Share

4. Penghuni rumah Rangga

"Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan.

"Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana.

"Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain.

"Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.

"Tante, coba sambil dipijit ibu jari kakinya," pintaku, berbisik pada Ibu Rangga.

"Oh gitu."

"Rangga. Bantuin Mama kamu itu."

"Hah? Oh iya."

Aku berjalan terus menuju pintu, masih menatap celah tadi dengan dua titik warna merah yang masih ada di sana. Namun saat sudah dekat, dia justru pergi. Aku berdiri di depan pintu, memperhatikan celah tersebut sembari menyentuhnya.

"Kenapa, Mba? Ada apa?" tanya Ayah Rangga.

"Eum, Om ... Banyak guci di sini, ya? Punya Om semua?" tanyaku tidak menjawab pertanyaan tadi. Tapi pertanyaan ini memang ingin aku tanyakan sejak masuk ke dalam rumah.

"Oh iya. Saya suka koleksi barang antik. Itu banyak di kasih orang, ada juga yang beli. Kenapa?"

Aku keluar dari kamar, tengak-tengok mencari keberadaan mata merah tadi. "Hm, nggak apa-apa sih, Om. Cuma sedikit horor aja. Biasanya barang-barang antik suka ada yang nempatin sih. Terutama lukisan sama patung," jelas ku masih memeriksa keadaan lantai dua ini.

"Iya sih. Tapi gimana dong, saya suka."

"Iya udah nggak apa-apa, Om. Saya lihat nggak begitu berbahaya sih. Masih aman aja. Cuma yang satu ini masih belum kelihatan niatannya."

"Satu ini? Yang mana?" Ayah Rangga ikut tengak-tengok mencari sepertiku.

Rangga lantas keluar menyusul kami. Begitu pula Ibu nya. Saat aku menoleh ke kamar Nenek, rupanya Nenek sedang tidur, dan Kakek hanya duduk santai menikmati pemandangan di jendela.

"Gimana?" tanya Rangga.

"Gini. Aku sih belum begitu tau masalah nya, tapi Fifi itu memang ada. Dia ada di dalam tubuh Nenek. Sembunyi, dan seperti menyatu sama Nenek. Soalnya mereka agak mirip. Dari semuanya, fisik, wajah, sikap, karakter. Sama."

"Serius?"

"Iya. Awalnya aku nggak sadar. Aku pikir memang karena umur Nenek yang sudah tua, tapi pas ngobrol tadi aku dengar suara Fifi. Samar, tapi aku yakin itu Fifi. Tapi dia nggak berbahaya sih. Cuma ... Makhluk yang di luar tadi. Matanya merah, sering mengintip kamar Nenek. Untungnya dia nggak bisa masuk."

"Waduh. Beneran ini?" tanya Papa Rangga.

"Percaya nggak percaya sih, Om. Saya nggak akan memaksa orang lain percaya perkataan saya. Saya juga sering nggak yakin sama diri saya sendiri." Tawaku renyah, membuat mereka ikut tersenyum.

"Terus gimana, Ros?" Rangga serius.

"Kalau soal Nenek, mungkin nanti aku minta tolong temen. Buat rukiyah aja. Walau nggak berbahaya, tapi nggak seharusnya ada sosok lain di tubuh Nenek. Besok aku kabarin kamu lagi deh."

"Gimana, Mah? Pah?"

"Papah setuju aja sih. Perlu dicoba. Lagi pula bukan hal yang menyimpang, kan?"

"Mama juga nggak masalah. Maaf ya, Mba Rosi. Merepotkan. Pakai jauh-jauh datang ke sini. Malam-malam lagi."

"Oh nggak apa-apa, Tante. Kebetulan memang mau ke luar tadi. Jadi sekalian mampir."

"Eh, duduk dulu, biar tante buatkan teh hangat. Cuaca lagi dingin. Yuk, eh Rangga ajak ke depan gih."

"Iya, Ma."

