Share

Mesin Pencetak Uang untuk Ibu
Mesin Pencetak Uang untuk Ibu
Penulis: Nursholehah

Bab 1

"Yun, beras dirumah habis. Nanti jangan lupa beli kalau kamu pulang," teriak Ibu dari pintu rumah.

"Iya Buk, nanti Yuni belikan." Ucapku sambil menunduk.

Entah harus apa yang aku perbuat untuk membeli beras untuk Ibuku. Sedangkan uang di tangan hanya sepuluh ribu.

"Bapak dadanya sesak Yun, nanti tolong kamu belikan obat di apotik." Titah Bapak yang tiba - tiba keluar dari Pintu belakang. Jalannya terpincang - pincang berjalan ke arah kamarnya kembali.

Aku hanya mengangguk, namun pikiran ini kosong. Entah mengapa semua beban orangtuaku aku yang menanggung sedangkan kedua kakakku Radit dan Gino hanya berpangku tangan.

Aku membuang nafas kasar, pekerjaanku sebagai Pelayan Toko tidak cukup untuk menompang kehidupan kedua orangtuaku.

Namaku Yuni Aria, usiaku baru menginjak 18 tahun. Aku dilahirkan dari Pasangan suami istri yang bernama Bapak Doni dan Ibu Nina. Ayahku dulunya bekerja sebagai Buruh di Pabrik, namun karena kecelakaan kerja beliau di PHK oleh Perusahaanya dan diberi Pesangon hanya mampu bertahan selama 2 tahun. Sedang Ibuku hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga yang hanya mengandalkan gaji dari suami. Kedua kakakku telah lulus dari Universitas namun mereka malas untuk bekerja, alasannya malu. Dengan tekad yang bulat untuk membantu kebutuhan makan sehari - hari akhirnya aku berinisatif untuk berhenti sekolah dari Bangku SMA kelas dua untuk bekerja menjadi Pelayan di Sebuah Toko Peralatan Sekolah.

Aku baru berjalan setahun bekerja menjadi Pelayan Toko namun gaji untuk makan sehari - hari kadang masih berhutang di warung tetangga untuk menutupi kekurangan setiap bulannya.

Aku memiliki tubuh yang proporsional, kulitnya putih bersih walau tanpa makeup yang berlebihan. Dan para lelaki di kampungnya kadang banyak yang mendekatiku, namun Aku tak pernah menghiraukan mereka. Yang terpenting untukku adalah bagaimana caranya mendapatkan uang untuk kebutuhan Orang tuaku.

Terkadang sepulang dari bekerja, aku harus menitipkan keripik tempe yang aku buat saat malam hari. Semua aku lakukan untuk membantu Keluargaku, terlebih kedua kakaknya sering meminta uangnya untuk membeli rokok. Aku kadang marah pada mereka berdua dan menyuruhnya untuk bekerja, namun Ibuku malah memarahiku. Karena aku sebagai anak perempuan satu - satunya harus menjadi garda terdepan untuk mencukupi mereka. Sungguh perkataan yang terbalik, justru akulah yang harusnya menjadi tanggung jawab mereka.

Aku melangkahkan sepedaku menuju Toko tempatku bekerja, mungkin aku akan meminjam kembali kepada Bu Tari Bos pemilik Toko ini.

Sepanjang perjalanan aku merasa tidak berguna, harusnya aku bisa melakukan lebih untuk Ibuku terlebih kepada Ayahku yang sedang menahan sakit akibat kecelakaan yang menimpanya dua tahun lalu namun belum diobati secara serius karena keterbatasan biaya.

Karena mungkin sepanjang jalan aku banyak berpikir, hingga tanpa terasa sepedaku telah sampai di Toko tempatku bekerja. Aku parkirkan sepedaku di area luar toko.

"Hai Yun, tumben mukanya kaya jemuran kusut," sindir Erin teman kerjaku yang sedang berjalan ke arahku.

Aku hanya membalas perkataan Erin dengan tersenyum, percuma juga aku menceritakan padanya karena cukup aku sendiri saja yang memendamnya.

"Eh, ditanyain kok malah diam." Timpal Erin sambil menepuk pundakku.

"Tidak apa-apa Rin, aku cuma lagi ada masalah aja dirumah. Oh ya Bu Tari sudah datang belum?" Ucapku sambil balik bertanya, aku menengok ke segala area toko untuk mencari keberadaan Bu Tari.

