Share

Bab 7: Kecerobohan dalam Sebuah Amplop

“Kau baik-baik saja?” tangan kekar dengan sigap menarik Bella berdiri. Wanita itu mendongak menatap siapa yang menariknya. Tenyata pengawal Kartika. Pria itu berdiri tanpa ekspresi masih menggenggam lengan kanan Bella. Bella mulai berandai-andai jika pria yang ada di sebelahnya adalah Evan tentulah hatinya senang bukan main. Nyatanya bukan.

“Bella?”

Suara Kartika yang berulang kali bertanya apakah dia baik-baik saja membuat Bella memusatkan pandangannya. Kartika sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan khawatir.

“John, dudukkan dia di kursi.” Kartika berkata lagi pada pengawalnya yang bernama John.

Tanpa banyak kata, John membimbing Bella duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Pandangan Bella masih berkunang ditambah lagi perutnya yang mulai mual. Ditahannya rasa tidak enak di perutnya seraya memejamkan mata.

“Kau pucat sekali. Apakah perlu kupanggil dokter Febri kemari?”

Ucapan itu sontak membuat Bella membuka mata lalu menggeleng. Gelengan kepala membuatnya sakit. “Tidak perlu, Mami.” Dijawabnya pelan ucapan Kartika yang khawatir itu.

“Kalau begitu, kau istirahatlah. Kita bisa mengobrol jika kau sudah sehat. Aku kasihan melihatmu pucat.” Kartika menatap iba Bella yang menurutnya lemas bukan main.

“Tidak, Mi.” Bella mencoba duduk tegak. Perutnya lapar dan dia mulai menyumpahi bayi yang ada dalam kandungannya diam-diam.

“Kalau itu maumu.” Kartika memberikan isyarat pada John untuk menunggu di luar kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidur milik Bella. Ditatapnya Bella. “Kebetulan aku sedang berada di sekitar sini saat kau telepon. Jadi aku bisa langsung ke rumahmu.” Tanpa ditanya oleh Bella, Kartika memberitahukan mengapa dia cepat sampai di muka rumah Bella.

Bella mengangguk. Dia diam mencoba memikirkan apa yang mesti dia katakan pada Kartika. Diperhatikannya induk semangnya tersebut sedang memantik korek api untuk rokok yang dibawanya di tas jinjing kecil berwarna merah muda yang ada di pangkuannya itu.

“Jadi,” Kartika menghembuskan asap dari bibirnya perlahan. Ditatapnya Bella yang masih menatapnya. “Apa yang mau kau bicarakan padaku, Bella?” tanyanya. Nada bicara Kartika mulai mendesak.

“Mi,” Bella duduk tegak di kursinya. Dihembuskan napasnya pelan. Seluruh tubuhnya mulai gemetar karena ketakutan luar biasa. Dia sudah tahu ujung pembicaraan ini nantinya. Diusir oleh Kartika dari perlindungan wanita paruh baya itu lalu membayar sejumlah denda.

“Katakan.” Kartika mulai tidak sabar.”Sepertinya ada hal yang membuatmu bimbang? Benar?”

Sebenarnya bukan bimbang melainkan takut. Dia benar-benar takut jika diusir maka tinggal di mana dia nantinya? dia belum mencari tempat tinggal baru. Tidak ada tempatnya pulang. Ke rumah Bapaknya? Dia tidak ingin melakukannya. Dia tidak menyukai tindakan Bapaknya. Melihat Bapaknya adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan saat ini.

“Maafkan saya, Mi.” Bella akhirnya berkata pelan.

“Untuk?” Kartika menghisap rokoknya lalu menghembuskannya cepat.

Sebenarnya rokok tidak baik untuk kandungan, tetapi Bella diam saja. Dia berharap asap rokok itu dapat menghilangkan bayi yang tidak diinginkannya dengan segera. Detik itu juga walau tidak mungkin. Dia mencintai Evan. Namun, jika pria itu tidak ada kabar dan memutuskan kontak begitu saja maka tidak ada yang harus dia harapkan lagi.

“Untuk kecerobohan saya, Mi.” Bella menunduk.

Kartika menatap Bella bingung. “Apa yang membuatmu ceroboh? Kau memecahkan barang-barangku? Itu tidak masalah. Aku tidak peduli.” Kembali wanita itu menghirup rokoknya.

Bella menghela napas pelan. Dirinya yang berkata setengah-setengah memang membuat Kartika pastilah bingung. Kemudian Bella mencoba mengangkat tubuhnya. Digerakkan kakinya menuju lemari penyimpanan pakaian berpintu dua setinggi bahunya yang berada di dekat kursi yang didudukinya. Sebuah amplop disodorkannya pada Kartika seraya berkata gemetar, “saya minta maaf, Mi. Saya ceroboh.”

