Melihatku hanya terdiam Pak Mahendra menyunggingkan senyum. Aih, manisnya. Membuat hatiku luluh seketika. Hati yang tadi panas karena emosi seperti disiram air es.
Nyes ... mendadak jadi dingin.
Sepertinya orang satu ini harus selalu tersenyum agar hatiku selalu adem. Tak butuh kulkas dan juga pendingin udara. Irit listrik jadinya.
Sekarang hatiku malah jadi dag dig dug tidak keruan. Demi apa dia malah tak segera menutup mulutnya. Hingga pipinya yang melesung terlihat indah, menambah ketampanannya.
Aih, jadi gemes. Jadi pengen gigit meja, ngunyah bangku, dan juga ngemil rak buku. Menyalurkan kegemesanku yang tak ada ujung. Mau gigit dia takut ditolak soalnya.
"Saya mau minta maaf soal Andra," ucapnya, membuyarkan imajinasiku.
"Jadi benar, Bapak yang udah bikin Andra babak-belur?"
"Kamu sudah tahu?" tanyanya sambil kembali tersenyum.
Ini orang kesambet apa, ya, kok tumben dari ta
Sudah dua hari dari kejadian itu, Pak Mahendra tak pernah menggangguku lagi. Dia terlihat sibuk dan sering keluar pabrik. Makanya tak sempat menggangguku lagi.Pak Mahendra dan Pak Danuarta--Bos Besar--kabarnya sedang melobi buyer dan juga team audit dari brand ternama internasional, agar mau memberikan proyek pada pabrikku.Satu minggu lagi, team audit dari buyer akan datang. Pak Seno menyuruh team purchasing untuk membereskan semua file dan juga arsip orderan, baik fabric, benang, zipper, kancing, rivet, label, maupun aksesoris lainnya.Semua harus jelas invoicenya dan juga perusahaan yang biasa menjadi supplier-nya. Tak lupa bukti-bukti transfer dengan supplier tersebut harus dicantumkan.Aku, Aura, Ririn, dan juga Andy benar-benar harus bekerja ekstra keras dari biasanya. Harus mengumpulkan dokumen-dokumen selama satu tahun terakhir lalu menyusunnya dalam sebuah report.Tentu saja aku kewalahan karena masa kerjak
Wajahku semakin menghangat, mungkin terlihat memerah. Malu rasanya selalu ketahuan telah berpikir yang tidak-tidak. Pak Mahendra terkikik geli melihat tingkahku. Ingin rasanya menghilang atau bersembunyi di dasar bumi saking malunya."Ini buatmu," kata laki-laki tampan itu sambil menyerahkan paper bag di tangannya."Apa ini, Pak? Bapak nggak ngasih bom, kan?" tuduhku.Aku merasa heran karena dia memberi sesuatu padaku. Biasanya kan dia hanya menjahiliku saja. Wajarlah jika aku jadi curigation."Buka saja," titahnya sambil kembali menghidupkan mobil.Dengan gemetar aku membuka paper bag itu. Takut sesuatu keluar dari sana karena laki-laki tampan itu mengerjaiku. Apa yang ada di sana mulut ini menganga. Cepat-cepat kukeluarkan karena penasaran.Sebuah dress cantik berwarna cream dan berbahan lembut membuatku speechless. Bagus sekali. Pasti harganya mahal. Aku membayangkan, jika memakai baju itu
Pak Mahendra mengacak-acak rambutku dengan ekspresi gemas lalu berjalan menuju mobilnya. Dari belakang kemudi dia melemparkan kiss bye padaku. Tak lama mobil itu pun berlalu.Aku masih berdiri mematung di dekat pagar. Merasa aneh dan juga bingung dengan kejadian yang baru saja kualami.Apa ini bukan hanya sekedar mimpi?Kucubit pipi berkali-kali, ternyata rasanya sakit. Berarti aku tidak mimpi. Ini semua nyata. Jadi memang benar jika Pak Mahendra menyukaiku. Entah sejak kapan. Mungkin saja sejak kejadian terkutuk di Bandung waktu itu.Aku bergegas masuk ke dalam kontrakan lalu membersihkan diri. Melaksanakan kewajiban empat rakaatku lalu bersiap untuk tidur. Namun paper bag yang tadi kuletakkan di dekat jendela terlihat begitu menarik perhatian.Kukeluarkan lagi dress di sana lalu mencoba memakainya sambil mematut diri di depan cermin. Dress dengan model bahu terbuka itu ukurannya begitu pas di tubuhku. P
