"Pak ... " panggil petugas administrasi rumah sakit yang membuyarkan lamunan Dimas."Uhm ... apakah orang yang bernama Ari itu sudah siuman?" Dimas mengalihkan pertanyaan."Sudah, Pak.""Bagaimana kalau saya temui dia dulu? Baru setelahnya akan dibicarakan bagaimana pembayarannya.""Sebaiknya jangan lama-lama ya. Bu Laila butuh pertolongan cepat.""Bisa dilakukan dulu apa yang harus dilakukan untuk penanganan kecelakaankah? Memangnya tak punya belas kasihan, Bu?" ejek Dimas.Hal itu membuat petugas administrasi tak mau banyak bicara. Bahkan Dimas sekarang meninggalkan wanita itu dan berjalan ke arah bilik perawatan Ari. Ternyata Ari sudah siuman."Hai Pak Ari." sapa Dimas dengan penuh senyuman. "Anda siapa ya?""Ah saya lupa untuk memperkenalkan diri. Saya adalah Dimas." tanpa Dimas mau mengatakan bahwa dirinya adalah suami dari Laila. Dimas punya rencana sendiri."Dimas? Sepertinya pernah dengar." jawab Ari yang mencoba mengingat-ingat karena ia pernah mendengar nama itu."Iya, saya
"Apa kamu mengenalnya?" tanya Arga."Aku ingin melihat wajahnya dulu untuk memastikan." tukas Dimas yang tak ingin berburuk sangka. Nama Ari begitu banyak. Mungkin bukan yang ia kenal.Arga mengangguk. Lalu, ia mengantarkan Dimas ke bilik Ari. Pria itu menderita patah kaki yang tertimpa oleh motor, tapi tidak mengalami hal parah lainnya seperti yang dialami oleh Laila.Wajah Dimas begitu pucat saat melihat Ari, pria yang belum siuman itu. "Apakah anda kenal, Pak Dimas?" tanya Arga dengan sopan."Iya. Dia itu manager minimarket, tempat Laila membuka warung."Arga mengangguk-angguk saja. Entah kenapa, dia merasa ada sedikit kepuasan di dalam hatinya karena bisa jadi Laila selingkuh. Namun, ia tak berani menuduh.Arga tak mau membuat Dimas untuk berasumsi. Biar Dimas sendiri saja yang bertanya kepada Ari dan Laila. Itu bukan urusan dari Arga."Kalau begitu, aku dan Hesti permisi dulu ya, Pak Dimas. Ada pekerjaan lain di kantor.""Te-terima kasih, Pak.""Sama-sama."Arga segera menjemput
Hesti sangat kaget karena ternyata yang mengalami kecelakaan adalah Laila dengan seorang pria.Laila sudah pingsan karena kepalanya terbentur ke trotoar. Sementara pria yang mengendarai motor itu kakinya terjepit motor. Sungguh mengerikan. Apalagi terlihat bagian belakang mobil Arga juga cukup hancur."Tolong!" tukas pria itu karena kakinya terjepit oleh motor.Arga segera membantu pria itu untuk mengangkat motor yang menimpa kakinya."Tolong!" tukas pria itu dengan wajah yang sangat terlihat kesakitan.Arga segera menghubungi ambulans di rumah sakit terdekat. Ia tak berani membantu langsung orang yang kecelakaan karena takutnya saat mengangkat pria itu, bisa terjadi patah tulang atau kejadian yang tak bisa diperkirakan oleh Dimas.Tak lama kemudian, ambulans pun datang. Laila dan pria itu dibawa ke rumah sakit, sementara motor pria itu diamankan oleh pihak kepolisian."Hes," panggil Arga karena melihat Hesti terus tertegun."I-iya, kenapa?" Hesti kaget atas panggilan Arga yang membuy
"Maksudnya?""Seperti yang kamu dengar, Hes. Bisa gak kalau kita batal cerai?" pinta Dimas.Sontak membuat Hesti membulatkan kedua matanya. Begitu juga dengan Arga. Namun, pria itu masih menahan diri untuk tak berkata-kata kasar kepada Dimas."Kamu lagi sakit ya?" ejek Hesti."Gak. Aku gak sakit, Hes. Aku sangat serius. Aku menyesal sekali dengan apa yang sudah aku lakukan." ujar Dimas yang berusaha mengambil tangan Hesti, tapi Hesti langsung menarik tangannya hingga tak bisa digenggam oleh Dimas."Gak deh. Terima kasih atas tawaran kamu. Tekad aku udah bulat untuk menghentikan semua ini. Aku harap ... kamu gak perlu untuk membuat persidangan menjadi semakin lama. Lagipula, kamu sudah punya wanita lain. Bagaimana dengan Laila? Bukankah kamu sangat mencintainya?" ejek Hesti lagi."Tak bisakah kamu hidup berbarengan dengan Laila?""Haha .... dasar laki-laki egois. Kamu sudah sangat tahu kalau aku gak suka dimadu! Jadi, tak mungkin aku mau hidup berdampingan dengan pelakor itu. Apalagi d
"Uhm ... Gak dulu deh Tante. Kan masih banyak wanita lain yang pas banget untuk Arga." jawab Hesti yang menolak halus akan tawaran dari Marni."Tante rasa ya, Arga tuh suka banget loh sama kamu. Plis jangan tolak." tukas Marni dengan sungguh-sungguh.Hesti menggaruk tengguknya yang tak gatal itu."Gimana ya, Tante. Aku juga masih belum bisa berpikir untuk punya pria yang lain. Aku masih belum bisa menyingkirkan trauma sih." "Tante mengerti. Tapi, gak apa. Kalau Arga dan kamu berjodoh, pasti kalian bisa bersama.""Tante, aku boleh tanya sesuatu?""Apa tuh, Hes?""Kenapa tante tiba-tiba bicara begini sama aku ya?" Hesti sendiri penasaran. "Apa tante gak malu kalau aku misalkan jadian sama Arga?""Malu? Kenapa tante harus malu?" Marni heran."Ya ... satu, aku lebih jauh miskin daripada Arga. Kedua, aku tuh janda loh, Tan. Padahal masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari aku loh." jelas Hesti."Kalau hati sudah bicara, gak akan ada pikiran untuk yang seperti kamu katakan, Hes
Kring!Ponsel Dimas tiba-tiba saja berbunyi. Pria itu menjawabnya."Kenapa Rat?" "Mas, ini kapan ibu mau dibawa ke Jakarta?""Rat, kayaknya ibu di kampung saja dulu.""Tapi, aku gak bisa loh, Mas. Aku kan harus sekolah.""Hmm ... mbak yang membantu kamu itu?""Dia minta gaji besar buat menjaga ibu, Mas.""Berapa?""Dua juta.""Hadeh, di kampung saja minta bayaran mahal sekali sih."Bahkan gaji Dimas saja sudah sama dengan mbak di kampung. Belum lagi dengan uang sekolah dan kebutuhan dari adiknya. Darimana Dimas bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tak mungkin juga ia harus menggerus tabungannya, sisa dari jual rumah."Begitulah, Mas.""Uhm ... memangnya kamu gak bisa cari yang lebih murah gitu?""Mas ... ini nungguin ibu dua puluh empat jam loh.""Rat, mas juga gajinya kecil sekarang. Belum closing juga untuk motor. Mas tuh uang nya sekarat sekarang. Tolong ngertiin dong.""Ya terus mas maunya gimana? Aku harus putus sekolah untuk menjaga ibu gitu?""Gak gitu juga, La. Bukan gitu maks