Share

Bab 6 Belum Ikhlas

“Kalau dilihat dari siklus datang bulan Mbak Isabella yang terakhir kali, usia kandungan berjalan empat minggu, ya.” Dokter Febri tersenyum menatap Isabella yang menahan air mata. Tangan dokter tersebut terulur mengusap lengan kanan Bella.

Hanya dengan perlakuan seperti itu telah berhasil meruntuhkan pertahanan Bella yang telah dibangunnya sejak tadi pagi. Sekedar ingin memastikan apa yang dilihatnya pada alat tes kehamilan, Bella memutuskan untuk datang ke klinik dokter Febri.

“Saya harus bagaimana, Dok?” Bella berkata setengah berbisik. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.

“Jalani, ya, Mbak. Ikhlas,” jawab dokter Febri.  Wanita dipenghujung usia 45 tahun tersebut menatap Bella dengan iba.

Bella mendongak. Ada satu keinginan tiba-tiba terlintas di kepalanya begitu saja. “Dok, bantu saya gugurkan. Ya?”

Dokter Febri menggeleng pada permintaan Bella lalu menjawab, “jangan timpakan kesalahan pada yang tidak berdosa, Mbak. Siapa tahu anak yang Mbak kandung nanti membawa keberkahan tersendiri. Tolong, pertahankan, ya, Mbak. Saya minta pada mbak Bella.”

Bella menangis tergugu. Dia tidak tahu harus melakukan apa kedepannya. Dia tidak tahu harus berkata apa pada Kartika nantinya. Sedih bercampur ketakutan yang luar biasa pada kehidupan selanjutnya membayang di pelupuk matanya. Menurutnya, Tuhan sungguh tidak adil pada hidupnya. Bapaknya dengan tega menjualnya pada mucikari lalu kini dia hamil dari pria yang entah berada di mana sekarang.

“Dok,” isak Bella. Suaranya tersendat karena tangisnya. “Saya tidak tahu harus ke mana untuk meminta lelaki itu bertanggung jawab.”

“Jalani, Mbak,” ucap dokter Febri.

Wanita itu mengulurkan tangannya menggenggam kedua tangan Bella yang bertumpu di atas mejanya. Sudah bermacam pasien yang datang ke tempatnya praktek dan rata-rata semua meminta apa yang diinginkan Bella pula. Maklum saja, tempat prakteknya berada di lingkungan Kartika. Dia hanya bisa memberikan kekuatan pada pasiennya untuk menjalani sisa hidup lebih berarti.

“Yang terpenting sekarang, Mbak mesti ikhlas. Ya?” Dokter Febri berkata lagi ketika Bella masih tidak menanggapi. Sekali lagi, pikiran Bella kacau saat ini dan dia tidak bisa memikirkan hal lain selain menggugurkannya. “Memang sulit pada awalnya tetapi yakinlah pada saya, suatu saat Mbak akan bersyukur pada hal ini. Ya, Mbak?” dia tidak hanya asal mengatakan itu, sebab sudah ada buktinya. Ada pasiennya yang datang padanya dan mengatakan betapa bersyukur hidupnya setelah memperjuangkan anak yang awalnya tidak pernah diinginkan dan kini mereka telah hidup bahagia. Dia hanya berharap Bella akan seperti itu. Itu saja yang diinginkannya pada semua pasiennya.

Bella menangis tersedu. Perkataan dokter Febri seolah sulit untuk dilakukannya. Dia masih belum ikhlas dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Semuanya. Orang pertama yang wajib disalahkan menurutnya adalah Bapaknya. Semua berasal dari sana. Jika Bapaknya tidak berjudi, tentulah hidupnya lebih baik. Tentulah dia memiliki Ibu yang akan menjaganya setiap hari. Dia merindukan Ibu dan saat seperti ini dan ingin berada dalam pelukan Ibu yang akan menggumamkan kata; ‘Sudahlah. Sabar, Nak. Ibu ada di sini.’ Hancur sudah pertahanannya. Di hadapan dokter Febri, Bella menangis sejadi-jadinya. Meraung tanpa kenal malu lagi. Bella merasa hidupnya benar-benar tidak adil.

“Saya belum bisa ikhlas.” Bella berkata diantara tangisannya.

Dokter Febri mengangguk tanpa mengetahui apa yang dirasakan Bella. “Saya tahu, Mbak. Saya sangat tahu.”

Bella mendongak. Menatap Dokter Febri dengan matanya yang sembab lalu bertanya, “saya harus bagaimana, Dok?”

Dokter Febri tersenyum. Senyum yang menenangkan dan itu membuat Bella menangis lagi membayangkan jika wanita di hadapannya adalah Ibunya. Ibu yang sangat dia rindukan kehadirannya saat ini.

***

Bella tidak bisa menerima begitu saja kehadiran baru yang tumbuh di dalam perutnya. Dibiarkannya dirinya kelaparan seharian. Dibiarkannya dirinya hanya bergelung di atas tempat tidur satu hari penuh setelah dari tempat dokter Febri. Dia pun tidak melaksanakan apa yang dokter Febri inginkan untuk meminum vitamin. Dibiarkan saja vitamin itu masih terbungkus rapi di atas meja samping tempat tidurnya.

Ring! Ring! Ring!

Ponselnya berdering ketika hari sudah mulai beranjak malam. Dengan malas, Bella meraih ponselnya yang dia letakkan di sisi tubuhnya. Ditatapnya ponsel pemberian Evan itu. Nama ‘Mami Kartika’ terpampang di layar ponselnya. Dia tahu apa yang diinginkan Sang Induk Semang padanya. Bekerja. Sudah satu minggu dari perjanjian yang dimintanya pada Kartika saat itu.

“Ya, halo, Mami?” Bella menjawab pelan. Seluruh tubuhnya lemas bukan main sebab dia belum makan seharian dan kini dalam pikirannya ingin sekali makan nasi rawon yang dijual tidak jauh dari tempatnya tinggal. Lingkungan Kartika tinggal termasuk banyak pedagang kaki lima yang mudah dijumpai.

“Kau sakit, Bella?” Kartika bertanya penuh perhatian.

Bella memejamkan mata lalu menghela napas pelan. Diremas perutnya berharap yang ada di dalam sana menghilang begitu saja.

“Bella, kau sakit?”  Kartika bertanya lagi. Memastikan. “Lemas sekali kudengar suaramu.”

Bella menahan air matanya mendengar pertanyaan Kartika. Dia ingin bercerita pada Induk Semangnya tetapi dia takut. Kartika bukanlah orang yang perhatian berlebih layaknya kepada anak kandung. Kartika merupakan orang yang perhatian sebatas anak buah dan bos. Itu saja.

“Mi,” Bella bertanya dengan suara pelan. “Boleh saya bicara empat mata?”

“Oh tentu boleh. Kau anak emasku.”

Suara Kartika yang bersemangat itu membuat hati Bella mencelus. Dia dapat membayangkan betapa kecewanya Kartika ketika mengetahui pembicaraan empat mata yang akan diutarakannya nanti.

“Kapan?” Kartika bertanya lagi ketika Bella belum juga menentukan di mana mereka akan bertemu.

Bella mengepalkan tangannya. Dia harus bersiap-siap jika Kartika memakinya atau menendangnya dari tempat tinggalnya sekarang.

“Satu jam lagi boleh, Mi?” Bella bertanya kembali pada Kartika. Dia harus mengemasi barang-barangnya dahulu. Walau hanya beberapa potong pakaian, tentu itu barang berharganya. Kenangan dari Evan untuknya. Jika bukan kenangan dari Evan, dia tidak akan membawanya serta.

“Tentu saja.” Kartika menjawab yakin. “Sepertinya ada hal sangat serius? Benar begitu?”

Bella perlahan duduk di atas tempat tidur. Pandangannya mulai berkunang-kunang sebab tidak makan seharian dan ini sudah malam. Dipegangnya kepalanya dengan sebelah tangannya. Sepertinya sebelum bertemu dengan Kartika, dia harus makan terlebih dahulu. Perutnya harus diisi agar dia dapat memberikan alasan login pada induk semangnya mengapa dia bisa hamil anak dari Evan. Dia harus mengesampingkan rasa cintanya pada Evan yang berlebihan.

“Iya, Mi.” Bella menjawab pelan.

“Kuharap bukan kabar buruk.” Kartika menjawab lugas.

Bella menutup mata. Ini adalah kabar buruk. Baginya dan bagi Kartika.

“Buka pintu rumahmu, aku ada di depan rumahmu.”

Bella segera berdiri. Dia terhuyung-huyung. Tubuh lemas dan terkejut membuatnya hampir jatuh. Tangannya dengan lemas meraba sekitar. Benda yang dia senggol berjatuhan.

“Bella!” Suara Kartika benar di depan rumahnya. “Buka pintunya!”

Lalu suara gedoran terdengar. Bella mendesis. Kepalanya sakit. Dia menyumpah serapah. Kesal bukan main pada kandungannya.

Yeni_Lestari87

terima kasih sudah menambahkan cerita ini. ditunggu komentarnya.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status