Home / Romansa / Milik Sang CEO / Skenario Tuhan

Share

Skenario Tuhan

Author: nsr.andini
last update Last Updated: 2025-01-16 16:34:35

Merasa bahwa aku akan mengeluarkan kata kata yang menyakitkan, aku memilih pergi dari sana, meninggalkan Ibu yang terlihat marah akan perlakuan yang kuberikan pada Laura. Melihat Ibu semarah itu rasanya seperti hanya Laura putri satu-satunya.

Tidak sadarkah Ibu bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang melukaiku? Bagaimana bisa aku bersikap layaknya seorang Kakak jika Laura terasa asing untukku.

Ketika hendak menaiki tangga, aku menoleh ke arah Laura yang tengah duduk di sofa panjang, menatap ke arahku. Ditemani Ayah yang duduk di sofa single membelakangi ku. Mungkin jika aku dan Ibu tak sejauh itu aku akan lebih mudah menerima Laura.

Untuk melepas kefrustasian yang ada akhirnya di hari libur ini kuputuskan bertemu sahabat-ku satu-satunya. Janjian bertemu di salah satu Mall. Setelah memarkirkan mobil, aku melangkah masuk, mencari keberadaan sahabat-ku.

"Inna," panggilku saat melihat seseorang mirip Inna tengah berdiri menyamping, menatap ke arah bawah, di depan sana.

Setelah bertemu Inna, kami langsung melanjutkan ke tempat tujuan pertama yaitu bioskop. Sepakat memilih genre komedi dari pada romantis. Ketika sudah mendapatkan tiket, hendak ke Studio tempat pemutaran filmnya tanpa diduga ada hal yang membuat langkahku terhenti. Dapat aku lihat sesosok laki-laki dan perempuan yang aku kenal melangkah masuk ke dalam bioskop.

"Elea, kamu di sini." Itu Luna yang berbicara.

Tidak tahu harus berkata apa aku pun hanya bisa tersenyum.

"Jangan salah paham dulu, saya sama Rhino di sini untuk menemani Keponakan saya nonton. Kebetulan Keponakan saya dalam perjalanan. Kenapa Rhino? Karena Keponakan saya begitu dekat dengan Rhino, dia sampai menangis minta Rhino ikut, jadi saya gak bisa nolak."

Tahu apa yang dilakukan Rhino? Lelaki itu hanya diam dengan tetap berdiri di samping Luna. Untuk apa skenario jika kami berpacaran jika Rhino saja lebih berpihak pada Luna dari pada aku?! Rasanya percuma. Orang lain pun lambat laun akan merasakan ada yang janggal dari hubungan kami.

"Ayo, El." Sontak ajakan Inna membuatku undur diri dari sana. Berusaha tidak peduli urusan pribadi Rhino. Lupakan jika kita sedang berpura-pura pacaran.

Ada ruang kosong pada salah satu bangku di depan Studio tempat nonton, aku dan Inna langsung menempatinya.

"Gak ada yang mau kamu katakan, El?"

Aku tahu maksud Inna. Aku memang belum sempat cerita pada Inna soal hubungan rumit antara aku dan Rhino.

"Aku bingung mulainya dari mana."

"Perempuan yang bersama Rhino siapa? Kenapa dia harus menjelaskan itu semua sama kamu?"

Akhirnya hari ini aku ceritakan semuanya pada Inna, dan respon Inna kurang baik. Inna tidak suka jika aku harus ikut dalam kebohongan Rhino. Tidak ada yang namanya bohong demi kebaikan. Inna bilang jika Rhino memperlihatkan saja jika sampai hari ini dia belum bisa merelakan Luna. Dari pada membawa aku ke dalam masalah yang membuatku sakit sendiri. Ya, Inna tahu aku memiliki perasaan pada Rhino.

Tidak aku sangka Rhino, Luna dan sesosok anak kecil perempuan yang kelihatan seusia Laura, berhenti di depan Studio yang sama denganku. Saat Rhino duduk di sampingku dengan Luna di sampingnya yang memangku Keponakannya itu, tiba-tiba Inna yang berdiri dari duduk menarik tanganku. "Mendadak jadi mau popcorn," kata Inna.

Inna membawaku membeli popcorn. Aku hanya diam karena tahu apa yang sedang Inna lakukan. Inna hanya ingin menyelamatkanku dari rasa yang pasti menyiksa. Selesai membeli popcorn Studio telah dibuka. Aku dan Inna pun masuk ke dalam di mana Rhino dan yang lain sudah masuk lebih dahulu.

