Elisabeth POV.
aku membuka mataku pagi ini dengan kalimat syukur yang terus menerus aku ucapkan di dalam hati. Akhirnya, aku masih bisa melihat indahnya matahari pagi setelah kejadian semalam, karena ternyata Tuhan selalu memberikan sebuah keajaiban dari setiap keadaan, buktinya pangeran berkuda putihku datang menyelamatkanku saat aku hampir saja tak punya harapan.
“Selamat pagi....” pintu kamarku terbuka dan sosok Adrian muncul membawa baki berisi teh hangat dan kue.
Aku tersenyum kecil. Ingatanku mengembara bahwa ia menemaniku
Elisabeth POV. Berulang kali aku menarik gordyn jendela, berharap melihat langkahnya memasuki halaman depan pavillium dan akhirnya mengetuk pintu kamarku. Tapi kenyataannya, sudah lebih dari setengah hari aku menunggu, tak kulihat sosok itu. Yang ada hanya beberapa pelayan yang hilir mudik dengan kesibukan mereka masing-masing. Aku menggerutu dalam hati. Bahkan aku masih ingat dengan sangat jelas bahwa Adrian mengatakan akan segera pulang setelah pertemuan. Nyatanya ia sedang berbohong kali ini. Aku mengusap wajahku dan jerit ponsel membuatku melonjak dari tepi jendela, lantas menghambur menuju kasur. Rebecca Calling…. Aku sedikit kecewa ketika nama yang muncul di layar ponsel bukan nama Adrian, namun nama sepupuku—Rebecca. Namun aku tak punya alasan untuk tak mengangkat telepon sepupuku itu, aku yakin ada suatu hal yang ingin dikatakannya. “Halo….” “El….” Lengkingan nyaring menusuk telingaku. Aku menjauhkan ponselku da
Adrian POV. Aku memarkir mobilku tepat di depan sebuah café berwarna coklat gelap itu. Café itu bertuliskan ‘close’ tapi di dalam sana, lewat jendela kaca yang lebar, aku melihat ada pesta yang begitu ramai dan berisik. Bahkan suara music yang menghentak-hentak itu terdengar sampai di telingaku. Akh, berisik sekali. Aku tidak suka. Orang yang aku cintai berada di dalam. Entah kenapa membayangkan begitu banyak lelaki mabuk di dalam sana membuat hatiku cemburu. Orang mabuk bisa melakukan apa saja bukan? Bagaimana kalau Elisabeth juga ikut mabuk dan melakukan hal-hal bodoh…..dan…. Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya terjadi. Gadisku tidak boleh di sentuh oleh sembarangan orang. Bahkan ketika aku ingat bagaimana Kevin hampir memperkosanya tadi malam, hatiku kembali memuncak panas. Sebenarnya aku ingin sekali memukuli wajah pria itu sampai ia tidak sadar diri dan masuk ICU—seandainya saja, jika semalam Justin tidak meleraiku. Aku mengambil ponsel
Elisabeth POV. Aku mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur itu dengan ekspresi yang sangat cemas. Lorong IGD rumah sakit yang awalnya tak begitu ramai, kini terdengar gaduh dengan suara derit roda dari tempat tidur yang di dorong dari dalam ambulance tadi. Berkali-kali aku menggigit bibir, merapalkan doa agar kekasihku yang sekarang tidak sadar ini baik-baik saja. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini, meskipun aku tak yakin jika ini sepenuhnya adalah salahku. Aku kira, semua berjalan begitu baik ketika kami sudah sama-sama saling memagut dalam sebuah hasrat yang meletup-letup di tubuh kami. Aku kira, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya. Adrian kembali memegangi kepalanya, berteriak histeris lalu pingsan. “Anda tunggu di sini.” Seorang suster menghadangku tepat di depan pintu resusitasi. Ia lalu menutup pintu dengan cepat, meninggalkan aku yang terpaku dengan cemas. B
Elisabeth POV. Aku menemaninya duduk di pinggir jendela kamar inapnya dengan tak banyak suara. Pria itu tampak sangat menikmati posisinya saat ini. Matanya sejak tadi terpaku ke luar jendela yang dingin, menatap beberapa tukang kebun rumah sakit yang tengah sibuk membersihkan sekitar. Di udara sedingin ini, aku tak melihat satu pasien pun keluar dari ruangannya untuk menikmati suasana di luar, mungkin mereka enggan. Udara dingin hanya akan membuat mereka bertambah sakit. “Ini mirip seperti de’javu.” Gumamnya tenang tanpa menoleh ke arahku. Aku menatapnya dari samping. Pria yang sekarang mengenakan baju rumah sakit itu tampak menyunggingkan senyumnya sedikit. Meskipun pucat, ia terlihat masih sangat tampan. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Aku selalu merasa familiar dengan keadaanku yang seperti ini El.” Ia mendongak menatapku. “Rumah sakit, bau aromatherapy, obat, alcohol, dan duduk di tepi jendela menyaksikan orang-orang beraktifitas di luar sana.”
Elisabeth POV. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Adrian untuk pulang hari ini. Bagaimana kalau dokter Antony atau nenek Anna marah melihat Adrian meninggalkan rumah sakit dan aku yang disalahkan? Bagaimanapun juga, kondisinya belum stabil karena masih harus mendapatkan beberapa obat melalui vena-nya. Namun dari sikap Adrian yang bersikeras dan juga kalimatnya yang merupakan sebuah perintah seperti tadi membuatku mengalah. Aku tahu ia pasti akan sangat marah padaku jika aku tak menurutinya. Salju tiba-tiba turun ketika kami baru saja masuk ke dalam taxi. Cuaca malam cukup dingin, berkali-kali aku mencoba mengeratkan mantel yang menutupi tubuhnya agar ia tidak kedinginan. “Aku tidak kedinginan El….” Katanya ketika aku baru saja selesai memasang sebuah syal di lehernya. Bukannya menerima itu dengan terimakasih, ia malah menatapku tidak suka lalu melepas syal itu dan memakaikannya padaku. “Aku tahu kamu lebih kedinginan.” Gumamnya. “Aku tidak m
Elisabeth POV. “Aku pikir kau tidak akan datang.” David menyambutku dengan senyuman mengejeknya di balik kemudi. Aku menutup pintu mobil, lalu menoleh padanya. “Kalau aku benar tidak datang, apakah kamu akan pulang?” Pria itu tertawa, lalu menyerahkan segelas kopi padaku. “Ini…minumlah…” Aku menerima kopi itu dengan sedikit ragu. “Tenang, aku tidak menaruh racun sianida di dalam situ.” Aku menimang-nimang kopi itu sebelum akhirnya memegangnya dengan erat. “Aku juga tidak berfikir begitu.” Klik! Aku berhasil memasang seat belt dengan satu tanganku. “Aku hanya berfikir, jika kamu menginginkan sesuatu dariku ketika memberikan sesuatu seperti ini.” David tersenyum sinis sambil melajukan kendaraannya. “Apa kamu selalu berfikiran buruk tentangku El?” tanyanya tanpa menoleh. “Iya.” Sahutku jujur dan langsung membuat mata pria itu melebar sempurna. “Jujur sekali?” tolehnya sekilas. “Semenjak kamu menghil
Adrian POV. Aku menatap salju yang kembali mulai turun malam ini. Hatiku resah. Berkali-kali kuayunkan langkahku menuju gerbang hanya untuk memastikan Elisabeth sudah datang. Namun nihil, taka da yang melintas selain anjing liar yang kedinginan mencari makan. Aku mengambil ponselku lalu mencari namanya di antara barisan nama di kontak teleponku. Meskipun ia terlalu bahagia berkumpul dengan keluarganya, namun ia harus segera pulang. Karena hari semakin malam, dan salju semakin turun dengan deras. Aku tidak mau wanitaku kedinginan, dan bahkan tidak bisa pulang karena terjebak hujan salju nanti. Bukannya mendapatkan jawaban, ponsel itu malah mati. Hanya terdengar suara operator yang menyapaku dengan ramah, namun tak semerdu suara gadis yang sedang aku tunggu malam ini. Aku mendengus, lalu memakai mantelku. “Mau kemana Adrian?” tanya nenek ketika melihatku sudah mengenakan sepatu. “menjemput Elisabeth di depan nek.” Sahutku lantas berlalu.
Elisabeth POV. Aku melihat Andreas duduk terpekur di kursi tunggu rumah sakit dengan air muka keruh. Di sampingnya, berdiri Rebecca dengan wajah yang tak kalah cemas. Sesekali ia mengintip ke dalam IGD melalui jendela kaca buram itu, namun aku tahu jika hasilnya nihil karena di dalam banyak aktivitas dan ia juga tidak tahu mama di periksa di bagian mana. “Bagaimana mama?” langkahku terhenti tepat di depan Andreas. Pria itu mendongak menatapku, sebelum akhirnya pandangannya beralih pada Adrian yang mengikutiku dari belakang. Mungkin Andreas terkejut karena aku tidak datang sendirian. Begitu juga Rebecca, ia juga menatap Adrian dengan ekspresi yang serupa. “Tadi tiba-tiba ia pingsan El.” Rebecca yang menjawab. Ia berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan. “Tenanglah, dokter pasti bisa merawatnya dengan baik.” Aku mengangguk pelan, meskipun kalimat Rebecca sama sekali tidak bisa mengobati perasaanku. Semua orang pasti terkejut, terlebih ak