Merasa bahwa aku akan mengeluarkan kata kata yang menyakitkan, aku memilih pergi dari sana, meninggalkan Ibu yang terlihat marah akan perlakuan yang kuberikan pada Laura. Melihat Ibu semarah itu rasanya seperti hanya Laura putri satu-satunya.
Tidak sadarkah Ibu bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang melukaiku? Bagaimana bisa aku bersikap layaknya seorang Kakak jika Laura terasa asing untukku. Ketika hendak menaiki tangga, aku menoleh ke arah Laura yang tengah duduk di sofa panjang, menatap ke arahku. Ditemani Ayah yang duduk di sofa single membelakangi ku. Mungkin jika aku dan Ibu tak sejauh itu aku akan lebih mudah menerima Laura. Untuk melepas kefrustasian yang ada akhirnya di hari libur ini kuputuskan bertemu sahabat-ku satu-satunya. Janjian bertemu di salah satu Mall. Setelah memarkirkan mobil, aku melangkah masuk, mencari keberadaan sahabat-ku. "Inna," panggilku saat melihat seseorang mirip Inna tengah berdiri menyamping, menatap ke arah bawah, di depan sana. Setelah bertemu Inna, kami langsung melanjutkan ke tempat tujuan pertama yaitu bioskop. Sepakat memilih genre komedi dari pada romantis. Ketika sudah mendapatkan tiket, hendak ke Studio tempat pemutaran filmnya tanpa diduga ada hal yang membuat langkahku terhenti. Dapat aku lihat sesosok laki-laki dan perempuan yang aku kenal melangkah masuk ke dalam bioskop. "Elea, kamu di sini." Itu Luna yang berbicara. Tidak tahu harus berkata apa aku pun hanya bisa tersenyum. "Jangan salah paham dulu, saya sama Rhino di sini untuk menemani Keponakan saya nonton. Kebetulan Keponakan saya dalam perjalanan. Kenapa Rhino? Karena Keponakan saya begitu dekat dengan Rhino, dia sampai menangis minta Rhino ikut, jadi saya gak bisa nolak." Tahu apa yang dilakukan Rhino? Lelaki itu hanya diam dengan tetap berdiri di samping Luna. Untuk apa skenario jika kami berpacaran jika Rhino saja lebih berpihak pada Luna dari pada aku?! Rasanya percuma. Orang lain pun lambat laun akan merasakan ada yang janggal dari hubungan kami. "Ayo, El." Sontak ajakan Inna membuatku undur diri dari sana. Berusaha tidak peduli urusan pribadi Rhino. Lupakan jika kita sedang berpura-pura pacaran. Ada ruang kosong pada salah satu bangku di depan Studio tempat nonton, aku dan Inna langsung menempatinya. "Gak ada yang mau kamu katakan, El?" Aku tahu maksud Inna. Aku memang belum sempat cerita pada Inna soal hubungan rumit antara aku dan Rhino. "Aku bingung mulainya dari mana." "Perempuan yang bersama Rhino siapa? Kenapa dia harus menjelaskan itu semua sama kamu?" Akhirnya hari ini aku ceritakan semuanya pada Inna, dan respon Inna kurang baik. Inna tidak suka jika aku harus ikut dalam kebohongan Rhino. Tidak ada yang namanya bohong demi kebaikan. Inna bilang jika Rhino memperlihatkan saja jika sampai hari ini dia belum bisa merelakan Luna. Dari pada membawa aku ke dalam masalah yang membuatku sakit sendiri. Ya, Inna tahu aku memiliki perasaan pada Rhino. Tidak aku sangka Rhino, Luna dan sesosok anak kecil perempuan yang kelihatan seusia Laura, berhenti di depan Studio yang sama denganku. Saat Rhino duduk di sampingku dengan Luna di sampingnya yang memangku Keponakannya itu, tiba-tiba Inna yang berdiri dari duduk menarik tanganku. "Mendadak jadi