“Kau baik-baik saja?” tangan kekar dengan sigap menarik Bella berdiri. Wanita itu mendongak menatap siapa yang menariknya. Tenyata pengawal Kartika. Pria itu berdiri tanpa ekspresi masih menggenggam lengan kanan Bella. Bella mulai berandai-andai jika pria yang ada di sebelahnya adalah Evan tentulah hatinya senang bukan main. Nyatanya bukan.
“Bella?”Suara Kartika yang berulang kali bertanya apakah dia baik-baik saja membuat Bella memusatkan pandangannya. Kartika sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan khawatir.“John, dudukkan dia di kursi.” Kartika berkata lagi pada pengawalnya yang bernama John.Tanpa banyak kata, John membimbing Bella duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Pandangan Bella masih berkunang ditambah lagi perutnya yang mulai mual. Ditahannya rasa tidak enak di perutnya seraya memejamkan mata.“Kau pucat sekali. Apakah perlu kupanggil dokter Febri kemari?”Ucapan itu sontak membuat Bella membuka mata lalu menggeleng. Gelengan kepala membuatnya sakit. “Tidak perlu, Mami.” Dijawabnya pelan ucapan Kartika yang khawatir itu.“Kalau begitu, kau istirahatlah. Kita bisa mengobrol jika kau sudah sehat. Aku kasihan melihatmu pucat.” Kartika menatap iba Bella yang menurutnya lemas bukan main.“Tidak, Mi.” Bella mencoba duduk tegak. Perutnya lapar dan dia mulai menyumpahi bayi yang ada dalam kandungannya diam-diam.“Kalau itu maumu.” Kartika memberikan isyarat pada John untuk menunggu di luar kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidur milik Bella. Ditatapnya Bella. “Kebetulan aku sedang berada di sekitar sini saat kau telepon. Jadi aku bisa langsung ke rumahmu.” Tanpa ditanya oleh Bella, Kartika memberitahukan mengapa dia cepat sampai di muka rumah Bella.Bella mengangguk. Dia diam mencoba memikirkan apa yang mesti dia katakan pada Kartika. Diperhatikannya induk semangnya tersebut sedang memantik korek api untuk rokok yang dibawanya di tas jinjing kecil berwarna merah muda yang ada di pangkuannya itu.“Jadi,” Kartika menghembuskan asap dari bibirnya perlahan. Ditatapnya Bella yang masih menatapnya. “Apa yang mau kau bicarakan padaku, Bella?” tanyanya. Nada bicara Kartika mulai mendesak.“Mi,” Bella duduk tegak di kursinya. Dihembuskan napasnya pelan. Seluruh tubuhnya mulai gemetar karena ketakutan luar biasa. Dia sudah tahu ujung pembicaraan ini nantinya. Diusir oleh Kartika dari perlindungan wanita paruh baya itu lalu membayar sejumlah denda.“Katakan.” Kartika mulai tidak sabar.”Sepertinya ada hal yang membuatmu bimbang? Benar?”Sebenarnya bukan bimbang melainkan takut. Dia benar-benar takut jika diusir maka tinggal di mana dia nantinya? dia belum mencari tempat tinggal baru. Tidak ada tempatnya pulang. Ke rumah Bapaknya? Dia tidak ingin melakukannya. Dia tidak menyukai tindakan Bapaknya. Melihat Bapaknya adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan saat ini.“Maafkan saya, Mi.” Bella akhirnya berkata pelan.“Untuk?” Kartika menghisap rokoknya lalu menghembuskannya cepat.Sebenarnya rokok tidak baik untuk kandungan, tetapi Bella diam saja. Dia berharap asap rokok itu dapat menghilangkan bayi yang tidak diinginkannya dengan segera. Detik itu juga walau tidak mungkin. Dia mencintai Evan. Namun, jika pria itu tidak ada kabar dan memutuskan kontak begitu saja maka tidak ada yang harus dia harapkan lagi.“Untuk kecerobohan saya, Mi.” Bella menunduk.Kartika menatap Bella bingung. “Apa yang membuatmu ceroboh? Kau memecahkan barang-barangku? Itu tidak masalah. Aku tidak peduli.” Kembali wanita itu menghirup rokoknya.Bella menghela napas pelan. Dirinya yang berkata setengah-setengah memang membuat Kartika pastilah bingung. Kemudian Bella mencoba mengangkat tubuhnya. Digerakkan kakinya menuju lemari penyimpanan pakaian berpintu dua setinggi bahunya yang berada di dekat kursi yang didudukinya. Sebuah amplop disodorkannya pada Kartika seraya berkata gemetar, “saya minta maaf, Mi. Saya ceroboh.”Kartika mengerutkan keningnya. Diterimanya amplop berwarna putih polos tersebut bingung. “Apa ini?” tanyanya.Bella menelan ludah. Dia menunduk tidak berani menatap Kartika yang membolak-balik amplop putih polos tanpa tulisan atau gambar apa pun.