Share

Bab 4: Isabellaku

“Jalan hidupmu akan berliku.” 

Alis Bella naik tatkala seorang peramal melihat tapak tangan kanannya. 

“Begitu?” Bella bertanya pelan. 

Dia kini berada di pasar malam. Malam itu suasana kota Semarang cerah. Evan mengajaknya berkeliling kota Semarang setelah pulang berbisnis. Sebuah pasar malam menarik perhatian Bella dan pria itu menurutinya. Setelah berkeliling pasar malam, Bella memutuskan untuk masuk ke tenda peramal. Hanya iseng saja. Itu yang ada di pikirannya. Evan diajaknya tetapi pria itu tidak mau dan memilih untuk membeli jagung bakar.

“Percintaan?” Bella bertanya lagi. Dia menatap serius peramal wanita berpakaian ala gipsi. 

Wanita itu mengangguk. Diperhatikannya tangan Bella lagi, lalu berkata pelan, “sabarlah.”

Alis Bella semakin naik mendengar ucapan itu. “Aku harus bersabar?”

Peramal yang Bella tidak tahu namanya tersebut mengangguk. Tatapannya iba. “Tuhan tahu bahwa kau adalah orang yang baik. Keadaan yang membuatmu seperti ini,” ucapnya. 

Bella segera menurunkan tangannya. Dia menunduk merogok saku jaket yang dipakainya untuk mengeluarkan selembar mata uang lima puluh ribuan. Ucapan peramal itu benar-benar mewujudkan kehidupannya saat ini. Begitu menyedihkan. Saat dia akan memberikan uang tersebut untuk membayar jasa ramalan, tangan peramal itu menghentikannya.

“Tidak perlu. Simpan saja. Kau lebih butuh.”

Bella mendongak. Matanya berkedip saat melihat peramal itu tersenyum dan berkata lagi, “kau mengingatkanku pada putriku. Pastilah dia sebesarmu sekarang ini.”

“Oh.” Bella tidak tahu harus berkata apa. Seulas senyum terpaksa dia sunggingkan. Tiba-tiba saja dia rindu pada ibunya yang pergi entah ke mana. Hal itu membuatnya bersedih. 

Bella menggumamkan terima kasih lalu segera beranjak dari tempat itu. Di luar tenda peramal, Evan sudah menunggu. “Kamu sudah selesai?” tanyanya.

Bella mengangguk.

“Kamu bertanya apa?”

Bella mengangkat bahu. Menurutnya tidak penting untuk dibahas. “Bertanya mengenai nasib.” Hanya itu yang bisa dijawab olehnya. 

Evan hanya bergumam sebagai jawaban. Sepertinya pria itu tidak berminat sama sekali pada ramalan dan tidak ingin bertanya lebih jauh.

“Aku ingin pulang.” Bella berkata kemudian.

“Tentu,” sahut Evan lalu berjalan mendahului.

Bella memejamkan matanya sesaat. Evan dan sikap dinginnya tidak pernah berubah setelah beberapa lama mereka bersama. Dihembuskan napasnya perlahan lalu berjalan cepat menghampiri pria itu. Tangannya serta merta terulur menggapai lengan kiri Evan, lalu merangkulnya. Tanpa berkata apa pun, Bella menggayuti lengan pria itu. Evan tidak keberatan dan itu membuat Bella lega. 

‘Bisakah seperti ini saja?’ pikir Bella sedih. 

***

Evan memenuhi segala keperluan Bella. Bahkan uang pun dia berikan agar dapat berbelanja apa saja yang diinginkan tanpa perlu menunggunya pulang berbisnis. Namun, Bella lebih suka pergi ke manapun bersama dengan Evan. Selarut apa pun pria itu pulang, dia akan menunggunya. Seperti saat ini. Pria itu belum pulang padahal sudah tengah malam. Ini adalah hari berikutnya setelah dari pasar malam. 

Bella menguap di kursinya. Dia lupa meminta nomor telepon Evan tetapi dia kemudian berdecak. Pria itu sendiri yang mengatakan tidak perlu ditelepon sebab pasti akan pulang. 

Dok! Dok! Dok!

“Isabella?!”

Suara gedoran dan teriakan itu membuat Bella tergopoh-gopoh menuju pintu. Bella bingung sebab tidak biasanya Evan berteriak memanggil namanya ketika pulang dari manapun. Lagipula pria itu memiliki kunci apartemen sendiri.

Bella membuka pintu dengan mudah dan disambut limbungnya Evan. Dengan sigap Bella memapah pria itu susah payah untuk masuk. Napas Evan bau alkohol dan Bella yakin pria itu mabuk-mabukan. 

“Kamu dari mana?” tanya Bella. 

“Merayakan kemenangan.” Evan menjawab sedikit bergumam.

“Menang apa?” Bella membawa Evan menuju kamar yang mereka berdua tempati.

“Tenderku. Apalagi?”

“Oh.” Bella menyahut seadanya. Dia orang kampung dan tidak tahu apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut. 

