Tak terasa sebulan telah berlalu dari kejadian terkutuk itu. Kutatap cemas kalender yang tergantung di dinding kontrakan. Kalender yang bergambar aktor-aktor tampan Korea dan tulisan toko baju tempat kerjaku dulu.
Bukan ... aku bukan lagi mencemaskan Lee Min Ho atau aktor bermata sipit yang lainnya. Aku lagi deg-deg ser sambil memelototi angka-angka yang ada di sana.
Biasanya tanggal segini tamu bulananku sudah datang. Kenapa sekarang belum, ya? Jangan-jangan ....
Oh, tidaaak! Jangan sampai itu terjadi!
Membayangkan perutku akan semakin membesar dan semua orang akan menatap sinis membuatku bergidik ngeri. Mau ditaruh di mana mukaku?
Apa iya aku harus pakai topeng ke mana-mana? Gimana kalau aku dikira tukang ondel-ondel yang suka mengamen dari pintu ke pintu? Terus nanti anak-anak kecil pada ngikutin dan nyorakin aku?
Haish! Benar-benar merepotkan!
Pelan-pelan kuusap perut yang masih rata. Lalu membayangkan wajah laki-laki yang telah menyebabkan kekacauan ini.
Pak Mahendra. Nama itu meluncur begitu saja dari bibirku. Bagaimana caranya aku meminta pertanggungjawaban dari laki-laki itu? Apa dia akan mau mengakui perbuatannya?
Sudah sebulan ini aku memperhatikan laki-laki tampan itu tetapi dia sendiri tak memperhatikanku. Diam-diam kuamati jam berapa dia datang, kapan keluar, kapan dia makan, dan juga kebiasaan-kebiasaannya.
Bahkan aku rela membeli rokok untuk Asep, office boy yang bertugas bersih-bersih di kantor. Semua itu kulakukan demi mendapatkan informasi tentang Pak Mahendra darinya. Makanan dan minuman kesukaan dan apa pun yang dia ketahui tentang laki-laki tampan perenggut mahkotaku itu.
Semenjak kejadian nahas di hotel itu, aku yang semula tak peduli jika melihat Pak Mahendra sekarang berubah 180 derajat. Dulu, jika karyawan perempuan di kantor kasak-kusuk membicarakan laki-laki itu aku hanya melipir.
Aku sadar siapa diri ini. Kinara Ailani, gadis kampung yang yatim piatu dan tak berharta. Sementara laki-laki flamboyan itu dia adalah orang kaya yang hartanya tak akan habis tujuh turunan. Atau bisa jadi malah delapan turunan.
Ah, ribet amat. Pokoknya hartanya banyak. Gitu aja deh, ya?
Jika seorang perempuan terenggut paksa kehormatannya, biasanya dia akan membenci pelakunya. Namun kejadian itu lain daripada yang lain. Kami sama-sama dalam keadaan tak sadar. Jadi itu bukan murni kesalahannya.
Oleh karena itulah, aku tak bisa membenci laki-laki keturunan Jawa itu. Bahkan tanpa kusadari sepertinya benih-benih cinta diam-diam bersemi dalam hatiku.
Melihat sosoknya dari kejauhan saja jantungku terasa bertalu-talu. Serasa ada yang bermekaran di dalam dada. Sekumpulan bunga tetapi bukan bunga bank. Itu riba!
Yang jelas dalam hati kecil ini tentu saja aku ingin dia bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya hidupku di masa depan.
Kalau ternyata aku harus menikah dengan laki-laki lain, apa yang terjadi? Jika suamiku itu mengetahui istrinya sudah tak suci lagi dia pasti tak akan terima. Mungkin dia malah akan mempermalukanku karenanya.
Begitu berharganya kehormatan seorang gadis. Dan aku menyesal sekali karena telah kehilangannya. Serasa hidupku tiada lagi berguna.
Misalnya benar-benar Pak Mahendra bertanggung jawab padaku sepertinya aku harus meralat apa yang baru saja kuucapkan.
Jika memang demikian aku tak lagi menyesal tetapi malah bersyukur. Karena tanpa sengaja peristiwa itu membawakan suatu kebahagiaan untukku. Selama ini, aku bahkan tak pernah berani bermimpi menjadi pendamping hidupnya.
Dalam hati bertanya, akankah harapanku ini jadi nyata? Siapkah aku menjalani kehidupan baru bersamanya?
Aaargh! Memikirkan itu semua, membuat kepalaku pusing tujuh keliling tujuh putaran. Sudah mirip sirkuit offroad aja.
Baiklah. Sepertinya lebih baik aku tidur saja daripada kepalaku pecah karena overload. Siapa tahu nanti dalam mimpi ketemu sama Pak Mahendra, ye kan? Jangan pada ngiri, ya!
***
Aku berjalan memasuki sebuah restoran yang cukup terkenal di kota ini. Tanganku terasa dingin walaupun dalam genggaman Pak Mahendra. Ingin kulepaskan tetapi genggamannya malah semakin erat. Sepertinya dia benar-benar terobsesi dengan lagu 'Balonku'.
Dia menghentikan langkah ketika tiba di sebuah meja yang terpisah dari meja-meja lainnya. Berkonsep outdor dengan lilin-lilin kecil menghiasi meja. Sementara cahaya temaram dari bulan purnama seakan menjadi penguat suasana romantis yang tercipta.
Aku baru tahu jika laki-laki tampan ini memiliki jiwa seromantis ini. Berbanding terbalik dengan sikapnya jika di kantor, yang kaku, tegas, dingin, dan datar mirip talenan Ibu tiriku.
