“Jalan hidupmu akan berliku.”
Alis Bella naik tatkala seorang peramal melihat tapak tangan kanannya. “Begitu?” Bella bertanya pelan. Dia kini berada di pasar malam. Malam itu suasana kota Semarang cerah. Evan mengajaknya berkeliling kota Semarang setelah pulang berbisnis. Sebuah pasar malam menarik perhatian Bella dan pria itu menurutinya. Setelah berkeliling pasar malam, Bella memutuskan untuk masuk ke tenda peramal. Hanya iseng saja. Itu yang ada di pikirannya. Evan diajaknya tetapi pria itu tidak mau dan memilih untuk membeli jagung bakar.“Percintaan?” Bella bertanya lagi. Dia menatap serius peramal wanita berpakaian ala gipsi. Wanita itu mengangguk. Diperhatikannya tangan Bella lagi, lalu berkata pelan, “sabarlah.”Alis Bella semakin naik mendengar ucapan itu. “Aku harus bersabar?”Peramal yang Bella tidak tahu namanya tersebut mengangguk. Tatapannya iba. “Tuhan tahu bahwa kau adalah orang yang baik. Keadaan yang membuatmu seperti ini,” ucapnya. Bella segera menurunkan tangannya. Dia menunduk merogok saku jaket yang dipakainya untuk mengeluarkan selembar mata uang lima puluh ribuan. Ucapan peramal itu benar-benar mewujudkan kehidupannya saat ini. Begitu menyedihkan. Saat dia akan memberikan uang tersebut untuk membayar jasa ramalan, tangan peramal itu menghentikannya.“Tidak perlu. Simpan saja. Kau lebih butuh.”Bella mendongak. Matanya berkedip saat melihat peramal itu tersenyum dan berkata lagi, “kau mengingatkanku pada putriku. Pastilah dia sebesarmu sekarang ini.”“Oh.” Bella tidak tahu harus berkata apa. Seulas senyum terpaksa dia sunggingkan. Tiba-tiba saja dia rindu pada ibunya yang pergi entah ke mana. Hal itu membuatnya bersedih. Bella menggumamkan terima kasih lalu segera beranjak dari tempat itu. Di luar tenda peramal, Evan sudah menunggu. “Kamu sudah selesai?” tanyanya.Bella mengangguk.“Kamu bertanya apa?”Bella mengangkat bahu. Menurutnya tidak penting untuk dibahas. “Bertanya mengenai nasib.” Hanya itu yang bisa dijawab olehnya. Evan hanya bergumam sebagai jawaban. Sepertinya pria itu tidak berminat sama sekali pada ramalan dan tidak ingin bertanya lebih jauh.“Aku ingin pulang.” Bella berkata kemudian.“Tentu,” sahut Evan lalu berjalan mendahului.Bella memejamkan matanya sesaat. Evan dan sikap dinginnya tidak pernah berubah setelah beberapa lama mereka bersama. Dihembuskan napasnya perlahan lalu berjalan cepat menghampiri pria itu. Tangannya serta merta terulur menggapai lengan kiri Evan, lalu merangkulnya. Tanpa berkata apa pun, Bella menggayuti lengan pria itu. Evan tidak keberatan dan itu membuat Bella lega. ‘Bisakah seperti ini saja?’ pikir Bella sedih. ***Evan memenuhi segala keperluan Bella. Bahkan uang pun dia berikan agar dapat berbelanja apa saja yang diinginkan tanpa perlu menunggunya pulang berbisnis. Namun, Bella lebih suka pergi ke manapun bersama dengan Evan. Selarut apa pun pria itu pulang, dia akan menunggunya. Seperti saat ini. Pria itu belum pulang padahal sudah tengah malam. Ini adalah hari berikutnya setelah dari pasar malam. Bella menguap di kursinya. Dia lupa meminta nomor telepon Evan tetapi dia kemudian berdecak. Pria itu sendiri yang mengatakan tidak perlu ditelepon sebab pasti akan pulang. Dok! Dok! Dok!“Isabella?!”Suara gedoran dan teriakan itu membuat Bella tergopoh-gopoh menuju pintu. Bella bingung sebab tidak biasanya Evan berteriak memanggil namanya ketika pulang dari manapun. Lagipula pria itu memiliki kunci apartemen sendiri.Bella membuka pintu dengan mudah dan disambut limbungnya Evan. Dengan sigap Bella memapah pria itu susah payah untuk masuk. Napas Evan bau alkohol dan Bella yakin pria itu mabuk-mabukan. “Kamu dari mana?” tanya Bella. “Merayakan kemenangan.” Evan menjawab sedikit bergumam.“Menang apa?” Bella membawa Evan menuju kamar yang mereka berdua tempati.“Tenderku. Apalagi?”“Oh.” Bella menyahut seadanya. Dia orang kampung dan tidak tahu apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut. “Setelah menang tender ini, aku bisa pulang ke Amerika dengan tenang.”Bella sejenak terpaku. ‘Pulang?’ pikirnya. Evan akan pulang dan dia begitu berat untuk melepaskan pria yang beberapa bulan ini bersamanya. Menghela napas pelan, dia berusaha mengenyahkan segala perasaannya. Dia harus ingat bahwa dilarang terlibat perasaan berlebihan untuk tamu istimewanya. Susah payah Bella merebahkan Evan di atas tempat tidur dengan segala perasaan berkecamuk. Dengan cekatan dia melepaskan sepatu dan kaus kaki pria itu. Terdengar gumaman Evan yang memanggil-manggil namanya.