"Jadi kau tidak percaya kepadaku, Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Ardi di ruang tamu. Mereka hanya berbicara berdua saja, sebab Dinda sudah disuruh masuk ke kamarnya oleh Arumi.
"Kenapa aku harus percaya kata-katamu? Buktinya jelas, kau yang mendorong ibuku!" Ardi berbicara tanpa mau menatap wajah istrinya. Pikirannya kacau, apalagi rasa cemburu kini menguasai hatinya."Memang aku yang mendorong Ibu. Tapi aku tidak sengaja melakukannya, karena Ibu ingin menyakiti Dinda." Arumi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi sepertinya tidak ada lagi celah bagi Ardi untuk mempercayainya."Jangan lagi kau memutar balikan fakta, Arumi. Kau mendorong Ibu, karena kau tidak terima Ibu menegurmu telah berselingkuh dengan dokter itu!" Ardi meninggikan suaranya. Sepertinya amarahnya sedang berada di puncak."Bukan seperti itu kejadiannya, Mas!" Arumi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kala Bu Hilda memintanya untuk bercerai dengan Ardi. Sampai mengancamnya dan menyakiti Dinda, hingga ia reflek mendorongnya. "Tolonglah, Mas. Kali ini saja, percaya kepadaku." Suara Arumi terdengar memelas, namun hal itu tak membuat amarah Ardi menjadi reda. Ia justru menggebrak meja."Cukup, Arumi! Jangan lagi kau fitnah ibuku seperti ini. Kalau kau memang ingin bercerai denganku, aku akan mengabulkan permintaanmu!" Ardi berdiri, hendak pergi. Namun Arumi segera meraih lengan Ardi."Mas, tolong jangan pergi lagi. Kali ini saja, kumohon percayalah padaku. Aku tidak pernah berselingkuh." Arumi menarik nafas panjang, untuk meredakan emosinya. Ia akan berterus terang pada suaminya tentang penyakitnya. Ia yakin Ardi akan mengerti keadaannya."Kalau kau memang tidak berselingkuh, kenapa kalian bisa seakrab itu?" Ardi tidak percaya dengan kata- kata Arumi. Bahkan sekilas melihat saja, mereka nampak seperti sebuah keluarga bahagia. "Atau jangan-jangan memang benar yang dikatakan Ibu. Dinda itu bukan anakku. Jangan-jangan Dinda anak dokter itu!" ucapnya lagi."Plak!" Reflek Arumi melayangkan tamparan ke pipi kanan suaminya. Ia benar-benar tidak menyangka suaminya memandangnya sehina itu. Akhirnya Arumi tahu kenapa sikap Ardi pada Dinda tidak pernah baik. Ternyata selama ini Ardi selalu menganggap Dinda bukanlah darah dagingnya.Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu, selain melihat anak kandungnya tidak diakui oleh ayahnya sendiri. Kalau hanya dituduh berselingkuh oleh Ibu mertuanya, Arumi masih bisa tahan. Tapi kali ini suaminya sendiri yang menuduhnya, bahkan menganggap anaknya adalah anak haram. Rasanya Arumi sudah tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahannya dengan Ardi."Jadi sehina itu aku dimatamu, Mas?" ucap Arumi. Ia mengurungkan niatnya untuk jujur mengenai penyakitnya. Karena percuma ia berbicara jujur, Ardi juga tidak akan percaya padanya."Ya, kenyataannya memang kau ini perempuan sundal. Tukang selingkuh!""Lalu apa maumu?" Arumi menatap tajam mata sang suami."Aku akan segera menceraikanmu!" ucap Ardi yang langsung menyambar kunci mobilnya, lalu kembali pergi meninggalkan rumahnya.Arumi hanya bisa menatap nanar kepergian sang suami. Rasanya ia sudah putus asa untuk tetap mempertahankan rumah tangganya.Keesokan harinya, seperti bisa Arumi menyiapkan sarapan pagi untuk Dinda. Dinda anak yang mandiri, di usianya yang baru menginjak delapan tahun, ia sudah bisa mandi, memakai baju, dan menyiapkan jadwal pelajarannya sendiri.Gadis kecil itu menuju ke meja makan, sambil menenteng tas sekolahnya."Wow, Mama masak apa pagi ini?" ucap