga."Kalau begitu, aku dan Hesti permisi dulu ya, Pak Dimas. Ada pekerjaan lain di kantor.""Te-terima kasih, Pak.""Sama-sama."Arga segera menjemput
Hesti sangat kaget karena ternyata yang mengalami kecelakaan adalah Laila dengan seorang pria.Laila sudah pingsan karena kepalanya terbentur ke trotoar. Sementara pria yang mengendarai motor itu kakinya terjepit motor. Sungguh mengerikan. Apalagi terlihat bagian belakang mobil Arga juga cukup hancur."Tolong!" tukas pria itu karena kakinya terjepit oleh motor.Arga segera membantu pria itu untuk mengangkat motor yang menimpa kakinya."Tolong!" tukas pria itu dengan wajah yang sangat terlihat kesakitan.Arga segera menghubungi ambulans di rumah sakit terdekat. Ia tak berani membantu langsung orang yang kecelakaan karena takutnya saat mengangkat pria itu, bisa terjadi patah tulang atau kejadian yang tak bisa diperkirakan oleh Dimas.Tak lama kemudian, ambulans pun datang. Laila dan pria itu dibawa ke rumah sakit, sementara motor pria itu diamankan oleh pihak kepolisian."Hes," panggil Arga karena melihat Hesti terus tertegun."I-iya, kenapa?" Hesti kaget atas panggilan Arga yang membuy
"Maksudnya?""Seperti yang kamu dengar, Hes. Bisa gak kalau kita batal cerai?" pinta Dimas.Sontak membuat Hesti membulatkan kedua matanya. Begitu juga dengan Arga. Namun, pria itu masih menahan diri untuk tak berkata-kata kasar kepada Dimas."Kamu lagi sakit ya?" ejek Hesti."Gak. Aku gak sakit, Hes. Aku sangat serius. Aku menyesal sekali dengan apa yang sudah aku lakukan." ujar Dimas yang berusaha mengambil tangan Hesti, tapi Hesti langsung menarik tangannya hingga tak bisa digenggam oleh Dimas."Gak deh. Terima kasih atas tawaran kamu. Tekad aku udah bulat untuk menghentikan semua ini. Aku harap ... kamu gak perlu untuk membuat persidangan menjadi semakin lama. Lagipula, kamu sudah punya wanita lain. Bagaimana dengan Laila? Bukankah kamu sangat mencintainya?" ejek Hesti lagi."Tak bisakah kamu hidup berbarengan dengan Laila?""Haha .... dasar laki-laki egois. Kamu sudah sangat tahu kalau aku gak suka dimadu! Jadi, tak mungkin aku mau hidup berdampingan dengan pelakor itu. Apalagi d
"Uhm ... Gak dulu deh Tante. Kan masih banyak wanita lain yang pas banget untuk Arga." jawab Hesti yang menolak halus akan tawaran dari Marni."Tante rasa ya, Arga tuh suka banget loh sama kamu. Plis jangan tolak." tukas Marni dengan sungguh-sungguh.Hesti menggaruk tengguknya yang tak gatal itu."Gimana ya, Tante. Aku juga masih belum bisa berpikir untuk punya pria yang lain. Aku masih belum bisa menyingkirkan trauma sih." "Tante mengerti. Tapi, gak apa. Kalau Arga dan kamu berjodoh, pasti kalian bisa bersama.""Tante, aku boleh tanya sesuatu?""Apa tuh, Hes?""Kenapa tante tiba-tiba bicara begini sama aku ya?" Hesti sendiri penasaran. "Apa tante gak malu kalau aku misalkan jadian sama Arga?""Malu? Kenapa tante harus malu?" Marni heran."Ya ... satu, aku lebih jauh miskin daripada Arga. Kedua, aku tuh janda loh, Tan. Padahal masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari aku loh." jelas Hesti."Kalau hati sudah bicara, gak akan ada pikiran untuk yang seperti kamu katakan, Hes
