Share

On The Midnight without Star

Terkadang, rasa cinta itu memang harus disampaikan dengan cara yang paling menyakitkan. ~Milkyway on The Midnight Star~

Bukankah rasa cinta itu anugerah paling besar yang diberikan Tuhan kepada makhluk-Nya. Maka sebuah anugerah tak akan pernah menjadi terlalu menyakitkan. ~Lintang Kiani~

                               ~○0○~

“Wess, embuhlah, Tang. Sak karepmu! Angel pancen ngomong mbi awakmu iku.” Aku hanya terkekeh sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah temanku yang mulai hilang akal karena serangan virus merah jambu. Dasar cewek bucin.

Sebuah rumah berpagar pohon teh-tehan yang mengitari halaman luas dengan sekumpulan tanaman bunga di sisi kiri yang tertata dibatasi kricak dan bebatuan yang melingkar memanjang, pohon buah yang kokoh dan menjulang, jambu air, mangga dan rambutan berdaun lebat di sisi kanan juga dibatasi oleh batu yang berjajar sedemikian rupa menyisakan jalan setapak tertutup kerikil di antara keduanya hingga menuju serambi rumah bertiang kayu jati dengan gaya kuno.

‘Akhirnya sampai,’ batinku sambil mengembuskan napas lega. Telinga ini hampir pekak mendengar ocehan tentang pria pesantren itu dari mulut Rani yang tak punya tanda titik. Jangankan tanda titik, jeda pun dia tak rela meletakkan barang sepenggal.

"Eh, udah sampe rumah aja. Gak kerasa ya, Ran. Hehe, suwun udah nganter. Danke schon, bis spter en guten nacth, Ran." Aku membalik badan, tersenyum menghadap Rani untuk berpamitan dan beranjak menuju halaman rumah.

"Awakmu iku nomong opo tho, Tang. Mesti kui sing ngajari Kang Akhtar, yo? Bahasa londo iku a, Tang?" Langkahku terhenti sambil tersenyum kecil mendengar komentar Rani yang ceplas-ceplos itu.

"Jerman, Ran. Bukan Belanda," jawabku sambil melempar senyum.

"Yo sama, londo juga. Bule maksudnya. Kang Akhtar hebat, ya? Habis dari Turki terus ke Jerman." Selorohan Rani hanya kubalas dengan senyuman. Apanya yang hebat? Menyebalkan, iya.

"Ya udah, Tang. Aku pamit dulu, Assalamu'alaikum." Rani melambaikan tangan sambil tersenyum manis.

Aku membalas lambaian tangan Rani lalu melompat-lompat kecil melewati kerikil yang sengaja dipasang untuk mempercantik jalan setapak menuju rumah dengan riang. Sejenak aku lupa pada ruam dan gatal yang sejak tadi menggigit kulit. Sebelum membuka pintu depan, kubalikkan badan dan melambai ke arah Rani sebagai ucapan terima kasih telah mengantar hingga ke rumah.

                                   ~○0○~

Mataku masih belum dapat terpejam, setelah mendapat omelan beruntun dari ibu dan mas Adib tentang ‘tidak bisa menjaga diri sendiri’ yang berujung pada kata ‘nikah’. Menyebalkan, apa korelasinya coba antara alergi, ndak bisa jaga diri dengan menikah. Jauh banget ‘kan, simpangannya? Gak nyambung mereka, dasar Jaka Sembung!

Mbak Diah iparku, istri Mas Adib hanya tersenyum prihatin melihat penganiayaan yang dilakukan suaminya kepada sesama saudara sendiri yang tengah menderita karena gatal alergi yang tak kunjung hilang itu. Terkadang, rasa cinta itu memang harus disampaikan dengan cara yang paling menyakitkan. Walau begitu, aku masih tak memahami filsuf yang mengatakan hal itu menelaah kalimatnya dari sudut pandang mana, karena semakin kuulang peribahasa tersebut, semakin membuatku merasa bahwa cinta macam itu mengerikan sekali. Merasa seolah aku hanyalah budak dari rasa cinta itu sendiri, bukankah rasa cinta itu anugerah paling besar yang diberikan Tuhan kepada makhluk-Nya. Maka sebuah anugerah tak akan pernah menjadi terlalu menyakitkan.

Ghazi, tiba-tiba nama itu muncul begitu saja dalam benak. Ghazi adalah julukan pasukan tentara Turki yang menyerang konstantinopel dan pemimpin mereka saat konstantin terjatuh adalah-- Fatih. Muhammad Al-Fatih. Aku memejamkan mata dengan paksa, menghadapkan wajah ke kanan setelah menarik selimut lalu berdoa dan mencoba tidur. Aku tak mau benakku dipenuhi nama Ghazi atau Fatih. Cukup Rabbi, tidak lagi. Lampu kamar telah padam beberapa detik lalu, hening dan gelap menaungi kamar tidur, membuatku mau tak mau lelap dibuai mimpi.

                               ~○0○~

Aku terhenyak, dadaku naik turun seolah kehabisan napas karena lelah berlari keliling lapangan bola sebanyak sepuluh kali. Tangan dan tubuh ini masih gemetaran, kunyalakan lampu kamar, melirik jam di atas nakas, jam setengah empat pagi. Satu jam lagi adzan subuh berkumandang. Kusingkap selimut dari tubuh dan beranjak menuju kamar mandi. Dulu, saat masih berusia belasan, ayah yang tak pernah bosan menggedor pintu kamar pukul tiga atau empat pagi hingga aku membukanya lalu beranjak ke kamar mandi untuk wudhu.

“Salah satu waktu di mana doamu tak akan tertolak adalah di sepertiga malam, waktu tahajjud.” Kalimat Ayah kala itu masih selalu terngiang dalam benak.

Hawa dingin menusuk tulang ketika air keran membasuh telapak tangan, bintik kecil di sekujur badan sudah mulai pudar seiring rasa gatal yang menghilang. Minyak darinya ternyata lumayan manjur, biasanya gatalku akan menghilang setelah sehari sampai dua hari, ini baru semalaman, tetapi gatal itu sudah tak terasa lagi.

“Seharusnya tayamum saja dulu, nanti tambah parah lagi.” Mas Adib berdiri di depan pintu kamar mandi, menatapku penuh rasa prihatin.

“Udah hilang nih, bentolnya. Tinggal merah-merahnya doang, udah sembuh insyaallah, Mas.” Aku menunjukkan lengan dan punggung tangan yang tak lagi berbintik-bintik.

“Tumben cepet banget sembuhnya, biasanya juga seharian gak mandi. Kayak embek.” Mas Adib mulai menggodaku, seolah sehari baginya tak bermakna tanpa kalimat-kalimat yang mengganggu.

“Biarin, wee ...,” balasku tak mau kalah. Bagaimana pun, memang seperti ada yang kurang jika satu hari saja Mas Adib tak menggodaku, hal itu sudah seperti rutinitas harian saja. Tangan Mas Adib mulai maju untuk menjitakku yang langsung segera kutangkis dengan sigap.

“Ngomong-ngomong pakai obat apa bisa cepet sembuh gitu?” Dia penasaran karena bentol alergiku hampir tak terlihat lagi di lengan.

Aku hanya tersenyum sambil menurunkan lengan dasterku. Aku memang terbiasa memakai gaun berlengan panjang meski di dalam rumah hanya mas Adib satu-satunya lelaki yang bersama kami. Selain berguna untuk mengurangi hawa dingin daerah pegunungan yang menusuk kulit, itu juga yang telah dibiasakan Ayah apalagi saat dulu orang itu sering pulang bermalam di sini. Dia tak mau keluar kamar jika melihatku berpakaian ketat sedikit saja, apalagi pakaian yang terbuka.

“Dikasih minyak sama si Ghazi semalem. Tau minyak apa, baunya gak enak banget, tapi manjur, sih. Nih, buktinya.” Aku menunjukkan wajah dan punggung tangan yang tak lagi terdapat ruam.

“Ghazi, siapa?” Mas Adib menghentikan kegiatannya yang hendak berwudhu. Ahh, dasar aku, kenapa juga harus nyebut nama dia.

“I-ituu, Ustadz yang mukim di masjid kita buat dakwah, yang tadi malem ngisi pengajian itu.” Aku menggaruk kepala yang tak gatal, Mas Adib menatap dengan pandangan yang aneh. Aku hanya memainkan bola mata ke kiri dan kanan.

“Perasaan namanya Aqsa, bukan Ghazi.” Mas Adib tambah menatap heran, alis lebat itu saling bertaut, telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk dagu. Khas gaya Mas Adib saat memikirkan suatu hal dengan keras.