mau popcorn," kata Inna. Inna membawaku membeli popcorn. Aku hanya diam karena tahu apa yang sedang Inna lakukan. Inna hanya ingin menyelamatkanku dari rasa yang pasti menyiksa. Selesai membeli popcorn Studio telah dibuka. Aku dan Inna pun masuk ke dalam di mana Rhino dan yang lain sudah masuk lebih dahulu. Mencari tempat duduk dan untuk kedua kalinya aku dibuat tak percaya dengan rencana Tuhan. Entah apa yang Tuhan inginkan dengan terus membuat aku dan Rhino sedekat itu. Aku dan Rhino duduk bersebelahan dengan kecanggungan yang tercipta antara kami. "Mau tukeran?" bisik Inna. "Aku gakpapa. Gak perlu khawatir." Lalu, mencoba memperlihatkan senyum terbaik. Di tengah kesunyian tiba-tiba terdengar tangis anak kecil secara nyata, bukan dari layar. Sontak aku langsung menoleh ke sumber suara di mana terlihat sesosok anak kecil yang masih cukup kecil di belakang sana, sembari berdiri seorang diri. Ada apa? Apa anak itu kehilangan orang tua-nya? Setiba di hadapan anak itu, aku berjongkok. "Adik kecil kenapa?" "Mama. Hiks." "Adik kecil kehilangan Mama-nya?" Anak itu mengganggukkan kepala sembari terus menangis. "Kenapa, El?" Aku menoleh ke arah Inna yang berdiri di belakang. "Ini loh, Na. Dia pisah sama Mama-nya." "Kalau gitu kita cari Mama-nya." Pada akhirnya aku dan Inna tidak menyelesaikan filmnya. Memilih membantu anak kecil itu yang sungguh kasihan. . . . Setelah bermenit-menit anak itu pun kembali pada Mama-nya. Aku dan Inna pun memutuskan singgah di salah satu Restaurant. Sepakat untuk makan mie udon. Saat sedang mengantri untuk memesan Inna mendapat telepon bahwa dia harus segera pergi karena ada masalah dengan salah satu lukisan yang minggu depan akan dipamerkan. Aku pun berakhir makan sendiri. Ketika sedang asik makan dengan penuh ketenangan sembari scroll t*k*o*, tiba-tiba tanpa permisi duduk seorang lelaki di hadapanku dengan menu mie yang sama denganku. "Ke mana teman kamu itu?" "Pergi karena ada urusan mendadak. Bapak sendiri kenapa di sini? Sendirian pula." "Karena jadwal kami hanya nonton. Jadi, Luna sudah pulang." Rhino memakan mie udonnya. Kami yang semula datang masing-masing dengan orang lain akhirnya berada di satu meja yang sama dan hanya berdua, tanpa direncanakan. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Tapi, jika Rhino tidak menghampiriku dan memilih makan di sana, kami tidak akan berakhir makan bersama. Aku kira Rhino sudah lupa denganku karena selama ada Luna, Rhino tidak sedikit pun bicara padaku. "Saya rasa teman kamu itu gak suka dengan saya." Tentu saja Inna tidak suka jika ada yang mencoba menyakiti sahabatnya, walau mungkin tanpa disengaja. "Cuma perasaan Bapak saja." Kumasukkan mie ke dalam mulut. "Hobi kamu itu lebih mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri, ya?" "Maksud Bapak? Saya gak ngerti." "Kamu suka menolong orang lain di saat diri kamu sendiri sedang butuh diperhatikan." Lalu, Rhino meminum sedikit cairan berwarna hitam dingin dalam gelas. "Kenapa? Ada masalah dengan hal itu?" "Kamu boleh membantu orang lain tapi utamakan diri kamu sendiri dulu, El. Jangan kamu pikir saya gak tahu kalau kamu suka membantu karyawan yang gak ngerti sama tugasnya atau mau saja berbagi tugas, padahal tugas kamu sendiri sudah