Kring!Ponsel Dimas tiba-tiba saja berbunyi. Pria itu menjawabnya."Kenapa Rat?" "Mas, ini kapan ibu mau dibawa ke Jakarta?""Rat, kayaknya ibu di kampung saja dulu.""Tapi, aku gak bisa loh, Mas. Aku kan harus sekolah.""Hmm ... mbak yang membantu kamu itu?""Dia minta gaji besar buat menjaga ibu, Mas.""Berapa?""Dua juta.""Hadeh, di kampung saja minta bayaran mahal sekali sih."Bahkan gaji Dimas saja sudah sama dengan mbak di kampung. Belum lagi dengan uang sekolah dan kebutuhan dari adiknya. Darimana Dimas bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tak mungkin juga ia harus menggerus tabungannya, sisa dari jual rumah."Begitulah, Mas.""Uhm ... memangnya kamu gak bisa cari yang lebih murah gitu?""Mas ... ini nungguin ibu dua puluh empat jam loh.""Rat, mas juga gajinya kecil sekarang. Belum closing juga untuk motor. Mas tuh uang nya sekarat sekarang. Tolong ngertiin dong.""Ya terus mas maunya gimana? Aku harus putus sekolah untuk menjaga ibu gitu?""Gak gitu juga, La. Bukan gitu maks
"La, Mas pergi ke kantor dulu ya." ujar Dimas yang segera mengambil tasnya."Iya, Mas. Hati-hati ya." balas Laila yang sibuk dengan bahan-bahan makanan yang akan ia bawa ke warung.Dimas mengangguk. Tanpa mencium kening seperti biasanya, pria itu langsung meninggalkan Laila. Bahkan Laila pun seperti orang yang tak peduli kalau Dimas mencium keningnya atau tidak. Hari ini, Dimas izin cuti kerja tanpa sepengetahuan Laila. Ia butuh tahu apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Laila. Tapi, tentu saja ia harus pura-pura akan pergi ke kantor.Pria itu menunggu Laila untuk turun dari lift. Ia terus mengamati.Tak lama kemudian, Laila pun turun dengan membawa barang-barang jualan. Wanita itu hanya sendirian dan berjalan menuju ke mini market tempat ia seharusnya berjualan. "Kenapa Laila pakai bajunya terbuka begitu ya?" tanya Dimas yang agak risih saat melihat penampilan Laila.Ia terus memperhatikan dan tak ada yang aneh sama sekali. Laila hanya fokus berjualan saja."Apa aku memang curigaan s
"Kamu kenapa sih? Koq tiba-tiba bicara begitu? Apa kamu lapar hingga hilang konsentrasi?" Arga terlihat aneh dengan sikap dari Erika.Erika pun segera duduk di samping Arga. Wanita itu ingin meyakinkan Arga agar menjadi miliknya kembali."Ar, aku tanya sama kamu. apakah kita bisa kembali seperti dulu? Jadi sepasang kekasih lagi? Bahagia bersama." Erika menatap nanar ke arah Arga."Gak. Sorry ya, Rika. Aku rasa kisah kamu dan aku sudah selesai dan gak bisa dimulai lagi." tolak Arga yang memang sudah tak ingin ada hubungan apapun dengan Erika. Ia muak dengan wanita seperti Erika."Ar ... apa karena kamu sekarang punya wanita lain?" Mata nanar Erika butuh jawaban dari Arga."Yaps. Kamu benar. Aku punya wanita yang aku cintai dan hargai sekarang." Arga mengangguk cepat dan wajahnya terlihat sangat yakin."Apa itu Hesti?""Wah ... kamu tambah pintar. Benar banget. Hesti! Aku akan segera menikah dengan Hesti." tegas Arga tanpa ragu.
"Duduk dulu, Hes." tukas Erika yang mempersilahkan Hesti duduk di hadapannya.Hesti mengangguk. Ia duduk di hadapan Erika.Tatapan Erika pun terasa sangat tak menyenangkan. Wanita itu memperhatikan penampilan Hesti dari ujung rambut sampai ujung kaki."Hmm ... bisakah dipercepat? Aku masih ada meeting." tukas Hesti yang mulai risih dengan tatapan Erika."Aku sudah kembali." ujar Erika penuh rasa kesombongan kepada Hesti.Hesti mengangguk saja."Aku minta kamu menjauh dari Arga." tukas Erika dengan penuh intimidasi kepada Hesti.Hesti ingin tertawa terbahak-bahak. Ternyata prediksi dari dirinya maupun Arga adalah benar. Erika akan meminta dirinya untuk menjauh dari Arga."Wah ... susah sih ini." jawab Hesti dengan tidak serius."Kenapa? Kamu mau uang berapa banyak supaya menjauh dari Arga? Aku bisa memberikan kamu uang berapapun yang kamu minta." tukas Erika yang menjatuhkan harga diri dari Hesti.