Mencari tempat duduk dan untuk kedua kalinya aku dibuat tak percaya dengan rencana Tuhan. Entah apa yang Tuhan inginkan dengan terus membuat aku dan Rhino sedekat itu. Aku dan Rhino duduk bersebelahan dengan kecanggungan yang tercipta antara kami.

"Mau tukeran?" bisik Inna.

"Aku gakpapa. Gak perlu khawatir." Lalu, mencoba memperlihatkan senyum terbaik.

Di tengah kesunyian tiba-tiba terdengar tangis anak kecil secara nyata, bukan dari layar. Sontak aku langsung menoleh ke sumber suara di mana terlihat sesosok anak kecil yang masih cukup kecil di belakang sana, sembari berdiri seorang diri. Ada apa? Apa anak itu kehilangan orang tua-nya?

Setiba di hadapan anak itu, aku berjongkok. "Adik kecil kenapa?"

"Mama. Hiks."

"Adik kecil kehilangan Mama-nya?"

Anak itu mengganggukkan kepala sembari terus menangis. "Kenapa, El?"

Aku menoleh ke arah Inna yang berdiri di belakang. "Ini loh, Na. Dia pisah sama Mama-nya."

"Kalau gitu kita cari Mama-nya."

Pada akhirnya aku dan Inna tidak menyelesaikan filmnya. Memilih membantu anak kecil itu yang sungguh kasihan.

.

.

.

Setelah bermenit-menit anak itu pun kembali pada Mama-nya. Aku dan Inna pun memutuskan singgah di salah satu Restaurant. Sepakat untuk makan mie udon. Saat sedang mengantri untuk memesan Inna mendapat telepon bahwa dia harus segera pergi karena ada masalah dengan salah satu lukisan yang minggu depan akan dipamerkan. Aku pun berakhir makan sendiri.

Ketika sedang asik makan dengan penuh ketenangan sembari scroll t*k*o*, tiba-tiba tanpa permisi duduk seorang lelaki di hadapanku dengan menu mie yang sama denganku.

"Ke mana teman kamu itu?"

"Pergi karena ada urusan mendadak. Bapak sendiri kenapa di sini? Sendirian pula."

"Karena jadwal kami hanya nonton. Jadi, Luna sudah pulang." Rhino memakan mie udonnya.

Kami yang semula datang masing-masing dengan orang lain akhirnya berada di satu meja yang sama dan hanya berdua, tanpa direncanakan. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Tapi, jika Rhino tidak menghampiriku dan memilih makan di sana, kami tidak akan berakhir makan bersama. Aku kira Rhino sudah lupa denganku karena selama ada Luna, Rhino tidak sedikit pun bicara padaku.

"Saya rasa teman kamu itu gak suka dengan saya."

Tentu saja Inna tidak suka jika ada yang mencoba menyakiti sahabatnya, walau mungkin tanpa disengaja.

"Cuma perasaan Bapak saja." Kumasukkan mie ke dalam mulut.

"Hobi kamu itu lebih mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri, ya?"

"Maksud Bapak? Saya gak ngerti."

"Kamu suka menolong orang lain di saat diri kamu sendiri sedang butuh diperhatikan." Lalu, Rhino meminum sedikit cairan berwarna hitam dingin dalam gelas.

"Kenapa? Ada masalah dengan hal itu?"

"Kamu boleh membantu orang lain tapi utamakan diri kamu sendiri dulu, El. Jangan kamu pikir saya gak tahu kalau kamu suka membantu karyawan yang gak ngerti sama tugasnya atau mau saja berbagi tugas, padahal tugas kamu sendiri sudah banyak. Terus, tadi kamu membantu anak itu di saat kamu keluar untuk mencari hiburan. Akan ada orang lain yang membantunya."

Tak ada yang salah dengan ucapan Rhino hanya saja tiba-tiba aku merasa sedih. Aku hanya ingin membantu karena selama ini tidak ada yang membantuku. Aku selalu berusaha melakukannya sendiri. Tanpa ada yang tahu bahwa terkadang aku selelah itu.

Tanpa bisa ditahan, air mata pun berhasil lolos keluar dan membasahi pipi...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Milik Sang CEO   Second Day in Seoul

    Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t

  • Milik Sang CEO   First Day in Seoul

    Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap

  • Milik Sang CEO   Buka Kado

    "Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t

  • Milik Sang CEO   Lembar Baru

    Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m

  • Milik Sang CEO   Wedding

    Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan

  • Milik Sang CEO   Obrolan Pagi

    Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status