Arumi masih termenung di depan meja makan. Menatap sepiring nasi dan mangkuk sayur asem yang masih utuh. Perutnya terasa lapar, namun rasanya ia tak ingin makan.
Dinda sudah tidur sejak sore tadi. Sepertinya anak itu kelelahan membantunya mengerjakan pekerjaan borongannya. Arumi memang mengambil kerja borongan membungkus snack, dari usaha makanan rumahan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hasilnya memang tidak seberapa. Arumi hanya mendapatkan upah Rp.15.000,- sehari.Namun bagi Arumi uang segitu sangat berarti. Arumi bisa menggunakannya untuk membeli sayuran dan uang jajan Dinda setiap harinya. Arumi mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang menempel di tembok sebelahnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tidak ada tanda - tanda suaminya akan pulang. Sudah empat hari ini Ardi tidak pulang ke rumah. Bahkan menghubunginya pun juga tidak.Tiba-tiba Arumi merasakan kesepian yang sangat dalam. Ia begitu merindukan suaminya yang dulu. Bayangan hari - hari yang mereka lalui dengan tawa ceria itu, mulai bermunculan di dalam benaknya."Mas, kenapa keluarga kita jadi seperti ini? Dulu kita adalah keluarga yang bahagia. Kenapa hanya masalah uang bulanan saja, kamu sampai seperti ini?" gumamnya.Arumi terus berpikir. Hingga ia menyadari kesalahannya. Tidak seharusnya Arumi meninggikan suaranya di depan suaminya seperti kemarin."Aku harus minta maaf lagi pada Mas Ardi." Arumi berdiri dan mengambil handphonenya yang tergeletak di atas meja. Baru saja ia akan menekan nomor untuk menghubungi Ardi, terdengar sebuah ketukan dari pintu depan rumahnya."Ah, pasti itu Mas Ardi," gumam Arumi. Ia kembali meletakkan gawainya dan berjalan ke arah pintu. Dengan hati gembira, ia membuka pintu. Namun senyumnya seketika surut, ketika melihat Bu Hilda dan Santi yang berdiri di depan pintu."Ibu?" ucap Arumi kecewa."Ya, ini Ibu. Kenapa wajahmu berubah seperti itu? Apa kau tidak suka aku datang kemari?" Belum dipersilahkan masuk, Bu Hilda sudah langsung nyelonong masuk ke dalam rumah. Tubuh Arumi sedikit terhuyung, ketika tubuhnya bersinggungan dengan tubuh Bu Hilda."Bukan begitu, Bu. Aku pikir tadi ….""Kau pikir Ardi yang datang?" Bu Hida tersenyum kecut, lalu melanjutkan kata - katanya. "Ardi tidak mungkin kembali ke rumah ini, dia pasti sudah muak dengan istrinya yang tukang selingkuh ini.""Tukang selingkuh? Apa maksud Ibu?" Arumi mencoba memelankan suaranya, meski sebenarnya ia sudah terbakar amarah. Ia tidak ingin Dinda terbangun dan mendengar keributan antara ia dengan sang ibu mertua."Kau pikir ibu tidak tahu kalau kau sering pergi dengan dokter muda ini!" Bu Hilda menunjukkan foto di gawai milik Santi."Itu …."Mata Arumi terbelalak, melihat foto dirinya dengan dokter Andrean dan juga Dinda yang tengah duduk di pinggir jalan."Kenapa kamu terkejut seperti itu? Kamu pasti tidak menyangka kalau perselingkuhanmu itu akan terbongkar secepat ini." Bu Hilda tersenyum puas, menatap wajah Arumi yang sedikit pucat."Aku … aku tidak berselingkuh dengan dokter Adrean!" bantah Arumi. Tapi ia juga tidak mau menjelaskan penyakitnya pada ibu mertuanya. Arumi masih sehat saja, Ibu mertuanya menghinanya sampai segitunya. Apalagi Arumi penyakitan. Bisa-bisa ia langsung meminta Ardi menceraikannya."Kalau kalian tidak berselingkuh, ngapain dong kalian ketawa-ketawa di pinggir jalan seperti itu? Bikin malu!" Bu