Share

Ghazi

“Mbak Lintang kenapa?” Seseorang bertanya pada salah seorang dari dapur yang hanya dijawab dengan mengangkat bahu, mata mereka kembali memperhatikanku.

“Duh, kok merah gitu mukanya?” yang lain mulai menimpali.

“Hish, kalian ngapain, sih? Aku gakpapa, buruan selesein beberesnya. Emangnya kalian mau semalaman di masjid, ha? Akusih ogah!” Setengah membentak kuperintahkan kepada kerumunan orang itu kembali pada pekerjaan masing-masing yang terbengkalai.

Mereka bubar dengan gumaman menggerutu yang tak jelas arahnya. Aku tak peduli bahkan jika mereka merasa empati dengan sakitku, toh nyatanya mereka tak membantu banyak. Hanya memperhatikan sambil bergumam mengucap kata kasihan dan memasang wajah innocent yang memuakkan. Tak sedikit pun mengurangi rasa gatal, justru membuatku ingin memggaruki mereka satu demi satu menggunakan sapu lidi.

“Ih, gakpapa akumah, Mbak, semalaman di dalam masjid. Nemenin Ustadz Aqsha.” Salah seorang remaja lima belas tahunan berseloroh sambil cekikikan manja dengan teman sebayanya, langsung kulempar serbet basah bekas mengelap gelas ke wajah gadis centil itu dengan sebal. Tak habis sampai disitu, mataku melirik tajam ke arah keduanya membuat mereka terdiam seketika dan segera berlalu.

Apakah anak gadis sekarang ini sudah tak punya lagi harga diri? Mudah sekali menyanjung orang hanya dari look yang menawan, style yang keren, dan hal-hal remeh lainnya. Marwah adalah hal paling berharga yang dimiliki seorang wanita yang harus dijaga dengan baik. Itu pesan almarhum ayah dulu yang kuingat dengan baik.

“Tang, kenapa--, ya Allah! Udah kamu pulang sana dianter Rani. Mukamu udah merah gitu. Minum obatmu, masih ‘kan?” Ardi datang bersama pria itu yang langsung terkejut melihat wajahku yang mulai membengkak.

Aku tak memedulikan omelan Ardi, justru makin asyik menggaruki tubuh yang makin nyeri sekaligus terasa seperti terbakar. Bulu kuduk di tengkuk mulai meremang ketika embusan angin masuk lewat celah ventilasi dapur. Tanpa mampu kucegah, lelehan air dari pelupuk mengalir melewati pipi hingga ke dagu.

“Jangan digaruk! Nanti makin parah.” Ardi menyentak tanganku dengan keras saat masih sibuk menggaruki punggung tangan dan lengan.

“Tunggu sebentar, saya punya minyak herbal yang insyaallah bisa mengurangi rasa gatalnya.” Pria itu berlalu cepat menuju kamar marbot yang kini -oleh takmir- diijinkan untuk dia tempati.

Aku mendengar dari obrolan para gadis dan ibu muda selama pengajian berlangsung, bahwa dia adalah Ustadz mukim yang diberi tugas dari pesantren untuk berdakwah di desa ini dan wilayah sekitar selama kurang lebih satu tahun. Usianya lebih muda dariku tiga tahun, dia baru menginjak 23 th dan baru tahun lalu selesai diwisuda S1. Sungguh betapa berita dan rumor sangat cepat menyebar di tempat ini, bahkan lebih cepat persebarannya dari pada sebuah wabah. Sepertinya pengalaman mengajar di pesantren dan kecakapan dakwah pria itu jauh lebih mumpuni dari usianya. Terlihat sekali dari cara dia berinteraksi dan menyampaikan materi selama pengajian berlangsung, para ibu muda, remaja, hingga bapak-bapak di sini hanyut mendengarkan perkataannya sambil sesekali tertawa karena guyonan Sang ustadz.

“Coba ini,” ujarnya sambil mengangsur benda berbentuk tabung yang isinya hanya sekitar kurang dari 200 ml. Aku membuka tutupnya lantas menuang sedikit ke telapak tangan, bau yang menyengat penciuman membuatku ingin muntah. Bahkan Rani ikut nyengir saat mencium aroma minyak yang tertuang di telapak tanganku.

