Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.
Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.
Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.
Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?
"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tangan. Pegal.
"Capek, atuh, Pak. Kenapa harus berjumlah 150? Banyak banget, Pak," keluhku.
Ini bos ngerjain orang nggak pakai kira-kira. Coba kalau dia yang ngerjain, memang enak?
"Dikasih kerjaan kaya gitu aja bilang capek," sahutnya sinis.
Aku mencebik kesal. Dia kembali duduk dan melihatku menulis. "Udah dapat berapa kata?" tanyanya.
"Belum dihitung, males hitungnya."
"Saya capek lihatin kamu. Saya mau tidur dulu. Nanti bangunin kalau kamu sudah selesai. Awas kalau nggak selesai kamu udah kabur! Nanti hukumanmu ditambah," ancamnya sambil membuka sebuah pintu yang berada di dekat rak buku.
Sepertinya itu ruangan pribadinya. Mungkin tempat dia beristirahat jika merasa lelah. Enak juga jadi presdir. Orang-orang bekerja, dia bisa tidur di ruangannya.
Jangan-jangan dia juga ngapa-ngapain di kamar itu sama Lidya. Soalnya menurut gosip anak-anak ex-im yang paling dekat dengan ruangan ini, perempuan cantik itu kalau datang ke sini bisa seharian nggak keluar-keluar. Pasti mereka sedang ....
Aih, kenapa hari ini otakku kotor banget, ya? Seseorang! Tolong bawain sapu dan super pell! Bantu aku bersihinnya!
Ini pasti gara-gara Pak Mahendra yang mengerjaiku dari tadi. Makanya otak jadi terkontaminasi. Huh! Sebel!
Segera kuenyahkan pikiran tak sehat yang merajai otak lalu mulai menghitung jumlah tulisan yang telah kubuat. Ternyata belum ada setengahnya. Kalau boleh difoto copy pasti sudah kulakukan dari tadi. Sayangnya si Raja Tega itu inginnya semua tulisanku asli. Original! Niat sekali dia mengerjaiku.
Beberapa menit berlalu, terdengar suara dengkuran dari arah kamar yang pintunya terbuka. Mungkin dia sengaja tak menutupnya agar aku bisa membangunkannya. Ternyata itu orang pelor juga. Baru juga nempel bantal langsung molor.
Buset dah! Ganteng-ganteng kok ya tidurnya ngorok, sih? Sama dong kaya aku. Fix, kami memang jodoh! Ayo, dong, Bos! Cepat halalkan aku!
Haish! Upik Abu mimpi jadi Cinderella.
Tak ingin membuang kesempatan, kuambil ponsel yang ada di kantong celana. Lalu mulai memeriksa pesan yang masuk. Ada pesan dari Aura yang ternyata mengkhawatirkanku. Baik banget ini anak.
[Nara, lo di mana? Lo nggak dihukum, kan? Butuh bantuan, nggak?]
Yaelah! Bawel juga ini orang.
[Aku di ruangannya Bos Ganteng. Lagi dihukum] balasku.
[Apa? Beneran dihukum? Disuruh ngapain?]
[Pengen tahu aja apa pengen tahu banget?] godaku.
[Terserah lo deh! Gue penasaran, nih. Boleh ngintip, nggak?]
[Haish! Kebiasaan! Dasar tukang ngintip! Bintitan tahu rasa, lho!]
Aura membalas dengan emot tertawa sampai lima biji. Buset, dah! Boros amat!
Langsung saja kubalas dengan mengirimkan foto buku dimana tertulis kalimat-kalimat lebay kreasi Pak Mahendra tadi. Aura kembali mengirimkan emot tertawa sebagai balasannya. Segera kumatikan ponsel dan kembali menulis.
Sialan! Teman lagi kesusahan dia malah tertawa. Dasar tidak berperi pertemanan! Puas-puasin aja tertawa. Awas ya, nanti kalau aku udah beres rasakan pembalasanku! Pembalasan lebih kejam daripada tidak dibalas. Huh!
Baiknya si Aura diapain, ya? Aha! Aku punya ide! Mendingan dia dikelitikin aja. Dia orangnya gelian. Pasti mengasyikkan lihat dia kaya cacing kepanasan, mengeliat ke sana ke mari sambil minta ampun. Ha-ha-ha ... ketawa jahat deh aku jadinya.
Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Akhirnya tugasku beres juga. Kuhitung berkali-kali untuk memastikan jumlahnya benar dan sesuai request Yayang Ganteng. Aih, ngarep!
Aku mondar-mandir dengan gelisah. Ingin membangunkan Pak Mahendra tetapi hati merasa takut dan ragu. Rasanya tak sopan memasuki kamar laki-laki. Aku takut kalau nanti aku malah diapa-apain sama dia. Ruangan ini kan sudah dia kunci. Aku nggak bisa keluar. Aku takut dia berbuat yang iya-iya seperti malam itu.
Akhirnya menghitung kancing baju menjadi jalan ninjaku. Itu andalanku satu-satunya kalau sedang kepepet. Termasuk jika mengerjakan soal ujian dan tak tahu jawabannya. Selama ini cara itu ternyata sangat manjur.
Satu, dua, tiga, empat, lima.
Bangunin, jangan, bangunin, jangan, bangunin.Jawabannya 'bangunin', Gaes!
Baiklah! Berarti aku harus bangunin si Pelor itu. Kuberanikan diri melangkah memasuki kamar di ruangan Pak Mahendra dengan jantung yang tak berhenti berdegub. Laki-laki itu terlihat tidur dengan lelapnya di ranjang yang ada di sana. Semakin dekat, terlihat wajahnya yang lebih tampan di waktu terpejam
Pak Mahendra bertelanjang dada dan kemejanya digantung begitu saja di dekat ranjang. Aku menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di depan mata.
Selama ini aku melihat laki-laki dengan six pack di perutnya hanya di layar televisi atau di ponsel. Kali ini aku melihat secara langsung penampakan roti sobek itu. Tentu saja aku terpesona.
Ya Tuhan! Mataku ternoda!
Ingin tutup mata tetapi merasa sayang untuk dilewatkan. Kapan lagi bisa melihat Pak Mahendra dalam penampilan seperti ini?
Tanganku terulur, berniat membangunkannya. Namun, kembali kutarik karena ragu. Bagian mana yang harus kusentuh? Gimana kalau dia marah terus aku diterkamnya?
Kuputuskan untuk mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melindungi diri jika dia menerkam. Kupindai sekeliling dan melihat sebuah payung yang tergantung di samping pintu.
Au! Ternyata sakit juga kalau dipukul pakai ini. Berarti benda ini bisa dijadikan senjata. Yes! I got it!
Kuelus-elus kepala yang tadi sengaja dipukul payung untuk uji coba. Mudah-mudahan saja nanti tidak benjol. Nanti julukanku bukan Upik Abu lagi. Diganti jadi Corona. Virus itu benjol-benjol pinggirannya, ye kan?
Aku kembali ke kamar tanpa was-was lagi. Percaya diri pokoknya. Soalnya merasa sudah punya senjata yang ampuh untuk mengatasi serangan mendadak.
Pelan-pelan kuguncang bahu presdir sengklek itu. Dia bergeming. Guncangan kupercepat tetapi dia tetap tak bergerak.
Dasar kebo!
Tak kehabisan akal, kutarik-tarik tangannya hingga terdengar bunyi 'krak'.
Aku jadi panik karenanya. Tangan kekar itu kuempaskan begitu saja. Aku takut kalau tangannya patah dan disalahin. Lalu dijebloskan ke dalam penjara. Oh, tidaaak!Aku tak mau hidupku berakhir di penjara. Namun, kalau terpenjara cintanya Pak Mahendra, aku mau sekali.
Jangan mimpi, Markonah!
Dengan hati-hati kembali kuraih tangannya yang menjuntai ke lantai lalu mengamatinya. Sepertinya tidak patah. Ini masih normal, kok. Masih bisa digerakin. Berarti aman, deh. Berarti aku nggak dipenjara. Horeee!
"Pak, bangun, Pak. Tugas saya sudah selesai," ucapku sambil mengguncang bahunya lagi.
Buset, dah! Dia nggak bangun juga. Ini kebo apa gorila, sih? Soalnya tangan dan dadanya penuh bulu. Hiiiy!
Aha! Aku punya ide cemerlang!
Cepat-cepat aku naik ke ranjang lalu melompat-lompat hingga benda itu terguncang mirip gempa tektonik. Aku senang sekali karena merasa menemukan permainan baru. Seumur-umur belum pernah aku main lompat-lompatan kaya gini. Di rumah tak punya ranjang soalnya.
"Kinara Ailani! Apa yang kamu lakukan?"
Teriakan itu menghentikan kerianganku. Aku tersentak. Terlalu asyik menikmati permainan, aku jadi tak sadar jika berada di ranjang Pak Mahendra.
Duh Gusti ... tolong aku!
***
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Sambil menunggu Asep membuatkan teh manis, aku mengintip dari jendela kaca pantry. Ingin tahu apakah Pak Mahendra mengejarku. Namun tak terlihat siapa pun di lorong. Mungkin dia sedang mengganti bajunya sambil merutuk kesal. Aku tertawa geli membayangkan wajah marahnya tadi.Memang enak, balas dikerjain?"Hei, dipanggilin malah senyam-senyum sendiri!"Gerutuan Asep membuyarkan lamunanku. Kuterima minuman yang diangsurkannya lalu bergegas meninggalkan pantry setelah mengucapkan terima kasih.Sewaktu melewati ruangan Pak Mahendra kusempatkan untuk menengok. Gordennya ternyata tertutup. Rencana mau ngintip dia pun gagal.Mungkin saja dia merasa kalau sudah menjahiliku, makanya dia tidak protes atau mengejar waktu aku membalasnya. Kemarin juga dia diam saja waktu kuisi dengan asal biodata di bukunya.Berarti memang impas dong, kita. Score-nya sama, 2-2. Aih, udah kaya pertandingan bola aja.
Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tidur. Berkali-kali kucoba memejamkan mata tetapi bayangan Pak Mahendra yang datang dan terus membayangi. Mengusik dan mengobrak-abrik pikiranku.Semula kupikir dia diam karena memaklumi kekesalan yang kurasakan. Namun semakin kutelusuri, ada kemungkinan lain yang mengganggu pikiran.Mungkin saja diamnya laki-laki tampan itu pertanda jika dia benar-benar tak peduli padaku. Jika iya, itu berarti aku harus mengubur dalam-dalam segala harapan padanya. Berarti dia memang benar-benar tak mengingatku sebagai perempuan yang telah dia renggut kehormatannya di malam itu.Terkadang aku ingin menanyakan padanya secara langsung mengenai kejadian itu. Namun, aku takut dia menyangkal atau malah menuduhku mengarang cerita untuk memerasnya.Jika diperkarakan dengan hukum pasti juga tak akan bisa karena tak ada bukti dan saksi. Lagipula berhadapan dengan hukum sama saja dengan bersiap-siap mengge
Ketika memasuki lobi kantor, resepsionis memperhatikan tanpa berani berkomentar apa pun karena ada Pak Mahendra di sampingku. Setelah menempelkan jari pada mesin absen aku pun segera menuju ke meja kerja.Semenjak memasuki lobi tak sepatah kata pun keluar dari bibir si Bos. Aku dan dia bagai kedua orang yang saling tak mengenal, sama-sama diam. Mungkin dia menjaga image-nya di depan karyawan yang lainnya.Mungkinkah sebenarnya dia mengingat dan mengenaliku sebagai gadis yang dia renggut kehormatannya malam itu. Bisa saja dia merasa derajat kami tidak sama. Dia bos, sedangkan aku karyawan biasa. Maka dari itu dia tak mau bertanggung jawab dan berpura-pura tak kenal denganku.Sepertinya kemungkinan ini yang paling mendekati kebenarannya. Perhatiannya kepadaku tak seperti perhatiannya kepada karyawan lain.Maksudku sikapnya kepadaku sangat berbeda layaknya terhadap karyawan yang lain. Di depan mereka dia terkesan angkuh dan di
Kerempongan Pak Mahendra semakin menjadi saat bakso pesananku datang. Pesanannya sendiri baru dibuat karena dia datang belakangan. Kububuhkan saus, kecap, dan sambal sesuai seleraku lalu mengaduknya."Itu enak, nggak?" tanyanya sambil menunjuk mangkok bakso punyaku.Aku pun langsung menyendok bakso yang paling kecil berikut kuahnya. "Enak, kok, Pak. Seperti biasanya," jawabku jujur.Memang rasanya seperti biasanya tak ada yang berubah. Kuletakkan lagi sendok di mangkuk lalu menyeruput teh botol di meja. Haus, Gaes!Terkejut. Itu yang kualami saat tiba-tiba saja Pak Mahendra mengambil mangkuk punyaku lalu dengan santainya menyuapkan bakso ke mulutnya.Sendok itu kan bekasku tadi. Dia tanpa sungkan memakainya. Entah dia sadar atau tidak.Si Bos Sengklek meleletkan lidah. "Pedas! Nggak enak! Kamu mau meracuni saya?"Dia mengatakan itu sambil kembali menyodorkan mangkuk ke hadapanku.Ealah ...
Siang setelah jam istirahat aku tak bisa konsentrasi. Otak ini terus saja bekerja memikirkan ucapan teman-temanku tadi. Baik tentang Pak Mahendra ataupun tentang Andra. Kedua laki-laki yang kata mereka menyukaiku.Aaargh! Kenapa bayangan mereka nggak mau pergi? Benar-benar menyiksa!Aku merutuk sambil mengacak-acak rambut. Tiba-tiba saja kepala terasa gatal. Aku tersentak ketika merasa seperti ada yang bergerak di antara helaian rambut.Jangan-jangan ... di sana ada kutunya. Aduh ... seperti ada yang menggigit!Segera kugerakkan jari di tempat yang terasa gatal. Tak sengaja telunjukku mengenai sesuatu. Rasa curiga mendorongku untuk menjumputnya.Ealah ... ternyata beneran kutu!Duh Gusti ... kenapa binatang penghisap darah itu bisa ada di rambutku?Segera kupites mahluk kecil itu sambil bayangin lagi mites miniaturnya Pak Mahendra. Ssst! Jangan dibilangin, ya!Sial! Kepala