Hilda masih berbicara dengan nada ketus."Ibu tidak perlu tahu urusanku, yang jelas aku tidak pernah berselingkuh dari mas Ardi!" balas Arumi. Ia tidak pernah menyangka Santi ada di jalan itu saat ia pingsan. Tapi kenapa ia tidak menolongnya? Ia justru mengambil foto dirinya. Arumi benar- benar tidak bisa menerka jalan pikiran mereka."Terserah! Ibu juga tidak peduli kamu berselingkuh atau tidak. Yang jelas Ibu kesini memintamu untuk segera bercerai dengan Ardi!""Apa - apaan sih Ibu ini? Mana mungkin Aku bercerai dengan Mas Ardi. Kami sudah lama menikah, dan kami saling mencintai. Kalaupun ada pertengkaran diantara kami, itu hanyalah sebuah kesalahpahaman.""Masalahnya, Ibu ingin menikahkan Ardi dengan wanita pilihan ibu. Gadis itu lebih segala- galanya darimu. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di luar negeri. Ibu yakin hidup Ardi akan lebih terjamin daripada menikah dengan wanita sepertimu!" ucap Bu Hilda.Mendengar suara berisik dari arah depan, Dinda terbangun dan berjalan menghampiri arah suara itu."Ada apa sih, Ma? Kenapa berisik sekali?" ucap bocah polos itu sembari mengusap- usap matanya yang masih mengantuk.Dengan cepat Bu Hilda meraih Dinda, lalu menjewer kuping bocah yang tak bersalah itu."Atau kau ingin aku menyakiti Dinda!" ucap Bu Hilda."Aduh sakit, Nek. Apa salah Dinda? Kenapa tiba-tiba Nenek menjewer kuping Dinda?" rengek bocah itu.Tak terima melihat anaknya diperlakukan seperti itu, Arumi reflek mendorong tubuh ibu mertuanya dengan keras. Arumi segera merengkuh tubuh Dinda ke dalam pelukannya.Sementara tubuh Bu Hilda terhuyung dan kepalanya membentur pojokan meja.Darah mengalir dari kening Bu Hilda yang terbentur meja itu. Seketika Arumi dan Santi panik melihatnya."Apa yang kau lakukan, Mbak! Kau menyakiti Ibu!" teriak Santi sembari merengkuh tubuh Ibunya. Disaat bersamaan Ardi muncul dari arah pintu."Arumi… Santi … ada apa ini?" ucap Ardi ketika melihat keadaan sang Ibu."Mas, Mbak Arumi mendorong Ibu sampai seperti ini. Ayo bawa ibu ke rumah sakit, Mas!" mohon Santi pada sang kakak. Tanpa membuang waktu, Ardi segera membopong tubuh Bu Hilda ke dalam mobilnya dan membawanya ke rumah sakitDokter segera mengobati luka di kening Bu Hilda. Kata dokter Bu Hilda tidak apa-apa, lukanya akan segera segera sembuh."Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ibu sampai seperti ini?" Ardi meminta penjelasan dari sang Ibu."Hiks … hiks … Ardi …." Bu Hilda justru menangis, mengeluarkan air mata buayanya."Sebenarnya Ibu hanya ingin menasehati istrimu, supaya tidak lagi berhubungan dengan dokter muda itu. Ibu malu kalau sampai teman-teman Ibu tahu, kalau Ibu punya menantu tukang selingkuh. Arumi justru marah dan mendorong ibu, sampai Ibu seperti ini, hiks …" Bu Hilda memang sangat pandai berakting. Kalau saja ia mendaftar menjadi artis sinetron, mungkin dia sudah mendapatkan piala citra."Tapi, mana mungkin Arumi tega menyakiti Ibu?" Ardi masih tak percaya dengan ucapan sang ibu."Kalau kau tak percaya, tanya saja pada Santi," sungut sang ibu.Ardi mengalihkan pandangannya pada Santi, lalu adik kesayangannya itu menganggukkan kepala membenarkan perkataan ibunya. Dada Ardi serasa bergemuruh, mendengar pengakuan sang ibu. Tega - teganya Arumi melakukan hal ini pada ibunya. Padahal Ibunya berniat baik, demi keutuhan keluarganya.Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam