Share

Perubahan Sikap Naila

"Nak Vanya, cantik sekali ... gamisnya juga bagus," ucap Ibu Mertua.

"Terima kasih, Bu ...," jawab perempuan itu malu-malu.

Setelah itu Irda dan Mbak Ima bergabung bersama Vanya dan Ibu. Entah apa yang mereka obrolkan terlihat seru sekali hingga melupakan aku yang juga anggota keluarga ini.

Bapak Mertua datang menyerahkan Raka padaku. Bocah itu tersenyum sumringah kala melihatku. Saat ini dialah pelipur laraku.

"Naila, temani Vanya di sini saja ya karena sebentar lagi banyak tamu berdatangan di depan." ucap suamiku basa-basi.

"Kau tidak perlu khawatir, Mas. Dia sudah mendapatkan banyak teman," jawabku sambil menatap ke arah Vanya dan kedua iparku.

"Seharusnya kau bisa seperti dia agar bisa diterima keluargaku," imbuh Mas Ikhsan.

Aku mengernyit menatap Mas Ikhsan. Apa maksud dari perkataannya itu. Aku harus cantik? Atau aku harus berpenghasilan supaya bisa diterima keluarganya? Begitukah.

"Jika aku menjadi seperti dirinya, mungkin aku sudah tak ada di keluarga ini lagi, Mas." Kujawab sindiran Mas Ikhsan dengan menatap matanya tajam.

Pria itu pergi tanpa banyak kata. Ada apa dengan suamiku. Apakah dia mulai membandingkan diriku dengan perempuan lain.

Bukankah selama ini aku selalu menuruti setiap permintaannya. Dia minta aku tinggal di sini, aku menurut. Dia minta aku bersabar atas sikap Ibu dan saudaranya, itu juga aku turuti. Bahkan berbagi penghasilan dengan merekapun telah aku lakukan.

Tapi jika kali ini dia memintaku untuk bisa seperti wanita lain? Maaf ... aku menyerah karena aku tak mau dibandingkan.

****

"Naila, siapa perempuan berbaju pink tadi?" tanya Bulek Ida.

"Dia teman Mas Ikhsan, Bulek. Ibu yang mengundangnya untuk ikut pengajian ini," jawabku.

"Oh tadi dia datang bareng Iksan, Bulek sempat lihat waktu Ikhsan memboncengnya kesini," ucap Bulek Ida.

"Iya beberapa hari ini dia juga berangkat dan pulang kerja bareng suamiku," ucapku.

"Kamu harus ingatkan Ikhsan, Nay. Jangan terlalu dekat dengan perempuuan lain," jelas Bulek suamiku.

Aku menganggukkan kepala pelan. Dan Bulek Ida menepuk pundakku. Mungkin beliau tahu isi hatiku saat ini.

****

Acara pengajian berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Aku telah masuk ke kamar sebelum acara selesei. Karena Raka meminta asi hingga tertidur.

Setelah kupastikan Raka tertidur nyenyak dan bisa ditinggalkan, aku keluar. Kulihat Mas Ikhsan makan berdua bersama Vanya di ruang tengah. Sementara yang lain sibuk mengemasi piring dan sisa makanan.

Mungkin karena terlalu asyik, mereka lupa akan keberadaanku di sini.

Aku tak mau mempermalukan diriku sendiri. Jika selama ini alasanku bertahan di sini karena suamiku, maka aku akan menyerah jika dia tak menginginkanku lagi.

Karena menurutku seseorang yang mencintai kita, dia akan mati-matian menjaga hati dan perasaan kita. Dan sekarang sudah sangat nyata bagaimana sikap suamiku padaku.

Dia sudah sibuk dengan temannya itu. Dia bahkan belum mendatangiku di kamar sedari tadi. Baiklah lakukan apa yang ingin kau lakukan, Mas.

Saat tak sengaja melihatku, dia datang menghampiri. "Dek, aku mau nganterin Vanya dulu ya. Sekalian dia mau belanja bulanan,"ucapnya.

"Silakan, Kau tak perlu ijin dariku Mas." jawabku dingin. Dia hanya sekilas melirik.

****

[ Assalammualaikum, Resti ... ] Aku mengirim pesan pada temanku yang suaminya juga bekerja di tempat suamiku.

[ W*'alaikumussalam, Naila. Gimana kabarnya?] Tanyanya padaku.

[ Kabarku sedang tak baik-baik saja, Res] balasku.

[ Apa ini berkaitan dengan suami kamu yang dekat dengan Vanya? ] tebaknya.

[ Iya benar sekali, berarti kamu sudah tahu tentang ini ya] balasku.

[ Suamiku yang telah menceritakannya, ingin memberitahumu di saat yang tepat, kamu sudah lebih dulu mengetahuinnya ] balasnya.

Berarti kabar kedekatan Mas Ikhsan dan Vanya sudah diketahui banyak orang. Mungkin puncaknya ketika Perempuan itu pindah kos dekat sini.

