“Pa, akhir-akhir ini aku lihat Kevin mulai berubah”kata Tania kepada suaminya.“Berubah gimana maksud mama?” bals Edward.“Sekarang sikapnya menjadi lebih lembut kepada orang-orang” Jelas Tania.Edward lantas melipat korannya, menatap lurus kepada istrinya kemudian tersenyum. Kali ini strategi membuat Kevin menjadi pribadi yang lebih bisa berempati dengan orang sekitar telah berhasil. Akhirnya dia berkata kepada Tania.“Ini sepertinya berkat Nindia bukan?’ tanya Edward. “Sepertinya begitu” Sementara gadis yang dibicarakan-Nindia yang telah rapi siap untuk pergi ke rumah Mona,kemunculannya yang tiba-tiba di ruang makan tempat Tania dan Edward berada, membuat kedua suami istri tersebut menghentikan percakapan mereka, keduanya saling pandang, lalu Edward bertanya.“Nindia mau kemana nak, pagi-pagi seperti ini?”“Nindia mau ijin berkunjung ke rumah Bunda Mona pah?” Balas Nindia.“mmmm,,, siapa Bunda Mona?” Tanya Edward, karena setahu laki-laki tersebut Nindia tidak memiliki saudara di
Mona sudah menyiapkan teh dan kue untuk menemani obrolan mereka bersama, sementara Nindia selesai membersihkan diri di kamar yang telah disediakan oleh Mona, saat keluar dari kamar mandi, dia menemukan sosok perempuan yang mirip sekali dengan bundanya. Perempuan tersebut mengenakan long dress, dengan rambut terurai lurus sebahu. Nindia mengamati foto tersebut dengan seksama, dia menemukan perempuan tersebut mengenakan cincin persis seperti yang ia miliki. Nindia kemudian menyamakan dengan cincin yang menggantung di lehernya, persis tak ada bedanya. Dalam hati dia bertanya-tanya apa hubungan orang ini dengan bunda yang baru saja dia kenalnya tersebut dan juga bagaimana wanita ini memiliki cincin yang sama persis seperti yang dia miliki. ‘barangkali saya harus bertanya kepada bunda’ pikir NIndia, dia lantas bergegas menuju ruang tengah tempat mereka berkumpul.Di ruang tengah Haris berkali-kali meminta Kevin untuk melanjutkan duel bermain catur yang sudah jelas-jelas tak ada harapan
Selepas makan malam, seperti biasanya, Nindia akan membantu teman-temannya merapikan ruang makan. Lalu, dilanjutkan memandu adik-adik panti untuk belajar. Akan tetapi, saat ia hendak beranjak pada rutinitas lain, tangan umi menahan Nindita untuk tetap berada di sana.Tidak berapa lama, Abah datang menghampiri dan duduk disebelah umi. Saat itu Nindia sadar, ada sesuatu yang akan mereka sampaikan padanya. Ia kemudian memilih untuk segera duduk di depan keduanya. Kemudian, umi menatap ke arah suaminya dan memberi sebuah isyarat untuk menyampaikan sesuatu padanya.Abah tidak langsung bicara, melainkan hanya diam dan terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya membicarakan hal penting itu pada Nindia.Di Lingkungan panti, Abah dikenal sebagai sosok yang jarang bicara. Akan tetapi, jika Abah mulai bicara, semua orang akan diam dan mendengarkan dengan seksama. Terlebih, dengan intonasi suara yang tegas tapi tetap terlihat santun, membuat seluruh penghuni panti sangat menghormatinya.Abah mena
Jakarta terlihat tenang di pagi hari kala Nindia membuka mata, perjalanan malam dari Klaten ke Jakarta membuatnya banyak tidur, meskipun tak terbilang nyenyak untuknya.Setidaknya dia cukup memejamkan mata dan sesekali melihat lampu malam di luar jendela kaca. Mobil tersebut hanya sekali istirahat di rest area, kemudian kembali menapak ke Jakarta.Nindia terpesona dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya saat ini. Bagaimana tidak. Kemarin, dia hanya bisa melihat petak-petak sawah dan pepohonan, dan hanya bisa membayangkan suasana Jakarta dari gambar-gambar yang dia lihat di kalender dan dari cerita orang-orang.Saat ini, dia benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri gedung-gedung pencakar langit terpampang jelas berdiri dengan angkuhnya."Selamat datang di Ibu kota Jakarta, Nindia," ucapnya nyaris tidak terdengar.Dengan noraknya dia membuka kaca jendela mobil dan mulai merasakan udara pagi Jakarta yang masih segar. Dia belum mengetahui bagaimana suasana Jakarta di si
