"Soalnya kan aku kerja dan menghasilkan uang bersama dengan Mas Dimas. Jadi kalau ada kamu tuh ... Ada yang masak, membersihkan rumah ... Wah komplit deh. Nah kalau aku pulang kerja, jadi aku tidak terlalu lelah untuk beres-beres seperti dulu sebelum ada kamu. Mau makan tinggal makan dan masih hangat karena kamu membuatnya."
Maksudnya adalah Hesti menyindir kalau Laila menjadi ART tanpa bayaran di rumah Hesti. Itu point nya.
Laila tersenyum miris dengan ucapan dari Hesti. Pastinya dia agak sakit hati.
"Iya, Mbak."
"Ah ya, besok aku mau honeymoon sama Mas Dimas. Tolong jaga rumah ya! Kalau kamu mu keluar, jangan lupa kunci pintu! Jangan sampai ada kucing garong masuk mencari ikan asin busuk."
"Mbak ada-ada saja. Mana ada kucing garong mencari ikan asin busuk?" kekeh Laila dan sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Hesti. Hanya saja ia pura-pura bodoh.
"Hehe ... itu cuma istilah, La. Lagian ... di rumah ini gak ada yang berharga sama sekali sih. Jadi santai saja kalau mau meninggalkan rumah." kekeh Hesti.
Laila pun tersenyum tipis saja saat menanggapi Hesti.
"Doakan aku cepat punya anak ya sama Mas Dimas. Duh lucu kali ya kalau punya anak. Uhm ... Nanti kamu bantu urus anakku ya. Nanti aku pasti akan sibuk sekali di kantor, jadi tak sempat urus anak. Kamu mau membantu aku, bukan?"
"Iya, Mbak."
"Nanti aku gaji deh kalau sampai aku punya anak dan harus kamu urus."
Laila tak berani membantah walaupun dalam hatinya mengumpat kepada Hesti.
"Ah ya, La. Apa kamu gak berniat mencari kerja? Masa mau diam di rumah saja? Apa tidak bosan?" tanya Hesti sambil mengunyah tempe goreng buatan Laila.
"Mau kerja apa, Mbak? Aku cuma lulusan SMA. Pasti susah mencari kerja."
'Ya ... lebih mudah untuk jadi selingkuhan orang daripada mencari kerja kan, La? Hanya tinggal bermain di atas ranjang sebagai pemuas nafsu suami orang, terus sudah dapat uang. Memang pada dasarnya mental pel*cur!' umpat Hesti di dalam hati. Ia muak dengan Laila.
"Banyak lah pekerjaan. Asal mau cari, pasti dapat. Daripada diam di rumah terus."
"Nanti ... Laila cari deh, Mbak."
"Haduh ... Asyiknya ada Laila ... Ada yang masak enak! Ayo sajikan di depan. Mas Dimas pasti lapar juga."
Laila mengangguk pelan.
"Hmm ... Kamu aja deh yang sajikan ke depan ya. Aku mau mandi dulu. Capek ... Baru pulang kerja. Case yang aku tangani banyak sekali. Hehe ... maklum, cari uang yang banyak untuk bayar cicilan rumah dan mobil. Jadi kerja harus lebih keras lagi."
*
Hesti dengan sengaja mengungkit tentang cicilan. Kalau dari perkiraan Arga, Dimas memang tak jujur tentang masalah keuangannya kepada Laila. Nah ini bisa jadi bumerang bagi Laila dan Dimas.
Hesti tinggal menikmatinya saja.
"I-iya, Mbak."
Laila mengangguk menurut. Hesti pun pergi dari hadapan Laila. Wanita itu berjalan ke dalam kamar.
Sementara Dimas yang melihat kepergian Hesti ke kamar, ia langsung berjalan menuju ke dapur. Ia harus menenangkan hatinya Laila.
"Sayang ... "
"Mas! Kenapa sih kamu mau pergi dengan dia?" Laila mulai menangis.
"Sssttt jangan kencang-kencang kalau bicara, Sayang. Nanti Hesti dengar dan curiga."
"Tapi mas masa mau honeymoon sama dia? Terus aku ditinggalkan? Kalian hanya berdua. Mas juga bilang cinta sama Mbak Hesti! Mas bilang kalau mas itu hanya cinta sama aku." protes Laila.
"Sayang ... Aku janji gak akan menyentuh dia sama sekali. Tadi .. aku tuh bilang cinta sama dia hanya karena terpaksa. Dia terus memaksa dan aku tak bisa mengatakan kalau aku tak mencintai dia. Bisa-bisa dia marah."
