Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.
“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya.
“Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar.
Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain.
“Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara.
“Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulakukan karena aku berusaha menahan diri dan mencoba menguasai emosiku agar tidak tersulut. Tapi kali ini, rasanya percuma saja jika aku bersikap manis. Toh Mas Akram juga tak bersikap baik padaku.
Dia mendekat dengan tatapan yang sulit diartikan. Hanya karena satu kata singkat yang kuucapkan dengan intonasi tinggi.
“Apa kamu 'gak liat aku sedang cari Fara!" Mata tajam suamiku yang seperti elang tertuju pada tatapanku yang tak kalah nyalang.
Lucu sekali! Siapa yang berbuat salah, tapi siapa yang justru marah. Sikap Mas Akram benar-benar membuatku muak.
“Perhatikan penampilanmu, Mas! Apa pantas kamu berkeliaran mencari adik kandungmu sementara kamu nyaris telanjang seperti itu. Apa sebenarnya yang kamu lakukan bersama dia di dalam kamar kita! Apa kalian punya hubungan terlarang?” cecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu lagi aku simpan sendiri.
“Hafsa! Jaga bicaramu! Sebelum bertemu kamu aku lebih dulu hidup bersama Fara. Dia berhak keluar masuk kamar ini, bahkan dia lebih berhak dari pada kamu, karena sebelum kamu datang dia lebih dulu menempati kamar ini.” Seolah-olah melemparkan bola ke wajahku, Mas Aram mencoba menyadarkanku atas posisi yang aku tempati di rumah ini.
Wajah Mas Akram benar-benar memerah, tapi tak sedikit pun membuatku takut. Rasa jijik justru semakin mendominasi hati ini. Bukankah baru saja suamiku mengisyaratkan bahwa dia dan adiknya telah menjalin hubungan ini sejak kami belum terikat ikrar pernikahan. Apa Mas Akram hilang kesadaran dengan menambahkan bahan bakar ke dalam kobaran api yang menyala di dalam dadaku sejak tadi?
“Kamu dan perempuan itu sakit, Mas! Aku 'gak mau hidup di antara orang-orang sakit seperti kalian!"
Aku tak tahan berada dalam situasi ini. Biarlah Mas Akram tersinggung dengan kata-kata frontalku, lagipula dia harus tahu seperti apa pandanganku terhadapnya, agar dia sadar kesalahan yang dia lakukan. Mas Akram bergeming saat kulangkahkan kaki melewatinya menuju lantai bawah, justru yang kudengar adalah nama Fara dia teriakkan beberapa detik setelahnya.
‘Gila!’ gerutuku dalam hati sambil terus melangkah menjauh.
“Hafsa,” ucap mama mertua dengan wajah panik. Sepertinya pertengkaran kami terdengar hingga lantai bawah. Kutatap wanita paruh baya itu dengan seksama, apakah beliau tahu sesuatu yang tidak aku sadari sebelumnya? Tapi, jika aku bertanya sekarang kurasa percuma saja. Mereka sedarah, pasti akan membela anggota keluarganya, sementara aku hanya sekedar orang asing yang kebetulan menikah dengan Mas Akram dan melahirkan keturunan baru untuk keluarga ini.
“Jangan pergi,” pinta mama mertua seolah bisa membaca isi pikiranku.
Kuembuskan napas kasar, bagaimana mungkin aku bisa hidup dalam lingkungan keluarga seperti ini. Terlebih lagi, saat ini ada Zubair di antara kami. Tak akan kubiarkan putra sematawayangku ikut-ikutan menyaksikan kelakuan gila anggota keluarganya. Aku takut jika Zubair harus menanggung dampak psikologis akibat tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak sehat. Memikirkan hal itu, sepertinya aku tak perlu berpikir dua kali untuk angkat kaki dari bangunan megah ini.
“Mba, Mba … Kamu baperan banget 'sih Mba.” Fara bersuara dan turun menapaki anak-anak tangga dengan tak lagi mengenakan handuk milikku. Penampilannya kini sudah berubah, dia mengenakan piyama satin tanpa lengan seperti biasanya, mengekspos bagian-bagian tubuhnya yang memang kuakui terlihat mulus dan terawat.