"Mungkin, sebentar lagi Yun. Memangnya ada perlu apa kamu mencari Bu Tari. Kamu mau pinjam uang lagi?" Tebak Erin yang ternyata tebakan nya memang benar. Aku memang membutuhkan uang untuk membeli beras dan obat untuk Ayahku.

"Iya Rin, aku butuh buat keperluan di rumah. Tahu sendiri Bapakku sudah tidak bekerja." Jawabku dengan raut wajah sedih, entah sampai kapan kehidupan aku akan berakhir.

Rasanya dadaku terasa sesak, aku hanya mampu memandangi sepatu butut yang kini kupakai perlu dibelikan yang baru. Namun Aku tidak peduli, yang terpenting membawakan uang untuk Ibu agar bisa memasakkan makanan untuk anggota dirumah. Nafasku sering terasa terhimpit batu ketika mendengar teriakan Ibu meminta uang ini dan itu padaku. Sampai aku tidak memperdulikan penampilan dan kebutuhan aku sendiri.

Erin hanya mampu menghela nafas dan memandang iba padaku, inilah yang aku benci orang lain akan memandang rasa kasihan padaku.

"Yun, kenapa kamu yang harus bertanggung jawab pada semua orang di rumah itu? bukankah ada kedua kakakmu yang juga sudah lulus kuliah?" Ujar Erin yang memandang lekat mataku yang mungkin terlihat cekung karena setiap hari kurang tidur untuk membuat keripik yang aku titipkan ke warung - warung tetangga.

"Rin, aku sendiri juga tidak mengerti. Kenapa Ibuku malah memberikan tanggung jawab ini semua kepadaku. Sedangkan kalau beban ini dibagi kepada mereka aku juga tidak terlalu berat." Ucap Yuni dengan mata yang berkaca - kaca.

" Sabar ya Yun, aku yakin kamu kuat untuk menghadapi ini semua. Oh ya kamu sudah sarapan belum?" Tanya Erin kembali karena melihat wajahku yang terlihat pucat.

"Aku belum sarapan, tadi lagi lauknya hanya cukup untuk Bapak, Ibu dan kedua kakakku. Kata Ibu kalau mau makan harus beli beras dulu. Karena kebetulan beras dirumah habis." Jawab Ku sambil tersenyum kikuk, aku malu sebenarnya mengatakan itu tetapi karena melihat Erin membawa banyak bungkus nasi, aku pun menjadi merasa lapar.

"Ya sudah, aku kebetulan bawa banyak makanan hari ini. Kita makan dulu saja di pojokan sana." Ajak Erin sambil menggandeng tanganku, aku bersyukur memiliki sahabat seperti Erin karena terkadang perhatiannya besar kepadaku. Seperti sekarang ini, dia selalu membawa sarapan lebih karena seringnya dia membagikannya untukku.

Dua bungkus nasi uduk yang dibawa oleh Erin sangat mengunggah selera, aku pun langsung melahap nasi uduk itu tanpa bersisa.

"Alhamdulilah Rin, terima kasih ya. Aku sekarang kenyang, suatu saat kalau aku sukses orang pertama setelah keluargaku yang akan aku bahagiakan adalah kamu." Ucapku dengan tersenyum lebar pada Erin. Entah apa yang harus aku balas pada sahabatku ini, dia begitu perhatian dan selalu ada saat aku berada di titik lemah.

"Amiin. Sudahlah Yun, kamu ini buat aku adalah keluarga aku. Jadi jangan pernah sungkan kalau ada masalah apa - apa kamu cerita sama aku." Ujar Erin sambil meneguk minuman nya lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Iya Rin, ayo kita bekerja. Kamu sudah selesai belum makannya?" tanyaku sambil membuang bungkus makananku dan makanan Erin, namun kulihat makanannya Erin masih tersisa lumayan banyak.

"Sudah Rin, aku sedang sakit perut jadi tidak nafsu makan." Jawab Erin dengan memegang perutnya.

"Aku olesin minyak angin ya, aku bawa nih." Tukas Yuni sambil mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam tasnya.

"Gak perlu Rin, aku cuma lagi datang bulan." Ucap Erin sambil berbisik malu takut terdengar orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status