Sepanjang perjalanan Pak Maman menceritakan tentang kegiatan bosnya. Menurutnya Pak Mahendra sedang menghadiri malam penganugerahan penghargaan sebagai pengusaha muda yang sukses dan menginspirasi. Dalam hati aku ikut merasa bangga atas pencapaian Bos Tampan itu.Menurut supir tersebut, majikannya sudah berada di Bandung semenjak siang karena permintaan meeting dari para pemegang saham pabrik. Kebetulan sekali bertepatan dengan malam penganugerahan tersebut.Tadinya Pak Mahendra hendak menjemputku lebih dulu tetapi ternyata meeting itu berlangsung hingga sore. Akhirnya dia pun meminta Pak Maman yang menjemputku sementara dia menunggu di hotel sambil beristirahat.Setelah satu jam lebih menempuh perjalanan akhirnya mobil yang membawaku berbelok ke sebuah hotel berbintang. Jantungku berdetak semakin cepat saat mobil pun akhirnya berhenti."Kita sudah sampai, Neng," kata Pak Maman sambil membuka seat belt yang mele
Pak Mahendra menggenggam tanganku dan kami berjalan menuju tempat perhelatan yang berada di sisi lain hotel itu. Aku akhirnya mendengar langsung dari bibirnya jika dia akan menerima penghargaan tersebut.Kami melangkah di atas karpet berwarna merah yang terbentang dari pintu masuk ruangan hingga ke panggung. Kilatan blitz kamera menyerbu kami sejak langkah pertama. Pastilah mereka para pemburu berita. Mendadak aku jadi grogi tetapi genggaman tangan Pak Mahendra yang semakin mengerat membantuku untuk tetap tersenyum menghadapi mereka.Akhirnya kami pun duduk di barisan nomor tiga dari depan. Jantungku berdetak riuh mirip bedug yang ditabuh, melihat kemegahan dekorasi dan juga para tamu undangan yang penampilannya terlihat cetar. Untung saja aku sudah dimake-over hingga tak terlihat memalukan.Pukul sembilan malam acara dibuka dengan hiburan dari grub band dan penyanyi ibukota yang diundang. Lalu acara penghargaan pun di mulai. Satu per s
"Kita pulang aja, Pak, eh, Mas. Kan Mas bisa gantian bawa mobilnya sama Pak Maman kalau dia capek," kilahku."Kamu mau kita kecelakaan? Aku juga sudah mengantuk. Besok aja. Kita libur, kan?"Dia kembali beralasan. Memang benar besok adalah hari Sabtu dan kami memang libur karena hari kerja hanya sampai Jumat saja."Tapi aku nggak bawa baju ganti, Mas. Masa malam ini tidur pakai baju ini, terus besok pagi pakai baju ini juga?""Ada paper bag di nakas. Itu baju ganti buat kamu. Dan ini, juga. Pasti kamu memerlukannya," katanya sambil mengulurkan paper bag yang diberi oleh Pak Maman tadi.Aku menerima paper bag di tangannya. Ketika kubuka isinya ternyata mukena dan juga sajadah dengan label harga yang membuatku mengernyitkan kening karena saking mahalnya. Aku baru ingat jika tadi belum sempat salat Isya karena berangkat sebelum azan.Aih, Bos, kamu ternyata seperhatian ini padaku!Kuraih
Dengan cepat aku membelakanginya karena malu telah kepergok memandangi laki-laki tampan itu. Namun tangannya menuntun tubuhku untuk berbalik."Kapan, sih, kamu akan sadar?" tanyanya, membuatku mengernyit heran."Sadar kenapa, Mas?" tanyaku, mencoba mencari penjelasan darinya."Aku sudah menunggu hampir tiga bulan, dan kamu masih saja menghindar," keluhnya."Aku nggak tahu apa maksud Mas. Kenapa harus berbelit-belit? Katakan saja, tiga bulan itu apanya?" pintaku.Laki-laki yang membuatku penasaran itu menggelengkan kepalanya. "Tak kusangka, kamu bahkan melupakannya. Apa memang aku tak berarti untukmu?"Aku benar-benar tak mengerti apa yang dia maksud. Tak ada bau alkohol di sini. Dia tidak mabuk tetapi omongannya melantur."Aku benar-benar nggak ngerti.""Jadi, apa kamu masih juga nggak ngerti, jika kubilang bahwa di hari ulang tahun pabrik, kamu bersamaku malam itu?"
"Sekarang katakan, Mas, kenapa Mas bilang ke orang-orang jika aku ini calon istrimu. Perasaan Mas belum pernah ngelamar aku?" tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan."Memang kamu nggak mau jadi istriku?"Bukannya menjawab dia malah ganti bertanya padaku, membuatku jadi geregetan."Aku nggak mau ini hanya mimpi dan begitu terbangun, hanya ada kekecewaan di hati," ucapku."Kamu nggak mimpi. Ini nyata. Kamu mau aku mendatangi orang tuamu untuk melamar? Sekarang juga kamu minta, aku akan segera berangkat," ucapnya dengan wajah yang serius.Tiba-tiba dia bangun lalu memakai baju lengkap. Berdandan rapi bahkan menyemprotkan parfum segala. Dia berdiri di dekat ranjang dan tanpa kuduga dia menyanyikan sebuah lagu dari Hoobastank.Lagu itu setiap hari diputar di kantor. Membuatku curiga, mungkin dia yang menyuruh untuk memutarnya. Aku pun duduk di tepi ranjang untuk menyimak.I'm not a perfec