“Baunya memang agak menyengat, tapi insyaallah mujarab. Tahanlah sedikit.” Dia menjelaskan dengan hati-hati saat melihatku menahan muntah karena bau menyengat dari minyak tersebut.

Uhh, minyak ini benar-benar memiliki aroma yang tidak enak, aku memandang botol berbentuk tabung yang hanya seukuran genggaman tangan itu. Rasa gatal kembali menggigiti sekujur tubuh, aku hanya mampu memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan pelan dari mulut. Berjalan menuju sudut dapur, menjauh dari kedua lelaki itu dan mengoleskan minyak tadi ke lengan dan beberapa bagian tubuh lainnya. Rasanya sedikit hangat ketika minyak dioleskan, tidak terasa panas yang menyengat seperti saat mengoles minyak kayu putih dan semacamnya. Tidak ada aroma mint, jadi tidak meninggalkan rasa dingin sesudahnya, ini sangat nyaman, hanya saja aku tak tahan dengan baunya.

“Mending kamu pulang deh, Tang.” Wanita muda yang sejak tadi memperhatikanku mengoles minyak ke sekujur badan menimpali penuh empati. Aku mengangguk mengiyakan, rasanya tak tahan lagi di sini dengan gatal yang menjalar tak tertahankan.

“Aku duluan ya, Mbun. Maaf, gak bisa bantu.” Aku berdiri, tersenyum ke arah gadis itu yang dibalas dengan anggukan pelan, membalikkan badan lalu melangkah ke luar ruang dapur.

Rani menunggu di teras depan masjid sambil duduk memangku tangan. Angin bertiup semakin menusuk tulang, tanganku tak tahan untuk kembali mengusap-usap permukaan kulit yang dirambati gatal menyengat. Ini sungguh menyiksa, aku mendekap tangan di depan dada semakin erat. Tanpa sadar kepalaku mendongak ke atas, langit malam tanpa polusi udara sangat indah. Milky way, dia mulai nampak jelas merambat dari ekor scorpion dengan pendar gemintang di sekitarnya seperti kilauan permata yang berserakan. Lama sekali rasanya, sejak terakhir aku menikmati milky way di malam pekat. Kutatap lekat-lekat bintang-bintang di cakrawala, memuaskan hati akan rindu. Rindu kepada kerlip gemintang di pekatnya malam yang sulit terlihat di langit kota yang penuh polusi cahaya.

“Eh, tolong kembaliin ini ke Ustadz ... ustadz--.” Aku lupa namanya, kalimatku kepada Rani terhenti di sana. Sungguh, kepala ini tak mengingat nama yang sepertinya lekat di benak semua orang.

“Ghazi,” timpal seseorang dari atas serambi masjid, “Antunna* simpan saja, siapa tahu butuh. Ana** masih punya yang lain.” Dia berkata sungguh-sungguh sambil tersenyum. Aku hanya mengangkat bahu sambil mengucap ‘terima kasih’ lalu berlalu dari hadapan pria itu.

Aku berjalan pulang diiringi Rani sambil memandangi botol minyak dalam genggaman. Rumahku hanya berjarak kurang lebih lima ratus meter dari masjid, tidak terlalu jauh. Itulah sebabnya aku menolak ketika Ardi menawarkan memboncengku naik sepeda motor agar lebih cepat sampai. Aku tak suka dibonceng, apalagi dengan lelaki. Jalanan desa sangat sepi, maklum desa ini desa terpencil di lereng gunung daerah timur, hanya suara jangkrik dan binatang malam yang terdengar sambil sesekali satu dua suara bayi yang terbangun menangis kencang lalu terdiam seketika, mungkin terdiam setelah sang ibu memberinya asi atau susu dalam botol.

Aku menutup kuap dengan tangan kiri, Rani masih tak terlihat tanda kelelahan dalam berceloteh mengenai Ustadz muda yang usianya dua tahun lebih muda darinya. Tak habis-habis gadis itu memuji pria pesantren yang menurutku biasa-biasa saja. Bukankah standar anak pesantren itu ya, berciri seperti yang Rani katakan? Jika santri tidak memiliki ciri itu, justru kualitas nyantrinya kudu dipertanyakan. Selama ini dia mondok itu beneran cari ilmu atau cuma numpang makan sama tidur. Namun saat kukatakan itu pada Rani, dia justru menjitakku sambil manyun.

“Lha yo bener tho, Ran. Masio santri ki yo mesti apal Qur'an, tuture dijogo. Opo meneh deknene tugas dakwah ndek kene, yo kudu pinter jupuk atine warga. Hla nek santri kok kelakuane koyok preman, kui kudu dipertanyakan kesantriannya. Opo deknen ki mung numpang ngrumat awak, mangan-turu mangan-turu dek pondok sampe babar awake?”*** Aku mengusap-usap kepala bekas jitakan Rani walau sudah tak terasa sakit.

“Wess, embuhlah, Tang. Sak karepmu! Angel pancen ngomong mbi awakmu iku."**** Aku hanya terkekeh sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah temanku yang mulai hilang akal karena serangan virus merah jambu. Dasar cewek bucin.

Sebuah rumah berpagar pohon teh-tehan yang mengitari halaman luas dengan sekumpulan tanaman bunga di sisi kiri yang tertata dibatasi kricak dan bebatuan yang melingkar memanjang, pohon buah yang kokoh dan menjulang, jambu air, mangga dan rambutan berdaun lebat di sisi kanan juga dibatasi oleh batu yang berjajar sedemikian rupa menyisakan jalan setapak tertutup kerikil di antara keduanya hingga menuju serambi rumah bertiang kayu jati dengan gaya kuno.

‘Akhirnya sampai,’ batinku sambil mengembuskan napas lega. Telinga ini hampir pekak mendengar ocehan tentang pria pesantren itu dari mulut Rani yang tak punya tanda titik. Jangankan tanda titik, jeda pun dia tak rela meletakkan barang sepenggal.

"Eh, udah sampe rumah aja. Gak kerasa ya, Ran. Hehe, suwun udah nganter. Danke schon, bis spter en guten nacth, Ran." Aku membalik badan, tersenyum menghadap Rani untuk berpamitan dan beranjak menuju halaman rumah.

"Awakmu iku nomong opo tho, Tang. Mesti kui sing ngajari Kang Akhtar, yo? Bahasa londo iku a, Tang?" Langkahku terhenti sambil tersenyum kecil mendengar komentar Rani yang ceplas-ceplos itu.

"Jerman, Ran. Bukan Belanda," jawabku sambil melempar senyum.

"Yo sama, londo juga. Bule maksudnya. Kang Akhtar hebat, ya? Habis dari Turki terus ke Jerman." Selorohan Rani hanya kubalas dengan senyuman. Apanya yang hebat? Menyebalkan, iya.

"Ya udah, Tang. Aku pamit dulu, Assalamu'alaikum." Rani melambaikan tangan sambil tersenyum manis.

Aku membalas lambaian tangan Rani lalu melompat-lompat kecil melewati kerikil yang sengaja dipasang untuk mempercantik jalan setapak menuju rumah dengan riang. Sejenak aku lupa pada ruam dan gatal yang sejak tadi menggigit kulit. Sebelum membuka pintu depan, kubalikkan badan dan melambai ke arah Rani sebagai ucapan terima kasih telah mengantar hingga ke rumah.

Footnote:

*Kamu (perempuan) dalam bahasa arab

**Saya dalam bahasa arab

***Lha ya jelas donk, Ran. Yang namanya santri itu di mana-mana pasti hafal Qur'an, tutur katanya santun terjaga. Apalagi dia mendapat mandat tugas dakwah di desa ini, pastinya harus pandai belajar mengambil hati para warga. Lha kalau santri kok kelakuannya macam preman, itu justru harus dipertanyakan status santrinya. Jangan-jangan dia di pondok cuma numpang gedein badan doank, kerjaannya cuma makan-tidur sampai badannya lebar?

***Hiss, tauklah, Tang. Terserah apa katamu! Susah emang ngomong sama kamu, tuh.

Suwun = Terima kasih

Danke schon = Terima kasih

Bis spter = Sampai jumpa

Guten nacth = Selamat malam/tidur.

Londo (sebutan warga kampung untuk orang bule/turis asing)

Awakmu iku ngomong opo tho, Tang. Mesti kui sing ngajari Kang Akhtar, yo? Bahasa londo iku a, Tang? 》Kamu itu bicara apa, sih, Tang? Pasti itu yang ngajarin Kak Akhtar, ya? Bahasa bule ya, Tang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status