"Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan.
"Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana.
"Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain.
"Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.
"Tante, coba sambil dipijit ibu jari kakinya," pintaku, berbisik pada Ibu Rangga.
"Oh gitu."
"Rangga. Bantuin Mama kamu itu."
"Hah? Oh iya."
Aku berjalan terus menuju pintu, masih menatap celah tadi dengan dua titik warna merah yang masih ada di sana. Namun saat sudah dekat, dia justru pergi. Aku berdiri di depan pintu, memperhatikan celah tersebut sembari menyentuhnya.
"Kenapa, Mba? Ada apa?" tanya Ayah Rangga.
"Eum, Om ... Banyak guci di sini, ya? Punya Om semua?" tanyaku tidak menjawab pertanyaan tadi. Tapi pertanyaan ini memang ingin aku tanyakan sejak masuk ke dalam rumah.
"Oh iya. Saya suka koleksi barang antik. Itu banyak di kasih orang, ada juga yang beli. Kenapa?"
Aku keluar dari kamar, tengak-tengok mencari keberadaan mata merah tadi. "Hm, nggak apa-apa sih, Om. Cuma sedikit horor aja. Biasanya barang-barang antik suka ada yang nempatin sih. Terutama lukisan sama patung," jelas ku masih memeriksa keadaan lantai dua ini.
"Iya sih. Tapi gimana dong, saya suka."
"Iya udah nggak apa-apa, Om. Saya lihat nggak begitu berbahaya sih. Masih aman aja. Cuma yang satu ini masih belum kelihatan niatannya."
"Satu ini? Yang mana?" Ayah Rangga ikut tengak-tengok mencari sepertiku.
Rangga lantas keluar menyusul kami. Begitu pula Ibu nya. Saat aku menoleh ke kamar Nenek, rupanya Nenek sedang tidur, dan Kakek hanya duduk santai menikmati pemandangan di jendela.
"Gimana?" tanya Rangga.
"Gini. Aku sih belum begitu tau masalah nya, tapi Fifi itu memang ada. Dia ada di dalam tubuh Nenek. Sembunyi, dan seperti menyatu sama Nenek. Soalnya mereka agak mirip. Dari semuanya, fisik, wajah, sikap, karakter. Sama."
"Serius?"
"Iya. Awalnya aku nggak sadar. Aku pikir memang karena umur Nenek yang sudah tua, tapi pas ngobrol tadi aku dengar suara Fifi. Samar, tapi aku yakin itu Fifi. Tapi dia nggak berbahaya sih. Cuma ... Makhluk yang di luar tadi. Matanya merah, sering mengintip kamar Nenek. Untungnya dia nggak bisa masuk."
"Waduh. Beneran ini?" tanya Papa Rangga.
"Percaya nggak percaya sih, Om. Saya nggak akan memaksa orang lain percaya perkataan saya. Saya juga sering nggak yakin sama diri saya sendiri." Tawaku renyah, membuat mereka ikut tersenyum.
"Terus gimana, Ros?" Rangga serius.
"Kalau soal Nenek, mungkin nanti aku minta tolong temen. Buat rukiyah aja. Walau nggak berbahaya, tapi nggak seharusnya ada sosok lain di tubuh Nenek. Besok aku kabarin kamu lagi deh."
"Gimana, Mah? Pah?"
"Papah setuju aja sih. Perlu dicoba. Lagi pula bukan hal yang menyimpang, kan?"
"Mama juga nggak masalah. Maaf ya, Mba Rosi. Merepotkan. Pakai jauh-jauh datang ke sini. Malam-malam lagi."
"Oh nggak apa-apa, Tante. Kebetulan memang mau ke luar tadi. Jadi sekalian mampir."
"Eh, duduk dulu, biar tante buatkan teh hangat. Cuaca lagi dingin. Yuk, eh Rangga ajak ke depan gih."
"Iya, Ma."
Mama Rangga berjalan turun, membuat teh. Papanya masuk kamar Kakek dan Nenek, memeriksa kondisi di dalam terlebih dahulu. Sementara Rangga mengajakku turun ke ruang tamu. Tapi langkahku terhenti. Ada sesuatu yang menarik perhatian. Jendela dekat tangga seolah mengajakku untuk mendekat. "Rangga, Bentar." Aku berjalan ke arah tersebut tanpa persetujuan Rangga. Rumah ini sepertinya belum pernah direnovasi. Jadi bangunannya masih asli dari awal berdiri, dan sepertinya sudah dibangun cukup lama. Jendela dekat tangga tidak diberi korden, sehingga pemandangan di luar terlihat jelas dengan kaca yang sedikit kotor. Rangga tidak memiliki assisten rumah tangga, itu artinya Mamanya yang mengurus semua rumah serta penghuninya. Jadi aku maklum kalau ada beberapa sudut ruangan yang tidak tersentuh tangan.
