Share

Bab 3: Hanya Istri Kontrak

“Aku ada rapat mendadak. Aku sudah memesan sarapan untukmu. Makan dan jangan menungguku—Evan.”

Bella membaca catatan kecil yang tertempel di lampu tidur. Alisnya terangkat. ‘Tulisan tangan Evan bagus juga,’ pikir Bella. 

Kemudian, mata Bella tertuju pada jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 11:00. Sebentar lagi waktunya makan siang dan dirinya baru bangun tidur. 

Sarapan itu sudah ada di meja seberang tempat tidurnya. Bella menghela napas pelan. Dia tidak berniat untuk bangun dari tidurnya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan bagaimana menjadi seorang istri sepenuhnya dan untuk pertama kalinya pula dia bangun tidur kesiangan. Salahkan Evan dan hasrat besar pria itu padanya semalaman. 

Matanya kembali terpejam. Namun, segera terbuka lagi sebab perutnya mulai perih. Mau tidak mau, Bella bangkit dari tempat tidurnya dan meraih jubah kamar yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. 

Brak!

Pintu yang menjeblak terbuka membuat Bella serta merta menoleh terkejut. Evan pulang lebih awal. Matanya menatap Bella yang hendak mengenakan jubah kamar mandi tersebut.

“Evan.”

“Lepaskan jubah itu,” ucap Evan. Nada bicaranya setengah memerintah.

“Kamu mau apa, Evan?” Bella masih mencengkeram jubah kamarnya. 

Evan mendekat. Dia melepaskan dasinya. “Sudah jelas apa yang kuinginkan,” balasnya. 

“Aku lapar.” Bella kembali menjawab. Dia tidak mau menuruti apapun keinginan Evan. Perutnya yang perih tidak bisa diajak kompromi. Dia khawatir sakit asam lambungnya akan naik sebab makan sangat terlambat.

“Aku tidak peduli.” Evan menolak mentah-mentah ucapan Bella. Yang dia pikirkan hanya keinginannya yang harus terpenuhi.

***

Bella melirik Evan yang tidur sedangkan dia memilih untuk makan. Hari telah beranjak siang. ‘Pria itu benar-benar menyebalkan,’ pikir Bella. 

Walau begitu, dia menyukainya. Benar, sejak menatap mata biru itu, dia menyukai apa yang ada pada Evan. Apa adanya. Tetapi dia sadar, bahwa cepat atau lambat, pria itu akan pergi meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali. Matanya berkedip memikirkan hal tersebut. Ditelan makanannya susah payah. 

Evan bergerak, lalu membuka mata. Matanya beradu dengan tatapan Bella. “Pukul berapa sekarang?”

Bella mendongak menatap jam dinding. “Hampir pukul 02:00 siang.”

“Isabella, kamu baru makan?” tanya Evan. Dia memerhatikan Bella yang mengenakan jubah kamarnya. 

Bella mengangguk. “Sarapan sekaligus makan siang,” jawabnya mengangkat bahu. Keinginan Evan tidak bisa ditolak dan Bella mau tidak mau hanya meneguk segelas susu, lalu menuruti apapun aktivitas tempat tidur pria itu.

“Setelah makan, kamu ikut aku.”

Alis Bella naik. Diperhatikannya Evan yang beranjak dari tempat tidur. Pria itu berjalan menuju kamar mandi. “Ke mana?”

Evan menoleh. “Membeli barang-barang kebutuhanmu,” balasnya. Pria itu kemudian bersidekap. “Selesaikan makanmu. Kutunggu di dalam.” Lalu Evan memberi isyarat dengan kepalanya agar Bella mengikutinya ke kamar mandi.

Bella mencoba tersenyum. Walau bagaimanapun Evan adalah suaminya. Dia harus menuruti apa pun keinginan pria itu. Dia bertekad dalam hati mulai detik ini akan menjadi memanfaatkan semua situasi yang ada. Dia harus pandai mengambil hati Evan dan siapa tahu pria itu akan kembali lagi suatu saat nanti ke Indonesia untuk bertemu dengannya. Hingga saat itu tiba, Bella berjanji tidak akan bersama pria manapun. Evan sudah menempati ruang tersendiri di hatinya.

Bella meletakkan rotinya lalu berdiri. “Boleh sekarang?” tanyanya dengan nada suara sebisa mungkin manja.

Evan mengangguk. “Tentu.”

Hanya satu yang ingin dia lihat dari pria itu sebelum semuanya berakhir yaitu senyumannya. Terlalu mahal dan sulit keluar.

