“Kalau dilihat dari siklus datang bulan Mbak Isabella yang terakhir kali, usia kandungan berjalan empat minggu, ya.” Dokter Febri tersenyum menatap Isabella yang menahan air mata. Tangan dokter tersebut terulur mengusap lengan kanan Bella.
Hanya dengan perlakuan seperti itu telah berhasil meruntuhkan pertahanan Bella yang telah dibangunnya sejak tadi pagi. Sekedar ingin memastikan apa yang dilihatnya pada alat tes kehamilan, Bella memutuskan untuk datang ke klinik dokter Febri.
“Saya harus bagaimana, Dok?” Bella berkata setengah berbisik. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.
“Jalani, ya, Mbak. Ikhlas,” jawab dokter Febri. Wanita dipenghujung usia 45 tahun tersebut menatap Bella dengan iba.
Bella mendongak. Ada satu keinginan tiba-tiba terlintas di kepalanya begitu saja. “Dok, bantu saya gugurkan. Ya?”
Dokter Febri menggeleng pada permintaan Bella lalu menjawab, “jangan timpakan kesalahan pada yang tidak berdosa, Mbak. Siapa tahu anak yang Mbak kandung nanti membawa keberkahan tersendiri. Tolong, pertahankan, ya, Mbak. Saya minta pada mbak Bella.”
Bella menangis tergugu. Dia tidak tahu harus melakukan apa kedepannya. Dia tidak tahu harus berkata apa pada Kartika nantinya. Sedih bercampur ketakutan yang luar biasa pada kehidupan selanjutnya membayang di pelupuk matanya. Menurutnya, Tuhan sungguh tidak adil pada hidupnya. Bapaknya dengan tega menjualnya pada mucikari lalu kini dia hamil dari pria yang entah berada di mana sekarang.
“Dok,” isak Bella. Suaranya tersendat karena tangisnya. “Saya tidak tahu harus ke mana untuk meminta lelaki itu bertanggung jawab.”
“Jalani, Mbak,” ucap dokter Febri.
Wanita itu mengulurkan tangannya menggenggam kedua tangan Bella yang bertumpu di atas mejanya. Sudah bermacam pasien yang datang ke tempatnya praktek dan rata-rata semua meminta apa yang diinginkan Bella pula. Maklum saja, tempat prakteknya berada di lingkungan Kartika. Dia hanya bisa memberikan kekuatan pada pasiennya untuk menjalani sisa hidup lebih berarti.
“Yang terpenting sekarang, Mbak mesti ikhlas. Ya?” Dokter Febri berkata lagi ketika Bella masih tidak menanggapi. Sekali lagi, pikiran Bella kacau saat ini dan dia tidak bisa memikirkan hal lain selain menggugurkannya. “Memang sulit pada awalnya tetapi yakinlah pada saya, suatu saat Mbak akan bersyukur pada hal ini. Ya, Mbak?” dia tidak hanya asal mengatakan itu, sebab sudah ada buktinya. Ada pasiennya yang datang padanya dan mengatakan betapa bersyukur hidupnya setelah memperjuangkan anak yang awalnya tidak pernah diinginkan dan kini mereka telah hidup bahagia. Dia hanya berharap Bella akan seperti itu. Itu saja yang diinginkannya pada semua pasiennya.
Bella menangis tersedu. Perkataan dokter Febri seolah sulit untuk dilakukannya. Dia masih belum ikhlas dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Semuanya. Orang pertama yang wajib disalahkan menurutnya adalah Bapaknya. Semua berasal dari sana. Jika Bapaknya tidak berjudi, tentulah hidupnya lebih baik. Tentulah dia memiliki Ibu yang akan menjaganya setiap hari. Dia merindukan Ibu dan saat seperti ini dan ingin berada dalam pelukan Ibu yang akan menggumamkan kata; ‘Sudahlah. Sabar, Nak. Ibu ada di sini.’ Hancur sudah pertahanannya. Di hadapan dokter Febri, Bella menangis sejadi-jadinya. Meraung tanpa kenal malu lagi. Bella merasa hidupnya benar-benar tidak adil.
“Saya belum bisa ikhlas.” Bella berkata diantara tangisannya.
Dokter Febri mengangguk tanpa mengetahui apa yang dirasakan Bella. “Saya tahu, Mbak. Saya sangat tahu.”
Bella mendongak. Menatap Dokter Febri dengan matanya yang sembab lalu bertanya, “saya harus bagaimana, Dok?”
Dokter Febri tersenyum. Senyum yang menenangkan dan itu membuat Bella menangis lagi membayangkan jika wanita di hadapannya adalah Ibunya. Ibu yang sangat dia rindukan kehadirannya saat ini.