Dia menarik sebuah bangku dan menyuruhku duduk di sana. Lalu dia menarik sebuah bangku lagi di seberang meja untuknya sendiri. Dia tersenyum manis sekali, membuat gula darahku jadi naik.
Jangan-jangan nanti aku terjangkit penyakit diabetes gara-gara senyumannya itu. Sepertinya setelah dari sini aku harus menyetok obat anti diabetes karena setiap hari melihatnya tersenyum.
Dia menunjuk bermacam menu yang terhidang di atas meja, menyuruhku memilih. Kupilih makanan yang tak asing dan biasa kumakan. Takut jika menu asing ternyata tak cocok di lidah perempuan ndeso sepertiku.
Laki-laki yang membuat jantungku senam dari tadi itu mengambilkan makanan yang kutunjuk ke dalam piring.
Jantungku seakan hendak melompat dari tempatnya saat dia menyendokkan makanan di depan mulutku.
Dia nyuapin aku, Saudara-saudara!
Aih, indahnya dunia ...Sayangnya begitu adegan suap-suapan berlangsung tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegar. Aku terlonjak kaget dan langsung memeluknya. Wajah kami pun hanya berjarak beberapa centi.
Dia memangkas jarak hingga nyaris tak ada ruang lagi di antara kami. Dia semakin mendekat hingga debar-debar di dada semakin tak terkendali. Tak tahan dengan tatapan mata elangnya, aku pun memejamkan mata dan menunggu.
Sedetik, dua detik, tiga detik ... kok nggak terjadi apa-apa, ya?
Kembali kubuka mata dan senyum jahilnya yang pertama kali terlihat. "Kenapa merem?" ledeknya.
Wajahku menghangat karena malu. Sialan! Dia mengerjaiku!
Oalah, kukira tadi dia akan ... ah, sudahlah, ternyata aku yang berpikiran mesum!
Kami pun melanjutkan makan malam romantis tersebut. Berkali-kali kulihat senyum laki-laki tampan itu mengembang mirip adonan kue yang siap dioven. Gara-gara melihatku makan dengan lahap.
Tiba-tiba terdengar suara petir lagi. Kali ini lebih menggelegar daripada tadi.
Duh, petir ... bisa, nggak, sih, jangan datang dan gangguin kami?
Tentu saja aku terlonjak kaget dan refleks memeluknya. Sayangnya ternyata dia tak siap jika akan kupeluk. Tubuhnya limbung dan kami pun jatuh ke lantai.
***
Aku segera duduk dan mengusap-usap kepala yang terantuk sudut lemari. Baru kusadari ternyata candle light dinner-ku bersama Pak Mahendra hanya ada di dalam mimpi.
Aaargh! Sial! Ternyata cuma mimpi! Kenapa tadi malah bangun? Coba kalau nggak bangun pasti mimpiku bertambah indah.
Aku kembali naik ke kasur lalu membalikkan bantal dan berbaring lagi. Kata orang jika kita mimpi dan terjaga lalu membalikkan bantal, maka mimpinya akan jadi kenyataan. Entahlah, mungkin itu hanya mitos.
Kutarik selimut lalu memohon pada Tuhan.
Tuhan, bisa, nggak, mimpiku dilanjutin lagi?
Paginya aku bangun kesiangan. Gara-gara semalam bermimpi tentang Pak Mahendra. Setelah terbangun jadi susah untuk kembali tidur padahal baru jam dua malam. Entah jam berapa aku tertidur lagi, rasanya baru saja terpejam tetapi hari sudah beranjak pagi.Aku berangkat dengan tergesa-gesa. Hanya mampir di tukang dagang depan pabrik untuk membeli sarapan dan langsung kubawa masuk ke kantor. Biarlah nanti makannya di dalam saja.Ketika melewati ruangan Pak Mahendra, aku tak tahan untuk tak menolehkan kepala. Kebetulan tirai di jendelanya terbuka. Jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Apa yang terlihat disana membuat mata ini terbelalak.Krak!Ada yang patah di dalam sini. Hatiku. Organ tubuhku yang satu itu terpotek-potek, hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu mustahil untuk disatukan lagi.Di depan mata, Lidya sedang bergelayut manja di bahu Pak Mahendra. Sementara laki-laki tampan itu tersenyum ceria.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Semalam aku bisa tidur dengan lelap setelah melihat hasil yang ditampilkan oleh benda pipih yang kubeli di apotek kemarin.Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya.Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan.Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya me
Sontak kubuka mata dan menoleh ke asal suara di belakangku. Mata ini langsung melotot waktu melihat siapa yang ada di sana. Pak Mahendra!Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya."Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!"Kamu tahu in
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Sambil menunggu Asep membuatkan teh manis, aku mengintip dari jendela kaca pantry. Ingin tahu apakah Pak Mahendra mengejarku. Namun tak terlihat siapa pun di lorong. Mungkin dia sedang mengganti bajunya sambil merutuk kesal. Aku tertawa geli membayangkan wajah marahnya tadi.Memang enak, balas dikerjain?"Hei, dipanggilin malah senyam-senyum sendiri!"Gerutuan Asep membuyarkan lamunanku. Kuterima minuman yang diangsurkannya lalu bergegas meninggalkan pantry setelah mengucapkan terima kasih.Sewaktu melewati ruangan Pak Mahendra kusempatkan untuk menengok. Gordennya ternyata tertutup. Rencana mau ngintip dia pun gagal.Mungkin saja dia merasa kalau sudah menjahiliku, makanya dia tidak protes atau mengejar waktu aku membalasnya. Kemarin juga dia diam saja waktu kuisi dengan asal biodata di bukunya.Berarti memang impas dong, kita. Score-nya sama, 2-2. Aih, udah kaya pertandingan bola aja.