“Isabella? Isabella? Kamu di mana?”Bella bergegas meletakkan sepatu di sudut kamar. Evan masih memanggil-manggil namanya. Pria itu selalu memanggilnya Isabella dan dia tidak keberatan jika itu Evan. “Ya? Aku di sini.” Bella berdiri di sisi Evan. Dia mengulurkan tangannya melepas jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanan suaminya. Namun, dengan cepat Evan menariknya hingga jatuh di atas tubuhnya. “Evan, kamu harus ganti baju.” Bella berusaha bangkit tetapi sulit. Evan menguncinya dalam pelukannya.“Cantiknya Isabellaku,” bisik Evan. “Ayo rayakan kemenanganku.” “Evan, kamu mabuk.” Bella berkata pelan. “Aku tidak mau kamu menyesal.”“Tidak akan.” Evan berkata penuh keyakinan. Tatapan mata Evan yang biru seolah membius Bella. Dia tidak bisa berkutik di bawah tatapan itu. Evan telah berhasil menghipnotis Bella hingga dia menuruti apa yang diinginkan pria itu. Semuanya dan dia tidak keberatan sebab sudah mencintai Evan sepenuh hatinya. “Sial! Sial! Sialan!”Makian yang cukup keras membuat Bella mengerutkan keningnya dalam. Dia ingin memarahi Evan sebab menganggu tidurnya setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Dia merasa belumlah lama memejamkan mata. “Evan? Kenapa?” tanyanya masih dengan mata terpejam. Dia lelah bukan main. Seluruh tubuhnya terasa sakit. ‘Evan yang mabuk ternyata lebih berbahaya,’ pikirnya.“Isabella, apa kita melakukannya tanpa pengaman?”Pertanyaan Evan dijawab Bella dengan anggukan dan terdengar lagi makian keras dari Evan. Perlahan Bella membuka matanya. Dia melihat Evan berjalan mondar-mandir hanya memakai celana pendek saja. “Kamu yang memintanya,” ucap Bella, lalu mengulurkan tangan kirinya. “Kamu meremas tanganku karena aku memaksamu untuk memakai pengaman tetapi kamu tidak mau.”Evan menghentikan langkahnya melihat tangan Bella yang begitu merah. “Aku melakukan itu?” “Ya,” jawab Bella. “Kamu mabuk dan aku tidak mau menambah masalah.” Bella tidak mau berurusan dengan orang mabuk, tetapi Evan berbeda. Pria itu adalah suaminya jadi dia tidak masalah jika itu adalah Evan. “Tetapi kamu bukan dalam masa subur kan?” Evan bertanya meyakinkan dirinya. Bella mengangguk. “Tenang saja. Masa suburku sudah lewat.” Lalu dia tersenyum menenangkan. Evan menghembuskan napasnya pelan. “Sebab aku tidak ingat mengasarimu. Sungguh.” Dia kemudian berjalan mendekat. Tangannya terulur menyentuh pergelangan tangan Bella. “Maaf.”“Tidak apa-apa.” Bella tersenyum. Pertama kali dia mendengarkan Evan mengatakan maaf padanya. Itu adalah sebuah anugerah. Hanya menunggu senyuman di bibir itu saja yang belum. “Tetapi, kalau yang lain kamu ingat?” dia mulai berani menggoda Evan.Pria itu mendongak menatap Bella. Kemudian dia berdecak. “Tentu saja aku ingat. Apakah perlu kita ulangi?”Bella tertawa. “Kamu berani?” “Tentu saja!” Evan mulai naik ke atas tempat tidur dan mendekati Bella.***“Aku lupa bertanya padamu, Josh.”“Ya, Nyonya.” Josh menyahut sopan. Dia sedang menemani Sang Nyonya yang sedang sarapan pagi di penginapannya.“Dua hari lalu, kuperintahkan kau membuat Oliver mabuk. Kau berhasil?”“Tentu, Nyonya.” Kemudian Josh memberikan ponselnya yang menampilkan seseorang mabuk dipapah beberapa orang.Senyum mengembang di wajah cantik wanita berambut pirang itu. “Bagus. Kalau sudah begitu, aku tinggal menunggu tanggal mainnya saja.”“Kukembalikan Isabella Halka. Perjanjian kontrak pernikahan telah selesai.”Isabella berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ucapan Evan berdengung layaknya lebah. Tiga bulan kebersamaannya selesai sudah. Pernikahannya dan Evan telah usai. Talak telah dilayangkan padanya. Ditatapnya mata biru Evan yang menurutnya indah. Pria itu sedang berbicara dengan Kartika yang berdiri di sebelahnya. Dia tidak fokus pada apa yang diucapkan Evan. Namun, dia lebih fokus pada wajah pria itu. Wajah itu dipandanginya dalam demi membuat memori di pikiran.Kartika tersenyum senang. Wanita itu menerima amplop coklat tebal dari Evan Oliver. “Terima kasih sudah percaya padaku, Tuan Oliver. Jika berkunjung lagi ke Semarang, mampirlah kemari. Akan kusediakan wanita cantik untukmu.” Kartika mengulurkan tangannya mengusap lengan kiri Evan.Mata Evan melirik Bella yang berdiri di sebelah Kartika. Sejak dalam perjalanan menuju kediaman Kartika, Bella hanya diam saja. “Tentu.” Evan mengangguk. “Boleh aku