banyak. Terus, tadi kamu membantu anak itu di saat kamu keluar untuk mencari hiburan. Akan ada orang lain yang membantunya." Tak ada yang salah dengan ucapan Rhino hanya saja tiba-tiba aku merasa sedih. Aku hanya ingin membantu karena selama ini tidak ada yang membantuku. Aku selalu berusaha melakukannya sendiri. Tanpa ada yang tahu bahwa terkadang aku selelah itu. Tanpa bisa ditahan, air mata pun berhasil lolos keluar dan membasahi pipi..."Kita jarang sarapan bareng, jadi biar saya suapin kamu," katanya santai.Aku melirik ke arah di mana Bara bisa tiba-tiba muncul. Takut Bara tiba-tiba muncul lagi dan meledek kami. Tapi melihat ekspresi Rhino yang serius, aku akhirnya membuka mulut dan menerima suapannya.Rhino tersenyum puas. "Gitu dong."Aku mendelik pelan. "Jangan manja, Kak.""Saya kan memang manja sama kamu."Aku menghela napas, tetapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahku. Makan pagi ini terasa berbeda-lebih hangat, lebih berarti. Aku menyadari bahwa sejak Rhino mengingat semuanya, aku semakin menikmati setiap momen bersamanya.Tiba-tiba, Evelyn muncul dengan wajah mengantuk, mengucek matanya. "Mama ... Om Rhino ... lagi ngapain?"Rhino tersenyum lebar, lalu membuka tangannya. "Sini, sayang." Sayang? Apa itu efek Rhino ingin kembali padaku? Dia sampai membuka hati secepat itu untuk anak yang orang asing tahunya anak Bara.Evelyn berjalan mendekat, lalu duduk di pangkuan Rhino tanpa ragu. Aku mengangkat
Aku dan Rhino sama-sama terkejut mendengar suara Bara yang tiba-tiba muncul. Saat menoleh, Bara sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi sulit ditebak."Gak bisa," katanya dengan suara datar.Aku langsung tegang. Rhino juga terlihat kaku, kedua tangannya yang tadi memegang pinggangku perlahan-lahan turun. Kami bertiga saling menatap dalam keheningan yang terasa begitu lama.Tapi, tiba-tiba, senyum tipis muncul di wajah Bara. "Gak bisa melihat Evelyn lebih sayang sama Rhino nantinya."Aku mengerutkan kening. "Apa?"Bara terkekeh kecil, lalu melangkah masuk ke Kamar dengan santai. "Kalian tegang banget. Saya cuma bercanda," katanya sambil menepuk bahu Rhino. "Gue senang akhirnya lo bisa ingat semuanya."Rhino menghela napas lega dan tersenyum kecil. "Lo gak marah?"Bara menggeleng. "Marah? Buat apa? Dari awal gue nikahin Elea, gue tahu hati dia bukan buat gue. Gue cuma berharap kalian bisa lebih bahagia dari sebelumnya."Aku merasa hangat mendengar kata-kata Bara. Pria itu memang t
Selesai makan, sebelum meninggalkan Restaurant, kami menyempatkan foto bersama dan itu ide Rhino yang katanya ingin menyimpan kenangan kebersamaan kami saat ingatannya tentangku hilang.Ketika kami semua telah berdiri dari duduk, tiba-tiba Evelyn menyuruh Rhino berjongkok. Rhino yang bingung pun ikut saja. Tidak aku sangka Evelyn akan naik ke punggung Rhino. Ternyata anak itu ingin digendong belakang. Sejak kapan Evelyn begitu dekat dengan Rhino sampai ingin digendong?Dengan wajah tanpa beban justru terlihat senang Rhino menggendong Evelyn. "Mama jangan iri ya," kata Evelyn yang tidak benar-benar mengerti dengan yang diucapkannya."Kalau kamu mau, saya masih kuat untuk menggendong kamu."Sungguh tidak terduga ucapan yang keluar dari mulut Rhino! Aku yang mendengar hal itu sontak memukul lengan Rhino sedikit keras agar dia sadar bahwa di antara kami ada Evelyn. Jangan membuatku malu di depan Evelyn, seperti itulah artinya.Kubiarkan Rhino berjalan di depanku bersama Evelyn, aku mengik