Sekarang, gantian aku yang mengerutkan kening. Sepertinya semalam dia menyebut namanya Ghazi, bukan Aqsa. Lalu kenapa mas Adib bilang namanya Aqsa, ada berapa ustadz yang mukim di tempat kami? Aku memejamkan mata sambil menggigit bibir bawah, mengingat kembali yang dia ucapkan di serambi kepadaku semalam sesaat sebelum pulang. Benar, aku tak salah ingat, dia memang menyebut dirinya Ghazi.

“Rasanya semalam dia emang sebut gitu, Ghazi. Kali yang kenalan sama Mas Ustadz lain kali, bukan dia,” selorohku asal saja sambil berpura-pura sibuk memperhatikan dinding dan pintu belakang.

Dasar aku! Kenapa juga yang keluar justru nama Ghazi, sih. Padahal semalam aku sama sekali tak bisa mengingat nama pria itu, tetapi memang benar namanya Ghazi kan? Masih berusaha bersikap wajar, aku membalas tatapan Mas Adib yang semakin terlihat mengintimidasi sang adik. Namun bukan Mas Adib memang kalau tak berhasil membuatku kikuk dan salah tingkah sendiri.

“Mas gak kenalan kali, ketua takmir yang bilang. Ada da'i mukim yang bakal tinggal di desa selama setahun namanya Ustadz Aqsa, gitu,” timpal Mas Adib dengan yakin. “Eh, bentar. Berarti Lintang udah kenalan sama Ustadz itu?” Kakakku berdehem dengan aksen yang dibuat-buat sambil memainkan alis, mencoba menggoda lagi.

“I-iya ‘kan, kemarin beresin masjid, ada dia juga. Ngobrol sama anak-anak juga, kok.” Aku membuang pandangan, mulai merasa tak nyaman dengan cara Mas Adib menatap lekat sembari memainkan kedua alisnya.

“Ooh ... ngoobrool, ngobrolin apaan sampe perhatian gitu ngasih minyak segala? Hmm, Ghazi. Cakep juga, sama kayak yang punya nama, cakep.” Tangan Mas Adib membuka tutup keran sambil berseloroh, dia menekan suara pada kata Ghazi dan cakep dengan intonasi yang dibuat-buat, lalu melanjutkan aktivitas wudhu tanpa memperhatikanku lagi. Segera kulepas sandal pada kaki kiri lalu melemparkan ke tubuh Mas Adib, kena! Punggung kausnya tercetak bekas tapak sandal yang langsung kuambil sambil berlari masuk ke dalam.

Mas Adib itu tak pernah bisa berhenti mengganggu di rumah, sejak kecil ada saja ulah isengnya yang membuatku kesal lalu menangis. Seperti dulu saat aku masih duduk di kelas 2 sekolah dasar, usia Mas Adib sudah menginjak dua belas tahun saat itu. Kami bersekolah di SD yang sama, Mas Adib kelas 6 dan aku baru kelas dua. Hari itu Jum'at kedua di bulan syawal, kami masih dalam masa libur lebaran ditambah libur akhir tahun ajaran.

Pokok jambu air di rumah kami berbuah ranum, pohon jambu itu buahnya selalu manis, jambu air yang paling manis yang tumbuh di kampung ini. Mas Adib mengajakku memetik jambu air selepas shalat jum'at, aku senang sekali, sebab tak biasanya dia mau mengajakku memetik jambu. Alasannya adalah karena aku tak pandai memanjat pohon, hanya akan merepotkan saja kalau aku ikut. Sebenarnya bukan aku tak pandai memanjat pohon, hanya saja saat diketinggian kepala selalu mendadak pusing dan pandangan kabur berkunang-kunang, membuatku jadi tak bisa turun. Bagaimana mau turun kalau melihat ke bawah saja mata berkunang-kunang, kan?

Footnote:

Suwun = Terima kasih

Danke schon = Terima kasih

Bis spter = Sampai jumpa

Guten nacth = Selamat malam/tidur.

Londo (sebutan warga kampung untuk orang bule/turis asing)

Awakmu iku ngomong opo tho, Tang. Mesti kui sing ngajari Kang Akhtar, yo? Bahasa londo iku a, Tang? 》Kamu itu bicara apa, sih, Tang? Pasti itu yang ngajarin Kak Akhtar, ya? Bahasa bule ya, Tang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status