“Fara!” desis mama mertua yang menoleh ke arah putrinya.
“Fara loh cuma numpang mandi, dan Mas Akram kebetulan mau mandi,” ucapnya tanpa rasa bersalah.
“Mba pikir kami mandi bersama? Lebay, kamu, Mba!” lanjutnya dengan mengibaskan tangan ke hadapan wajah, lalu berbalik arah naik kambali ke lantai dua. Di saat yang bersamaan aku melihat Mas Akram turun dan berpapasan dengan adiknya. Terlihat jelas senyum terkembang di wajah tampan suamiku. Wajah tampan tapi bagiku sangat memuakkan. Tak ragu dia menerima pelukan Fara yang mengucapkan selamat malam padanya dengan nada manja.
“Kamu mau pergi?” tanya Mas Akram setibanya di hadapanku. Aku bahkan tak sudi menatap wajahnya lagi. Gelombang amarah menguasaiku dan tak kunjung surut.
“Apa hanya karena Fara menumpang mandi dan tidur di kamar kita selama beberapa hari terakhir ini?” tanyanya.
Hanya? Apa aku tak salah dengar? Jadi sudah beberapa hari ini Fara menggantikan posisiku bersama Mas Akram?
“Apa kamu bilang, Mas? Kamu bilang ‘hanya karena’?” Kuberanikan diri menatapnya tanpa ragu. Kulihat wajahnya santai seolah tak memiliki beban apa pun.
“Fara ada dalam penjagaan mas. Mas cuma mau memastikan Fara baik-baik aja. Apa itu salah?” jawab Mas Akram.
“Tentu salah!” bela mama mertuaku yang ikut terlibat dalam perdebatan kami. Rupanya mama mertua berada di pihakku meski Mas Akram dan Fara adalah anak kandungnya.
“Ma, ini urusan Akram dan Hafsa. Ini masalah rumah tangga kami.” Mas Akram merendahkan suaranya saat menjawab ucapan mama mertua.
“Kamu terlalu lemah menjaga adikmu, sementara kamu mengabaikan perasaan istrimu sendiri,” jawab mama mertua dengan sengit.
Mas Akram tercenung sambil sesekali menoleh ke arahku. Sepertinya dia sedang berpikir, sebelum sebuah kalimat lolos dari mulutnya, “Hafsa … Mas mau jelaskan sesuatu. Bisa kita ke kamar sekarang? Mas janji 'gak akan melarangmu pergi setelah ini. Tapi, dengarkan penjelasan Mas dulu,” pinta Mas Akram dengan sikap melunak.
Kutolehkan wajah ke arah mama mertua. Beliau mengangguk seolah memberi isyarat agar aku mengabulkan permintaan suamiku. Wajah lelah wanita paruh baya itu membuatku berada dalam situasi dilema. Mungkin ini adalah keputusan yang tepat, aku tak harus pergi tanpa alasan yang tak cukup kuat. Jika memang penjelasan Mas Akram justru lebih memperburuk suasana hatiku, maka aku tak perlu berlama-lama terjebak dalam pernikahan ini.
“Biar Zubair sama mama.” Kembali mama mertua berucap seolah tahu isi kepalaku. Aneh, Mas Akram bahkan tak sekali pun menyapa kedatangan putranya. Sikap yang menurutku sulit untuk dimaklumi.
Kuayunkan langkah dengan malas mengikuti suamiku dari belakang. Berkali-kali dia menoleh ke arahku untuk memastikan bahwa aku masih berada di sekitarnya. Apa dia khawatir jika aku kabur sebelum mendengar penjelasannya?
Setibanya di dalam kamar, kulihat Mas Akram membereskan pakaian Fara dan miliknya yang tergeletak di atas sofa. Dia mengumpulkan semuanya menjadi satu dan memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam kantung laundry, lalu meletakkannya begitu saja di sisi pintu. Suamiku duduk setelahnya dan menepuk alas sofa yang berada di sampingnya, mengisyaratkan agar aku duduk di sana.
“Kamu boleh bertanya apa pun yang ingin kamu tahu. Mas akan jawab sebisanya.”