“Bella, ini apa?” Kartika bertanya lagi dengan bingung.“Kecerobohan saya.” Dijawabnya gemetar pertanyaan Kartika tersebut. Seluruh tubuhnya mendadak panas dingin membayangkan wanita yang masih duduk anggun di tepi tempat tidurnya itu menamparnya tanpa ampun atau bahkan melemparkannya ke jalanan dan harus membayar ganti rugi puluhan juta.“Kecerobohanmu dalam sebuah amplop?” Kartika berkelakar lalu dibukanya amplop tersebut.Bella masih menunduk ketika Kartika membaca selembar kertas yang ada di dalam amplop tersebut. Suara tawa induk semang tersebut berubah menjadi geraman. Wanita itu melemparkan benda yang dipegangnya berupa amplop dan kertas berisi keterangan kehamilan pada Bella. Ditatapnya marah Bella yang masih menunduk.“Kau bisa jelaskan padaku kecerobohanmu, Bella?” tanya Kartika geram. Rokok yang terselip ditangannya itu dilemparkannya ke lantai begitu saja lalu diinjaknya dengan marah menggunakan sepatu hak tinggi berwarna merah kesukaannya.Bella luruh ke lantai. dia bersujud di kaki Kartika dengan ketakutan luar biasa. “Maafkan saya, Mi. Maafkan saya. Saya ceroboh.” Bella menceracau.“Disurat itu usia kandunganmu diperkirakan empat minggu. Kau anak emasku. Bagaimana bisa kau ceroboh seperti ini, Bella?” Kartika memejamkan matanya. Dia bertolak pinggang menatap Bella yang masih bersujud di kakinya.“Maafkan saya, Mami. Saya lupa minum pil itu jadi saya hamil anak Tuan Evan.” Bella menahan air matanya. Segalanya berkecamuk sekarang di dalam dadanya. Laparnya tergantikan sudah dengan ketakutannya pada tempat tinggal dan kandungannya.“Tidak perlu kau perjelas anak itu adalah anak Tuan Evan sebab pastilah anak dia.” Kartika menatap Bella geram. Dia berdecak keras.“Mi,” Bella mendongak. Ditatapnya Kartika yang menurutnya begitu kecewa. “Saya minta maaf yang sebesarnya. Saya ceroboh.”Kartika menghela napas pelan. Dia menyilangkan tangan di dada. “Saya kecewa padamu, Bella. Kenapa kau melakukan itu? hah? Kau mencintai Tuan Evan dan sengaja?”Bella menggeleng pelan. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa cinta untuk Evan masih ada hingga saat ini. Hingga mulai tumbuh benih yang tidak pernah dia sangka akan terjadi. “Saya tidak berpikir sampai sana, Mi.” Bella menatap Kartika mencoba memberikan penegasan dengan apa yang dikatakannya adalah benar walau sebaliknya.Kartika mundur satu langkah. Wanita paruh baya itu menggeleng lagi. “Jika kau bukan akan emasku, kau sudah kutendang jauh dari tempat ini.”Bella menatap Kartika. Penjelasan itu seolah menjadi angin segar baginya bahwa induk semangnya tidak akan menendangnya dari tempatnya ini. Namun, dia tidak berani menegaskan apa yang dikatakan Kartika tadi. Dia memilih untuk diam. Suasana menjadi hening. Kartika memilih untuk kembali duduk di tepi tempat tidur milik Bella. Pandangannya lurus ke depan. Nampak berpikir.“Ada satu hal yang bisa kau lakukan agar tetap berada di tempatku ini, Bella.” Kartika berkata setelah beberapa saat terdiam.Bella masih duduk di lantai. Ditatapnya Kartika serius. “Apa pun saya lakukan asalkan saya tetap berada di tempat ini, Mi,” jawabnya cepat tanpa berpikir dua kali.Kartika menatap Bella tepat di matanya. “Kau serius akan melakukan apa pun yang kuminta?”Bella mengangguk. Dia akan melakukan apa pun permintaan Kartika. Semuanya akan dia lakukan. Membayar ganti rugi pun dia tidak masalah kini. Uang pemberian Evan sangat banyak jadi dia tidak akan ragu memberikan pada Kartika.“Gugurkan anak yang ada dalam kandunganmu, Bella.”