"Kenapa?" jerit Rangga bertanya dari kejauhan, sepertinya tidak ingin terlibat dengan apa yang kulakukan.
Aku tidak menanggapi panggilannya. Netraku terus memperhatikan keadaan di luar. Semua gelap. Tidak begitu banyak pergerakan di sana. Karena hari memang sudah malam. Tapi ada beberapa hal yang perlahan mulai terlihat jelas. Atap-atap tetangga justru terlihat jelas dari tempatku berdiri. Karena rumah Rangga lebih tinggi dari sekitarnya. Di sana aku justru menemukan pemandangan yang cukup menarik. Sosok-sosok itu membuatku takjub karena seolah sedang bermain dari atap satu ke atap lain. Mereka berlarian dengan cekikikan yang cukup lirih. Ada wanita, anak kecil, dan pria-pria besar di sana.
"Hah!" aku menjerit saat salah satu dari mereka menabrak kaca jendela. Kedatangannya yang tiba-tiba membuatku tidak siap dan terkejut.
Rangga mendekat. Lalu ikut memperhatikan sekitar. "Kenapa?"
Sosok tadi masih menempel di kaca jendela. Seorang wanita atau pria, aku tidak dapat mengenali nya karena penampilannya yang kacau. Sebagian tubuhnya melepuh hingga kulitnya tidak lagi terlihat. Justru bagian daging sedikit hitam yang lebih mendominasi. Tiba-tiba dia menjerit sambil menjauh dari kaca. Dari samping rumah muncul sosok pria yang kulihat saat pertama kali datang. Dia memegang sebuah cambuk di tangan kanannya. Hal ini sangat menarik perhatianku. Akhirnya aku mendekatkan wajahku makin menempel pada kaca. Tidak peduli debu yang ada di sana.
"Oh gitu rupanya," gumamku berbicara sendiri.
"Kenapa sih, Ros? Lihat apa?" Rangga penasaran. Tapi aku tak kunjung memberikan penjelasan.
"Rangga! Ini tehnya udah jadi," jerit Ibu dari lantai bawah. Papa Rangga juga keluar dari kamar, lalu mengajak kami turun bersama.
_____
"Rosi tinggal di mana?" tanya Pak Heri. Akhirnya aku mengetahui nama-nama orang tua Rangga dari piagam yang ada di dinding. Ada foto mereka juga. Keluarga Rangga adalah keluarga terpelajar. Semua piagam penghargaan terpampang di tembok ruang tamu.
Aku yang baru menyecap teh tubruk buatan Bu Nunik, mempercepat tegukan pertama tersebut. Sedikit panas, dan rasanya tenggorokan ku agak terbakar.
"Oh, saya tinggal di apartemen Taman Sari, Om." Cangkir kembali kuletakan di meja.
"Tinggal sendiri atau ...." Bu Nunik tidak melanjutkan pertanyaannya. Obrolan ini seakan sebuah interogasi pada calon menantu. Padahal aku dan Rangga belum mengenal lebih dekat, bahkan kami hanya sebatas teman.
"Iya, saya tinggal sendiri. Kebetulan orang tua sudah meninggal semua. Adik saya, laki-laki, sekarang tinggal di Bali. Kerja di sana."
"Itu bukan kebetulan kali. Tapi takdir," sahut Rangga dan mendapat pukulan di pahanya oleh sang ibunda tercinta.
"Maaf, ya, Mba Rosi. Rangga mulutnya memang suka gini."
"Oh nggak apa-apa kok, tante. Sudah biasa. Saya nggak tersinggung." Kembali cangkir teh ku ambil.
Malam ini setidaknya aku berhasil mendapat makan malam gratis di rumah Rangga. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 21.30 dan aku pun pamit untuk pulang.
"Biar Rangga saja yang antar. Sudah malam. Hujan pula," kata Bu Nunik.
"Eum ...." Aku menoleh ke Rangga yang terlihat malas-malasan meng-iya-kan suruhan Ibunya.
"Enggak usah, Tante. Biar saya naik Ojek online aja."