***

“Bagaimana Bella?” Suara Kartika di seberang telepon bertanya penuh perhatian.

Evan memerhatikan Bella yang sedang memilah-milah baju di sebuah toko pakaian. Di samping Bella berdiri seorang pramuniaga toko yang membawa beberapa pakaian yang hendak dibeli sedangkan Evan sendiri memilih untuk duduk di salah satu kursi yang disediakan oleh toko tersebut. 

“Aku menyukainya.”

Kartika tertawa terbahak. “Kau mencintai anak itu?”

Evan memejamkan mata sesaat. “Bukan begitu.” Dia salah ucap. “Maksudku, aku menyukai Isabella yang masih gadis.”

Terdengar decakan Kartika lalu membalas, “dia masih polos. Aku harap kau tidak membuatnya ketakutan atau Bella yang membuatmu marah.” 

“Tidak.” Evan menjawab cepat. “Dia bagus.”

“Tentu.” Kartika terkekeh mendengar jawaban Evan.

“Kartika?”

“Ya? Ada yang ingin kau sampaikan?”

Evan memerhatikan Bella. Alisnya berkerut. Ada sedikit keraguan di matanya. Namun, dia tahu itu tidak boleh terjadi. “Apapun yang terjadi, jangan pernah memberikan alamat rumahku atau nomor teleponku pada Isabella. Mengerti?”

Kartika tidak segera menjawab. 

“Aku tidak ingin pernikahanku dengan Makena berantakan.” Evan menambahkan lagi.

“Aku tahu. Ini memang kesepakatan kita sejak awal, bukan?”

Evan berdeham. “Ya,” jawabnya. 

Sejujurnya, bukan hanya itu saja. Melainkan ada hal lain. Tidak perlu Bella mengatakan dengan gamblang. Cukup melihat tindak tanduknya saja semuanya sudah jelas. Sejak awal, dia mencari istri kontrak hanya untuk memenuhi hasratnya yang cukup besar. Makena yang tidak bisa mengikutinya ke manapun membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Baru kali ini dia memiliki istri kontrak yang jatuh hati padanya. Sebelumnya mereka selalu bekerja secara professional di manapun Evan berada. 

Setelah sambungan telepon tertutup, Evan berdiri. Dihampirinya Bella yang masih sibuk memilah pakaian-pakaian. “Sudah selesai, Isabella?”

Bella yang dipanggil menoleh. Dia tersenyum manis pada Evan yang berdiri di sampingnya. “Aku memilih beberapa pakaian untukmu. Boleh, kan?”

“Tentu.” Evan menjawab tanpa masalah. “Jika sudah selesai, kita pulang. Aku ada kegiatan lain yang harus kukunjungi,” pungkasnya lalu mengeluarkan dompet dan memberikan satu kartu kredit berwarna hitam pada Bella.

Bella mengangguk patuh. Dialihkan perhatiannya pada pramuniaga yang berdiri sabar tidak jauh darinya. “Mbak, ini sudah semua. Bisa tolong dibungkus?”

***

“Aku melarangmu terlibat perasaan denganku, mengerti Isabella?”

Ucapan tiba-tiba Evan yang datar itu membuat Bella yang sedang membaca sebuah buku mendongak. Dia menatap Evan yang sibuk dengan laptopnya. Setelah mengantarkannya pulang ke apartemen, Evan segera pergi dan tidak kembali hingga siang hari berikutnya. Pria itu sepertinya sibuk. Itupun dengan ponsel di tangan seraya menelepon seseorang serius menggunakan bahasa Inggris.

Mata Bella berkedip. “Kenapa?” tanyanya. Suaranya mendadak serak. Dia menahan segala perasaan yang ada di dalam dada.

Evan menatap Bella dari balik kacamatanya. “Karena semua akan sia-sia. Kamu kusewa untuk memenuhi kebutuhanku yang tidak terpenuhi oleh istri sahku.” 

“Ya. Aku mengerti,” ucapnya. ‘Istri sah dan itu bukanlah aku. Lagipula apa yang kuharapkan?’ batin Bella. Diletakkan bukunya di sisi tempat tidur lalu berdiri.

“Kamu mau ke mana?”

“Toilet,” jawabnya. Nada suaranya bergetar. “Mau mandi,” imbuhnya. Sebenarnya dia akan menangis sebentar lagi. Hatinya merana. Sudah jelas tetapi dia selalu saja membandel. Air matanya sebisa mungkin ditahan hingga masuk kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status