"Kamu kenapa sih? Koq tiba-tiba bicara begitu? Apa kamu lapar hingga hilang konsentrasi?" Arga terlihat aneh dengan sikap dari Erika.
Erika pun segera duduk di samping Arga. Wanita itu ingin meyakinkan Arga agar menjadi miliknya kembali.
"Ar, aku tanya sama kamu. apakah kita bisa kembali seperti dulu? Jadi sepasang kekasih lagi? Bahagia bersama." Erika menatap nanar ke arah Arga.
"Gak. Sorry ya, Rika. Aku rasa kisah kamu dan aku sudah selesai dan gak bisa dimulai lagi." tolak Arga yang memang sudah tak ingin ada hubungan apapun dengan Erika. Ia muak dengan wanita seperti Erika.
"Ar ... apa karena kamu sekarang punya wanita lain?" Mata nanar Erika butuh jawaban dari Arga.
"Yaps. Kamu benar. Aku punya wanita yang aku cintai dan hargai sekarang." Arga mengangguk cepat dan wajahnya terlihat sangat yakin.
"Apa itu Hesti?"
"Wah ... kamu tambah pintar. Benar banget. Hesti! Aku akan segera menikah dengan Hesti." tegas Arga tanpa ragu.
"La, Mas pergi ke kantor dulu ya." ujar Dimas yang segera mengambil tasnya."Iya, Mas. Hati-hati ya." balas Laila yang sibuk dengan bahan-bahan makanan yang akan ia bawa ke warung.Dimas mengangguk. Tanpa mencium kening seperti biasanya, pria itu langsung meninggalkan Laila. Bahkan Laila pun seperti orang yang tak peduli kalau Dimas mencium keningnya atau tidak. Hari ini, Dimas izin cuti kerja tanpa sepengetahuan Laila. Ia butuh tahu apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Laila. Tapi, tentu saja ia harus pura-pura akan pergi ke kantor.Pria itu menunggu Laila untuk turun dari lift. Ia terus mengamati.Tak lama kemudian, Laila pun turun dengan membawa barang-barang jualan. Wanita itu hanya sendirian dan berjalan menuju ke mini market tempat ia seharusnya berjualan. "Kenapa Laila pakai bajunya terbuka begitu ya?" tanya Dimas yang agak risih saat melihat penampilan Laila.Ia terus memperhatikan dan tak ada yang aneh sama sekali. Laila hanya fokus berjualan saja."Apa aku memang curigaan s
Kring!Ponsel Dimas tiba-tiba saja berbunyi. Pria itu menjawabnya."Kenapa Rat?" "Mas, ini kapan ibu mau dibawa ke Jakarta?""Rat, kayaknya ibu di kampung saja dulu.""Tapi, aku gak bisa loh, Mas. Aku kan harus sekolah.""Hmm ... mbak yang membantu kamu itu?""Dia minta gaji besar buat menjaga ibu, Mas.""Berapa?""Dua juta.""Hadeh, di kampung saja minta bayaran mahal sekali sih."Bahkan gaji Dimas saja sudah sama dengan mbak di kampung. Belum lagi dengan uang sekolah dan kebutuhan dari adiknya. Darimana Dimas bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tak mungkin juga ia harus menggerus tabungannya, sisa dari jual rumah."Begitulah, Mas.""Uhm ... memangnya kamu gak bisa cari yang lebih murah gitu?""Mas ... ini nungguin ibu dua puluh empat jam loh.""Rat, mas juga gajinya kecil sekarang. Belum closing juga untuk motor. Mas tuh uang nya sekarat sekarang. Tolong ngertiin dong.""Ya terus mas maunya gimana? Aku harus putus sekolah untuk menjaga ibu gitu?""Gak gitu juga, La. Bukan gitu maks
"Uhm ... Gak dulu deh Tante. Kan masih banyak wanita lain yang pas banget untuk Arga." jawab Hesti yang menolak halus akan tawaran dari Marni."Tante rasa ya, Arga tuh suka banget loh sama kamu. Plis jangan tolak." tukas Marni dengan sungguh-sungguh.Hesti menggaruk tengguknya yang tak gatal itu."Gimana ya, Tante. Aku juga masih belum bisa berpikir untuk punya pria yang lain. Aku masih belum bisa menyingkirkan trauma sih." "Tante mengerti. Tapi, gak apa. Kalau Arga dan kamu berjodoh, pasti kalian bisa bersama.""Tante, aku boleh tanya sesuatu?""Apa tuh, Hes?""Kenapa tante tiba-tiba bicara begini sama aku ya?" Hesti sendiri penasaran. "Apa tante gak malu kalau aku misalkan jadian sama Arga?""Malu? Kenapa tante harus malu?" Marni heran."Ya ... satu, aku lebih jauh miskin daripada Arga. Kedua, aku tuh janda loh, Tan. Padahal masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari aku loh." jelas Hesti."Kalau hati sudah bicara, gak akan ada pikiran untuk yang seperti kamu katakan, Hes