"Tapi bagaimana pun kamu itu suaminya dia. Mana mungkin kamu gak menyentuh dia? Kenapa Mas sepertinya takut sekali kala Mbak Hesti marah sih?"
"Habis bagaimana? Dia sudah beli tiket dan aku tak tahu sama sekali. Bukan takut, Sayang. Tapi terpaksa."
"Batalkan!"
"Jangan dong, Sayang. Itu tiketnya pasti lumayan mahal."
"Tapi aku gak ikut ... Mas gak kasihan aku sendirian?"
"Bertahan ya, Sayang. Cuma empat hari koq."
"Hix ... Tadi mbak Hesti malah mengatakan suruh mendoakannya agar cepat punya anak. Artinya dia sudah punya rencana untuk buat anak bersama dengan Mas di Malaysia. Aku jadinya bagaimana?"
Dimas menarik nafas dalam-dalam. Bingung juga bagaimana menenangkan Laila.
"Tidak ... Mas janji tak akan menyentuhnya sama sekali. Mas janji ... tak akan buat anak dengan Hesti."
"Mas ... Dia juga begitu sombong kepadaku." adu Laila.
"Sombong apa?"
"Dia itu ... Hix .. Bilangnya dia yang kerja cari uang bersama kamu, sementara aku di rumah. Kerjain semua pekerjaan rumah. Bahkan dia juga bilang, kalau dia punya anak, maka aku yang disuruh jaga anaknya. Nanti dia bayar aku untuk jaga anak dia dan mas."
"Duh ... Sabar ya. Biasanya Hesti tak seperti itu. Mungkin ... Mungkin dia cuma memuji kamu karena kamu bisa banyak hal. Dia gak terlalu bisa masak dan lain-lain. Uhm ... Dia cuma pinter cari uang saja."
"Mas ... Apa jangan-jangan mas belum menceraikan Mbak Hesti sampai sekarang karena dia pintar cari uang?" Laila tambah kesal.
Dimas gelagapan.
"Mas ... Jawab!"
Dimas semakin gelagapan saja.
"Tadi Mbak Hesti mengatakan dia harus cari uang terus dengan mas Dimas karena harus membayar cicilan rumah dan mobil. Apa itu benar? Rumah ini masih cicil?" Laila memberondong pertanyaan.
"I-iya, sayang ... Rumah ini masih cicil. Cicilannya masih agak lama. Kalau mas sendiri yang cicil, gaji mas juga tidak cukup."
"Hah! Kenapa Mas gak bilang dari awal?" Laila begitu terkejut dengan pengakuan Dimas yang baru ia dengar saat ini, bukan saat Dimas dan ibunya melamar ke orang tua Laila.
Ibunya Dimas malah mengatakan kalau rumah dan mobil, semua milik Dimas. Terus juga Dimas punya jabatan yang sangat tinggi, sayang saja istrinya mandul dan hendak diceraikan oleh Dimas. Makanya Laila mau dinikahkan dengan Dimas, menjadi istri siri bagi Dimas.
"Ya ... Makanya mas minta kamu sabar."
Mata Laila sudah berair. Ia merasa sangat dibohongi oleh Dimas dan ibunya. "Memang cicilan rumah ini berapa tahun lagi?"
"Rumah ini baru cicil selama satu tahun, La."
"Sisa berapa tahun lagi cicilannya?"
"Masih ada empat belas tahun untuk dicicil." aku Dimas jujur meskipun sangat berat. Apalagi melihat Laila menangis. Dimas sangat tidak tega.
"Hah ... Artinya sabarnya aku tuh harus empat belas tahun?" Laila benar-benar shock.
"Semoga tak selama itu. Kalau aku sudah naik gaji dan bunga bank tidak floating. Aku pasti akan segera melunasinya dan menceraikan Hesti."
"Gaji mas sebenarnya berapa?" tanya Laila tambah kesal.
"Sepuluh juta."
"Ok ... Lumayan besar. Terus cicilan rumah ini berapa?"
"Delapan juta."
"Sisa dua juta?"
"Aku harus memberikan kepada ibu dan ... uang sekolah Ratna."
"Sebanyak dua juta itu?" Laila membulatkan kedua matanya.
"Empat juta."
"Hah ... Dua juta dari dari mbak Hesti?"
Dimas mengangguk pelan.
"Lalu untuk listrik dan lain-lain di rumah ini?"
"Hesti yang bayar."
"Mobil? Apa sudah lunas?"
Dimas menggelengkan kepalanya.
"Siapa yang bayar cicilan mobil?"
"Hesti"
"Masih berapa lama lagi cicilan mobil?"
"Uhm .. Dua tahun."
"Astaga ... Orang Jakarta tuh kenapa sih? Koq doyan mencicil? Bukan pakai uang cash saja?"
"Sssttt jangan bicara kencang. Takutnya Hesti dengar."
"Ini jadinya kapan mas mau ceraikan Mbak Hesti? Bisa-bisa aku hamil dan melahirkan, tapi kalian belum cerai."
"Sabar ya, Sayang. Mas pasti tanggung jawab koq."
"Harusnya mas mengatakannya sebelum kita nikah. Koq jadi begini sih?" Laila kesal.
Padahal tanpa mereka sadari, Hesti memang mendengarnya sedari tadi. Ia tidak mandi.
'Time to play, Laila! Baru tahu kan Dimas seperti apa? Kamu pikir dia sangat kaya? Rumah bagus begini, dua lantai. Memang kamu pikir dia yang bayar sendiri? Naif! Tunggu kejutan dari aku! Dasar pasangan selingkuh!'
"Pak ... " panggil petugas administrasi rumah sakit yang membuyarkan lamunan Dimas."Uhm ... apakah orang yang bernama Ari itu sudah siuman?" Dimas mengalihkan pertanyaan."Sudah, Pak.""Bagaimana kalau saya temui dia dulu? Baru setelahnya akan dibicarakan bagaimana pembayarannya.""Sebaiknya jangan lama-lama ya. Bu Laila butuh pertolongan cepat.""Bisa dilakukan dulu apa yang harus dilakukan untuk penanganan kecelakaankah? Memangnya tak punya belas kasihan, Bu?" ejek Dimas.Hal itu membuat petugas administrasi tak mau banyak bicara. Bahkan Dimas sekarang meninggalkan wanita itu dan berjalan ke arah bilik perawatan Ari. Ternyata Ari sudah siuman."Hai Pak Ari." sapa Dimas dengan penuh senyuman. "Anda siapa ya?""Ah saya lupa untuk memperkenalkan diri. Saya adalah Dimas." tanpa Dimas mau mengatakan bahwa dirinya adalah suami dari Laila. Dimas punya rencana sendiri."Dimas? Sepertinya pernah dengar." jawab Ari yang mencoba mengingat-ingat karena ia pernah mendengar nama itu."Iya, saya
"Apa kamu mengenalnya?" tanya Arga."Aku ingin melihat wajahnya dulu untuk memastikan." tukas Dimas yang tak ingin berburuk sangka. Nama Ari begitu banyak. Mungkin bukan yang ia kenal.Arga mengangguk. Lalu, ia mengantarkan Dimas ke bilik Ari. Pria itu menderita patah kaki yang tertimpa oleh motor, tapi tidak mengalami hal parah lainnya seperti yang dialami oleh Laila.Wajah Dimas begitu pucat saat melihat Ari, pria yang belum siuman itu. "Apakah anda kenal, Pak Dimas?" tanya Arga dengan sopan."Iya. Dia itu manager minimarket, tempat Laila membuka warung."Arga mengangguk-angguk saja. Entah kenapa, dia merasa ada sedikit kepuasan di dalam hatinya karena bisa jadi Laila selingkuh. Namun, ia tak berani menuduh.Arga tak mau membuat Dimas untuk berasumsi. Biar Dimas sendiri saja yang bertanya kepada Ari dan Laila. Itu bukan urusan dari Arga."Kalau begitu, aku dan Hesti permisi dulu ya, Pak Dimas. Ada pekerjaan lain di kantor.""Te-terima kasih, Pak.""Sama-sama."Arga segera menjemput
Hesti sangat kaget karena ternyata yang mengalami kecelakaan adalah Laila dengan seorang pria.Laila sudah pingsan karena kepalanya terbentur ke trotoar. Sementara pria yang mengendarai motor itu kakinya terjepit motor. Sungguh mengerikan. Apalagi terlihat bagian belakang mobil Arga juga cukup hancur."Tolong!" tukas pria itu karena kakinya terjepit oleh motor.Arga segera membantu pria itu untuk mengangkat motor yang menimpa kakinya."Tolong!" tukas pria itu dengan wajah yang sangat terlihat kesakitan.Arga segera menghubungi ambulans di rumah sakit terdekat. Ia tak berani membantu langsung orang yang kecelakaan karena takutnya saat mengangkat pria itu, bisa terjadi patah tulang atau kejadian yang tak bisa diperkirakan oleh Dimas.Tak lama kemudian, ambulans pun datang. Laila dan pria itu dibawa ke rumah sakit, sementara motor pria itu diamankan oleh pihak kepolisian."Hes," panggil Arga karena melihat Hesti terus tertegun."I-iya, kenapa?" Hesti kaget atas panggilan Arga yang membuy