***
Bella tidak bisa menerima begitu saja kehadiran baru yang tumbuh di dalam perutnya. Dibiarkannya dirinya kelaparan seharian. Dibiarkannya dirinya hanya bergelung di atas tempat tidur satu hari penuh setelah dari tempat dokter Febri. Dia pun tidak melaksanakan apa yang dokter Febri inginkan untuk meminum vitamin. Dibiarkan saja vitamin itu masih terbungkus rapi di atas meja samping tempat tidurnya.
Ring! Ring! Ring!
Ponselnya berdering ketika hari sudah mulai beranjak malam. Dengan malas, Bella meraih ponselnya yang dia letakkan di sisi tubuhnya. Ditatapnya ponsel pemberian Evan itu. Nama ‘Mami Kartika’ terpampang di layar ponselnya. Dia tahu apa yang diinginkan Sang Induk Semang padanya. Bekerja. Sudah satu minggu dari perjanjian yang dimintanya pada Kartika saat itu.
“Ya, halo, Mami?” Bella menjawab pelan. Seluruh tubuhnya lemas bukan main sebab dia belum makan seharian dan kini dalam pikirannya ingin sekali makan nasi rawon yang dijual tidak jauh dari tempatnya tinggal. Lingkungan Kartika tinggal termasuk banyak pedagang kaki lima yang mudah dijumpai.
“Kau sakit, Bella?” Kartika bertanya penuh perhatian.
Bella memejamkan mata lalu menghela napas pelan. Diremas perutnya berharap yang ada di dalam sana menghilang begitu saja.
“Bella, kau sakit?” Kartika bertanya lagi. Memastikan. “Lemas sekali kudengar suaramu.”
Bella menahan air matanya mendengar pertanyaan Kartika. Dia ingin bercerita pada Induk Semangnya tetapi dia takut. Kartika bukanlah orang yang perhatian berlebih layaknya kepada anak kandung. Kartika merupakan orang yang perhatian sebatas anak buah dan bos. Itu saja.
“Mi,” Bella bertanya dengan suara pelan. “Boleh saya bicara empat mata?”
“Oh tentu boleh. Kau anak emasku.”
Suara Kartika yang bersemangat itu membuat hati Bella mencelus. Dia dapat membayangkan betapa kecewanya Kartika ketika mengetahui pembicaraan empat mata yang akan diutarakannya nanti.
“Kapan?” Kartika bertanya lagi ketika Bella belum juga menentukan di mana mereka akan bertemu.
Bella mengepalkan tangannya. Dia harus bersiap-siap jika Kartika memakinya atau menendangnya dari tempat tinggalnya sekarang.
“Satu jam lagi boleh, Mi?” Bella bertanya kembali pada Kartika. Dia harus mengemasi barang-barangnya dahulu. Walau hanya beberapa potong pakaian, tentu itu barang berharganya. Kenangan dari Evan untuknya. Jika bukan kenangan dari Evan, dia tidak akan membawanya serta.
“Tentu saja.” Kartika menjawab yakin. “Sepertinya ada hal sangat serius? Benar begitu?”
Bella perlahan duduk di atas tempat tidur. Pandangannya mulai berkunang-kunang sebab tidak makan seharian dan ini sudah malam. Dipegangnya kepalanya dengan sebelah tangannya. Sepertinya sebelum bertemu dengan Kartika, dia harus makan terlebih dahulu. Perutnya harus diisi agar dia dapat memberikan alasan login pada induk semangnya mengapa dia bisa hamil anak dari Evan. Dia harus mengesampingkan rasa cintanya pada Evan yang berlebihan.
“Iya, Mi.” Bella menjawab pelan.
“Kuharap bukan kabar buruk.” Kartika menjawab lugas.
Bella menutup mata. Ini adalah kabar buruk. Baginya dan bagi Kartika.
“Buka pintu rumahmu, aku ada di depan rumahmu.”
Bella segera berdiri. Dia terhuyung-huyung. Tubuh lemas dan terkejut membuatnya hampir jatuh. Tangannya dengan lemas meraba sekitar. Benda yang dia senggol berjatuhan.
“Bella!” Suara Kartika benar di depan rumahnya. “Buka pintunya!”
Lalu suara gedoran terdengar. Bella mendesis. Kepalanya sakit. Dia menyumpah serapah. Kesal bukan main pada kandungannya.
terima kasih sudah menambahkan cerita ini. ditunggu komentarnya.
“Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena
“Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu
“Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat
“Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per
Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi