“Aku ada rapat mendadak. Aku sudah memesan sarapan untukmu. Makan dan jangan menungguku—Evan.”
Bella membaca catatan kecil yang tertempel di lampu tidur. Alisnya terangkat. ‘Tulisan tangan Evan bagus juga,’ pikir Bella. Kemudian, mata Bella tertuju pada jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 11:00. Sebentar lagi waktunya makan siang dan dirinya baru bangun tidur. Sarapan itu sudah ada di meja seberang tempat tidurnya. Bella menghela napas pelan. Dia tidak berniat untuk bangun dari tidurnya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan bagaimana menjadi seorang istri sepenuhnya dan untuk pertama kalinya pula dia bangun tidur kesiangan. Salahkan Evan dan hasrat besar pria itu padanya semalaman. Matanya kembali terpejam. Namun, segera terbuka lagi sebab perutnya mulai perih. Mau tidak mau, Bella bangkit dari tempat tidurnya dan meraih jubah kamar yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Brak!Pintu yang menjeblak terbuka membuat Bella serta merta menoleh terkejut. Evan pulang lebih awal. Matanya menatap Bella yang hendak mengenakan jubah kamar mandi tersebut.“Evan.”“Lepaskan jubah itu,” ucap Evan. Nada bicaranya setengah memerintah.“Kamu mau apa, Evan?” Bella masih mencengkeram jubah kamarnya. Evan mendekat. Dia melepaskan dasinya. “Sudah jelas apa yang kuinginkan,” balasnya. “Aku lapar.” Bella kembali menjawab. Dia tidak mau menuruti apapun keinginan Evan. Perutnya yang perih tidak bisa diajak kompromi. Dia khawatir sakit asam lambungnya akan naik sebab makan sangat terlambat.“Aku tidak peduli.” Evan menolak mentah-mentah ucapan Bella. Yang dia pikirkan hanya keinginannya yang harus terpenuhi.***Bella melirik Evan yang tidur sedangkan dia memilih untuk makan. Hari telah beranjak siang. ‘Pria itu benar-benar menyebalkan,’ pikir Bella. Walau begitu, dia menyukainya. Benar, sejak menatap mata biru itu, dia menyukai apa yang ada pada Evan. Apa adanya. Tetapi dia sadar, bahwa cepat atau lambat, pria itu akan pergi meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali. Matanya berkedip memikirkan hal tersebut. Ditelan makanannya susah payah. Evan bergerak, lalu membuka mata. Matanya beradu dengan tatapan Bella. “Pukul berapa sekarang?”Bella mendongak menatap jam dinding. “Hampir pukul 02:00 siang.”“Isabella, kamu baru makan?” tanya Evan. Dia memerhatikan Bella yang mengenakan jubah kamarnya. Bella mengangguk. “Sarapan sekaligus makan siang,” jawabnya mengangkat bahu. Keinginan Evan tidak bisa ditolak dan Bella mau tidak mau hanya meneguk segelas susu, lalu menuruti apapun aktivitas tempat tidur pria itu.“Setelah makan, kamu ikut aku.”Alis Bella naik. Diperhatikannya Evan yang beranjak dari tempat tidur. Pria itu berjalan menuju kamar mandi. “Ke mana?”Evan menoleh. “Membeli barang-barang kebutuhanmu,” balasnya. Pria itu kemudian bersidekap. “Selesaikan makanmu. Kutunggu di dalam.” Lalu Evan memberi isyarat dengan kepalanya agar Bella mengikutinya ke kamar mandi.Bella mencoba tersenyum. Walau bagaimanapun Evan adalah suaminya. Dia harus menuruti apa pun keinginan pria itu. Dia bertekad dalam hati mulai detik ini akan menjadi memanfaatkan semua situasi yang ada. Dia harus pandai mengambil hati Evan dan siapa tahu pria itu akan kembali lagi suatu saat nanti ke Indonesia untuk bertemu dengannya. Hingga saat itu tiba, Bella berjanji tidak akan bersama pria manapun. Evan sudah menempati ruang tersendiri di hatinya.Bella meletakkan rotinya lalu berdiri. “Boleh sekarang?” tanyanya dengan nada suara sebisa mungkin manja.Evan mengangguk. “Tentu.”Hanya satu yang ingin dia lihat dari pria itu sebelum semuanya berakhir yaitu senyumannya. Terlalu mahal dan sulit keluar.***“Bagaimana Bella?” Suara Kartika di seberang telepon bertanya penuh perhatian.Evan memerhatikan Bella yang sedang memilah-milah baju di sebuah toko pakaian. Di samping Bella berdiri seorang pramuniaga toko yang membawa beberapa pakaian yang hendak dibeli sedangkan Evan sendiri memilih untuk duduk di salah satu kursi yang disediakan oleh toko tersebut. “Aku menyukainya.”Kartika tertawa terbahak. “Kau mencintai anak itu?”Evan memejamkan mata sesaat. “Bukan begitu.” Dia salah ucap. “Maksudku, aku menyukai Isabella yang masih gadis.”Terdengar decakan Kartika lalu membalas, “dia masih polos. Aku harap kau tidak membuatnya ketakutan atau Bella yang membuatmu marah.” “Tidak.” Evan menjawab cepat. “Dia bagus.”“Tentu.” Kartika terkekeh mendengar jawaban Evan.“Kartika?”“Ya? Ada yang ingin kau sampaikan?”Evan memerhatikan Bella. Alisnya berkerut. Ada sedikit keraguan di matanya. Namun, dia tahu itu tidak boleh terjadi. “Apapun yang terjadi, jangan pernah memberikan alamat rumahku atau nomor teleponku pada Isabella. Mengerti?”Kartika tidak segera menjawab. “Aku tidak ingin pernikahanku dengan Makena berantakan.” Evan menambahkan lagi.“Aku tahu. Ini memang kesepakatan kita sejak awal, bukan?”Evan berdeham. “Ya,” jawabnya. Sejujurnya, bukan hanya itu saja. Melainkan ada hal lain. Tidak perlu Bella mengatakan dengan gamblang. Cukup melihat tindak tanduknya saja semuanya sudah jelas. Sejak awal, dia mencari istri kontrak hanya untuk memenuhi hasratnya yang cukup besar. Makena yang tidak bisa mengikutinya ke manapun membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Baru kali ini dia memiliki istri kontrak yang jatuh hati padanya. Sebelumnya mereka selalu bekerja secara professional di manapun Evan berada. Setelah sambungan telepon tertutup, Evan berdiri. Dihampirinya Bella yang masih sibuk memilah pakaian-pakaian. “Sudah selesai, Isabella?”Bella yang dipanggil menoleh. Dia tersenyum manis pada Evan yang berdiri di sampingnya. “Aku memilih beberapa pakaian untukmu. Boleh, kan?”“Tentu.” Evan menjawab tanpa masalah. “Jika sudah selesai, kita pulang. Aku ada kegiatan lain yang harus kukunjungi,” pungkasnya lalu mengeluarkan dompet dan memberikan satu kartu kredit berwarna hitam pada Bella.Bella mengangguk patuh. Dialihkan perhatiannya pada pramuniaga yang berdiri sabar tidak jauh darinya. “Mbak, ini sudah semua. Bisa tolong dibungkus?”***“Aku melarangmu terlibat perasaan denganku, mengerti Isabella?”Ucapan tiba-tiba Evan yang datar itu membuat Bella yang sedang membaca sebuah buku mendongak. Dia menatap Evan yang sibuk dengan laptopnya. Setelah mengantarkannya pulang ke apartemen, Evan segera pergi dan tidak kembali hingga siang hari berikutnya. Pria itu sepertinya sibuk. Itupun dengan ponsel di tangan seraya menelepon seseorang serius menggunakan bahasa Inggris.Mata Bella berkedip. “Kenapa?” tanyanya. Suaranya mendadak serak. Dia menahan segala perasaan yang ada di dalam dada.Evan menatap Bella dari balik kacamatanya. “Karena semua akan sia-sia. Kamu kusewa untuk memenuhi kebutuhanku yang tidak terpenuhi oleh istri sahku.” “Ya. Aku mengerti,” ucapnya. ‘Istri sah dan itu bukanlah aku. Lagipula apa yang kuharapkan?’ batin Bella. Diletakkan bukunya di sisi tempat tidur lalu berdiri.“Kamu mau ke mana?”“Toilet,” jawabnya. Nada suaranya bergetar. “Mau mandi,” imbuhnya. Sebenarnya dia akan menangis sebentar lagi. Hatinya merana. Sudah jelas tetapi dia selalu saja membandel. Air matanya sebisa mungkin ditahan hingga masuk kamar mandi.“Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena
“Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu
“Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat
“Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per
Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi