Bau busuk kian menyengat. Sejak semalam aku terus mencium bau tidak sedap. Semacam sampah basah yang sudah lama tidak dibuang. Atau bangkai hewan yang hampir mengering. Alhasil aku keluar kamar dan memeriksa sekitar. Aku sangat yakin, bau tersebut berasal dari luar.
Begitu pintu terbuka, Raja sedang berdiri di depan tong sampah ujung lorong. Di mana ada dua kamar kosong yang katanya sudah ditinggalkan penghuni lamanya. Dia memperhatikan tempat pembuangan sampah sambil berkacak pinggang.
Karena penasaran, aku pun mendekat. Aku yakin dia juga mencium aroma tidak menyenangkan ini karena kamar kami berdekatan.
Begitu berdiri di samping Raja, aku langsung menutup mulut dan menahan mual. Raja melirik lalu memberikan sapu tangan dari sakunya padaku.
"Itu ... Apa?" tanyaku membelalak mata. Raja mengambil sarung tangan dari saku celana dan memakainya. Dia lantas mengangkat tinggi-tinggi bangkai kucing yang terk
 Seorang wanita sanggup menyembunyikan rasa cintanya bertahun-tahun. Tapi, seorang wanita tidak mampu menyembunyikan rasa cemburunya meski hanya sesaat. Begitulah foto yang aku unggah setelah senja berganti petang. Foto itu iseng aku ambil saat langit masih cerah. Entah mengapa aku mengetik tulisan itu dan mengunggahnya ke media sosial ku. ReynittaRizky "Begitu juga wanita mampu memaafkan kesalahan , tapi tak mampu untuk melupakan apa yang membuat hatinya terluka." Lianaputt22 "Aku lebih baik tenggelam dalam kubangan lumpur daripada harus terbakar oleh perasaanku sendiri ketika melihat kau tertawa lepas bukan denganku." Imeymoona
"Ros, elu betah di sini?" tanya Rangga sambil menyuap mie instan ke dalam mulutnya. Dia terus menggerutu meminta dibuatkan makanan. Sementara aku sedang malas memasak. Jadi alternatif terbaik adalah mie instan. "Eum, gitu deh," kataku, menopang dagu dan menatapnya yang asyik makan. "Gitu deh? Maksudnya? Iya atau enggak?" "Sebenarnya aku betah-betah aja sih. Cuma kadang ...," jelas ku menggantung sambil menatap sekitar, Rangga pun mengikuti ke arah yang kutatap. "Kenapa? Ada setan? Ah elu, di mana mana, kan, emang ada setan kali, Ros? Kan udan ada di Al Quran. Manusia dan jin diciptakan hidup berdampingan. Di kitab agama lain juga sama." Kuah mie ia seruput sehingga menimbulkan suara riuh. "Iya, tau. Tapi kali ini lain." Aku lantas merebahkan kepalaku di meja. Rangga menuntaskan kegiatan makannya, mengelap mulut dengan tissue dan bersiap
Pagi di apartemen, sudah ramai dengan banyaknya orang yang datang melihat jenazah Desi. Beberapa polisi datang juga mobil ambulance. Kamar Desi diberi garis batas, dan kami dilarang masuk ke dalam sana. Sekalipun kematian gadis itu langsung dia ngga bunuh diri, tapi polisi masih menyisir TKP dan bertanya pada seluruh penghuni apartemen. Aku duduk di kursi taman, dekat pohon besar satu-satunya di lingkungan apartemen kami. Satria mendekat, dengan action figure Thor yang terus ia genggam. Sepertinya aku baru melihat benda itu. "Baru, ya?" tanyaku menunjuk mainan milik Satria. Dia menoleh lalu mengangguk diiringi senyum lebar di wajahnya. "Siapa yang beli, Satria?" "Papah. Bagus, kan, Kak? Nih ada palunya juga," tunjuk Satria pada benda kecil di tangan Thor tersebut. "Wah, keren." Aku lantas mengelus pucuk kepala anak tersebut.
Aku menekan kepala karena masih menahan rasa pusing sejak bangun tidur beberapa jam lalu. Suasana cafe tidak begitu ramai, pun tidak terlalu sunyi. Beberapa orang memilih menikmati sarapan di tempat ini, alih-alih sarapan di rumah masing-masing. Seperti kami contohnya. Pergi dari apartemen untuk sementara waktu sepertinya cara jitu melepas penat. Oma dibawa ke rumah sakit oleh Raja. Trauma akan kejadian semalam pasti membuat jiwanya terguncang. Tentu lebih aman untuk Oma jika jauh dari apartemen. Aku takut Oma akan menjadi sasaran makhluk iblis itu selanjutnya. Langit sedikit mendung. Tapi hujan belum juga turun. Cuaca ini membuatku ingin menikmati secangkir espresso hangat. "Ini bill-nya. Sini, bayar!" ujar Nita menagih uang pada kami. Satu persatu membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang untuk makanan yang kami pesan kali ini. Tidak ada acara traktir men-traktir. Itu berlaku hanya jika salah satu da
21.00 Aku duduk di dekat jendela, ditemani secangkir kopi dan laptop yang masih menyala tanpa mengetik satu huruf sekalipun. Berbagai ide sudah ada di kepala, tapi aku masih bingung dari mana harus memulainya. Sebagai penulis, setiap hal aneh yang aku temui akan selalu menjadi inspirasi dalam tulisanku. Tentu dengan aku kembangkan sesuai imajinasi, tanpa mengesampingkan fakta yang terjadi. Beberapa karya yang aku tulis, pasti bersumber dari sesuatu yang nyata. Entah aku alami sendiri, atau pengalaman orang lain. Sebisa mungkin aku harus bisa membuat tulisanku terasa hidup, sehingga para pembaca pun akan larut di dalam kisahku. Langit terlihat cerah malam ini, namun bukan berarti tidak gelap. Hanya saja awan mendung tidak ada di sana, hanya menampilkan jutaan bintang. Tawa dan jeritan Satria terdengar sampai kamarku. Aku melirik ke jendela dan melihat beberapa anak kecil berlarian di sana. Tentu ada Satria, tanpa Aidil tentunya. Aidil sep
Dengkuran Rangga membuat mataku sulit terpejam. Sebenarnya bukan itu masalahnya, karena suara dengkuran itu justru membuatku lega. Karena aku tidak sendirian di kamar ini. Setidaknya jika sesuatu terjadi, sudah ada orang di sini yang siap bangun dan membantuku. Tidak perlu berlari keluar, mencari Raja, atau mungkin penghuni apartemen lain, yang belum tentu masih tinggal di gedung ini. Malam yang hening ini, membuatku tidak nyaman. Biasanya hujan justru membuat tidurku jauh lebih nyenyak. Karena aku tidak menyukai suasana hening saat tidur. Tapi hujan tidak mau menyapa malam ini. Dengkuran Rangga bagiku belum cukup. Cerita dari Koh Rudi membuatku berpikir dan menimbang berbagai kemungkinan yang terjadi di tempat ini. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Tapi samar-samar suara cekikikan anak kecil masih terdengar. Aku terus diam sambil menajamkan pendengaran. Sangat yakin kalau suara itu berasal dari halaman
[Oke, Neng. Nanti malam Bang Cen ke sana.] Begitulah pesan yang dikirim Bang Cen pagi ini. Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali selalu terbangun, entah karena mimpi buruk, atau suara aneh, yang jika kedua mataku terbuka, justru tidak ada apa pun. Sepanjang malam tanganku selalu menggenggam ujung baju Rangga. Perasaan takut setidaknya menghilang sedikit saat aku tau kalau aku tidak sendirian. Rangga sudah pergi pagi-pagi sekali karena harus pergi kerja hari ini. Sementara aku, hanya duduk di dekat jendela sambil menikmati kopi hitam yang baru saja kubuat. [Udah sampai?] Entah kenapa aku ingin sekali mengirim pesan ini ke Rangga. Aku ingin tau apa saja yang ia lakukan saat tidak bersamaku. [Sampai kantor dengan selamat. Huft, untung nggak telat gue. Mana tadi Papa nyuruh nganterin Om ke stasiun pula.] Lima menit kemudian dia segera membalas pesanku. Senyum segera
Ada beberapa orang di dunia ini yang ditakdirkan hanya akan menjadi hujan untukmu.Membuat rindumu menggigil, tapi hanya bisa kau pandangi dari jauh, tak bisa kau sentuh, karena takut sakit....Sorot mata sosok yang selama ini mengusik hidupku, kini sudah berada tepat di depan. Bahkan aku baru benar-benar bisa melihatnya dari jarak sedekat ini setelah sekian lama dibayangi olehnya. Wajahnya memang tidak terlihat jelas, sebagian masih tertutup hoddie yang tersambung dengan jubah hitam yang terus ia pakai. Tapi dari tempatku berdiri seringainya terlihat jelas. Dia mirip seorang pembunuh berantai yang menemukan mangsanya di film yang biasa aku tonton. Aku terus mundur sampai berhenti karena terjebak di depan pintu kamar. Tatapannya sangat mengintimidasi. Membuat keberanian ku perlahan menciut.