[ Vanya diusir oleh suaminya, tanpa membawa kedua anaknya, bukan sekali ini aja perempuan itu ada affair dengan teman kerjanya. Bahkan dia pernah dilabrak istri Rudi teman kerja suami kita]Resti

Sekarang aku tahu siapa Vanya sebenarnya. Dia bukan perempuan baik-baik. Aku harus menyelidiki ada apa diantara suamiku dan perempuan itu.

[ Terima kasih infonya ya, Res ... mungkin suatu saat aku butuh bantuanmu] pesanku.

[ Akan aku bantu sebisaku. Yang sabar ya, kamu harus kuat] Resti.

****

Pukul sebelas malam baru terdengar Mas Ikhsan pulang. Aku yang sebenarnya belum tidur, pura-pura memejamkan mata.

"Dek, kamu udah tidur?" Perlahan Mas Ikhsan menggoyangkan tubuhku. Tak kupedulikan panggilannya. Hatiku sudah terlanjur sakit tak dianggapnya.

Dia menghela nafas panjang, mungkin juga merasa sulit dengan keadaan ini. Perlahan dia membaringkan tubuhnya di sebelahku. Tak lama terdengar suara dengkuran darinya.

****

Setelah dia tidur kini giliranku yang tak bisa tidur. Kucoba mengambil ponsel Mas Ikhsan yang diletakkan di bawah bantalnya. Saat menyalakan ponselnya ternyata dikunci.

Kucoba beberapa kali membuat pola namun gagal. Sial ... aku tak bisa mencari informasi lewat ponselnya.

****

Aku menjalankan tugasku seperti hari-hari biasanya. Berbelanja, memasak, membersihkan rumah. Cuma satu bedanya sekarang aku cuek dengan keadaan sekitarku.

Tak kuanggap mereka yang tak menganggapku. Bukankah itu pembalasan yang terbaik? Ku tunggu hingga waktu yang tepat.

Menunggu hingga semuanya jelas. Sehingga aku bisa mengambil keputusan tanpa penyesalan.

****

"Mbak, aku lagi gak enak badan. Suamiku pingin makan pecel lele. Bisakah kau membantuku memasaknya?" oceh Irda.

Kutinggalkan begitu saja dia depan pintu dapur.

"Mbak, denger gak sih aku ngomong?" ocehnya lagi.

"Dasar ipar budeg, pantes Mas Ikhsan mengabaikanmu!" maki Irda.

Apa peduliku, mau ngomong sampai berbusapun aku gak peduli. Jika butuh saja mulutnya manis, jika sudah tak butuh mulutnya pahit.

****

"Naila, kenapa pakaian Ibu gak dicuci sekalian?" Protes Ibu saat aku memisahkan antara pakaianku dan miliknya.

Aku tak mempedulikan Ibu mertua yang terus mengoceh dan mengataiku. Terserah dia mau lapor ke suamiku juga. Selama ini dibelakangku aku selalu dijelekkan ke semua orang dan aku diam.

"Dasar menantu edan ... rugi aku punya menantu sepertimu. Sudah kucel, cuma bisa ngabisin duit suami!" makinya.

Meskipun seringkali diri ini dicaci maki tapi tetap saja masih terasa sakit.

"Kenapa kamu gak pergi aja dari sini, dasar menantu gak berguna," teriaknya makin menjadi.

"Tenang Bu ... aku akan pergi dari sini tanpa disuruh. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja. Tak perlu kau teriak-teriak seperti itu karena aku tak akan bertanggungjawab jika darah tinggimu kumat," ucapku tenang.

****

"Naila, ada apa denganmu? Kenapa Ibu mengeluhkan kelakuanmu yang semakin menjadi," tanya suamiku

"Aku cuma ngelakuin yang seharusnya aku lakuin dari dulu, Mas." jawabku santai.

"Apa maksudmu, jelaskan dan jangan bertele-tele." Perintah Mas Ikhsan mulai sedikit emosi.

"Mas, selama ini aku bertahan di sini dengan semua kedzaliman ibu dan saudaramu cuma karena kamu ...," ucapku penuh penekanan.

"Dan kini satu-satunya alasanku bertahan, telah menyakitiku. Kau tidak bisa menghargai hatiku. Kau lebih memilih menyenangkan perempuan yang kau sebut teman tapi aku tak yakin jika kalian cuma berteman biasa," jelasku.

"Sekali lagi kau menunjukkan kepicikan hatimu, Nay," tuduh suamiku

"Tanpa bukti yang kuat kau telah menuduhku mengkhianatimu," imbuhnya.

"Cukup buktikan dengan menjauhinya jika kau tak ada sesuatu dengannya. Mudah, kan? Tapi aku yakin kau tak akan bisa,"tuturku.

"Aku bukan perempuan bodoh, Mas. Jangan playing victim seolah-olah kau yang menjadi korban,"ucapku dingin.

"Cepat atau lambat kebenaran pasti akan terungkap,"imbuhku.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status