Cassian punya solusi dan Aveline juga punya..
~~~
“Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?”
Nada suara Papa Vincent begitu tenang… terlalu tenang, sampai-sampai bikin ruangan yang terang itu terasa dingin. Ia duduk tegak di sofa ruang keluarga, jasnya bahkan belum sempat dilepas.
Pesta ulang tahun Stella bahkan belum benar-benar bubar. Tapi Aveline sudah diseret pulang, duduk di sofa seolah siap disidang.
Aveline diam. Hanya menatap ujung karpet. Pertanyaan itu menghantam tanpa aba-aba.
“Maksud Papa apa?”
“Udah pernah… melakukan itu belum?” tanya Papa Vincent, sambil membuat tanda kutip di udara. Jelas, ‘itu’ bukan cuma sekadar kata.
Wajah Aveline sontak memerah ketika mengerti maksud papanya. Pertanyaan itu terlalu blak-blakan, terlalu pribadi. Ia menggeliat canggung di tempat duduknya. “Ya ampun, Pa…” gumamnya pelan. “Ngapain nanya kayak gitu?”
“Karena kamu belum hamil juga sampai sekarang.” Ucap Papa Vincent. “Pernikahan kalian udah delapan bulan, Ave.”
Aveline mencengkeram jemarinya sendiri. Sekuat tenaga menahan detak jantung yang mulai memukul dadanya terlalu keras. Ia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia dan Cassian bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.
Papa Vincent meneliti ekspresi putrinya yang mulai gelisah. “Jangan bilang kalian nggak satu kamar.”
Diam. Tatapan Aveline meluncur ke sisi sofa, lalu ke lantai, lalu ke mana pun asal bukan mata ayahnya.
Sebelum ia sempat jawab, suara lembut Mama Natalia menyela dari arah dapur.
“Udahlah, Pa. Itu urusan rumah tangga mereka. Gak usah terlalu ikut campur.”
Mama Natalia datang dengan dua cangkir teh. Aroma melati langsung memenuhi ruang. Ia meletakkan satu di depan Papa Vincent, satu lagi dekat Aveline, lalu duduk di samping putrinya.
Aveline menghela napas lega. Mama Natalia, seperti biasa, menjadi perisainya. “Iya tuh, bener. Itu privasi aku sama Kak Ian. Gak boleh diumbar sembarangan,” katanya sambil mencoba tersenyum santai.
Papa Vincent mendengus tak puas. “Alesan aja kamu. Kalau tebakan Papa benar, berarti kamu harus usaha lebih keras. Ikatan kalian bakal lebih kuat kalau ada anak.”
“Kalau semua dipaksa, hasilnya nggak akan baik, Pa.” ujar Aveline.
“Bukan maksa. Kamunya aja yang nggak niat,” jawab Papa Vincent ketus. “Papa cuma pengin kamu bangun keluarga yang utuh. Kalau perlu, kamu yang gerak duluan. Cewek juga boleh mulai duluan, ngerti?”
Lalu dia berdiri. Langkahnya menuju tangga, meninggalkan ruangan dengan aroma tekanan yang belum juga hilang.
Aveline menatap punggung ayahnya yang menghilang di balik sudut. Tenggorokannya tercekat. Gimana dia bisa memenuhi harapan itu… kalau suaminya sendiri nggak pernah sekalipun menunjukkan dia mau berbagi ruang, apalagi berbagi hidup?
Mama Natalia meraih bahunya, menepuk pelan. “Jangan simpan di hati, ya, sayang. Papa cuma takut kamu capek sendiri. Dia sayang, tapi caranya memang kadang… nyakitin.”
Aveline menarik napas panjang. Pandangannya kosong. “Tapi… Kak Ian nggak suka sama aku, Ma. Gimana bisa kami punya anak, kalau dia aja nggak mau tidur satu ranjang sama aku?”
Mama Natalia menoleh, menatap wajah putrinya yang mulai rapuh. Dengan hati-hati, ia usap pipi Aveline. “Sayang, nggak semua pernikahan mulai dari cinta. Kadang harus pelan-pelan dibangun. Kadang, cinta datang dari usaha. Cassian mungkin butuh waktu buat sadar…”
Aveline menunduk. Bibirnya bergetar, dan ia berusaha menelan emosi yang memuncak. “Doain aku ya, Ma… Doain biar rumah tangga ini tetap bertahan.”
Mama Natalia tersenyum tipis. “Mama selalu doain. Kamu kuat, Ave. Dan kamu tulus. Kadang, itu aja udah cukup buat narik seseorang pelan-pelan ke sisi kamu.”