Senyum sepasang suami istri itu terasa hangat menyambut Nindia di ruang tamu. Sejenak, ada perasaan gundah dalam diri Nindia.Kekhawatiran Yang dianggap wajar bukan hanya pada Nindia yang akan menetap di rumah kediaman keluarga Edward selama dia kuliah di Jakarta.Nindia takut kehadirannya tidak diterima oleh keluarga itu. Terlebih, dengan sikap yang ditunjukkan. oleh Kevin--anak kedua mereka padanya. Namun, Nindia berusaha berpikir positif.Nindia berusaha mengambil simpati dari Tania--istri Edward yang tersenyum menatap ke arahnya. Dia berusaha menunjukkan sikap santun kepada kedua orang tua itu.Nindia melihat istri Pak Edward sangat menyukai kehadirannya. Ibu Tania nampak antusias memperlihatkan kamar yang akan menjadi milik Nindia nanti.Kamar itu kebetulan berdampingan dengan kamar milik Jeremy--anak ketiganya. Sementara, dua kamar lainnya menjadi tempat menginap untuk para tamu."Anggap aku sebagai ibumu sendiri. Jangan sungkan untuk menceritakan segala hal padaku," ucap Ibu Ta
Jeremy, mendadak mengerem langkahnya, ketika melewati kamar yang terbuka di sebelah kamarnya.“Aha…Bidadari pagi!” celetuknya, yang membuatnya mangkal dengan satu siku menyandar diambang pintu.Tidak peduli isi perbincangan mereka berdua yang jelas baginya ini adalah anugrah di pagi hari. Seorang gadis dengan mata bulat sayu, hidung mancung tegas, bulu matanya dan alis yang masih orisinil, rambutnya lurus terurai hitam panjang dengan penjepit mungil mengikat sebagian rambutnya.Jeremy mengusap matanya. Meyakinkan bahwa ini bukan mimpi baginya. Selama dia berada di ambang pintu, selama itu pula ia mencuri pandang mengamati. Tawa manis gadis yang belum disapanya. Jeremy terpesona sembari berucap pelan, “Masih adakah gadis cantik seperti ini tanpa riasan menor tapi tapi sudah begitu cantik?” Jeremy tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya.Di depan sana, bibir mungil polos tanpa polesan sama sekali, seperti memiliki magnet yang menghisapnya.Apalagi, saat gadis tersebut berbicara
Dibalik kemudi, Kevin terngiang perkataan mamanya. Tapi, dia memilih tidak ambil pusing perkara tersebut.Baginya, Miranda adalah wanita kesenangan yang siap digauli kapan saja tanpa harus memikirkan status atau komitmen. Sama seperti perempuan lain yang dekat dengannya selama ini.Kevin memang sengaja mencari perempuan-perempuan yang memiliki pemikiran sama dengannya.Tentu saja tidak sulit bagi dia menemukan satu atau dua perempuan dalam waktu yang bersamaan tanpa harus terpikir untuk menikah kemudian punya anak.Menikah adalah hal berat menurutnya. Kenapa harus memiliki ikatan, ketika kedua belah pihak sudah cukup bahagia dan saling menguntungkan pikirnya.Baginya, satu-satunya tujuan berhubungan dengan perempuan hanya persoalan biologis, tidak lebih.Lagipula, belum tentu dalam perjalanan pernikahan dia atau sang perempuan, perasaan saling mencintai itu akan awet. Bisa jadi, diantara mereka akan tertarik dengan yang lain. Hal justru akan melukai perasaan pasangannya. Sebenarnya,
Tania tengah sibuk di ruang tengah memilah baju yang dipesan dari butik langganannya untuk Nindia. Ibu tiga anak tersebut bak memiliki anak perempuan lagi, Nindia seolah seperti manekin yang siap di dandani mengikuti perkataan Tania. Nindia tak banyak protes dia mengikuti semua arahan dari Tania. “Ini sepertinya oke di kamu sayang” menempelkan satu stel baju berwarna biru muda di tubuh Nindia. “Tapi tant… maaf..ma, apakah ini tidak terlalu sempit untuk Nindia?” Jawab Nindia malu karena tidak terbiasa menggunakan celana ketat.“Ini bagus sayang,tidak terlalu ketat, pas ukurannya di kamu, iya kan bi Ratri?” Tanya Tania minta dukungan. “Iya non cocok banget, wis pokok e nyonya Tania gak bakal salah pilih” Jawab Ratri menyakinkan.Kevin yang memperhatikan mereka saat menuruni anak tangga, seolah terusik dengan kegiatan yang mereka lakukan. “Mama sedang apa sih?” Tanya kevin, protes seolah tak rela mamanya melakukan semua itu. “mama sedang pilihkan baju untuk Nindia, agar besok