Mama Rangga berjalan turun, membuat teh. Papanya masuk kamar Kakek dan Nenek, memeriksa kondisi di dalam terlebih dahulu. Sementara Rangga mengajakku turun ke ruang tamu. Tapi langkahku terhenti. Ada sesuatu yang menarik perhatian. Jendela dekat tangga seolah mengajakku untuk mendekat. "Rangga, Bentar." Aku berjalan ke arah tersebut tanpa persetujuan Rangga. Rumah ini sepertinya belum pernah direnovasi. Jadi bangunannya masih asli dari awal berdiri, dan sepertinya sudah dibangun cukup lama. Jendela dekat tangga tidak diberi korden, sehingga pemandangan di luar terlihat jelas dengan kaca yang sedikit kotor. Rangga tidak memiliki assisten rumah tangga, itu artinya Mamanya yang mengurus semua rumah serta penghuninya. Jadi aku maklum kalau ada beberapa sudut ruangan yang tidak tersentuh tangan.

"Kenapa?" jerit Rangga bertanya dari kejauhan, sepertinya tidak ingin terlibat dengan apa yang kulakukan.

Aku tidak menanggapi panggilannya. Netraku terus memperhatikan keadaan di luar. Semua gelap. Tidak begitu banyak pergerakan di sana. Karena hari memang sudah malam. Tapi ada beberapa hal yang perlahan mulai terlihat jelas. Atap-atap tetangga justru terlihat jelas dari tempatku berdiri. Karena rumah Rangga lebih tinggi dari sekitarnya. Di sana aku justru menemukan pemandangan yang cukup menarik. Sosok-sosok itu membuatku takjub karena seolah sedang bermain dari atap satu ke atap lain. Mereka berlarian dengan cekikikan yang cukup lirih. Ada wanita, anak kecil, dan pria-pria besar di sana.

"Hah!" aku menjerit saat salah satu dari mereka menabrak kaca jendela. Kedatangannya yang tiba-tiba membuatku tidak siap dan terkejut.

Rangga mendekat. Lalu ikut memperhatikan sekitar. "Kenapa?"

Sosok tadi masih menempel di kaca jendela. Seorang wanita atau pria, aku tidak dapat mengenali nya karena penampilannya yang kacau. Sebagian tubuhnya melepuh hingga kulitnya tidak lagi terlihat. Justru bagian daging sedikit hitam yang lebih mendominasi. Tiba-tiba dia menjerit sambil menjauh dari kaca. Dari samping rumah muncul sosok pria yang kulihat saat pertama kali datang. Dia memegang sebuah cambuk di tangan kanannya. Hal ini sangat menarik perhatianku. Akhirnya aku mendekatkan wajahku makin menempel pada kaca. Tidak peduli debu yang ada di sana.

"Oh gitu rupanya," gumamku berbicara sendiri.

"Kenapa sih, Ros? Lihat apa?" Rangga penasaran. Tapi aku tak kunjung memberikan penjelasan.

"Rangga! Ini tehnya udah jadi," jerit Ibu dari lantai bawah. Papa Rangga juga keluar dari kamar, lalu mengajak kami turun bersama.

_____

"Rosi tinggal di mana?" tanya Pak Heri. Akhirnya aku mengetahui nama-nama orang tua Rangga dari piagam yang ada di dinding. Ada foto mereka juga. Keluarga Rangga adalah keluarga terpelajar. Semua piagam penghargaan terpampang di tembok ruang tamu.

Aku yang baru menyecap teh tubruk buatan Bu Nunik, mempercepat tegukan pertama tersebut. Sedikit panas, dan rasanya tenggorokan ku agak terbakar.

"Oh, saya tinggal di apartemen Taman Sari, Om." Cangkir kembali kuletakan di meja.

"Tinggal sendiri atau ...." Bu Nunik tidak melanjutkan pertanyaannya. Obrolan ini seakan sebuah interogasi pada calon menantu. Padahal aku dan Rangga belum mengenal lebih dekat, bahkan kami hanya sebatas teman.

"Iya, saya tinggal sendiri. Kebetulan orang tua sudah meninggal semua. Adik saya, laki-laki, sekarang tinggal di Bali. Kerja di sana."

"Itu bukan kebetulan kali. Tapi takdir," sahut Rangga dan mendapat pukulan di pahanya oleh sang ibunda tercinta.

"Maaf, ya, Mba Rosi. Rangga mulutnya memang suka gini."

"Oh nggak apa-apa kok, tante. Sudah biasa. Saya nggak tersinggung." Kembali cangkir teh ku ambil.

Malam ini setidaknya aku berhasil mendapat makan malam gratis di rumah Rangga. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 21.30 dan aku pun pamit untuk pulang.

"Biar Rangga saja yang antar. Sudah malam. Hujan pula," kata Bu Nunik.

"Eum ...." Aku menoleh ke Rangga yang terlihat malas-malasan meng-iya-kan suruhan Ibunya.

"Enggak usah, Tante. Biar saya naik Ojek online aja."

"Eh, jangan. Anak perempuan masa keluyuran malam-malam sendirian. Bahaya. Udah, biar Rangga yang antar." Kali ini Bu Nunik memaksa.

"Iya iya." pemuda itu beranjak dengan malas-malasan, kembali ke lantai atas. Mungkin kamarnya. Tak lama kembali lagi dengan memakai celana panjang dan jaket. Padahal dia sudah memakai jaket, tapi ada jaket lain digenggamannya. "Yuk, sekarang aja. Nanti kemaleman."

"Oh oke. Kalau gitu saya pamit dulu, Om, Tante."

_____

Mendung tak berarti hujan. Begitu pula guntur tak berarti badai. Sejak aku keluar dari apartemen, guntur terus terdengar bersahutan. Namun sampai sekarang langit tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menurunkan hujan.

Rangga berdiri di depan teras. Menungguku memakai jaket miliknya. Jaket ini sepertinya belum dicuci dalam jangka waktu cukup lama. Karena saat memakainya ada aroma tubuh Rangga bercampur parfum yang baru saja di semprotkan. Karena wangi parfum itu sudah tercium saat dia turun dari tangga. Salah satu cara menyamarkan bau keringat.

"Yuk, nih helmnya."

Hampir pukul 22.00 kami baru keluar dari kompleks perumahan Rangga. Untungnya besok hari minggu, dan dia libur. Karena katanya, dia biasa tidur cepat setiap malam. Jam 10 malam adalah waktu terakhir dia begadang. Tapi malam ini pengecualian.

"Jadi nggak pernah malam mingguan dong kamu?" tanyaku sambil menempelkan dagu di bahu kanannya.

"Malam mingguan sama siapa? Jomblo gini," sahut Rangga sedikit mengeraskan nada bicaranya, karena jalanan malam ini cukup ramai.

"Ya kali aja kan, main sama temen. Nongkrong. Anak muda kan biasanya gitu atuh."

"Males ah. Mending di rumah. Istirahat."

Kami mulai masuk ke pintu gerbang apartemen ku. Rangga berhenti di depan, dan mematikan mesin motornya. Aku pun turun sambil menyerahkan helm yang kupakai tadi. Menatap gedung tinggi di depan kami, sesekali merapikan rambut. Rasanya enggan pulang. Aku masih takut. Masuk lift. Dan tidak memungkinkan juga kalau aku memakai tangga darurat.

"Terima kasih. Sama-sama," kata Rangga seolah menyindirku.

"Rangga ... Bisa minta tolong sekali lagi nggak?"

"Apa?" tanyanya datar.

"Antar sampai kamar. Please," pintaku sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada.

"Ini kode?"

"Ih kode apaan! Memangnya kita anak pramuka? Aku minta tolong. Anterin sampai atas," rengekku sambil memegangi lengan kirinya.

"Emangnya kenapa sih? Nggak berani?"

Aku mengangguk pelan. Lalu terbitlah senyum tipis dengan puppy eyes andalanku.

"Ada apa sih? Tumben nggak berani?"

"Nanti aku ceritain. Kalau udah di atas."

"Duh, gimana, ya?" Dia sepertinya sedikit tidak nyaman dengan permintaanku. Wajahku mulai pasrah, jika Rangga menolak. Aku hanya menggosok-gosokkan kaki di atas jalan aspal. Keadaan di sekitar apartemen memang sudah sunyi. Aku menoleh ke pos satpam, mungkin aku harus minta tolong satpam nanti.

"Ya udah kalau nggak mau, biar nanti aku minta tolong satpam, antar ke atas. Kamu hati-hati, ya. Terima kasih udah antar pulang." Aku melepaskan jaket, lalu memberikan padanya. Saat aku hendak berjalan pergi, dia menahan tanganku.

"Ya udah yuk. Aku antar sampai atas. Tapi ada syaratnya."