“Kalau dilihat dari siklus datang bulan Mbak Isabella yang terakhir kali, usia kandungan berjalan empat minggu, ya.” Dokter Febri tersenyum menatap Isabella yang menahan air mata. Tangan dokter tersebut terulur mengusap lengan kanan Bella. Hanya dengan perlakuan seperti itu telah berhasil meruntuhkan pertahanan Bella yang telah dibangunnya sejak tadi pagi. Sekedar ingin memastikan apa yang dilihatnya pada alat tes kehamilan, Bella memutuskan untuk datang ke klinik dokter Febri. “Saya harus bagaimana, Dok?” Bella berkata setengah berbisik. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. “Jalani, ya, Mbak. Ikhlas,” jawab dokter Febri. Wanita dipenghujung usia 45 tahun tersebut menatap Bella dengan iba. Bella mendongak. Ada satu keinginan tiba-tiba terlintas di kepalanya begitu saja. “Dok, bantu saya gugurkan. Ya?” Dokter Febri menggeleng pada permintaan Bella lalu menjawab, “jangan timpakan kesalahan pada yang tidak berdosa, Mbak. Siapa tahu anak yang Mbak kandung nanti membawa kebe
“Kau baik-baik saja?” tangan kekar dengan sigap menarik Bella berdiri. Wanita itu mendongak menatap siapa yang menariknya. Tenyata pengawal Kartika. Pria itu berdiri tanpa ekspresi masih menggenggam lengan kanan Bella. Bella mulai berandai-andai jika pria yang ada di sebelahnya adalah Evan tentulah hatinya senang bukan main. Nyatanya bukan. “Bella?” Suara Kartika yang berulang kali bertanya apakah dia baik-baik saja membuat Bella memusatkan pandangannya. Kartika sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan khawatir. “John, dudukkan dia di kursi.” Kartika berkata lagi pada pengawalnya yang bernama John. Tanpa banyak kata, John membimbing Bella duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Pandangan Bella masih berkunang ditambah lagi perutnya yang mulai mual. Ditahannya rasa tidak enak di perutnya seraya memejamkan mata. “Kau pucat sekali. Apakah perlu kupanggil dokter Febri kemari?” Ucapan itu sontak membuat Bella membuka mata lalu menggeleng. Gelengan kepala membuatnya sakit. “Tidak
“Kuberikan waktu dua hari untukmu berpikir. Jika kau ingin tetap di sini, maka gugurkanlah kandunganmu. Aku tahu siapa yang berani melakukannya. Dan itu bukan dokter Febri.”Itulah yang dikatakan Kartika pada Bella. Batas waktu yang diberikan Kartika akan habis sebentar lagi. Namun, Bella belum mengambil keputusan. Sebelumnya sangat teramat yakin ingin menggugurkan kandungannya akan tetapi entah kenapa dia mulai meragukan keinginannya tersebut. Dia mulai bimbang harus melakukan apa. Kini, pikiran dan hati nuraninya bertolak belakang. Diperhatikan ponsel pemberian Evan. Ponsel yang teramat mahal baginya dan tidak akan sanggup dibelinya.“Evan,” bisiknya. “Aku ingin bertemu denganmu.” Lalu dipejamkan matanya demi menahan air matanya yang ingin tumpah. Saat ini dia berada di sebuah restoran keluarga ternama di Indonesia. Restoran tersebut ramai sebab jam makan siang. Bella sengaja datang sendiri ke restoran yang berada di mall tersebut. Di hadapannya tersaji makanan yang ingin sekali dia
“Paket! Permisi, Isabella Halka?! Paket!” Suara nyaring kurir pengiriman barang berteriak di depan muka rumahnya membuat Bella urung melakukan apa yang tadi dia niatkan. Alisnya berkerut mendengar suara kurir pengiriman berteriak memanggil namanya lagi. Dia merasa tidak membeli barang apa pun secara daring. Walau begitu, dia tetap turun dari kursi plastik baksonya lalu menuju ruang tamu. “Isabella?!” lagi, kurir berteriak memanggil namanya. “Ya? Sebentar.” Bella merapikan rambutnya lalu membuka pintu rumahnya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya masih kalang kabut. “Paket, Mbak.” Kurir tersebut mengangsurkan padanya sebuah paket ukuran sedang pada Bella. “Isabella Halka, kan?” Bella mengangguk. “Benar.” Kurir menyodorkan lagi paketnya. “Paketnya, Mbak.” “Oiya.” Bella menerima paket tersebut dengan bingung. Dia merasa tidak pernah membeli apa pun di lokapasar. ‘Atau mungkin aku lupa pernah membeli sesuatu? Mungkin saja.’ Mengangkat bahu, Bella tersenyum pada kurir paket tersebut.