“Kuberikan waktu dua hari untukmu berpikir. Jika kau ingin tetap di sini, maka gugurkanlah kandunganmu. Aku tahu siapa yang berani melakukannya. Dan itu bukan dokter Febri.”Itulah yang dikatakan Kartika pada Bella. Batas waktu yang diberikan Kartika akan habis sebentar lagi. Namun, Bella belum mengambil keputusan. Sebelumnya sangat teramat yakin ingin menggugurkan kandungannya akan tetapi entah kenapa dia mulai meragukan keinginannya tersebut. Dia mulai bimbang harus melakukan apa. Kini, pikiran dan hati nuraninya bertolak belakang. Diperhatikan ponsel pemberian Evan. Ponsel yang teramat mahal baginya dan tidak akan sanggup dibelinya.“Evan,” bisiknya. “Aku ingin bertemu denganmu.” Lalu dipejamkan matanya demi menahan air matanya yang ingin tumpah. Saat ini dia berada di sebuah restoran keluarga ternama di Indonesia. Restoran tersebut ramai sebab jam makan siang. Bella sengaja datang sendiri ke restoran yang berada di mall tersebut. Di hadapannya tersaji makanan yang ingin sekali dia
“Paket! Permisi, Isabella Halka?! Paket!” Suara nyaring kurir pengiriman barang berteriak di depan muka rumahnya membuat Bella urung melakukan apa yang tadi dia niatkan. Alisnya berkerut mendengar suara kurir pengiriman berteriak memanggil namanya lagi. Dia merasa tidak membeli barang apa pun secara daring. Walau begitu, dia tetap turun dari kursi plastik baksonya lalu menuju ruang tamu. “Isabella?!” lagi, kurir berteriak memanggil namanya. “Ya? Sebentar.” Bella merapikan rambutnya lalu membuka pintu rumahnya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya masih kalang kabut. “Paket, Mbak.” Kurir tersebut mengangsurkan padanya sebuah paket ukuran sedang pada Bella. “Isabella Halka, kan?” Bella mengangguk. “Benar.” Kurir menyodorkan lagi paketnya. “Paketnya, Mbak.” “Oiya.” Bella menerima paket tersebut dengan bingung. Dia merasa tidak pernah membeli apa pun di lokapasar. ‘Atau mungkin aku lupa pernah membeli sesuatu? Mungkin saja.’ Mengangkat bahu, Bella tersenyum pada kurir paket tersebut.
“Asal kamu tahu, Ibumu itu sekarang jadi perempuan tidak benar!” Timo mengulangi ucapan itu lagi. Untuk kesekian kalinya pada Bella. “Dia nikah lagi dengan orang kaya dan melupakan kita. Apa namanya itu kalau bukan perempuan tidak benar?!” nada suara pria itu meninggi di akhir kalimat.Bella yang sedang mengelap lemari buffet hanya memilih diam. Dia selalu menjadi pendengar ketika Timo mengoceh seperti itu. Dia baru saja tiba dari sekolah ketika Timo menyuruhnya mengelap lemari buffet yang berdebu.“Sudah belum?” Timo menatap Bella dengan mata menyipit. “Orang yang mau beli lemarinya mau datang.”Bella memejamkan mata sekilas. Tiba-tibanya Timo meminta dirinya membersihkan lemari buffet itu ternyata untuk dijual.‘Pasti untuk judi,’ batin Bella. ‘Berapa banyak barang lagi yang mau dijual? Televisi sudah, blender sudah, sekarang lemari.’ Ingin dia meneriaki Timo. Namun, dia tidak berani. Dia takut pria itu murka padanya.“Bella!” Timo membentaknya. “Dengar tidak?!”Plak!Tamparan menda
“Darel sudah mengatakan semuanya pada saya.” Siswanto merupakan ayah kandung Darel. Pria berperawakan kurus tinggi itu menatap Bella yang duduk di seberangnya. Di sebelah Siswanto duduklah Darel yang juga menatap Bella. “Darel memberikan ide mengenai kamu yang sepertinya perlu bekerja.”Bella masih menunduk itu mengangguk. Dia setuju saja dengan ide Darel. Lebih cepat dia pergi dari rumah Darel, lebih cepat pula dia keluar dari kampung itu. Walau Siswanto merupakan kepala desa sekalipun, dia tidak ingin keluarga Darel menjadi buah bibir di masyarakat. Apalagi ibunya Darel yang dia tahu sedang berada di luar kota sebab sedang menghadiri kemalangan saudaranya. “Kemarin aku membantu mencarikan pekerjaan untukmu, Bella.” Darel membuka percakapan. Memberikan informasi pada Bella dan Siswanto—Bapaknya. “Ada satu pekerjaan yang cocok untuk Bella menurutku.”Bella mendongak. “Apapun, Darel. Aku setuju saja.”Darel menatap Siswanto. Pria paruh baya yang merupakan kepala desa itu menggeleng.