gadis itu sambil mengendus-endus. Masakan mamaya harum sekali, membuat perut Dinda jadi keroncongan. Bocah polos meraih kursi dan duduk menghadap ke meja makan."Mama bikin nasi goreng kesukaanmu, Sayang." Arumi meletakkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya."Wow, nasi goreng!" Dinda terlihat sangat senang karena mamanya masak makanan kesukaan Dinda. "Nasi goreng buatan Mama memang tiada duanya," ucap Dinda lagi memuji masakan Ibunya. Gadis kecil itu meraih sendok, hendak memakannya.Namun gerakan tangannya terhenti ketika melihat kursi kosong di hadapannya."Papa ga pulang lagi, Ma? Papa marah sama kita, karena kita kemarin nyakitin Nenek?" ucap Dinda. Wajah bocah itu terlihat begitu murung. Arumi tahu, Dinda sangat merindukan ayahnya."Enggak kok, Papa ga marah sama kita. Papa hanya menginap sementara di rumah Nenek. Papa harus menjaga Nenek, yang sedang sakit." Arumi mengelus rambut gadis kecil kesayangannya itu."Syukurlah!" Dinda menghembuskan nafas kasar, merasa lega jika papanya tidak marah pada mereka. "Dinda takut Papa marah dan pergi meninggalkan kita. Dinda tidak mau seperti temanku yang tidak punya ayah!" ucapnya lagi. Anak itu terus saja nyerocos menceritakan ayah temannya yang sudah meninggal.Arumi menarik nafas panjang, mendengar cerita Dinda. Hatinya terusik oleh kata-kata bocah polos itu. Tekadnya untuk segera bercerai dari Ardi seketika runtuh, begitu mendengar perkataan Dinda.Meski selama ini Dinda tidak pernah mendapat kasih sayang dari sang ayah, tapi Arumi bisa melihat betapa sayangnya Dinda pada Ardi. Arumi tidak akan pernah tega memisahkan Dinda dari ayahnya.Tiba-tiba Arumi merasakan nyeri yang begitu hebat di perutnya. Namun Arumi mencoba menahan rasa sakit itu. Arumi tidak ingin terlihat kesakitan di depan Dinda. Ia hanya memegang perutnya, dan menyeka keringat dingin yang mulai mengucur dari dahinya."Mama kenapa?" ucap Dinda yang mulai curiga melihat keringat yang bercucuran dari kening Arumi."Mama ga apa-apa kok." Arumi masih mencoba tersenyum, agar Dinda tidak curiga. Namun rasa sakit itu semakin tak tertahankan. Akhirnya pandangannya menjadi gelap, dan tubuh Arumi jatuh tersungkur ke atas lantai.Melihat, tubuh mamanya yang tersungkur di atas lantai Dinda langsung menghentikan makannya. Ia begitu panik. Namun ia tak tahu harus melakukan apa. Ingin meminta tolong, ia bingung harus minta tolong pada siapa. Tetangga sebelahnya, yang seorang pedagang pasti sudah pergi ke pasar.Dinda meraih gawai sang Mama untuk menghubungi ayahnya. Namun berulang kali Dinda menelpon. Ayahnya tetap tak mau mengangkat teleponnya. Satu- satunya orang yang bisa ia harapkan hanyalah dokter Andrean.Tak perlu membuang waktu lagi, Dinda segera menghubungi dokter Andrean."Halo, dokter Andrean disini. Ada yang bisa saya bantu?" suara dokter Andrean yang humoris terdengar dari ujung telepon. Namun suaranya berubah menjadi serius kala mendengar suara Dinda yang panik "Dok … ini Dinda! Tolong Mama Dinda, Dok! Mama Dinda pingsan. Dinda tidak tahu harus bagaimana. Disini tidak ada siapa-siapa!" "Dinda, jangan panik 'ya. Dinda kasih tahu Dokter alamat rumah Dinda. Dokter akan segera kesana untuk menolong Mama Dinda!" Dinda segera mengirimkan alamat rumahnya. Tak lama kemudian, Dokter Andrean pun tiba di rumah Arumi. Ia segera mengangkat tubuh Arumi lalu meletakkannya ke atas sofa. Dokter Andrean mengoleskan minyak di hidung Arumi, hingga Arumi akhirnya sadar.Perlahan wanita itu membuka matanya. Ia mendapati Dinda dan dokter Andrean tengah duduk di samping sofa