“Asal kamu tahu, Ibumu itu sekarang jadi perempuan tidak benar!” Timo mengulangi ucapan itu lagi. Untuk kesekian kalinya pada Bella. “Dia nikah lagi dengan orang kaya dan melupakan kita. Apa namanya itu kalau bukan perempuan tidak benar?!” nada suara pria itu meninggi di akhir kalimat.Bella yang sedang mengelap lemari buffet hanya memilih diam. Dia selalu menjadi pendengar ketika Timo mengoceh seperti itu. Dia baru saja tiba dari sekolah ketika Timo menyuruhnya mengelap lemari buffet yang berdebu.“Sudah belum?” Timo menatap Bella dengan mata menyipit. “Orang yang mau beli lemarinya mau datang.”Bella memejamkan mata sekilas. Tiba-tibanya Timo meminta dirinya membersihkan lemari buffet itu ternyata untuk dijual.‘Pasti untuk judi,’ batin Bella. ‘Berapa banyak barang lagi yang mau dijual? Televisi sudah, blender sudah, sekarang lemari.’ Ingin dia meneriaki Timo. Namun, dia tidak berani. Dia takut pria itu murka padanya.“Bella!” Timo membentaknya. “Dengar tidak?!”Plak!Tamparan menda
“Darel sudah mengatakan semuanya pada saya.” Siswanto merupakan ayah kandung Darel. Pria berperawakan kurus tinggi itu menatap Bella yang duduk di seberangnya. Di sebelah Siswanto duduklah Darel yang juga menatap Bella. “Darel memberikan ide mengenai kamu yang sepertinya perlu bekerja.”Bella masih menunduk itu mengangguk. Dia setuju saja dengan ide Darel. Lebih cepat dia pergi dari rumah Darel, lebih cepat pula dia keluar dari kampung itu. Walau Siswanto merupakan kepala desa sekalipun, dia tidak ingin keluarga Darel menjadi buah bibir di masyarakat. Apalagi ibunya Darel yang dia tahu sedang berada di luar kota sebab sedang menghadiri kemalangan saudaranya. “Kemarin aku membantu mencarikan pekerjaan untukmu, Bella.” Darel membuka percakapan. Memberikan informasi pada Bella dan Siswanto—Bapaknya. “Ada satu pekerjaan yang cocok untuk Bella menurutku.”Bella mendongak. “Apapun, Darel. Aku setuju saja.”Darel menatap Siswanto. Pria paruh baya yang merupakan kepala desa itu menggeleng.
“Kamu cepat sekali belajar, Bella.” Siti tersenyum. Dia memuji keterampilan Bella dalam hal rumah tangga. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruangan praktek tersebut. “Contoh Bella. Kalian seharusnya cepat beradaptasi agar cepat pergi dari tempat ini.”Bella menunduk. Dia tidak pernah ingin jadi pusat perhatian dan juga tatapan sinis orang lain padanya. Bella sudah satu bulan berada di Pusat Pelatihan Siti. Siti merupakan penyalur pembantu, perawat bayi, dan perawat lansia.“Ya, Bu!” sahut delapan wanita yang berada dalam ruangan praktek tersebut.Seorang wanita masuk ke dalam ruangan praktek. Dia menghampiri Siti lalu membisikkan sesuatu. Bella memerhatikan siti yang mengedarkan pandangan ke sekitar lalu mengangguk pelan dengan apa yang dibisikkan wanita itu.“Kalian boleh istirahat!” perintah Siti lalu keluar dari ruangan praktek.Bella masih berdiri di tempatnya. Dia sedang belajar menggantik