"Maksudnya?""Seperti yang kamu dengar, Hes. Bisa gak kalau kita batal cerai?" pinta Dimas.Sontak membuat Hesti membulatkan kedua matanya. Begitu juga dengan Arga. Namun, pria itu masih menahan diri untuk tak berkata-kata kasar kepada Dimas."Kamu lagi sakit ya?" ejek Hesti."Gak. Aku gak sakit, Hes. Aku sangat serius. Aku menyesal sekali dengan apa yang sudah aku lakukan." ujar Dimas yang berusaha mengambil tangan Hesti, tapi Hesti langsung menarik tangannya hingga tak bisa digenggam oleh Dimas."Gak deh. Terima kasih atas tawaran kamu. Tekad aku udah bulat untuk menghentikan semua ini. Aku harap ... kamu gak perlu untuk membuat persidangan menjadi semakin lama. Lagipula, kamu sudah punya wanita lain. Bagaimana dengan Laila? Bukankah kamu sangat mencintainya?" ejek Hesti lagi."Tak bisakah kamu hidup berbarengan dengan Laila?""Haha .... dasar laki-laki egois. Kamu sudah sangat tahu kalau aku gak suka dimadu! Jadi, tak mungkin aku mau hidup berdampingan dengan pelakor itu. Apalagi d
"Mas ... jangan keluar di dalam, nanti aku bisa hamil!" tukas Laila sambil mendesah karena hampir sampai ke puncak kenikmatan bersama Dimas."Kamu ... ah ..." Dimas seperti sudah tak mendengarkan apa yang diminta oleh Laila, bahkan ia mengeluarkan cairan sp*manya di dalam rahim Laila. Pria itu pun luluh lantah di atas tubuh Laila."Ya elah, Mas. Kenapa dikeluarkan di dalam. Bagaimana kalau aku hamil?" protes Laila dengan nafasnya yang tersengal-sengal.Pria itu menaikkan wajahnya dan menatap wajah cantik Laila yang sudah basah dengan keringat. Ia menatap lembut kepada wanita itu."Ya ... kalau kamu hamil gak apa dong. Kamu kan istri aku. Kita ini sudah menikah loh. Kita tuh halal banget," bujuk Dimas.Pria itu pun turun dari tubuh indah Laila dan terlentang, di sebelahnya seolah puas dengan apa yang baru ia lakukan dengan Laila."Mas ..." Lalia memiringkan tubuhnya lalu memeluk erat Dimas yang berada di sebelahnya itu."Mas .. aku mau tanya dong""Apa itu, Sayang?" Dimas mencium lembu
"Dengar koq, Sayang. Tapi buat apa ngontrak rumah? Menghabiskan uang saja. Ini kan juga rumah kita." kilah Dimas yang tak mau mengeluarkan uang tambahan untuk mengontrak rumah."Ih ... mas gitu banget. Mas gak tahu sih rasanya kalau lagi bersama dengan Mbak Hesti. Aku tuh merasa rendah banget loh. Bukan berasa nyonya rumah" tambah Laila merengek kepada Dimas.Dimas menarik nafas dalam-dalam,"Mas buktikan dong cintanya mas kepada Laila. Koq Mas diam saja sih?" Laila menggoyang-goyangkan tubuh Dimas karena pria itu belum menjawab apa yang dia inginkan."Memang kamu mau bukti apa sih, Cantiknya Mas?" Dimas masih mencoba bersabar kepada Laila. Terus terang, ia tak bisa berkonsentrasi kalau sudah membahas tentang uang."Satu, aku minta pindah rumah. Terserah mau kontrak atau tidak. Kedua, aku mau Mas memberitahu ke Mbak Hesti segera tentang pernikahan kita. Sampai kapan mas mau tutupi?" tegas Laila."Iya, kamu sabar dulu. Nanti baru aku ceraikan dia. Please jangan bahas itu dulu! Belum wa