tempatnya berbaring."Dokter!" Arumi mencoba mendudukkan badannya dan menyandarkannya pada sandaran sofa."Arumi, aku sudah membaca riwayat penyakitmu dari data yang diberikan dokter Luis. Kamu harus segera dioperasi. Sebelum penyakitmu itu semakin parah." Dokter Andrean menatap serius pada Arumi."Saya masih belum mempunyai cukup uang untuk melakukan operasi itu, Dok." Arumi menundukkan kepalanya. Disatu sisi, ia ingin segera sembuh. Ia tidak ingin melihat Dinda terus mengkhawatirkan keadaannya terus menerus, tapi disisi lain ia juga tidak mempunyai cukup uang untuk melakukan operasi itu. Karena Biaya operasi itu tidaklah murah."Kalau kamu mau, aku bisa membantumu!" Dokter Andrean, meraih telapak tangan Arumi, meyakinkan untuk menerima bantuannya.Disaat bersamaan Ardi sudah berdiri di depan pintu, menatap tajam pada Arumi dan dokter Andrean."Ternyata seperti ini kelakuanmu, jika suamimu tidak ada di rumah!" geram Ardi. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah. Sorot matanya tajam, seperti sebuah kilatan pedang yang siap mencabik - cabik Arumi dan dokter Andrean.Ternyata apa yang dikatakan ibunya selama ini bukan hanya omong kosong. Hanya saja ia terlalu naif untuk mempercayainya. Cintanya pada Arumi membuatnya selalu menutup mata. Tapi hari ini ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Ia semakin yakin jika Dinda memang benar- benar bukan darah dagingnya. Seketika kebenciannya pada anak itu kembali menguasai hatinya."Mas, kamu salah sangka!" Arumi menarik tangannya dari genggaman tangan dokter Andrean. Lalu ia berdiri menghampiri suaminya."Aku tidak buta, Arumi!" ucapnya dingin."Dokter Andrean hanya …." Arumi ingin menjelaskan semuanya. Namun belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Ardi sudah memotongnya."Ternyata benar yang dikatakan Ibu. Kamu hanyalah wanita murahan, yang merelakan tubuhmu disentuh oleh
"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu. Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika han
Arumi menghampiri Dinda yang tengah menonton televisi di ruang tengah."Anak Mama makan dulu, yuk!" ucap Arumi sembari mengalungkan lengannya ke pundak bocah itu."Nanti aja, Ma. Filmnya lagi seru!" sahut Dinda. Matanya awas menatap layar televisi yang menayangkan film animasi hewan kesayangan Dinda."Nontonnya kan bisa nanti lagi. Dinda belum makan lho dari siang, nanti Dinda sakit!" bujuk Arumi."Tapi, Ma, filmnya lagi seru. Sebentar lagi si Ochan akan bertemu dengan ayahnya!" sahut bocah polos itu. Tiba-tiba ekspresi wajah Dinda berubah. Dinda yang awalnya tertawa senang saat melihat film kesayangannya, tiba- tiba menjadi murung saat menyebut kata ayah. Arumi tahu Dinda sangat merindukan papanya."Kamu kenapa, Sayang?" Arumi menyentuh pipi bakpau bocah itu. Menatapnya penuh cinta kasih."Dinda kangen papa, Ma," ucap bocah itu. Matanya terlihat sayu menatap mata sang mama. "Kapan sih, papa akan pulang ke rumah ini?" ucapnya lagi.Arumi membalas tatapan Dinda. Ia menarik sudut bibirn
Bab. 9"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagi
"Tidak baik menyiksa diri seperti ini, Air hujan tidak bagus untuk kesehatanmu," suara lembut seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuatnya menoleh ke arah belakang. Menatap pria berpakaian dokter yang berdiri tegak di belakangnya. Tangan kirinya memegang payung berwarna biru dengan motif bunga yang cantik. Ia mengarahkan payung itu, tepat di atas kepala Arumi. Sehingga tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuh wanita itu."Dokter Andrean," ucap Arumi lirih. Ia tidak mengira akan bertemu dengan dokter itu dalam keadaan seperti ini. Arumi merasa sedikit canggung, saat bola arwah mereka saling beradu. Menyadari ketidaknyamanan Arumi, Dokter Andrean memberi jarak yang cukup jauh antara ia dengan Arumi, sehingga pria itu justru membiarkan sebagian tubuhnya basah terkena tetesan air hujan."Dokter melarangku hujan- hujanan, tapi Dokter sendiri kehujanan," sungut Arumi.Dokter Andrean justru terkekeh, "Yang penting kamu tidak kehujanan!"Arumi mendekatkan tubuhnya, agar payung
"Bagaimana, Dinda? Kau mau di sini dulu menunggu papamu?" Bu Hilda masih saja membujuk Dinda. Gadis kecil itu sebenarnya ragu, tapi ia sangat ingin bertemu dengan papanya. Kalau mereka pulang, belum tentu mamanya mau diajak datang kesini lagi. Apalagi neneknya bilang papanya akan segera datang.Bu Hilda masih menatap gadis kecil itu, menunggu jawaban dari Dinda. Hingga akhirnya bocah itu mengangguk setuju. Sesaat kemudian Dinda menatap mata sang mama dengan perasaan bersalah. "Nggak apa- apa kan, Ma, kalau kita tunggu papa di sini?" ucapnya.Arumi membalas tatapan putrinya itu dengan senyuman, "Iya, kita akan tunggu papa di sini," ucap Arumi. Bu Hilda tersenyum ke arah Santi, sesaat Arumi melihat mereka saling pandang, sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Namun Arumi tidak ingin berburuk sangka. Paling tidak sekarang mertua dan adik iparnya itu sudah bisa bersikap baik padanya."Dinda, Arumi, kalian sudah sarapan belum?" ucap Bu Hilda.Arumi menaikkan alisnya menatap heran pada sa
"Kau itu memang pantasnya menjadi babu!" teriak Bu Hilda. Ia menatap Arumi dengan bola mata yang hampir keluar. Namun Arumi terus berjalan, tanpa memperdulikan kata- kata umpatan dan cacian yang terus dilontarkan oleh ibu mertuanya dan Santi. Langkah Arumi berhenti di depan kamar Santi. Ia menatap nanar, gadis kecilnya yang masih tertidur pulas itu. Hatinya terasa perih, ketika mengingat kebencian Ardi pada putrinya yang berharga itu. Tanpa terasa, butiran- butiran bening yang sejak tadi menggantung di pelupuk matanya itu meleleh juga. Arumi terisak di samping putrinya."Mama kenapa?" ucap Dinda, yang baru saja membuka mata. Tidurnya terusik oleh isakan tangis Arumi."Mama, ga apa- apa kok, Sayang," ucap Arumi yang kemudian menghapus air matanya dengan ujung jarinya."Mama pasti nangis, gara-gara Dinda pengen tidur di sini ya?" ucap gadis kecil itu sembari menatap mata sang mama dengan tatapan penuh penyesalan. Arumi menggeleng lemah. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada
"Memangnya tante yang tadi itu siapa sih, Ma?" Dinda menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan menghadap sang Mama. Matanya menatap nanar ke arah Arumi, seolah meminta penjelasan. Arumi membalas tatapan Dinda. Telapak tangannya lalu menyentuh kedua pipi bocah itu, menatap jauh ke dalam manik hitam milik Dinda. Ia tak tahu harus dengan cara seperti apa mengatakan kepada Dinda jika ayahnya sekarang telah menikah lagi."Kenapa Mama diam saja?" Dinda mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arumi. Mamanya justru terlihat sedang melamun. Arumi masih berjongkok di depan Dinda, bahkan telapak tangannya masih menempel di kedua pipi bocah mungil itu. Namun pandangan mata Arumi terlihat menerawang jauh ke depan.Apa yang harus ia katakan sekarang? Arumi benar- benar bingung."Siapa perempuan yang bersama papa tadi? Kenapa dia menggandeng lengan papa seperti tadi?" ucap anak itu lagi. Dinda terus mendesak Arumi untuk berbicara."Dinda, wanita itu istri baru ayahmu."