Arga menghapus air mata yang tumpah di pipinya. Ia harus berpikir dengan jernih dan mendinginkan otaknya yang sudah terlalu panas."Rocky! Ya, aku harus menghubungi Rocky."Rocky adalah detektif kepercayaannya yang selama ini telah membantunya di berbagai kasus."Halo, Rocky!" sapa Arga yang sudah bisa menenangkan hatinya."Kenapa, Ar? Ada kasus yang bisa aku bantu?" "Bisa kita bertemu?""Bisa. Dimana?""Danau Y." jawab Arga."Ok. Tiga puluh menit lagi aku ke sana."Setelah 30 menit berlalu, Rocky pun datang."Ada apa, Bro? Sepertinya wajahmu sangat kusut." tanya Rocky yang duduk di samping mobil Arga."Apakah kamu masih ingat dengan Erika?""Ah ... aku ingat. Mantanmu yang freak dan manipulatif?"Arga menganggukkan kepalanya dengan perlahan."Ada apa dengan dia?" tanya Rocky."Dia mengatakan kalau dia telah melahirkan anakku."Rocky langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Kamu ingat kan rekaman cctv saat aku benar-benar kacau? Yang waktu di hotel itu."Rocky langsung mengan
"Ya, anak kita.""Tidak! Kamu berbohong!" Arga menggelengkan kepalanya.Erika mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto seorang anak laki-laki kepada Arga."Apakah kamu merasa kalau foto Raka seperti kamu saat masih kecil?"Arga terdiam."Kenapa? Masih tidak percaya?"Arga masih diam."Kamu bisa koq melakukan test DNA. Feel free!" balas Erika penuh percaya diri.Arga menarik nafas dalam-dalam."Kenapa kamu tak pernah mengatakannya kepadaku?" tanya Arga dengan suaranya yang bergetar hebat."Hmm ... aku baru tahu kalau aku hamil saat sudah sampai ke Australia." jawab Erika dengan santai.Pikiran Arga kacau."Jadi ... apakah kamu tak mau mengakui anakmu sendiri?"Arga diam seribu bahasa. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Pikirannya benar-benar kacau."Kenapa kamu tak bicara?""Apa yang harus aku katakan?" balas Arga."Menikahi aku segera? Membina hubungan keluarga ini segera?"Arga menggelengkan kepalanya."Kenapa? Kamu masih mau dengan Hesti? Padahal kita sudah punya anak
Arga dan Hesti tiba di kantor seperti biasa, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meskipun ada ketegangan kecil di antara mereka sejak beberapa hari terakhir, mereka tetap berusaha profesional. Saat jam makan siang tiba, Arga mengajak Hesti ke sebuah kafe diseberang kantor mereka, berharap bisa mencairkan suasana."Kamu mau pesan apa?" tanya Arga sambil membuka menu."Yang biasa saja, latte dan spaghetti carbonara," jawab Hesti dengan senyum kecil.Percakapan mereka mengalir ringan, sampai tiba-tiba…"Arga! Hesti!"Suara itu membuat mereka berdua menoleh ke arah pintu masuk. Erika, mantan pacar Arga yang toxic, berdiri di sana dengan senyum lebar. Wajah Hesti langsung berubah, sementara Arga terlihat kaget. Mereka sama sekali tak senang dengan kedatangan Erika.Tanpa permisi, Erika langsung duduk di samping Arga dan mencium pipinya. "Maaf, aku telat datang!"Hesti hampir menjatuhkan garpunya. Arga buru-buru menjauh. "Erika, apa yang kamu lakukan?!"Erika hanya tertawa. "Aku cuma mau
Arga menatap dalam ke arah mata Hesti, wanita yang dari dulu ia cintai diam-diam. Matanya berbinar, seolah ingin mengungkapkan segala rahasia yang selama ini terpendam."Arga, aku masih nggak ngerti… Dulu, kenapa kamu terlihat sangat depresi saat Erika pindah ke Australia? Aku ingat, kamu sampai nggak mau keluar kamar selama berminggu-minggu." Hesti masih sangat penasaran tentang kisah Arga dan Erika yang sampai saat ini masih belum ia dapatkan jawabannya. Arga menghela napas, jari-jarinya memainkan kemudi di hadapannya. "Aku sebenarnya bukan depresi, Hes. Justru… aku bersyukur. Wanita toxic seperti Erika akhirnya pergi dari hidupku. Ya ... beberapa hari berdiam diri. Anggap saja sedang melakukan RESET di hidup aku." tukas Arga pelan."Toxic? Maksud kamu gimana?" Hesti mengernyitkan dahi. Wanita itu masih tidak mengerti arah pembicaraan dari Arga.Arga menatap lurus ke arah Hesti, wajahnya serius."Selama ini, Erika sangat manipulatif. Dia membuatku kesepian, menjauhkanku dari semua
Suara bel apartemen berbunyi berulang kali, bersemangat. Hesti, yang baru saja bangun dengan rambut sedikit acak-acakan, bergegas membuka pintu. "Arga? Pagi-pagi sudah di sini?" Hesti tersenyum lebar dan mata berbinar. "Aku bawakan sarapan! Aku masak sarapan sehat untuk kita berdua." ucap Arga dengan gugup tapi bersemangat. Lalu ia mengangkat box berisi sarapan untuk mereka berdua. Hesti tertawa geli dan mengizinkan Arga masuk ke dalam unit apartemennya. Mereka duduk di meja makan kecil, menikmati sarapan hangat bersama. Hesti memperhatikan mata Arga yang agak hitam lalu tersenyum. "Kok matamu hitam gini? Kayak habis begadang seminggu." Arga menggaruk kepala yang tak gatal dan ekspresinya sangat malu-malu. "Aku… nggak bisa tidur semalam. Terlalu senang. Masih nggak percaya kamu akhirnya mau jadi pacarku." ujar Arga yang begitu jujur dan spontan. Hesti tertawa terbahak-bahak, lalu menunduk, pipinya memerah. "Aku juga… semalam bolak-balik di kasur. Deg-degan terus mikirin hubunga
Setelah mendapatkan kabar dari Arga, Hesti pun segera menghubungi Dimas. Ia harus memberitahu kabar baik ini kepada Dimas. "Halo, Dimas.""I-iya, Hes. Ada apa?""Dimas, ada kabar baik! Steven, temannya Arga mau pesan motor sebanyak 20 unit!" tukas Hesti yang sangat bersemangat. "Serius?! Wah, itu kabar bagus banget! Terima kasih banyak, Hesti! Kamu benar-benar membantuku!" ucap Dimas yang sangat bahagia karena akhirnya ada yang mau membeli motornya sebanyak itu. "Bukan aku, kok. Arga yang bantu ngurus ini. Aku cuma ngasih tahu aja ke kamu. Nanti Steven akan menghubungi kamu untuk lebih lanjutnya" "Oh, Arga ya? Kalau gitu, tolong sampaikan terima kasihku padanya. Aku sangat berhutang budi padanya.""Siap, nanti aku bilang ke Arga."Hesti pun segera menutup sambungan teleponnya dengan Dimas. *Rumah sakit"Dimas… ada apa? Kenapa kamu tadi tersenyum bahagia?" tanya Nani lemah sekaligus penasaran karena anaknya tersenyum sangat lebar. Padahal sebelumnya, Dimas seperti sudah bermuram