“Kamu cepat sekali belajar, Bella.” Siti tersenyum. Dia memuji keterampilan Bella dalam hal rumah tangga. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruangan praktek tersebut. “Contoh Bella. Kalian seharusnya cepat beradaptasi agar cepat pergi dari tempat ini.”Bella menunduk. Dia tidak pernah ingin jadi pusat perhatian dan juga tatapan sinis orang lain padanya. Bella sudah satu bulan berada di Pusat Pelatihan Siti. Siti merupakan penyalur pembantu, perawat bayi, dan perawat lansia.“Ya, Bu!” sahut delapan wanita yang berada dalam ruangan praktek tersebut.Seorang wanita masuk ke dalam ruangan praktek. Dia menghampiri Siti lalu membisikkan sesuatu. Bella memerhatikan siti yang mengedarkan pandangan ke sekitar lalu mengangguk pelan dengan apa yang dibisikkan wanita itu.“Kalian boleh istirahat!” perintah Siti lalu keluar dari ruangan praktek.Bella masih berdiri di tempatnya. Dia sedang belajar menggantik
“Ini enak sekali, Bella. Apa namanya ini?” Chloe menyuap satu sendok penuh masakan buatan Bella.Bella tersenyum sopan. “Tempe orek, Nyonya. Makanan kampung.”“Nah,” Chloe mengunyah seraya menunjuk Bella dengan sendoknya. “Tempe itu makanan sejuta umat tetapi baru kali ini saya makan tempe yang rasanya ada gurihnya, manisnya, kriuknya, pedasnya. Enak. Besok masak ini lagi, ya, Bella.”“Ya, Nyonya.” Tadinya Bella masak tempe itu untuk dirinya. Dia masak pun dalam porsi sedikit sekali tetapi melihat Chloe yang makan lahap sekali, dia jadi ingin memasak lebih banyak untuk semua anggota keluarga.Bella membiarkan majikannya makan tempe orek buatannya sedangkan dia merapikan dapur. Hari sudah siang saat Bella melihat jam yang berada di microwave. ‘Sebentar lagi makan siang,’ pikirnya. ‘Tuan Herman dan Nona Lena pasti akan pulang untuk makan siang.’Seraya makan, Chloe mengangguk-angguk melihat kerja Bella yang cekatan. Ini adalah hari berikutnya Bella tinggal di rumah besar itu. Rumah yang
“Kau dengar aku, kan, Bella?” Lena kembali bertanya. Menggebu.Bella hanya tersenyum. dia tidak menjawab apa pun yang dilontarkan oleh Lena. Dia memang bercerita pada majikannya mengenai kehidupannya tetapi tidak semuanya. Dirinya yang menjadi istri kontrak itu tidak dibahasnya. Dia hanya mengatakan bekerja mati-matian demi melunasi utang Bapaknya. Bella hanya bercerita mengenai suami yang meninggalkannya begitu saja tanpa kejelasan. Hanya itu. Dia bahkan tidak ingin membahas namanya.“Baiklah,” angguk Lena. “Akan kuantar kamu sampai rumah sakit. Oke? Setelah itu aku akan berangkat ke sekolah. Bagaimana?”Bella merasa sungkan tetapi tatapan Nona mudanya yang begitu serius membuatnya mengangguk pada akhirnya. “Baiklah, Nona,” ucapnya kalah.Lena tersenyum puas. Dia menjulurkan tangannya menepuk bahu supir pribadinya. “Pak, ke rumah sakit dulu ya, setelah itu ke sekolah.”“Baik, Nona.&
“Tampannya.” Chloe Ansell dengan hati-hati menggendong bayi laki-laki. Dia tersenyum senang. “Halo, ini Oma, sayang.” Dia berbicara lembut pada bayi yang tidur nyaman dalam gendongannya.Bella menatap Chloe dengan senyum lemahnya. Dia sudah masuk ruang rawat inap. Herman dan Chloe memaksa Bella untuk dirawat hingga benar-benar pulih agar dapat pulang dengan baik.“Bella, kamu mau dibawakan apa? Lena akan ke sini.” Chloe bertanya. Namun, dengan mata menatap bayi dalam gendongannya takjub. “Sudah lama sekali aku tidak menggendong bayi. Terakhir gendong saat Lena bayi.” Kemudian dia tertawa mengenang masa itu.“Tidak perlu, Nyonya.” Bella menjawab pelan.Chloe menoleh. Alisnya terangkat. “Tidak mau apa pun? Sungguh? Kalau begitu susu saja ya? Akan kusuruh Lena membeli susu ibu menyusui. Ya?”Bella tersenyum sungkan. “Saya tidak ingin merepotkan.”“Tidak.&r