Share

Pembalasan

Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. 

Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. 

Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! 

"Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. 

"Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal.

"Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja."

"Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ranjang saya ambruk? Kamu mau ganti?"

"Maaf, Pak. Habis, Bapak nggak bangun-bangun, sih. Kan saya jadi bingung, nggak punya cara lain buat bangunin Bapak."

Pak Mahendra berdiri, lalu berjalan mendekatiku. "Oh, jadi, saya yang salah, dan kamu yang benar, gitu? Enak saja! Kamu mau hukumannya ditambah?"

Dia mengatakan itu dengan tatapan nyalang, membuatku ketakutan. Aku melangkah mundur, dan dia semakin maju. Lama-lama, aku terbentur dinding kamar.

Fix! Aku terdesak! 

Duh Gusti ... aku takut jika diapa-apain sama dia. Reflek mataku mencari keberadaan payung tadi, yang akhirnya terlihat di dekat ranjang. Mati aku! 

Presdir tampan itu mengungkungku. Kedua tangannya tepat di samping kanan dan kiri kepala, menguncinya hingga diriku tak bisa bergerak.  

"B-bapak m-m-au a-pa?" tanyaku gugup bercampur takut. Sekilas terbayang kejadian malam terkutuk di hotel waktu itu. Apa dia ingin melakukannya lagi padaku? 

"Kamu pikir, saya mau apa?" bisiknya, sambil mendekatkan wajah padaku. 

Wajahnya semakin mendekat ... terus mendekat ... lalu ... cepat-cepat kupejamkan mata, karena tak sanggup menghadapinya. Jantungku berpacu, jedag jedug tak berirama.

Sedetik ... dua detik ... semenit ... kok nggak terjadi apa-apa, ya? 

Pelan-pelan, kubuka mata, dan mendapati dia berdiri tak jauh dariku, melipat tangan di dada. Seringai jahil tampak di bibirnya yang kemerahan dan seksi. 

Ealah ... dia mengerjaiku lagi, to? Duh Gusti ... punya bos kok ya jahilnya nggak ketulungan kaya gini. Bikin sutris eh salah, bikin stress aja. Stress plus baper tepatnya.

Dia benar-benar membuat gemas sekaligus kesal. Kucoba mengira-ngira tujuannya mengerjaiku. Lantas terbersit pemikiran jika dia memang mempunyai kepribadian ganda. Yang satu dingin dan tegas, satunya lagi jahil luar biasa.

Si Biang Kerok itu melangkah ke sebuah ruangan yang ada sudut kamar. Beberapa menit kemudian, terdengar suara gemericik air. Ternyata ruangan itu kamar mandi. 

Menit pun berlalu, dia keluar dari sana dengan wajah yang segar. Tangan kekar itu menyugar rambutnya yang basah. Aroma sabun dan shampo menguar, menyerang indra penciumanku, membuatku merasa terbuai. 

"Ambilin baju saya," titahnya, membuatku tergagap.

'I-iya, Pak," sahutku, lalu melangkah mengambil kemejanya yang tergantung di dekat ranjang.

Kuserahkan baju itu padanya dan dia pun langsung memakainya tanpa bicara. Tak ada ucapan terima kasih sedikit pun. Mungkin dia sudah lupa caranya berterima kasih. 

"Pak, tugas saya sudah selesai. Boleh kembali ke tempat kerja, nggak?" 

Laki-laki yang tampannya selangit tembus itu memicingkan mata, mendengar perkataanku. "Jangan senang dulu. Hukumanmu belum selesai."

Aku tak mengerti, kenapa dia selalu menjahiliku. Kadang terbersit dalam pikiran, mungkin saja dia melakukan semua ini hanya agar bisa dekat denganku. 

"Tapi, Pak. Saya kan sudah selesai mengerjakan semua tugas dari Bapak. Saya mau dihukum apalagi, Pak? Nanti saya dimarahin Pak Seno kalau kelamaan berada di ruangan Bapak."

Sengaja kusebut nama Pak Seno buat senjata. Mungkin saja dia berubah pikiran, tak jadi menghukumku lagi. Bisa-bisa, seharian berada di ruangan ini, pekerjaanku di sana menumpuk dan jadi repot karenanya. 

"Siapa yang berani marahin kamu? Biar saya tegur," katanya angkuh, sambil berkacak pinggang. 

Aku hanya diam, tak berani membantah lagi. Lalu mulai berpikir, kira-kira hukuman apalagi yang akan ditimpakan kepadaku. Mudah-mudahan saja bukan yang aneh-aneh seperti tadi. 

Pak Mahendra berjalan, meninggalkan kamar. Aku bergegas mengikutinya, karena tak mau terkurung di kamar. Bayangan kejadian malam itu terlintas untuk sesaat. 

Dalam hati sempat berpikir, mungkin Pak Mahendra benar-benar tak mengingatku, atau bisa jadi dia hanya bersandiwara. Mungkin saja dia takut aku akan meminta pertanggungjawaban darinya.

Ah, pusing kepalaku jika memikirkannya. Ingin melupakannya, tetapi malah hari ini terpaksa berurusan dengan tersangka utama penyebab diriku pusing itu. Apes amat nasibku. Mungkin perlu diruqyah atau diruwat dulu, buat buang sial.

"Duduk!" Suara tegas itu memaksaku kembali dari lamunan. 

Kuturuti permintaannya, kembali duduk di tempat semula. Laki-laki beralis tebal itu memeriksa tugas yang tadi dia berikan, lalu menghitung jumlahnya. Aku tertawa dalam hati, melihat dia kerepotan menghitung. 

Rasakan! Gantian kukerjain dia. Emang enak? Pembalasan lebih kejam daripada tidak dibalas! Huh! 

Sengaja kalimat-kalimat lebay itu tak kuberi nomor, agar dia menghitungnya. Lumayan membuatnya kerepotan.

Hitung terus ... sampai pegal! Ha-ha-ha ....

"Kinara Ailani! Kenapa senyum-senyum? Kamu meledek saya?" bentaknya.

Mati aku! Dia melihatnya! Bibirku langsung mengatup, padahal gigi belum kering. Biasanya aku kalau tertawa sampai gigi pada kering baru berhenti. 

"Kenapa lama-kelamaan tulisannya jelek? Ulangi!" 

Laki-laki diktator itu menggeser buku ke arahku. Aku melotot, waktu melihat beberapa tulisan terakhir dilingkari olehnya, minta ditulis ulang karena menurutnya jelek. 

Sialan! Terniat banget dia ngerjain aku! Ya kali tanganku yang pegalnya belum ilang ini disuruh nulis lagi? Dasar bos nggak ada akhlak! T-e-r-l-a-l-u! 

Segera kutulis lagi kalimat-kalimat yang dia mau sejumlah yang dilingkari. Setelah ini, tak ada alasan lagi untuknya tetap menahanku di ruangan ini. Revisi terselesaikan dengan cepat lalu buku itu kugeser di depannya. 

Dia mulai memeriksa lembar demi lembar. Entahlah, dia mungkin masih mau mencari alasan untuk mengerjaiku lagi. Detik berikutnya, dia menuliskan sesuatu di buku itu. Aku mengernyitkan dahi. Takut jika masih ada yang salah lagi di matanya. 

Tak lama, dia kembali menyodorkan buku itu di depanku. Ternyata, dia menuliskan hal-hal yang berkaitan dengan biodataku. Rupanya, dia ingin mengenalku lebih jauh dengan mengisi jawabannya. Setelah menaruh buku itu, dia membuka pintu dan meninggalkan ruangan. 

"Kamu boleh pergi setelah mengisinya!" pesannya ketika di ambang pintu.

Horee! Aku bebas! 

Bilang aja pengen kenalan, Bos! Segala muter-muter tak keruan! Huh! 

Katanya tulisanku jelek. Nggak tahunya, tulisannya sendiri ternyata mirip cakar ayam! Belagu amat! Cih! 

Mulai kuisi satu per satu biodata yang dia tuliskan. Paling atas, dia menulis nama lengkap. Udah tahu juga masih nanya. Dasar bos rese! 

Nama : Kinara Ailani Mekar Mewangi Sepanjang Hari Senin Selasa Rabu Kamis Jumat

Aku tertawa dalam hati waktu menulisnya. Rasakan pembalasanku! 

Alamat: di atas bumi, di kolong langit. Pastinya Indonesia. Bapak nggak bakalan tahu kalau dikasih alamatnya juga. 

Nama bapak: yang pasti bukan Pak Danuarta, bapak Anda.

Nama ibu: ibu saya udah almarhumah, Pak. Ngapain juga masih ditanyain. Bapak pengen kenalan? 

Tempat tanggal lahir: yang pasti mudaan saya daripada Bapak.

Warna favorit : merah jambu, seperti hatiku

Hobi: bercermin, sambil bilang 'siapa wanita tercantik di dunia'. Sayangnya tuh cermin nggak mau jawab, Pak. Mungkin dia takut saya hancurin kalau nyebut nama wanita lain. 

Ukuran: 

Waduh, ini apa maksudnya, ya? Ukuran apa yang dia ingin tahu? Sepatu? Baju? Atau daleman? Ambigu banget, sih? 

Hadeuh ... isi jangan, ya? 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status