"Aku hari ini tinggal di hotel dan aku sangat butuh konsultasi dengan kamu. Please datang! Aku blank!""Tentang apa?""Perceraian?""Hah! Hesti yang bucin terhadap Dimas malah bicara perceraian? Apa tidak salah?" Arga heran bukan main."Tak perlu banyak bicara, Ar. Datang ke hotel X sekarang ya. Aku butuh bantuan kamu.""Ok. Hmm ... berikan waktu tiga puluh menit. Aku mau mandi dulu. Gerah sekali.""Sip. Thanks, Ar. Sorry merepotkan kamu.""No prob! Kamar nomor berapa?""7801""Ok. Aku siap-siap dulu."Hesti pun menutup sambungan telepon dengan Arga.Sesuai dengan janjinya Arga, pengacara tampan, bos dan juga merupakan teman baik dari Hesti itu sampai di hotel dan di kamar Hesti tepat tiga puluh menit kemudian."Ada apa?" tanya Arga yang baru sampai di depan pintu kamar Hesti."Masuk dulu."Arga menanggukkan kepalanya lalu mengikuti Hesti ke dalam kamar."Duduk, Ar."Arga pun duduk di salah satu ranjang di kamar Hesti."Hmm ... aku ingin bercerai dengan Mas Dimas." tukas Hesti dengan
Keesokan harinya, Hesti pulang ke rumah dengan senyuman mengembang penuh sandiwara. Ia harus bermain sandiwara secantik mungkin agar Dimas tidak mengetahui perubahan perilakunya nanti.Ini hari sabtu. Memang seharusnya Dimas tak pergi ke kantor."Assalamualaikum!" sapa Hesti yang baru saja membuka pintu rumahnya."Wa'alaikumsalam!" balas Dimas yang memang sedang bersantai di ruang tamu sambil menonton siaran televisi kesukaannya itu.Hesti dengan senyuman, langsung berjalan ke arah Dimas dan mencium tangan pria itu. Ya, sandiwara menjadi istri berbakti begitu lah."Mas ..." panggil Hesti manja."Ya, ada apa, Hes?" Tatapan Dimas masih terarah ke televisi. Ia bahkan tak terlalu menggubris kedatangan Hesti."Besok kan hari minggu terus ada libur tahun baru, apakah kamu mau jalan-jalan?" tawar Hesti."Jalan kemana? Apa kamu tak lelah? Ini saja kamu baru pulang dari luar kota loh. Aku rasa lebih baik kamu istirahat saja sih di rumah." Dimas heran dengan ajakan Hesti."Aku kangen banget sam
"Maksudnya?""Seperti yang kamu dengar, Hes. Bisa gak kalau kita batal cerai?" pinta Dimas.Sontak membuat Hesti membulatkan kedua matanya. Begitu juga dengan Arga. Namun, pria itu masih menahan diri untuk tak berkata-kata kasar kepada Dimas."Kamu lagi sakit ya?" ejek Hesti."Gak. Aku gak sakit, Hes. Aku sangat serius. Aku menyesal sekali dengan apa yang sudah aku lakukan." ujar Dimas yang berusaha mengambil tangan Hesti, tapi Hesti langsung menarik tangannya hingga tak bisa digenggam oleh Dimas."Gak deh. Terima kasih atas tawaran kamu. Tekad aku udah bulat untuk menghentikan semua ini. Aku harap ... kamu gak perlu untuk membuat persidangan menjadi semakin lama. Lagipula, kamu sudah punya wanita lain. Bagaimana dengan Laila? Bukankah kamu sangat mencintainya?" ejek Hesti lagi."Tak bisakah kamu hidup berbarengan dengan Laila?""Haha .... dasar laki-laki egois. Kamu sudah sangat tahu kalau aku gak suka dimadu! Jadi, tak mungkin aku mau hidup berdampingan dengan pelakor itu. Apalagi d