"Eh, jangan. Anak perempuan masa keluyuran malam-malam sendirian. Bahaya. Udah, biar Rangga yang antar." Kali ini Bu Nunik memaksa.
"Iya iya." pemuda itu beranjak dengan malas-malasan, kembali ke lantai atas. Mungkin kamarnya. Tak lama kembali lagi dengan memakai celana panjang dan jaket. Padahal dia sudah memakai jaket, tapi ada jaket lain digenggamannya. "Yuk, sekarang aja. Nanti kemaleman."
"Oh oke. Kalau gitu saya pamit dulu, Om, Tante."
_____
Mendung tak berarti hujan. Begitu pula guntur tak berarti badai. Sejak aku keluar dari apartemen, guntur terus terdengar bersahutan. Namun sampai sekarang langit tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menurunkan hujan.
Rangga berdiri di depan teras. Menungguku memakai jaket miliknya. Jaket ini sepertinya belum dicuci dalam jangka waktu cukup lama. Karena saat memakainya ada aroma tubuh Rangga bercampur parfum yang baru saja di semprotkan. Karena wangi parfum itu sudah tercium saat dia turun dari tangga. Salah satu cara menyamarkan bau keringat.
"Yuk, nih helmnya."
Hampir pukul 22.00 kami baru keluar dari kompleks perumahan Rangga. Untungnya besok hari minggu, dan dia libur. Karena katanya, dia biasa tidur cepat setiap malam. Jam 10 malam adalah waktu terakhir dia begadang. Tapi malam ini pengecualian.
"Jadi nggak pernah malam mingguan dong kamu?" tanyaku sambil menempelkan dagu di bahu kanannya.
"Malam mingguan sama siapa? Jomblo gini," sahut Rangga sedikit mengeraskan nada bicaranya, karena jalanan malam ini cukup ramai.
"Ya kali aja kan, main sama temen. Nongkrong. Anak muda kan biasanya gitu atuh."
"Males ah. Mending di rumah. Istirahat."
Kami mulai masuk ke pintu gerbang apartemen ku. Rangga berhenti di depan, dan mematikan mesin motornya. Aku pun turun sambil menyerahkan helm yang kupakai tadi. Menatap gedung tinggi di depan kami, sesekali merapikan rambut. Rasanya enggan pulang. Aku masih takut. Masuk lift. Dan tidak memungkinkan juga kalau aku memakai tangga darurat.
"Terima kasih. Sama-sama," kata Rangga seolah menyindirku.
"Rangga ... Bisa minta tolong sekali lagi nggak?"
"Apa?" tanyanya datar.
"Antar sampai kamar. Please," pintaku sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada.
"Ini kode?"
"Ih kode apaan! Memangnya kita anak pramuka? Aku minta tolong. Anterin sampai atas," rengekku sambil memegangi lengan kirinya.
"Emangnya kenapa sih? Nggak berani?"
Aku mengangguk pelan. Lalu terbitlah senyum tipis dengan puppy eyes andalanku.
"Ada apa sih? Tumben nggak berani?"
"Nanti aku ceritain. Kalau udah di atas."
"Duh, gimana, ya?" Dia sepertinya sedikit tidak nyaman dengan permintaanku. Wajahku mulai pasrah, jika Rangga menolak. Aku hanya menggosok-gosokkan kaki di atas jalan aspal. Keadaan di sekitar apartemen memang sudah sunyi. Aku menoleh ke pos satpam, mungkin aku harus minta tolong satpam nanti.
"Ya udah kalau nggak mau, biar nanti aku minta tolong satpam, antar ke atas. Kamu hati-hati, ya. Terima kasih udah antar pulang." Aku melepaskan jaket, lalu memberikan padanya. Saat aku hendak berjalan pergi, dia menahan tanganku.
"Ya udah yuk. Aku antar sampai atas. Tapi ada syaratnya."
"Syarat?"
"Iya, gue nggak mau cuma antar sampai depan pintu. Gue harus masuk!"
"Hah? Mau ngapain?"
"Gue lapar. Kasih makan sebelum gue pulang. Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah, sana minta tolong orang lain." Tangannya terlepas dariku, menatap ke apartemen dengan wajah menyebalkan. Dia seakan yakin kalau aku tidak bisa menolak permintaannya.
"Oke."
Lift masih menutup, sepertinya baru saja naik, karena angka yang menyala baru mendekati angka kecil. Kami menunggu tanpa ada banyak obrolan lagi.