"Syarat?"

"Iya, gue nggak mau cuma antar sampai depan pintu. Gue harus masuk!"

"Hah? Mau ngapain?"

"Gue lapar. Kasih makan sebelum gue pulang. Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah, sana minta tolong orang lain." Tangannya terlepas dariku, menatap ke apartemen dengan wajah menyebalkan. Dia seakan yakin kalau aku tidak bisa menolak permintaannya.

"Oke."

Lift masih menutup, sepertinya baru saja naik, karena angka yang menyala baru mendekati angka kecil. Kami menunggu tanpa ada banyak obrolan lagi.

"Kamu di sini tinggal sendirian?"

"Iya."

"Pacar? Nggak pernah datang? Oh iya, pasti jomblo juga kayak gue," katanya langsung menjawab pertanyaannya sendiri.

"Salah. Bukan jomblo, tapi belum ada pasangan!"

"Ya sama aja."

"Beda."

"Sama ih."

"Beda!"

Perdebatan ini terhenti saat pintu lift terbuka. Kosong. Aku tidak langsung bergerak walau Rangga sudah masuk lebih dulu dan hendak menekan tombol. "Hei! Mau masuk nggak sih?" tanyanya, kesal.

"Iya." Setelah dirasa kosong, aku ikut masuk ke dalam. Berdiri dekat sekali dengan Rangga. Tidak peduli dia merasa risih atau tidak. Yang jelas aku takut jika tiba-tiba sosok wanita tadi muncul. Sekalipun saat ini dia tidak ada di lift ini.

Lift terbuka di lantai 5. Hening.

"Mana? Nggak ada orang. Suka eror gini, ya? Liftnya?" tanya Rangga menoleh padaku. Tapi aku justru mengeratkan pegangan ku pada lengannya. Tanganku gemetar, bahkan aku berusaha menutup mata. Tapi tidak berhasil. Rangga diam, dan pasrah ku perlakukan begitu. Biasanya dia sangat cerewet, dan tidak suka dengan sikapku ini. Itu pasti.

"Ros, kamu tau nggak kalau si Komo itu sengaja lewat, biar jalanan macet?" tanyanya.

"Hah? Si komo?" tanyaku lalu menatapnya heran. Pertanyaannya agak aneh dan tidak masuk akal.

"Iya, si komo. Sering bikin macet jalan, kan? Itu ada alasannya tau!"

"Apa dong?" aku mulai tertarik.

"Biar manusia menyalahkan dia kalau kena macet. Soalnya, manusia itu suka banget nyalahin orang. Itu udah kayak semacam naluri. Coba bayangin, berapa persen manusia yang mengakui kesalahannya? Misal nih, kamu aja, ya. Masalah kamu sama si siapa kemarin yang di rumah duka?"

"Ramon?"

"Nah iya dia."

"Loh kan aku nggak ada masalah sama Ramon. Bukan aku, Rangga!"

"Tuh, kan! Kamu menyalahkan Ramon. Pakai bilang kalau kamu nggak ada masalah sama dia. Itu artinya spekulasi gue bener. Manusia itu nggak suka disalahkan, sukanya menyalahkan!"

"Hah! Iya juga sih."

Pintu lift terbuka. "Nah sampai. Mari keluar nona penulis," ajaknya menggandengku. Aku tengak-tengok karena tidak menyadari kalau kami sudah sampai di lantai 11 dengan cepat.

Bahkan aku masih menoleh ke arah lift sambil tetapi berjalan bersama Rangga. Saat lift menutup baru aku bisa bernafas lega.

"Aman, kan?" tanya Rangga begitu kami sampai depan pintu.

"Apanya?"

"Itu tadi. Ada setan, kan? Di lift? Karena itu kamu minta gue anter sampai sini? Terus gimana? Aman, kan?"

"...."

"Gue cuma mengalihkan rasa takut kamu aja. Tapi ya nggak bisa setiap hari, karena kita bukan pasangan, dan kita nggak tinggal bareng. Mungkin besok kamu harus pakai cara yang hampir mirip sama cara gue tadi. Alihkan rasa takut mu. Jangan biarkan dia menguasai kamu. Ngerti?"

Aku menatap kedua bola mata Rangga dalam-dalam. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuatku enggan untuk berpaling darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status