Share

Milky Way on The Midnight Starlight
Milky Way on The Midnight Starlight
Penulis: Vie Muthiyya

Bintang Antares

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Qs: Az-Zumar: 53)

Seorang mubaligh muda membacakan penggalan ayat dalam Al-Qur'an dengan suara yang jernih dan fasih, alunan nadanya pun juga merdu. Baru kali itu aku melihat pemuda itu di sini, pantas saja pengajian malam ahad kali ini ramai sekali. Aku melongok ke depan mimbar dengan sedikit mendongakkan kepala, wajahnya tidak terlihat seperti penduduk desa sini atau desa-desa sebelah, sepertinya dia memang bukan penduduk sekitar sini.

“Di, itu siapa, sih?” Tanganku masih sibuk membagikan snack kepada para jama'ah pengajian yang lumayan banyak kali ini, bahkan emperan masjid pun masih harus digelari tikar saking membludaknya jama'ah. Anak-anak, remaja, hingga para ibu-ibu muda memenuhi yang tempat ini sebagian kutahu berasal dari desa sekitar.

“Awakmu gak ngerti Ustadz kae? Ustadz anyaran soko pondok terkenal iku. Hafizh katane, hapal Qur'an lho, Tang. Dehh ... seminggu ndek kene langsung dadi primadonane cewek-cewek. Yo termasuk koncomu iku, si Rani.”* Ardi berkata setengah berbisik sambil mengangsur gelas-gelas berisi teh hangat kepadaku.

“Mosok, tah? Kok aku ndak eruh, ya?”** gumamku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

“Awakmu ikuloh, suibuk. Sampek gak ngerti desone dewe. Wes, gek ayo ngewangi nang kidul kono.”*** Lelaki itu menarik tanganku agar segera berpindah ke tempat lain. Masih banyak jama'ah yang harus dilayani.

Pengajian malam ahad kali ini benar-benar diluar ekspektasi, snack yang sudah dibuat dua kali lipat lebih banyak ternyata tak cukup untuk seluruh jama'ah. Terpaksa para petugas dan pemuda yang membantu di dapur dan area parkir tidak mendapatkan jatah snack yang sama. Tumben sekali mereka, biasanya, jama'ah tarawih yang setahun sekali saja, penuhnya cuma di hari pertama ramadhan. Apalagi para abege-abege ini, huh ... disuruh ikut kajian rutin Forisma saja, nanya dulu snacknya apaan. Mereka ini mau kajian apa numpang makan sebenernya?

“Di, kamu suruh anak-anak gih, beli camilan buat yang dibelakang. Abis nih, kardusnya.” Aku berpaling kepada Ardi, lelaki berperawakan sedang dengan bentuk wajah khas pesisir berpotongan rambut cepak itu.

Kurogoh isi dompet kulit warna pastel berdesain feminim lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas berwarna biru dan hijau. Setelah mondar-mandir membagikan snack dan minuman kepada para jama'ah, rasanya perut ini jadi keroncongan. Ditambah lagi angin musim kemarau yang meniupkan hawa dingin menusuk kala malam mulai larut. Aku melirik pergelangan tangan yang melingkar dengan manis jam tangan buatan jerman. Pukul 21.30, malam ternyata sudah mulai larut, pantas saja hawa begitu dingin menusuk. Aku menyilangkan tangan di dada sambil sedikit gemetar. Namun sepertinya kajian dari sang Ustadz belum menandakan akan berakhir.

“Makanya, bawa jaket. Udah tahu alergi dingin. Ngeyel.” Ardi melepas jaket yang dikenakan lalu menyelubungi pundakku dengannya diiringi sorakan gaduh dari para pemuda yang menyaksikan kelakuan sok heroik Ardi. Aku hanya nyengir lebar sambil menggaruki lengan yang mulai gatal, mengacuhkan sorakan ‘cie-cie’ usil dari mereka.

Ini bulan ketiga musim kemarau yang dingin menusuk tulang. Angin kemarau di malam hari terkadang bisa lebih menusuk dari pada saat musim penghujan. Seperti saat ini, angin dingin yang kering menggigiti kulit, rasa gatal pun mulai menjangkiti seluruh tubuh. Mula-mula dari lengan, bagian bawah kaki, lalu menjalar hingga leher. Semoga kali ini wajahku tidak bengkak dan merah-merah seperti dulu. Jika alergi yang menjangkit sangat parah, bahkan wajahku terlihat menggembung seperti habis disengat rombongan tawon.

Aku mengeratkan jaket pemberian Ardi di tubuh sambil berjalan menuju pelataran masjid untuk mengusir rasa gatal yang makin menyakitkan. Langit malam ini sangat bersih, purnama bersinar tanpa terhalang mega, bintang-bintang berkelip cemerlang, cantik sekali. Sebuah kilau gemintang yang sangat cerah mencuri perhatianku. Antares, bintang yang berasa di tatanan paling ujung rasi scorpion. Ah, benar saja, milk way sudah mulai muncul, tapi bukankah ini masih terlalu senja untuk kemunculan milk way? Kulirik kembali arloji di pergelangan, ternyata sudah lebih dari jam sepuluh malam. Para warga yang mengikuti pengajian sudah berhambur pulang, tinggal remaja dan pemuda yang mulai membereskan masjid.

وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan gugusan bintang di langit dan menjadikannya terasa indah bagi orang yang memandang(nya). (Qs: Al-Hijr: 16)

Sebuah lantunan merdu dari penggalan kalamullah mengalun dari arah barat. Seorang pria mengenakan kurtah yang menutup hingga bawah lutut dipadu dengan chinos berwarna gelap berdiri sambil menengadahkan kepala menatap bintang-bintang. Kutaksir tinggi pria itu hanya sekitar seratus enam puluhan senti meter saja dengan bentuk tubuh yang cukup walau tak bisa dikatakan proporsional. Rambut itu terpotong rapi disisir dengan gaya belah samping, wajahnya oval dengan dagu sedikit lancip. Garis matanya nampak tegas dilihat dari sisi ini, aku buru-buru memalingkan wajah.

“Saya lihat kamu serius sekali memperhatikan langit, saya pikir kamu sedang mengagumi bintang.” Pria itu menoleh sebentar ke arahku lalu kembali menatap ke depan sambil berbicara, “Itu surah--.”

“Al-Hijr ayat lima belas,” potongku ketus, “Aku tahu itu,” ujarku sambil berlalu meninggalkannya yang terbengong sendirian.

Orang yang suka pamer itu menyebalkan. Memangnya siapa yang minta dibacakan tentang ayat itu, ayat yang sering diceritakan orang menyebalkan itu mengenai bintang-bintang dan larangan mengikuti ramalan bintang. Antares, bintang yang paling kukenali karena dia berada di ujung rasi scorpion dan hampir sering terlihat muncul bersama milky way. Sebagai gantinya dia menceritakan tentang sirius. Orang menyebalkan itu, dasar! Bahkan dia tak juga pulang saat ini.

Saat aku berjalan ke belakang masjid, masih kudengar Ardi berjalan menghampiri dan bercakap dengannya tentang tingkahku. Ketua pemuda itu selalu saja merasa harus meluruskan kesalahpahaman orang terhadap tingkah dan perkataanku, padahal aku tak pernah mau mengambil pusing soal itu.

“Maaf, Ustadz. Lintang memang suka ketus sama orang yang baru dikenalnya, terlebih lelaki,” ujar Ardi sambil menepuk bahu pria itu dan tersenyum.

“Oo, e-eh. Iya gakpapa, saya mengerti.” Senyumnya terlihat manis, aku masih memperhatikan dari belakang tanpa sepengetahuan mereka berdua beberapa menit, lalu bergegas menuju dapur untuk membantu mencuci sisa gelas teh sebelum kepergok keduanya.

Mereka masih saling mengobrol saat kutinggal, entah membicarakan apa, lagipula aku tak peduli. Jarum jam menunjukkan bahwa waktu sudah hampir tengah malam, gatal ditubuhku semakin menjadi. Sejak tadi menahan rasa gatal agar tangan tidak menggaruk kulit rasanya sungguh menyiksa, sekarang kurasakan wajah ini sedikit memanas. Kunaikkan resleting jaket milik Ardi yang masih menempel di badan hingga batas leher. Hiihh ... rasa gatal ini menyiksa sekali, tangan ini sudah tak tahan untuk menggaruk ke sana ke mari, tetapi celakanya sekali menggaruk, ini akan sulit dihentikan. Garukan hanya memperparah rasa gatal dan ruam merah di tubuh semakin banyak.

“Tang! Mukamu kenapa? Merah banget itu, ya Allah. Kamu kumat lagi? Pulang aja gih, sana.” Rani menghampiri lantas memeriksa ruam dan bintik-bintik merah di wajah dan lenganku dengan panik, membuat yang lain ikut heboh memeriksa.

Teriakan Rani yang heboh membuat penasaran anak-anak lainnya yang langsung datang menuju dapur. Mereka mengerumuniku seolah melihat makhluk dari Andromeda yang baru turun dari pesawat luar angkasa dengan enam kaki dan lima pasang mata di tiga kepala dalam satu badan. Aku benci menjadi pusat perhatian, hal-hal semacam itu membuat gerah dan sulit membebaskan ekspresi. Dapur masjid mulai penuh dengan remaja baik lelaki ataupun perempuan yang melongok memperhatikan keadaanku. Kasak-kusuk mulai terdengar di segala penjuru.

“Mbak Lintang kenapa?” Seseorang bertanya pada salah seorang dari dapur yang hanya dijawab dengan mengangkat bahu, mata mereka kembali memperhatikanku.

“Duh, kok merah gitu mukanya?” yang lain mulai menimpali.

“Hish, kalian ngapain, sih? Aku gakpapa, buruan selesein beberesnya. Emangnya kalian mau semalaman di masjid, ha? Akusih ogah!” Setengah membentak kuperintahkan kepada kerumunan orang itu kembali pada pekerjaan masing-masing yang terbengkalai.

Mereka bubar dengan gumaman menggerutu yang tak jelas arahnya. Aku tak peduli bahkan jika mereka merasa empati dengan sakitku, toh nyatanya mereka tak membantu banyak. Hanya memperhatikan sambil bergumam mengucap kata kasihan dan memasang wajah innocent yang memuakkan. Tak sedikit pun mengurangi rasa gatal, justru membuatku ingin memggaruki mereka satu demi satu menggunakan sapu lidi.

Footnote:

*Kamu gak tahu siapa Ustadz itu? Ustadz baru dari pondok yang terkenal itu, lho. Hafizh katanya, hafal Qur'an lho, Tang. Dehh ... seminggu di sini dia langsung jadi idola para wanita. Ya termasuk temanmu itu, si Rani

**Masa, sih? Kok aku gak tahu, ya?

***Kamu ituloh, terlalu sibuk. Sampai gak paham perkembangan desanya sendiri. Udah, ayo buruan bantuin yang di sebelah barat sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status