Kartika mengerutkan keningnya. Diterimanya amplop berwarna putih polos tersebut bingung. “Apa ini?” tanyanya.

Bella menelan ludah. Dia menunduk tidak berani menatap Kartika yang membolak-balik amplop putih polos tanpa tulisan atau gambar apa pun.

“Bella, ini apa?” Kartika bertanya lagi dengan bingung.

“Kecerobohan saya.” Dijawabnya gemetar pertanyaan Kartika tersebut. Seluruh tubuhnya mendadak panas dingin membayangkan wanita yang masih duduk anggun di tepi tempat tidurnya itu menamparnya tanpa ampun atau bahkan melemparkannya ke jalanan dan harus membayar ganti rugi puluhan juta.

“Kecerobohanmu dalam sebuah amplop?” Kartika berkelakar lalu dibukanya amplop tersebut.

Bella masih menunduk ketika Kartika membaca selembar kertas yang ada di dalam amplop tersebut. Suara tawa induk semang tersebut berubah menjadi geraman. Wanita itu melemparkan benda yang dipegangnya berupa amplop dan kertas berisi keterangan kehamilan pada Bella. Ditatapnya marah Bella yang masih menunduk.

“Kau bisa jelaskan padaku kecerobohanmu, Bella?” tanya Kartika geram. Rokok yang terselip ditangannya itu dilemparkannya ke lantai begitu saja lalu diinjaknya dengan marah menggunakan sepatu hak tinggi berwarna merah kesukaannya.

Bella luruh ke lantai. dia bersujud di kaki Kartika dengan ketakutan luar biasa. “Maafkan saya, Mi. Maafkan saya. Saya ceroboh.” Bella menceracau.

“Disurat itu usia kandunganmu diperkirakan empat minggu. Kau anak emasku. Bagaimana bisa kau ceroboh seperti ini, Bella?” Kartika memejamkan matanya. Dia bertolak pinggang menatap Bella yang masih bersujud di kakinya.

“Maafkan saya, Mami. Saya lupa minum pil itu jadi saya hamil anak Tuan Evan.” Bella menahan air matanya. Segalanya berkecamuk sekarang di dalam dadanya. Laparnya tergantikan sudah dengan ketakutannya pada tempat tinggal dan kandungannya.

“Tidak perlu kau perjelas anak itu adalah anak Tuan Evan sebab pastilah anak dia.” Kartika menatap Bella geram. Dia berdecak keras.

“Mi,” Bella mendongak. Ditatapnya Kartika yang menurutnya begitu kecewa. “Saya minta maaf yang sebesarnya. Saya ceroboh.”

Kartika menghela napas pelan. Dia menyilangkan tangan di dada. “Saya kecewa padamu, Bella. Kenapa kau melakukan itu? hah? Kau mencintai Tuan Evan dan sengaja?”

Bella menggeleng pelan. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa cinta untuk Evan masih ada hingga saat ini. Hingga mulai tumbuh benih yang tidak pernah dia sangka akan terjadi. “Saya tidak berpikir sampai sana, Mi.” Bella menatap Kartika mencoba memberikan penegasan dengan apa yang dikatakannya adalah benar walau sebaliknya.

Kartika mundur satu langkah. Wanita paruh baya itu menggeleng lagi. “Jika kau bukan akan emasku, kau sudah kutendang jauh dari tempat ini.”

Bella menatap Kartika. Penjelasan itu seolah menjadi angin segar baginya bahwa induk semangnya tidak akan menendangnya dari tempatnya ini. Namun, dia tidak berani menegaskan apa yang dikatakan Kartika tadi. Dia memilih untuk diam. Suasana menjadi hening. Kartika memilih untuk kembali duduk di tepi tempat tidur milik Bella. Pandangannya lurus ke depan. Nampak berpikir.

“Ada satu hal yang bisa kau lakukan agar tetap berada di tempatku ini, Bella.” Kartika berkata setelah beberapa saat terdiam.

Bella masih duduk di lantai. Ditatapnya Kartika serius. “Apa pun saya lakukan asalkan saya tetap berada di tempat ini, Mi,” jawabnya cepat tanpa berpikir dua kali.

Kartika menatap Bella tepat di matanya. “Kau serius akan melakukan apa pun yang kuminta?”

Bella mengangguk. Dia akan melakukan apa pun permintaan Kartika. Semuanya akan dia lakukan. Membayar ganti rugi pun dia tidak masalah kini. Uang pemberian Evan sangat banyak jadi dia tidak akan ragu memberikan pada Kartika.

“Gugurkan anak yang ada dalam kandunganmu, Bella.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status