"Uhm ... Gak dulu deh Tante. Kan masih banyak wanita lain yang pas banget untuk Arga." jawab Hesti yang menolak halus akan tawaran dari Marni."Tante rasa ya, Arga tuh suka banget loh sama kamu. Plis jangan tolak." tukas Marni dengan sungguh-sungguh.Hesti menggaruk tengguknya yang tak gatal itu."Gimana ya, Tante. Aku juga masih belum bisa berpikir untuk punya pria yang lain. Aku masih belum bisa menyingkirkan trauma sih." "Tante mengerti. Tapi, gak apa. Kalau Arga dan kamu berjodoh, pasti kalian bisa bersama.""Tante, aku boleh tanya sesuatu?""Apa tuh, Hes?""Kenapa tante tiba-tiba bicara begini sama aku ya?" Hesti sendiri penasaran. "Apa tante gak malu kalau aku misalkan jadian sama Arga?""Malu? Kenapa tante harus malu?" Marni heran."Ya ... satu, aku lebih jauh miskin daripada Arga. Kedua, aku tuh janda loh, Tan. Padahal masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari aku loh." jelas Hesti."Kalau hati sudah bicara, gak akan ada pikiran untuk yang seperti kamu katakan, Hes
Kring!Ponsel Dimas tiba-tiba saja berbunyi. Pria itu menjawabnya."Kenapa Rat?" "Mas, ini kapan ibu mau dibawa ke Jakarta?""Rat, kayaknya ibu di kampung saja dulu.""Tapi, aku gak bisa loh, Mas. Aku kan harus sekolah.""Hmm ... mbak yang membantu kamu itu?""Dia minta gaji besar buat menjaga ibu, Mas.""Berapa?""Dua juta.""Hadeh, di kampung saja minta bayaran mahal sekali sih."Bahkan gaji Dimas saja sudah sama dengan mbak di kampung. Belum lagi dengan uang sekolah dan kebutuhan dari adiknya. Darimana Dimas bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tak mungkin juga ia harus menggerus tabungannya, sisa dari jual rumah."Begitulah, Mas.""Uhm ... memangnya kamu gak bisa cari yang lebih murah gitu?""Mas ... ini nungguin ibu dua puluh empat jam loh.""Rat, mas juga gajinya kecil sekarang. Belum closing juga untuk motor. Mas tuh uang nya sekarat sekarang. Tolong ngertiin dong.""Ya terus mas maunya gimana? Aku harus putus sekolah untuk menjaga ibu gitu?""Gak gitu juga, La. Bukan gitu maks
"La, Mas pergi ke kantor dulu ya." ujar Dimas yang segera mengambil tasnya."Iya, Mas. Hati-hati ya." balas Laila yang sibuk dengan bahan-bahan makanan yang akan ia bawa ke warung.Dimas mengangguk. Tanpa mencium kening seperti biasanya, pria itu langsung meninggalkan Laila. Bahkan Laila pun seperti orang yang tak peduli kalau Dimas mencium keningnya atau tidak. Hari ini, Dimas izin cuti kerja tanpa sepengetahuan Laila. Ia butuh tahu apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Laila. Tapi, tentu saja ia harus pura-pura akan pergi ke kantor.Pria itu menunggu Laila untuk turun dari lift. Ia terus mengamati.Tak lama kemudian, Laila pun turun dengan membawa barang-barang jualan. Wanita itu hanya sendirian dan berjalan menuju ke mini market tempat ia seharusnya berjualan. "Kenapa Laila pakai bajunya terbuka begitu ya?" tanya Dimas yang agak risih saat melihat penampilan Laila.Ia terus memperhatikan dan tak ada yang aneh sama sekali. Laila hanya fokus berjualan saja."Apa aku memang curigaan s
"Kamu kenapa sih? Koq tiba-tiba bicara begitu? Apa kamu lapar hingga hilang konsentrasi?" Arga terlihat aneh dengan sikap dari Erika.Erika pun segera duduk di samping Arga. Wanita itu ingin meyakinkan Arga agar menjadi miliknya kembali."Ar, aku tanya sama kamu. apakah kita bisa kembali seperti dulu? Jadi sepasang kekasih lagi? Bahagia bersama." Erika menatap nanar ke arah Arga."Gak. Sorry ya, Rika. Aku rasa kisah kamu dan aku sudah selesai dan gak bisa dimulai lagi." tolak Arga yang memang sudah tak ingin ada hubungan apapun dengan Erika. Ia muak dengan wanita seperti Erika."Ar ... apa karena kamu sekarang punya wanita lain?" Mata nanar Erika butuh jawaban dari Arga."Yaps. Kamu benar. Aku punya wanita yang aku cintai dan hargai sekarang." Arga mengangguk cepat dan wajahnya terlihat sangat yakin."Apa itu Hesti?""Wah ... kamu tambah pintar. Benar banget. Hesti! Aku akan segera menikah dengan Hesti." tegas Arga tanpa ragu.