"Maksudnya?""Seperti yang kamu dengar, Hes. Bisa gak kalau kita batal cerai?" pinta Dimas.Sontak membuat Hesti membulatkan kedua matanya. Begitu juga dengan Arga. Namun, pria itu masih menahan diri untuk tak berkata-kata kasar kepada Dimas."Kamu lagi sakit ya?" ejek Hesti."Gak. Aku gak sakit, Hes. Aku sangat serius. Aku menyesal sekali dengan apa yang sudah aku lakukan." ujar Dimas yang berusaha mengambil tangan Hesti, tapi Hesti langsung menarik tangannya hingga tak bisa digenggam oleh Dimas."Gak deh. Terima kasih atas tawaran kamu. Tekad aku udah bulat untuk menghentikan semua ini. Aku harap ... kamu gak perlu untuk membuat persidangan menjadi semakin lama. Lagipula, kamu sudah punya wanita lain. Bagaimana dengan Laila? Bukankah kamu sangat mencintainya?" ejek Hesti lagi."Tak bisakah kamu hidup berbarengan dengan Laila?""Haha .... dasar laki-laki egois. Kamu sudah sangat tahu kalau aku gak suka dimadu! Jadi, tak mungkin aku mau hidup berdampingan dengan pelakor itu. Apalagi d
"Uhm ... Gak dulu deh Tante. Kan masih banyak wanita lain yang pas banget untuk Arga." jawab Hesti yang menolak halus akan tawaran dari Marni."Tante rasa ya, Arga tuh suka banget loh sama kamu. Plis jangan tolak." tukas Marni dengan sungguh-sungguh.Hesti menggaruk tengguknya yang tak gatal itu."Gimana ya, Tante. Aku juga masih belum bisa berpikir untuk punya pria yang lain. Aku masih belum bisa menyingkirkan trauma sih." "Tante mengerti. Tapi, gak apa. Kalau Arga dan kamu berjodoh, pasti kalian bisa bersama.""Tante, aku boleh tanya sesuatu?""Apa tuh, Hes?""Kenapa tante tiba-tiba bicara begini sama aku ya?" Hesti sendiri penasaran. "Apa tante gak malu kalau aku misalkan jadian sama Arga?""Malu? Kenapa tante harus malu?" Marni heran."Ya ... satu, aku lebih jauh miskin daripada Arga. Kedua, aku tuh janda loh, Tan. Padahal masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari aku loh." jelas Hesti."Kalau hati sudah bicara, gak akan ada pikiran untuk yang seperti kamu katakan, Hes
Kring!Ponsel Dimas tiba-tiba saja berbunyi. Pria itu menjawabnya."Kenapa Rat?" "Mas, ini kapan ibu mau dibawa ke Jakarta?""Rat, kayaknya ibu di kampung saja dulu.""Tapi, aku gak bisa loh, Mas. Aku kan harus sekolah.""Hmm ... mbak yang membantu kamu itu?""Dia minta gaji besar buat menjaga ibu, Mas.""Berapa?""Dua juta.""Hadeh, di kampung saja minta bayaran mahal sekali sih."Bahkan gaji Dimas saja sudah sama dengan mbak di kampung. Belum lagi dengan uang sekolah dan kebutuhan dari adiknya. Darimana Dimas bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tak mungkin juga ia harus menggerus tabungannya, sisa dari jual rumah."Begitulah, Mas.""Uhm ... memangnya kamu gak bisa cari yang lebih murah gitu?""Mas ... ini nungguin ibu dua puluh empat jam loh.""Rat, mas juga gajinya kecil sekarang. Belum closing juga untuk motor. Mas tuh uang nya sekarat sekarang. Tolong ngertiin dong.""Ya terus mas maunya gimana? Aku harus putus sekolah untuk menjaga ibu gitu?""Gak gitu juga, La. Bukan gitu maks