“Paket! Permisi, Isabella Halka?! Paket!” Suara nyaring kurir pengiriman barang berteriak di depan muka rumahnya membuat Bella urung melakukan apa yang tadi dia niatkan. Alisnya berkerut mendengar suara kurir pengiriman berteriak memanggil namanya lagi. Dia merasa tidak membeli barang apa pun secara daring. Walau begitu, dia tetap turun dari kursi plastik baksonya lalu menuju ruang tamu. “Isabella?!” lagi, kurir berteriak memanggil namanya. “Ya? Sebentar.” Bella merapikan rambutnya lalu membuka pintu rumahnya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya masih kalang kabut. “Paket, Mbak.” Kurir tersebut mengangsurkan padanya sebuah paket ukuran sedang pada Bella. “Isabella Halka, kan?” Bella mengangguk. “Benar.” Kurir menyodorkan lagi paketnya. “Paketnya, Mbak.” “Oiya.” Bella menerima paket tersebut dengan bingung. Dia merasa tidak pernah membeli apa pun di lokapasar. ‘Atau mungkin aku lupa pernah membeli sesuatu? Mungkin saja.’ Mengangkat bahu, Bella tersenyum pada kurir paket tersebut.
“Asal kamu tahu, Ibumu itu sekarang jadi perempuan tidak benar!” Timo mengulangi ucapan itu lagi. Untuk kesekian kalinya pada Bella. “Dia nikah lagi dengan orang kaya dan melupakan kita. Apa namanya itu kalau bukan perempuan tidak benar?!” nada suara pria itu meninggi di akhir kalimat.Bella yang sedang mengelap lemari buffet hanya memilih diam. Dia selalu menjadi pendengar ketika Timo mengoceh seperti itu. Dia baru saja tiba dari sekolah ketika Timo menyuruhnya mengelap lemari buffet yang berdebu.“Sudah belum?” Timo menatap Bella dengan mata menyipit. “Orang yang mau beli lemarinya mau datang.”Bella memejamkan mata sekilas. Tiba-tibanya Timo meminta dirinya membersihkan lemari buffet itu ternyata untuk dijual.‘Pasti untuk judi,’ batin Bella. ‘Berapa banyak barang lagi yang mau dijual? Televisi sudah, blender sudah, sekarang lemari.’ Ingin dia meneriaki Timo. Namun, dia tidak berani. Dia takut pria itu murka padanya.“Bella!” Timo membentaknya. “Dengar tidak?!”Plak!Tamparan menda
“Darel sudah mengatakan semuanya pada saya.” Siswanto merupakan ayah kandung Darel. Pria berperawakan kurus tinggi itu menatap Bella yang duduk di seberangnya. Di sebelah Siswanto duduklah Darel yang juga menatap Bella. “Darel memberikan ide mengenai kamu yang sepertinya perlu bekerja.”Bella masih menunduk itu mengangguk. Dia setuju saja dengan ide Darel. Lebih cepat dia pergi dari rumah Darel, lebih cepat pula dia keluar dari kampung itu. Walau Siswanto merupakan kepala desa sekalipun, dia tidak ingin keluarga Darel menjadi buah bibir di masyarakat. Apalagi ibunya Darel yang dia tahu sedang berada di luar kota sebab sedang menghadiri kemalangan saudaranya. “Kemarin aku membantu mencarikan pekerjaan untukmu, Bella.” Darel membuka percakapan. Memberikan informasi pada Bella dan Siswanto—Bapaknya. “Ada satu pekerjaan yang cocok untuk Bella menurutku.”Bella mendongak. “Apapun, Darel. Aku setuju saja.”Darel menatap Siswanto. Pria paruh baya yang merupakan kepala desa itu menggeleng.
“Kamu cepat sekali belajar, Bella.” Siti tersenyum. Dia memuji keterampilan Bella dalam hal rumah tangga. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruangan praktek tersebut. “Contoh Bella. Kalian seharusnya cepat beradaptasi agar cepat pergi dari tempat ini.”Bella menunduk. Dia tidak pernah ingin jadi pusat perhatian dan juga tatapan sinis orang lain padanya. Bella sudah satu bulan berada di Pusat Pelatihan Siti. Siti merupakan penyalur pembantu, perawat bayi, dan perawat lansia.“Ya, Bu!” sahut delapan wanita yang berada dalam ruangan praktek tersebut.Seorang wanita masuk ke dalam ruangan praktek. Dia menghampiri Siti lalu membisikkan sesuatu. Bella memerhatikan siti yang mengedarkan pandangan ke sekitar lalu mengangguk pelan dengan apa yang dibisikkan wanita itu.“Kalian boleh istirahat!” perintah Siti lalu keluar dari ruangan praktek.Bella masih berdiri di tempatnya. Dia sedang belajar menggantik
“Ini enak sekali, Bella. Apa namanya ini?” Chloe menyuap satu sendok penuh masakan buatan Bella.Bella tersenyum sopan. “Tempe orek, Nyonya. Makanan kampung.”“Nah,” Chloe mengunyah seraya menunjuk Bella dengan sendoknya. “Tempe itu makanan sejuta umat tetapi baru kali ini saya makan tempe yang rasanya ada gurihnya, manisnya, kriuknya, pedasnya. Enak. Besok masak ini lagi, ya, Bella.”“Ya, Nyonya.” Tadinya Bella masak tempe itu untuk dirinya. Dia masak pun dalam porsi sedikit sekali tetapi melihat Chloe yang makan lahap sekali, dia jadi ingin memasak lebih banyak untuk semua anggota keluarga.Bella membiarkan majikannya makan tempe orek buatannya sedangkan dia merapikan dapur. Hari sudah siang saat Bella melihat jam yang berada di microwave. ‘Sebentar lagi makan siang,’ pikirnya. ‘Tuan Herman dan Nona Lena pasti akan pulang untuk makan siang.’Seraya makan, Chloe mengangguk-angguk melihat kerja Bella yang cekatan. Ini adalah hari berikutnya Bella tinggal di rumah besar itu. Rumah yang
“Kau dengar aku, kan, Bella?” Lena kembali bertanya. Menggebu.Bella hanya tersenyum. dia tidak menjawab apa pun yang dilontarkan oleh Lena. Dia memang bercerita pada majikannya mengenai kehidupannya tetapi tidak semuanya. Dirinya yang menjadi istri kontrak itu tidak dibahasnya. Dia hanya mengatakan bekerja mati-matian demi melunasi utang Bapaknya. Bella hanya bercerita mengenai suami yang meninggalkannya begitu saja tanpa kejelasan. Hanya itu. Dia bahkan tidak ingin membahas namanya.“Baiklah,” angguk Lena. “Akan kuantar kamu sampai rumah sakit. Oke? Setelah itu aku akan berangkat ke sekolah. Bagaimana?”Bella merasa sungkan tetapi tatapan Nona mudanya yang begitu serius membuatnya mengangguk pada akhirnya. “Baiklah, Nona,” ucapnya kalah.Lena tersenyum puas. Dia menjulurkan tangannya menepuk bahu supir pribadinya. “Pak, ke rumah sakit dulu ya, setelah itu ke sekolah.”“Baik, Nona.&
“Tampannya.” Chloe Ansell dengan hati-hati menggendong bayi laki-laki. Dia tersenyum senang. “Halo, ini Oma, sayang.” Dia berbicara lembut pada bayi yang tidur nyaman dalam gendongannya.Bella menatap Chloe dengan senyum lemahnya. Dia sudah masuk ruang rawat inap. Herman dan Chloe memaksa Bella untuk dirawat hingga benar-benar pulih agar dapat pulang dengan baik.“Bella, kamu mau dibawakan apa? Lena akan ke sini.” Chloe bertanya. Namun, dengan mata menatap bayi dalam gendongannya takjub. “Sudah lama sekali aku tidak menggendong bayi. Terakhir gendong saat Lena bayi.” Kemudian dia tertawa mengenang masa itu.“Tidak perlu, Nyonya.” Bella menjawab pelan.Chloe menoleh. Alisnya terangkat. “Tidak mau apa pun? Sungguh? Kalau begitu susu saja ya? Akan kusuruh Lena membeli susu ibu menyusui. Ya?”Bella tersenyum sungkan. “Saya tidak ingin merepotkan.”“Tidak.&r
“Saya tidak pernah mengatakan pada Nyonya bagaimana anak ini bisa saya kandung.” Bella berkata lirih. Dia sebenarnya malu tetapi dia harus mengatakannya. Terlebih lagi setelah majikannya berkata bahwa dia adalah bagian dari keluarga. Sembilan bulan dia bekerja di rumah besar itu, tidak sekalipun mereka bersikap jahat padanya. Mereka sangat baik pada Bella.Chloe tersenyum pada ucapan Bella. Wanita itu dengan sabar menunggui Bella mengatakan hal selanjutnya.“Ma,” ucap Lena menyela pembicaraan. “Aku keluar sebentar. Ingin beli kue bolen di seberang jalan rumah sakit ini.”Chloe mengangguk. Lena tanpa menunggu ucapan Bella, segera keluar dari ruangan itu. Dia merasa tahu diri untuk tidak menguping pembicaraan Ibunya dan Bella yang sudah dia anggap sebagai saudara sendiri. ‘Pastilah Bella malu jika aku mengetahui masa lalunya. Lebih baik aku keluar saja membeli makanan.’ Begitulah yang dipikirkan oleh Lena. Gadis itu berjalan santai menuju keluar dari rumah sakit tersebut.“Jika belum si