"Kamu di sini tinggal sendirian?"
"Iya."
"Pacar? Nggak pernah datang? Oh iya, pasti jomblo juga kayak gue," katanya langsung menjawab pertanyaannya sendiri.
"Salah. Bukan jomblo, tapi belum ada pasangan!"
"Ya sama aja."
"Beda."
"Sama ih."
"Beda!"
Perdebatan ini terhenti saat pintu lift terbuka. Kosong. Aku tidak langsung bergerak walau Rangga sudah masuk lebih dulu dan hendak menekan tombol. "Hei! Mau masuk nggak sih?" tanyanya, kesal.
"Iya." Setelah dirasa kosong, aku ikut masuk ke dalam. Berdiri dekat sekali dengan Rangga. Tidak peduli dia merasa risih atau tidak. Yang jelas aku takut jika tiba-tiba sosok wanita tadi muncul. Sekalipun saat ini dia tidak ada di lift ini.
Lift terbuka di lantai 5. Hening.
"Mana? Nggak ada orang. Suka eror gini, ya? Liftnya?" tanya Rangga menoleh padaku. Tapi aku justru mengeratkan pegangan ku pada lengannya. Tanganku gemetar, bahkan aku berusaha menutup mata. Tapi tidak berhasil. Rangga diam, dan pasrah ku perlakukan begitu. Biasanya dia sangat cerewet, dan tidak suka dengan sikapku ini. Itu pasti.
"Ros, kamu tau nggak kalau si Komo itu sengaja lewat, biar jalanan macet?" tanyanya.
"Hah? Si komo?" tanyaku lalu menatapnya heran. Pertanyaannya agak aneh dan tidak masuk akal.
"Iya, si komo. Sering bikin macet jalan, kan? Itu ada alasannya tau!"
"Apa dong?" aku mulai tertarik.
"Biar manusia menyalahkan dia kalau kena macet. Soalnya, manusia itu suka banget nyalahin orang. Itu udah kayak semacam naluri. Coba bayangin, berapa persen manusia yang mengakui kesalahannya? Misal nih, kamu aja, ya. Masalah kamu sama si siapa kemarin yang di rumah duka?"
"Ramon?"
"Nah iya dia."
"Loh kan aku nggak ada masalah sama Ramon. Bukan aku, Rangga!"
"Tuh, kan! Kamu menyalahkan Ramon. Pakai bilang kalau kamu nggak ada masalah sama dia. Itu artinya spekulasi gue bener. Manusia itu nggak suka disalahkan, sukanya menyalahkan!"
"Hah! Iya juga sih."
Pintu lift terbuka. "Nah sampai. Mari keluar nona penulis," ajaknya menggandengku. Aku tengak-tengok karena tidak menyadari kalau kami sudah sampai di lantai 11 dengan cepat.
Bahkan aku masih menoleh ke arah lift sambil tetapi berjalan bersama Rangga. Saat lift menutup baru aku bisa bernafas lega."Aman, kan?" tanya Rangga begitu kami sampai depan pintu.
"Apanya?"
"Itu tadi. Ada setan, kan? Di lift? Karena itu kamu minta gue anter sampai sini? Terus gimana? Aman, kan?"
"...."
"Gue cuma mengalihkan rasa takut kamu aja. Tapi ya nggak bisa setiap hari, karena kita bukan pasangan, dan kita nggak tinggal bareng. Mungkin besok kamu harus pakai cara yang hampir mirip sama cara gue tadi. Alihkan rasa takut mu. Jangan biarkan dia menguasai kamu. Ngerti?"
Aku menatap kedua bola mata Rangga dalam-dalam. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuatku enggan untuk berpaling darinya.
"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab. "Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya." Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja. Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi. Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu. "Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"
Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali. Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana
"Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?" Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan. Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga. "Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan. "Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita. "Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"
Smart key door, adalah salah satu alasanku memilih apartemen ini. Aku adalah tipe orang yang pelupa. Terutama terhadap kunci. Entah kunci rumah, motor, atau mobil. Tapi bukan itu alasan aku tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Jadi solusi paling tepat adalah dengan teknologi tersebut, yang memang sedang marak di kehidupan penduduk kota. Selain lebih mudah, aku pun tidak perlu repot jika ada teman yang datang ke rumah. Yah, temanku hanya mereka bertiga. Indi, Mey, dan Nita. Hanya mereka yang tau sandi apartemenku. Karena hanya mereka saja yang paling sering datang, dan yang akan dengan cepat tanggap muncul jika aku tidak bisa dihubungi. Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam. "Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.