“Setelah menang tender ini, aku bisa pulang ke Amerika dengan tenang.”

Bella sejenak terpaku. ‘Pulang?’ pikirnya. Evan akan pulang dan dia begitu berat untuk melepaskan pria yang beberapa bulan ini bersamanya. Menghela napas pelan, dia berusaha mengenyahkan segala perasaannya. Dia harus ingat bahwa dilarang terlibat perasaan berlebihan untuk tamu istimewanya. 

Susah payah Bella merebahkan Evan di atas tempat tidur dengan segala perasaan berkecamuk. Dengan cekatan dia melepaskan sepatu dan kaus kaki pria itu. Terdengar gumaman Evan yang memanggil-manggil namanya.

“Isabella? Isabella? Kamu di mana?”

Bella bergegas meletakkan sepatu di sudut kamar. Evan masih memanggil-manggil namanya. Pria itu selalu memanggilnya Isabella dan dia tidak keberatan jika itu Evan. 

“Ya? Aku di sini.” Bella berdiri di sisi Evan. Dia mengulurkan tangannya melepas jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanan suaminya. Namun, dengan cepat Evan menariknya hingga jatuh di atas tubuhnya. “Evan, kamu harus ganti baju.” Bella berusaha bangkit tetapi sulit. Evan menguncinya dalam pelukannya.

“Cantiknya Isabellaku,” bisik Evan. “Ayo rayakan kemenanganku.” 

“Evan, kamu mabuk.” Bella berkata pelan. “Aku tidak mau kamu menyesal.”

“Tidak akan.” Evan berkata penuh keyakinan. 

Tatapan mata Evan yang biru seolah membius Bella. Dia tidak bisa berkutik di bawah tatapan itu. Evan telah berhasil menghipnotis Bella hingga dia menuruti apa yang diinginkan pria itu. Semuanya dan dia tidak keberatan sebab sudah mencintai Evan sepenuh hatinya. 

 “Sial! Sial! Sialan!”

Makian yang cukup keras membuat Bella mengerutkan keningnya dalam. Dia ingin memarahi Evan sebab menganggu tidurnya setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Dia merasa belumlah lama memejamkan mata. 

“Evan? Kenapa?” tanyanya masih dengan mata terpejam. Dia lelah bukan main. Seluruh tubuhnya terasa sakit. ‘Evan yang mabuk ternyata lebih berbahaya,’ pikirnya.

“Isabella, apa kita melakukannya tanpa pengaman?”

Pertanyaan Evan dijawab Bella dengan anggukan dan terdengar lagi makian keras dari Evan. Perlahan Bella membuka matanya. Dia melihat Evan berjalan mondar-mandir hanya memakai celana pendek saja. 

“Kamu yang memintanya,” ucap Bella, lalu mengulurkan tangan kirinya. “Kamu meremas tanganku karena aku memaksamu untuk memakai pengaman tetapi kamu tidak mau.”

Evan menghentikan langkahnya melihat tangan Bella yang begitu merah. “Aku melakukan itu?” 

“Ya,” jawab Bella. “Kamu mabuk dan aku tidak mau menambah masalah.” Bella tidak mau berurusan dengan orang mabuk, tetapi Evan berbeda. Pria itu adalah suaminya jadi dia tidak masalah jika itu adalah Evan. 

“Tetapi kamu bukan dalam masa subur kan?” Evan bertanya meyakinkan dirinya. 

Bella mengangguk. “Tenang saja. Masa suburku sudah lewat.” Lalu dia tersenyum menenangkan. 

Evan menghembuskan napasnya pelan. “Sebab aku tidak ingat mengasarimu. Sungguh.” Dia kemudian berjalan mendekat. Tangannya terulur menyentuh pergelangan tangan Bella. “Maaf.”

“Tidak apa-apa.” Bella tersenyum. Pertama kali dia mendengarkan Evan mengatakan maaf padanya. Itu adalah sebuah anugerah. Hanya menunggu senyuman di bibir itu saja yang belum. “Tetapi, kalau yang lain kamu ingat?” dia mulai berani menggoda Evan.

Pria itu mendongak menatap Bella. Kemudian dia berdecak. “Tentu saja aku ingat. Apakah perlu kita ulangi?”

Bella tertawa. “Kamu berani?” 

“Tentu saja!” Evan mulai naik ke atas tempat tidur dan mendekati Bella.

***

“Aku lupa bertanya padamu, Josh.”

“Ya, Nyonya.” Josh menyahut sopan. Dia sedang menemani Sang Nyonya yang sedang sarapan pagi di penginapannya.

“Dua hari lalu, kuperintahkan kau membuat Oliver mabuk. Kau berhasil?”

“Tentu, Nyonya.” Kemudian Josh memberikan ponselnya yang menampilkan seseorang mabuk dipapah beberapa orang.

Senyum mengembang di wajah cantik wanita berambut pirang itu. “Bagus. Kalau sudah begitu, aku tinggal menunggu tanggal mainnya saja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status