Share

A Decision

“Zi, Ghazi, ila aina?” Sebuah seruan terdengar di antara riuh rendah euforia kelulusan para santri Ma'had yang meluapkan kegembiraan atas kelulusannya. Suara yang berseru memanggil tadi milik seseorang yang selama sepuluh tahun terakhir sangat dekat denganku, bahkan seperti saudara. Dia Zainul, sahabatku sejak dari pesantren jenjang wustho dahulu di salah satu ponpes di Sulawesi tepatnya di sebuah desa bernama Enrekang.

Ma'had Aly atau pesantren tinggi adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang jenjang pembelajarannya setara dengan kuliah strata satu di sebuah universitas. Jadi pada dasarnya, Ma'had Aly itu mirip seperti universitas atau sekolah tinggi, akademi dan semacamnya. Hanya saja, Ma'had Aly berkonsentrasi di bidang keagamaan dan fokus mencetak da'i-da'i muda yang berkompeten dan mampu menjawab tantangan zaman.

“Sebentar, Nul. Ada sesuatu yang harus ana bicarakan sama Ustadz Faisal.” Aku menghentikan langkah lalu membalikkan badan, berseru keras kepada Zainul agar suaraku tidak tenggelam di antara keriuhan teman-teman yang sedang bergembira, saling berpelukan haru, memberi ucapan selamat dan tentu salam-salam perpisahan yang memilukan, karena setelah ini, boleh jadi kita tidak bertemu lagi dalam kurun waktu yang lama.

Aku melangkahkan kaki dengan cepat menyusul Ustadz Faisal yang semakin menjauh. Sebenarnya, bisa saja aku berteriak kencang memanggil nama Ustadz Faisal untuk menghentikan langkah beliau, tetapi itu tidaklah sopan. Apalagi terhadap sang guru, tentu akan nampak tidak beradab sebagai seorang santri. Sebenarnya adab seperti itu tidak hanya harus ada dalam diri seorang santri saja, tetapi seharusnya adab menghormati dan memuliakan guru itu dimiliki oleh semua murid dan mahasiswa. Karena tanpa jasa para pemberi ilmu, kita tak pernah dapat mencapai apa pun dalam hidup. Kita tak dapat mencecap manisnya buah ilmu pengetahuan tanpa penjelasan dari mereka. Sambil terengah-engah akhirnya langkahku menyejajari langkah Ustadz Faisal, beliau nampak keheranan melihatku kehabisan napas.

“Assalamu'alaikum, Ustadz.” Senyum mengembang dari bibirku sambil mengucapkan salam.

“Wa’alaikumussalam-- eh, Ghazi. Ada apa?” Beliau mengernyitkan dahi melihatku mengatur napas, aku hanya membalas dengan senyuman.

“Saya ingin bicara sebentar, apakah Ustadz ada waktu?” Napasku sudah mulai normal kembali, tidak memburu seperti tadi.

“Ada sesuatu yang penting?” Aku terhenyak, sebenarnya hal ini tidak terlalu penting, tetapi penting untuk kusampaikan saat ini.

“Eh, tidak terlalu penting, sih, Ustadz. Hanya--.” Kalimatku terhenti sejenak, Ustadz Faisal tersenyum kepadaku, memahami bahwa mungkin ada sesuatu yang hendak disampaikan santrinya, beliau lantas mengajakku masuk ke dalam ruangan.

“Kita bicara di sana saja, agar lebih nyaman.” Ustadz menunjuk ke arah lobi kantor, padahal menurut perkiraanku beliau hedak pergi mengendarai mobil, karena arah beliau tadi menuju tempat parkir dekat gerbang depan. Mungkin beliau akan bepergian jauh.

“Eh apa tidak apa-apa?” Aku sedikit canggung dan merasa tidak enak. Namun Ustadz Faisal hanya tersenyum lalu mendahului melangkah menuju lobi.