"Duduk dulu, Hes." tukas Erika yang mempersilahkan Hesti duduk di hadapannya.Hesti mengangguk. Ia duduk di hadapan Erika.Tatapan Erika pun terasa sangat tak menyenangkan. Wanita itu memperhatikan penampilan Hesti dari ujung rambut sampai ujung kaki."Hmm ... bisakah dipercepat? Aku masih ada meeting." tukas Hesti yang mulai risih dengan tatapan Erika."Aku sudah kembali." ujar Erika penuh rasa kesombongan kepada Hesti.Hesti mengangguk saja."Aku minta kamu menjauh dari Arga." tukas Erika dengan penuh intimidasi kepada Hesti.Hesti ingin tertawa terbahak-bahak. Ternyata prediksi dari dirinya maupun Arga adalah benar. Erika akan meminta dirinya untuk menjauh dari Arga."Wah ... susah sih ini." jawab Hesti dengan tidak serius."Kenapa? Kamu mau uang berapa banyak supaya menjauh dari Arga? Aku bisa memberikan kamu uang berapapun yang kamu minta." tukas Erika yang menjatuhkan harga diri dari Hesti.
Kring!Ponsel Hesti berbunyi ketika ia sedang sibuk membereskan dokumen bersama dengan Arga."Ada yang telepon, Hes." Arga mengingatkan."Sebentar. Aku jawab dulu." Wanita itu segera melihat siapa yang sedang memanggilnya."Hmm ... siapa ya?""Bukan nomor yang kamu kenal kah?" tanya Arga penasaran.Hesti menggelengkan kepalanya."Pinjol kali." ejek Arga."Enak saja! Aku tak pernah melakukan pinjol. Apa mungkin klien baru?""Bisa saja. Jawab dulu saja panggilannya."Hesti menganggukkan kepalanya. Wanita itu segera menjawab panggilan telepon dari nomor yang tak dikenalnya."Halo." sapa Hesti dengan ramah."Apa ini nomor telepon Hesti?" tanya wanita yang ada di seberang telepon sana."Ya. Ini siapa ya?""Aku ... Erika.""Hmm ... ada apa, Erika?" tanya Hesti dengan mengerenyitkan dahinya. Ia sendiri bingung kenapa Erika menghubunginya. 'Apa Erika mau bertanya tentang Arga?
Dimas sangat tak tenang sekarang. Ia menunggu Laila sampai pulang dan bahkan sampai jam sebelas malam pun, wanita itu belum pulang juga.Pusingnya Dimas saat ini. Sudah ada menunggu masalah dengan ibunya, sekarang malah ditambah dengan Laila yang menurutnya sedang berselingkuh dengan orang yang tak ia kenal.Sudah hampir seratus panggilan yang Dimas lakukan ke ponsel Laila, tapi wanita itu sama sekali tak menjawabnya."ARGH! Kamu tuh kemana sih, La?" teriak Dimas sangat kesal. "Apakah kamu selingkuh dengan pria itu? Apa kurangnya aku sih sampai kamu berani selingkuh, La?" umpat Dimas.Setelah jam dua belas malam, akhirnya Laila pulang juga ke unit apartemen. Dimas? Tentu saja pria itu masih terjaga. Ia tak akan bisa tidur tanpa kehadiran Laila dan kejelasan tentang siapa pria yang tadi dipeluk oleh Laila."Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang?" tanya Dimas dengan suara kencangnya dan membuat kaget Laila yang masuk ke dalam unit apartemen dengan perlahan-lahan."Astaga, Ma
Kring!Ponsel Dimas sudah berbunyi dan panggilan itu berasal dari Ratna."Kenapa, Rat?""Mas, kapan datang ke sini?""Duh ... mas susah nih. Mas baru keterima kerja. Susah juga kalau mas harus pulang kampung. Bisa-bisa mas dipecat, Rat.""Terus ... gimana dengan Mbak Laila?" suara Ratna mulai meninggi."Hmm ... Laila juga baru mulai usaha warung nasi uduknya. Mana bisa ditinggal. Kami kan sewa tempat. Rugi dong, Rat kalau mesti tutup." Dimas memberikan alasan.Ratna pun mulai jengkel dengan kakaknya."Mas ... yang benar saja. Masa aku sendirian untuk merawat ibu? Aku gak bisa, Mas. Sekolah aku gimana?""Mas juga gak bisa bantu banyak, dek."Terdengar Ratna menarik nafas dalam-dalam."Sudah tiga hari aku gak sekolah, Mas. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari sekolah." balas Ratna. "Duh ... gimana ya, Rat? Mas juga bingung.""Andaikan mas masih sama Mbak Hesti. Pasti gak akan begini jadinya. Mbak Hesti lebih baik. Kalian sangat egois dan tak sayang kepada ibu.""Dek ... mas sudah dalam prose