Kami bertiga berlari keluar menuju pos satpam. Aneh sekali. Mengapa Indi justru ada di sana, padahal jelas-jelas dia bersama kami sampai saat dia diseret masuk kamar mandi. "Mana, Pak? Teman saya?" tanyaku begitu sampai di depan pintu pos jaga satpam apartemen. "Itu," tunjuk pria paruh baya tersebut. Indi duduk dengan wajah pucat. Dia banyak diam, tidak seperti biasanya. Ada sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Kami pun mendekat. "Astaga! Lu kenapa bisa di sini?" "Ndi ... Indi ... Are you oke?" "Mending bawa balik dulu aja, yuk. Kasihan." Kami akhirnya kembali ke atas, tentu dengan minta ditemani Pak Satpam. Teror tadi sungguh mengerikan. Malam ini, kami semua tidur di sofa. Kejadian tadi adalah hal terakhir dari teror malam ini. Sementara Indi banyak diam, dia hanya bilang kalau tidak ingin membahas hal ini dulu. .
"Satpam itu sudah masuk ke DPO polisi. Lu gimana? Udah tenang? Katanya kita bisa balik sekarang," tutur Rangga. Aku hanya duduk di ruang tunggu, jaket milik Rangga menutupi sebagian tubuhku. Sampai subuh, kami berada di kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Aku masih takut untuk pulang. "Sorry, ya." "Kenapa?" "Elu malah nemenin gue di sini, seharusnya kan bisa langsung pulang tadi habis antar Om." "Nggak apa-apa. Lagian mana tega gue ninggalin elu di sini sendirian. Mau balik sekarang apa minggu depan nih? Gue udah ngantuk banget," jelas Rangga sesekali menguap. Pernyataan ku tentang kejadian di apartemen mendapat respon yang baik. Aku pikir polisi akan menganggap kesaksian ku mengada-ada, tapi ternyata satpam yang baru kutau namanya Roy itu, sudah beberapa kali keluar masuk penjara karena narkoba. Dia bahkan pernah menjadi bandar Sabu saat masi
"Elu mau pindah nih? Beneran?" tanya Mey, menyeruput cokelat hangat yang tadi dia buat bersama Nita. Selesai makan, kami ngobrol santai sambil membahas rencana selanjutnya. Roy, ternyata tidak terbukti bersalah. Tidak ada saksi atau bukti yang menunjukkan keterlibatan Pak Roy atas kematian Bu Lia. Tidak dapat dipungkiri kalau Pak Roy masih mengkonsumsi narkoba, tapi dia tidak sampai masuk jeruji besi. Dia hanya diwajibkan lapor setiap beberapa hari sekali, sambil menunggu tahap untuk rehabilitasi. "Jadilah. Nggak bisa hidup tenang gue di sini. Udah teror hantu belum selesai, eh ini ada lagi. Makhluk yang lebih mengerikan ketimbang hantu. Gue takut, gaes. Ya ampun," ucapku sambil menyapu wajah. "Bener sih, Ros. Parah banget sih kalau terus menerus diteror gini," tukas Nita. "Terus kalian udah ada info belum, apartemen yang murah?" "Kalau yang dibawah dua juta belum ada, Ros. Semua di a
Lantai tiga menjadi pilihanku. Banyak pertimbangan yang kuambil, salah satunya karena lantai ini paling banyak penghuni nyatanya. Lantai dua dan satu pun, sudah penuh penghuni. Tapi lantai empat dan lima memang jarang ada penghuni. Di lantai empat hanya ada dua penghuni lama, dan lantai lima hanya satu penghuninya. "Sebentar lagi akan ada renovasi dari depan sampai belakang. Jadi Mba Rosi saya pastikan akan betah tinggal di sini. Kalau ada keluhan apa pun, bilang ke saya atau istri saya saja," jelas Pak Seno saat kami berjalan melewati tangga. Tidak ada lift di apartemen ini. Semua akses hanya lewat tangga saja. Tiap lantai ada 10 kamar apartemen. Di lantai tiga aku menempati kamar nomor 8. Pak Seno dengan sabar menceritakan tentang apartemen miliknya yang sudah dibangun hampir 30 tahun lalu. Awalnya lahan ini bekas rumah sakit terbengkalai, dijual dengan harga murah karena bangkrut. Pak Seno membelinya dan meren