Melihat beliau yang sudah berjalan di depan, aku hanya menggaruk kepala sambil patah-patah menyejajari langkah, kali ini memang tidak perlu sambil berlari. Ustadz Faisal justru merangkul pundakku sambil berjalan beriringan seperti seorang karib. Ustadz Faisal adalah seorang pendidik yang selalu membuat kami merasa seolah sedang tidak sedang belajar di kelas, segala pembelajaran seakan seperti pembicaraan ringan antar kawan karib. Usia beliau masih terbilang muda, baru menginjak kepala empat. Lebih tepatnya empat puluh tiga tahun. Namun tubuh itu masih nampak tegap dan segar, dada yang bidang dan bahunya lebar. Wajah pria melayu itu selalu cerah dan teduh dengan tatapan mata tajam dan meyejukkan. Senyum tak pernah lekang dari bibir beliau. Sama sekali tak terlihat tanda-tanda pengikisan sel akibat usia yang kian bertambah dari wajah itu, kerutan halus samar hampir tak terlihat jika tidak diamati dengan seksama. Rambut setengah ikal beliau terkadang tergerai hingga batas telinga, tetapi tak pernah dibiarkan hingga menyentuh bahu. Saat ini gaya rambut belah tengah itu terpotong rapi tanpa memperlihatkan sehelai uban pun tumbuh.

Saat berbicara dengan kami, beliau tak pernah memposisikan diri berasa di atas kami, pun ketika sedang menyampaikan ilmu. Beliau selalu memperhatikan pendapat dari kami seremeh apa pun itu. Beliau lebih seperti seorang sahabat dari pada guru bagi kami. Kami memasuki ruangan dengan pintu lebar dan agak tinggi. Pintu tersebut memiliki ornamen yang rumit dan unik seperti ornamen-ornamen yang biasa terdapat dalam bangunan di timur tengah. Jendela kaca riben tebal yang tinggi simetris di sisi kiri dan kanan daun pintu. Ruangan ini sebenarnya cukup besar, hanya sekat-sekat buatan di beberapa sisi membuat tempat ini seolah kecil dengan beberapa ruangan tambahan di dalamnya. Namun begitu, kesan nyaman dan bersahabat tak dapat dielakkan terpancar dari interior gedung ini. Lobi ini juga cukup nyaman dipakai sebagai ruang tunggu dan penerimaan tamu, dengan pencahayaan dan ventilasi yang memadai, dinding bernuansa hijau dan pendingin ruangan menyala dengan suhu pas. Ustadz Faisal memasuki salah satu bilik yang terbuat dari sekat triplek yang dibangun sedemikian rupa menyerupai dinding permanen dengan pintu yang hanya dibatasi gorden berwarna marun.

“Duduklah, Zi” Ustadz sudah duduk dengan nyaman di salah satu sofa sudut. Tangan beliau menepuk dudukan sofa di sampingnya sebagai isyarat agar aku tidak hanya berdiri di samping gorden.

Ruangan ini tidak terlalu besar, hanya sekitar lima meter dengan lebar tiga meter. Sebuah sofa kecil berwarna gading di sebelah barat hampir memenuhi separuh dari ruangan ini, meja kaca minimalis yang di atasnya terletak kotak tissue daur ulang sampah plastik yang nampak cantik, bahkan tak terlihat seperti dibuat dari bahan bekas. Kitab Riyadhussalihin berada di samping kotak tissue berseberangan dengan toples permen dan kue kering. Di atas sofa, tergantung kaligrafi indah di dinding semi permanennya. Lalu di sebelah timur, jam dinding berbentuk bulat persis seperti doorprize yang biasa di dapat dari koperasi atau toserba menempel di dinding atas, berdetak tanpa lelah demi menunjukkan waktu dengan akurat.

“Sebelumnya, saya minta maaf, Ustadz.” Aku berbicara dengan hati-hati, mataku terpaku pada ornamen kotak tissue yang indah.

Ustadz Faisal memperhatikanku dengan serius, membuat lidah semakin kelu dan bingung memilih kata untuk dipintal menjadi kalimat yang tepat. Detik jarum jam bergerak sesuai dengan suara tik-tak tik-tak yang seirama degub jantung, melaju tanpa henti seolah tak memiliki rasa lelah. Sebuah jarum kecil yang memberi filosofis besar dalam pemaknaannya pada hidup. Bahwa sebuah perjuangan, harus terus bergerak maju selangkah demi selangkah. Ia harus terus bergerak tanpa merasa lelah, hingga keletihan itu sendiri yang menyerah kalah kepada para pejuang. Pun begitu perjuangan dalam dakwah, menit tak akan pernah ada tanpa kumpulan detik dan jam tak akan pernah utuh tanpa hadirnya menit-menit. Maka dakwah sejatinya dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten dan berkelanjutan. Sebuah ilham yang akhirnya mengubah arah hidupku.

“Mengenai tawaran S2 itu, mungkin bisa lain kali saja. Saya ingin mencoba mengabdikan diri pada masyarakat,” ujarku mantap, tanpa rasa ragu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status