Malam semakin larut, dan Rumah mulai terasa lebih sunyi setelah Evelyn akhirnya tertidur. Aku menghela napas lega, memastikan dia nyaman di tempat tidurnya sebelum menutup pintu Kamarnya dengan perlahan.Saat ingin menuju Dapur, aku melihat Bara sudah duduk di meja makan, seperti menungguku dengan tatapan serius. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menatap gelas air di depannya dengan ekspresi yang sulit kuartikan.Aku tahu dia ingin bicara, dan aku juga tahu apa yang ingin dia bicarakan.Dengan langkah pelan, aku berjalan mendekat dan duduk di seberangnya. Sesaat, hanya ada keheningan di antara kami. Bara terlihat seperti sedang memilih kata-kata yang tepat sebelum akhirnya membuka suara."Kamu lihat sendiri tadi, kan?" suaranya terdengar dalam, sedikit lebih pelan dari biasanya.Aku mengangguk. "Iya."Bara menghela napas, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja. "Rhino ... sepertinya semakin banyak mengingat sesuatu."Aku menggigit bibir. "Dokter bilang itu hal yang wajar.""Say
Setelah mendapatkan boneka kelinci impiannya, Evelyn masih belum puas. Dia menarik tanganku dengan penuh semangat, menunjuk ke area permainan."Mama, Lyn mau main di sana!" katanya, matanya berbinar penuh antusias.Aku menoleh ke arah Bara, yang langsung mengangguk. "Ayo, sekalian kita habiskan waktu bersama."Inna, yang berdiri di sampingku, hanya tersenyum tipis. "Aku gak keberatan, selama Evelyn senang."Aku melirik Rhino yang sejak tadi lebih banyak diam, lalu berkata, "Kalau kamu sibuk atau ada urusan lain, gak apa-apa kalau mau pulang dulu, Kak."Rhino menatapku dengan ekspresi yang sulit kutebak sebelum akhirnya menggeleng. "Saya ikut."Kami pun berjalan menuju area permainan anak-anak. Tempat itu cukup ramai dengan berbagai wahana seru seperti trampolin, perosotan raksasa, dan kolam bola warna-warni. Evelyn langsung berlari ke arah wahana perosotan yang memiliki terowongan berwarna-warni.Aku dan Inna memilih duduk di bangku dekat area permainan sambil memperhatikan Evelyn yan
Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus atau tidak, tapi melihat Evelyn begitu semangat saat tahu aku mengundang Inna, aku jadi merasa tidak terlalu bersalah."Tante Inna harus datang! Harus!" Evelyn merajuk tadi, memegangi tanganku dengan wajah penuh harapan. Aku hanya bisa mengangguk dan akhirnya menghubungi Inna, yang sempat ragu sebelum akhirnya setuju datang.Dan sekarang, di sebuah Restoran di dalam Mall, aku duduk di satu meja dengan dua pria dan satu wanita yang memiliki sejarah yang rumit.Bara duduk di seberangku, dengan Evelyn di sampingnya. Di sebelah Evelyn ada Inna, lalu Rhino duduk di sampingku.Keheningan sesaat menyelimuti meja begitu pesanan kami datang. Aku bisa merasakan kecanggungan yang hampir bisa dipotong dengan pisau. Bara terlihat sedikit kaku, sesekali melirik Inna yang tampak tenang, meskipun aku tahu dia juga pasti merasa aneh.Aku melirik Rhino yang dari tadi diam saja. Mungkin masih memikirkan kejadian hari itu di Lobi di mana aku belum memberinya jawab