Meski enggan untuk berada di sisi suamiku, bagaimana pun juga aku masih berstatus sebagai istrinya, baik secara hukum agama maupun hukum negara. Kuberi sedikit jarak di antara kami, karena jujur saja aku harus waspada jika sewaktu-waktu hal buruk terjadi. Sungguh kepercayaanku terhadap Mas Akram benar-benar luntur.
Embusan napas panjang menjadi pembuka kalimat yang akan diutarakan oleh suamiku. Kutatap ranjangku yang berantakan tanpa mau memerhatikan wajah Mas Akram yang berada di sampingku. Jujur saja, rasa sesak di dada kembali hadir saat membayangkan sesuatu telah terjadi di antara suamiku dan adik kandungnya, terlebih lagi dengan kondisi kamar sekacau ini.
“Maaf jika mas 'gak bisa menghindarkan prasangka burukmu. Tapi, mas minta kamu dengarkan penjelasan Mas dulu. Kalau ternyata penjelasan mas bagimu terdengar ’gak masuk akal, kamu boleh tinggalin mas.” Aku tak kunjung merespon meski indra pendengaran ini masih seksama mendengarkan penjelasannya.
“Fara mengalami gangguan stress pascatrauma, dan itu terjadi karena salah mas,” ucapnya sambil menyorotkan pandangan ke arahku meski hanya mampu kuperhatikan dari sudut mata. Kubiarkan dia menyelesaikan kata-katanya. Seperti yang dia tawarkan tadi, aku bisa saja pergi jika alasan yang dia berikan ternyata tak masuk akal.
“Tapi mas harap kamu jaga rahasia ini sampai kapan pun.”
Diterjang rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, aku refleks menoleh ke arah Mas Akram. Kulihat gestur serius di wajah suamiku. Apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu?
“Fara pernah menikah dan dia sangat mencintai suaminya. Kasian adik mas,” ucap Mas Akram, membuatku mencebik.
“Suaminya berselingkuh di dalam rumah yang dulu mereka tempati dan adik mas itu memergoki mereka sedang melakukan … Kamu paham yang mas maksud 'kan?”
“Di saat yang sama, mas kebetulan juga berada di tempat kejadian itu. Mas khilaf, Hafsa.” Kulihat Mas Akram mencengkeram rambutnya sendiri sambil menundukkan wajah. Aku hanya mengamatinya tanpa ingin menyentuh, bisa saja saat ini dia hanya berakting untuk meyakinkanku, 'kan? Namun, tangisan yang lolos dari kedua matanya memaksaku untuk mengakui bahwa Mas Akram tidak sedang menunjukkan kepura-puraan.
Di akhir penjelasan dia mengatakan bahwa kematian suami Fara tak lepas dari perannya, dan hal itu terjadi di depan mata adik kesayangannya itu, sehingga Fara mengalami guncangan. Menurut Mas Akram, kejadian tersebut berakhir layaknya kecelakaan yang tak disengaja sehingga Mas Akram terhindar dari jerat hukum. Namun, kondisi Fara yang mengalami trauma hingga saat ini lah yang membuatnya begitu bergantung pada suamiku. Setiap malam Fara merasa bahwa mendiang suaminya hadir menemuinya di dalam mimpi, dan hal itu lah yang membuat Mas Akram mau tak mau membawa Fara untuk tinggal bersamanya dan sesekali harus menemani tidur adiknya hingga perempuan itu tenang.
“Percayalah, Hafsa, mas masih normal. Mana mungkin mas mencintai adik kandung mas sendiri apalagi sampai menyentuhnya. Kamu pikir mas sehina itu? Mas hanya ingin menebus kesalahan mas yang sudah membuat Fara trauma hingga saat ini.”
“Maaaas!!!”
Suara pekikan dan pecahan kaca membuat perbincanganku terhenti. Suara itu bersumber dari kamar Fara. Mas Akram yang panik kemudian bangkit dan setengah berlari menuju kamar Fara dan aku mengikutinya dari belakang. Kulihat kondisi adik iparku sangat berantakan dengan rambutnya yang tak beraturan meringkuk di lantai sambil memeluk kedua kakinya sendiri. Kusaksikan pula kaca jendela yang pecah, sepertinya seseorang dengan sengaja melemparkan benda keras ke sana.
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
"Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la
Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn
"Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja
HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya