Share

Duh Gusti ... Tolong Aku!

Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal. 

Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.

Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya. 

Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya. 

Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa? 

"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tangan. Pegal.

"Capek, atuh, Pak. Kenapa harus berjumlah 150? Banyak banget, Pak," keluhku.

Ini bos ngerjain orang nggak pakai kira-kira. Coba kalau dia yang ngerjain, memang enak?

"Dikasih kerjaan kaya gitu aja bilang capek," sahutnya sinis.

Aku mencebik kesal. Dia kembali duduk dan melihatku menulis. "Udah dapat berapa kata?" tanyanya.

"Belum dihitung, males hitungnya." 

"Saya capek lihatin kamu. Saya mau tidur dulu. Nanti bangunin kalau kamu sudah selesai. Awas kalau nggak selesai kamu udah kabur! Nanti hukumanmu ditambah," ancamnya sambil membuka sebuah pintu yang berada di dekat rak buku.

Sepertinya itu ruangan pribadinya. Mungkin tempat dia beristirahat jika merasa lelah. Enak juga jadi presdir. Orang-orang bekerja, dia bisa tidur di ruangannya. 

Jangan-jangan dia juga ngapa-ngapain di kamar itu sama Lidya. Soalnya menurut gosip anak-anak ex-im yang paling dekat dengan ruangan ini, perempuan cantik itu kalau datang ke sini bisa seharian nggak keluar-keluar. Pasti mereka sedang ....

Aih, kenapa hari ini otakku kotor banget, ya? Seseorang! Tolong bawain sapu dan super pell! Bantu aku bersihinnya!

Ini pasti gara-gara Pak Mahendra yang mengerjaiku dari tadi. Makanya otak jadi terkontaminasi. Huh! Sebel! 

Segera kuenyahkan pikiran tak sehat yang merajai otak lalu mulai menghitung jumlah tulisan yang telah kubuat. Ternyata belum ada setengahnya. Kalau boleh difoto copy pasti sudah kulakukan dari tadi. Sayangnya si Raja Tega itu inginnya semua tulisanku asli. Original! Niat sekali dia mengerjaiku.

Beberapa menit berlalu, terdengar suara dengkuran dari arah kamar yang pintunya terbuka. Mungkin dia sengaja tak menutupnya agar aku bisa membangunkannya. Ternyata itu orang pelor juga. Baru juga nempel bantal langsung molor. 

Buset dah! Ganteng-ganteng kok ya tidurnya ngorok, sih? Sama dong kaya aku. Fix, kami memang jodoh! Ayo, dong, Bos! Cepat halalkan aku! 

Haish! Upik Abu mimpi jadi Cinderella.

Tak ingin membuang kesempatan, kuambil ponsel yang ada di kantong celana. Lalu mulai memeriksa pesan yang masuk. Ada pesan dari Aura yang ternyata mengkhawatirkanku. Baik banget ini anak.

[Nara, lo di mana? Lo nggak dihukum, kan? Butuh bantuan, nggak?]

Yaelah! Bawel juga ini orang.

[Aku di ruangannya Bos Ganteng. Lagi dihukum] balasku.

[Apa? Beneran dihukum? Disuruh ngapain?]

[Pengen tahu aja apa pengen tahu banget?] godaku.

[Terserah lo deh! Gue penasaran, nih. Boleh ngintip, nggak?]

[Haish! Kebiasaan! Dasar tukang ngintip! Bintitan tahu rasa, lho!]

Aura membalas dengan emot tertawa sampai lima biji. Buset, dah! Boros amat! 

Langsung saja kubalas dengan mengirimkan foto buku dimana tertulis kalimat-kalimat lebay kreasi Pak Mahendra tadi. Aura kembali mengirimkan emot tertawa sebagai balasannya. Segera kumatikan ponsel dan kembali menulis.

Sialan! Teman lagi kesusahan dia malah tertawa. Dasar tidak berperi pertemanan! Puas-puasin aja tertawa. Awas ya, nanti kalau aku udah beres rasakan pembalasanku! Pembalasan lebih kejam daripada tidak dibalas. Huh! 

Baiknya si Aura diapain, ya? Aha! Aku punya ide! Mendingan dia dikelitikin aja. Dia orangnya gelian. Pasti mengasyikkan lihat dia kaya cacing kepanasan, mengeliat ke sana ke mari sambil minta ampun. Ha-ha-ha ... ketawa jahat deh aku jadinya. 

Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Akhirnya tugasku beres juga. Kuhitung berkali-kali untuk memastikan jumlahnya benar dan sesuai request Yayang Ganteng. Aih, ngarep! 

Aku mondar-mandir dengan gelisah. Ingin membangunkan Pak Mahendra tetapi hati merasa takut dan ragu. Rasanya tak sopan memasuki kamar laki-laki. Aku takut kalau nanti aku malah diapa-apain sama dia. Ruangan ini kan sudah dia kunci. Aku nggak bisa keluar. Aku takut dia berbuat yang iya-iya seperti malam itu. 

Akhirnya menghitung kancing baju menjadi jalan ninjaku. Itu andalanku satu-satunya kalau sedang kepepet. Termasuk jika mengerjakan soal ujian dan tak tahu jawabannya. Selama ini cara itu ternyata sangat manjur.

Satu, dua, tiga, empat, lima.

Bangunin, jangan, bangunin, jangan, bangunin.

Jawabannya 'bangunin', Gaes! 

Baiklah! Berarti aku harus bangunin si Pelor itu. Kuberanikan diri melangkah memasuki kamar di ruangan Pak Mahendra dengan jantung yang tak berhenti berdegub. Laki-laki itu terlihat tidur dengan lelapnya di ranjang yang ada di sana. Semakin dekat, terlihat wajahnya yang lebih tampan di waktu terpejam

Pak Mahendra bertelanjang dada dan kemejanya digantung begitu saja di dekat ranjang. Aku menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di depan mata. 

Selama ini aku melihat laki-laki dengan six pack di perutnya hanya di layar televisi atau di ponsel. Kali ini aku melihat secara langsung penampakan roti sobek itu. Tentu saja aku terpesona. 

Ya Tuhan! Mataku ternoda! 

Ingin tutup mata tetapi merasa sayang untuk dilewatkan. Kapan lagi bisa melihat Pak Mahendra dalam penampilan seperti ini? 

Tanganku terulur, berniat membangunkannya. Namun, kembali kutarik karena ragu. Bagian mana yang harus kusentuh? Gimana kalau dia marah terus aku diterkamnya? 

Kuputuskan untuk mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melindungi diri jika dia menerkam. Kupindai sekeliling dan melihat sebuah payung yang tergantung di samping pintu. 

Au! Ternyata sakit juga kalau dipukul pakai ini. Berarti benda ini bisa dijadikan senjata. Yes! I got it! 

Kuelus-elus kepala yang tadi sengaja dipukul payung untuk uji coba. Mudah-mudahan saja nanti tidak benjol. Nanti julukanku bukan Upik Abu lagi. Diganti jadi Corona. Virus itu benjol-benjol pinggirannya, ye kan? 

Aku kembali ke kamar tanpa was-was lagi. Percaya diri pokoknya. Soalnya merasa sudah punya senjata yang ampuh untuk mengatasi serangan mendadak. 

Pelan-pelan kuguncang bahu presdir sengklek itu. Dia bergeming. Guncangan kupercepat tetapi dia tetap tak bergerak. 

Dasar kebo! 

Tak kehabisan akal, kutarik-tarik tangannya hingga terdengar bunyi 'krak'.

Aku jadi panik karenanya. Tangan kekar itu kuempaskan begitu saja. Aku takut kalau tangannya patah dan disalahin. Lalu dijebloskan ke dalam penjara. Oh, tidaaak! 

Aku tak mau hidupku berakhir di penjara. Namun, kalau terpenjara cintanya Pak Mahendra, aku mau sekali. 

Jangan mimpi, Markonah! 

Dengan hati-hati kembali kuraih tangannya yang menjuntai ke lantai lalu mengamatinya. Sepertinya tidak patah. Ini masih normal, kok. Masih bisa digerakin. Berarti aman, deh. Berarti aku nggak dipenjara. Horeee! 

"Pak, bangun, Pak. Tugas saya sudah selesai," ucapku sambil mengguncang bahunya lagi. 

Buset, dah! Dia nggak bangun juga. Ini kebo apa gorila, sih? Soalnya tangan dan dadanya penuh bulu. Hiiiy! 

Aha! Aku punya ide cemerlang! 

Cepat-cepat aku naik ke ranjang lalu melompat-lompat hingga benda itu terguncang mirip gempa tektonik. Aku senang sekali karena merasa menemukan permainan baru. Seumur-umur belum pernah aku main lompat-lompatan kaya gini. Di rumah tak punya ranjang soalnya. 

"Kinara Ailani! Apa yang kamu lakukan?" 

Teriakan itu menghentikan kerianganku. Aku tersentak. Terlalu asyik menikmati permainan, aku jadi tak sadar jika berada di ranjang Pak Mahendra. 

Duh Gusti ... tolong aku!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status