Kata-kata itu menyusup ke dalam hati Aveline, memberi sedikit kehangatan dalam kekacauan pikirannya. Ia belum pernah benar-benar mengungkapkan isi hatinya, tapi Natalia bisa merasakannya. The power of a mother’s instinct.
“Udah malam, kamu mau makan dulu di sini?” tanya Mama lembut.
Aveline menggeleng kecil. “Aku pulang aja, Ma. Kasihan suamiku… kalau harus makan sendirian.”
Mama tertawa kecil. “Ya udah, sana. Nanti malah dia yang duluan sampai rumah.”
Aveline berdiri, memeluk Mamanya sebentar, lalu pamit.
Di dalam mobil, Aveline mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada Cassian.
‘Aku gak jadi pulang telat. Kita makan malam bareng di rumah, yah..’ SEND
Setelah mengirimkan pesan itu, ia menyalakan mesin mobil dan bersiap pulang. Namun belum sempat melaju ke jalanan, ponselnya bergetar menandakan balasan dari Cassian.
‘Baguslah. Ada yang mau aku bicarain juga’, balas Cassian.
Respons itu membuat Aveline penasaran. Cassian jarang, bahkan hampir tak pernah membalas pesan yang baginya tak terlalu penting.
Begitu sampai di rumah, Aveline memarkir mobilnya terburu-buru. Ban depannya miring ke luar, tapi ia tak peduli. Kunci mobil segera ia serahkan pada Pak Tomo, satpam yang sigap berdiri di sisi gerbang.
“Bisa tolong diparkir ke garasi, Pak?” ucapnya sambil tersenyum tipis, lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Ia langsung ke kamar mandi, mencuci muka, menyegarkan diri, lalu turun ke dapur untuk mengecek makan malam. Bi Mina sudah menyiapkan semuanya. Jadi dia hanya membantu sedikit.
Dan kemudian…
Suara mesin mobil di luar membuatnya bergegas membuka pintu, menampilkan senyum termanis yang bisa ia berikan, berharap bisa membuat Cassian terpesona.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Senyumnya memudar, berganti dengan tatapan terpana.
Cassian berdiri di sana, dengan rambut sedikit berantakan. Jasnya ia pegang dengan satu tangan, bersama tas kerja. Rompi hitamnya terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dadanya yang basah oleh sisa keringat. Dan yang membuat napas Aveline tercekat adalah… tatapannya.
Mereka saling menatap selama lima detik, dan Aveline merasa ada setitik kelembutan dari tatapan Cassian untuknya.
“Aku mau masuk.”
Suara bariton rendah milik Cassian terdengar kemudian. Cukup untuk menyentak Aveline dari lamunannya. Ia buru-buru minggir, mengambil alih jas dan tasnya.
Cassian lewat begitu saja, tanpa sepatah kata.
Seperti biasa.
“Aku udah nyiapin baju buat kamu di kamar… Aku tunggu di meja makan, yah.”
Lembut. Sehangat yang ia bisa.
Tak ada jawaban.
Ia menarik napas. Udara terasa lebih berat dari biasanya.
Setelah meletakkan jas di laundry dan tas kerja di ruang kerja Cassian, Aveline duduk di ruang makan.
Beberapa menit kemudian, Cassian akhirnya muncul.
Tanpa banyak bicara, mereka duduk dan makan dalam diam. Hanya suara alat makan yang memecah keheningan.
Hingga Aveline memutuskan membuka suara.
“Kamu mau bicara apa?”
Cassian meletakkan gelasnya. Pandangannya lurus ke arah Aveline.
“Aku udah dapet cara buat bujuk Papa kamu.”
Aveline berhenti mengunyah. “Caranya?”
“Ada kenalan. Pemilik perusahaan konstruksi. Kalau kamu nikah sama dia, perusahaan Papa kamu bisa diselamatkan.”
Hah?
Aveline menatapnya tak percaya. "Maksud kamu apa nyuruh aku menikah, sementara aku masih istri kamu?"
Cassian memalingkan wajahnya. “Istri?” gumamnya, seperti mengulang kata yang asing di lidahnya. Sejak awal, Aveline sendiri tahu ia bukan pilihan Cassian. Mungkin tak akan pernah jadi.
“Kalian bisa kenalan dulu. Nanti setelah kontrak kita selesai… kalian bisa menikah.” Ujar Cassian.
Kata-kata Cassian membuat darah Aveline mendidih. Ia menggenggam sendok makannya erat, menahan emosi yang siap meluap. Namun justru di tengah kemarahannya, sesuatu dalam dirinya berubah. Dorongan kuat untuk mempertahankan pernikahan mereka tiba-tiba menjadi lebih besar dari rasa malu.
“Tapi aku punya cara lain.”
Cassian mengernyit. “Apa?”
Aveline menutup mata sejenak, lalu membukanya lagi. Tatapannya kini tajam. Teguh.
“Anak.”
Cassian menoleh cepat.
“…Anak?”
“Aku mau hamil. Dan punya anak kamu.”
Ia tahu, kalimat itu bisa membuatnya tampak putus asa. Tapi ia sudah terlalu lama bertahan dalam diam. Kini saatnya mengambil alih takdirnya sendiri.
Keterkejutan terlihat jelas di wajah Cassian.
“Kalian bisa punya anak kalau udah menikah nanti,” balas Cassian, berusaha membelokkan arah.
Tapi Aveline sudah tak mau berpaling. “Aku mau hamil anak kamu, KAK IAN.” ucapnya penuh penekanan.
Meja berguncang karena Cassian yang tiba-tiba berdiri. “APA?!”
Aveline tak mundur. Tatapannya menusuk balik. Aura yang selama ini tersembunyi dimana ada tekanan, amarah, keberanian dan semua itu menguar.
“Kalau aku hamil sebelum kontrak selesai… kita bikin kontrak baru.”
Cassian menggeleng pelan, seperti tak percaya. “Gila Kamu.”
Ia berbalik, hendak pergi.
Tapi Aveline tak membiarkannya.
“Kak Ian…”
Nada suaranya berubah. Lembut. Tapi penuh komando. Nada yang biasa digunakan Mama Natalia saat Papa Vincent terlalu keras kepala untuk mendengar.
Cassian berhenti. Sapaan yang khas Aveline itu… menyentuh bagian dirinya yang paling ia jaga. Paling ia kunci rapat.
Aveline menghampiri. Menyentuh tangannya. Menautkan jemari mereka, lalu menariknya pelan.
Arah kamar.
Cassian tidak menolak.
Tapi juga tak berkata apa-apa.
Sampai…
Brakkk.
Pintu tertutup.
Lalu diam.
Apa yang terjadi setelahnya… hanya mereka berdua yang tahu.
“Keluar!” desis Hans dingin sambil menarik paksa Aurora dari kursi penumpang. Gadis itu menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke jalan.Nicholas yang baru saja melumpuhkan rekan Hans menoleh cepat. Matanya menyipit, pupilnya tajam, seperti mata predator yang terkunci pada mangsanya. Sorot itu membuat Hans, meski hanya sekejap, merasakan hawa ancaman.Hans masih tersenyum meremehkan. “Anak kemarin sore mau lawan gue?”Tapi Nicholas tidak menjawab. Ia bergerak. Sekejap, langkahnya meliuk ke kiri, lalu kanan, lincah seperti bayangan yang sulit ditebak. Dalam hitungan detik, ia sudah berada di belakang Hans, menendang keras bagian lutut hingga tubuh Hans sedikit goyah.Hans mendengus, berusaha menahan. Namun Nicholas kembali berputar, kali ini hantaman sikunya mengarah ke rusuk. Suara benturan membuat Hans tersentak, napasnya terhenti sejenak.Sore itu, jalanan yang sepi menjadi arena kecil pertarungan dan Hans mulai menyadari bahw
Aurora tak berkata apa pun, namun tangannya meraih sandaran jok depan untuk bertumpu. Lalu ia melepaskan diri dari pegangan Nicholas.Nicholas mencoba menahan bahunya, tapi Aurora menepis tangan pria itu, meraih gagang pintu, dan menariknya hingga terbuka. Udara luar yang terasa hangat dibandingkan suhu dalam mobil langsung menerpa wajahnya.Tanpa menunggu reaksi pria itu, Aurora melangkah cepat keluar dari mobil.“Ra—” panggilan Nicholas tertahan di tenggorokannya. “Kita baik-baik aja sebelum ini.”Aurora berdiri di pinggir jalan, matanya menatap tajam ke arahnya. “Cih. Itu menurut lo.” Ucapnya sinis. “Lo gak bisa seenaknya muncul lagi di hidup gue buat dijadiin tameng kelakuan lo like the past. Gue gak sudi.”Setelah mengucapkan itu, Aurora berjalan menjauh. Beruntungnya, ada taksi kosong yang lewat.Nicholas keluar dengan cepat dari mobil berusaha untuk menahan Aurora. Namun wanita itu sudah masuk ke dalam taksi yang dihentikannya.“RA…” panggilnya. “Sial…” umpatnya sambil menendan
"Hai, Lia. Ini mantan istri saya, Karen. Karen, ini Adelia, mahasiswi saya," ujar Ryan.Adelia tersenyum canggung. Dia tidak mengerti mengapa Ryan memperkenalkannya pada mantan istrinya itu.Karen menatap Adelia dengan tatapan menilai, membuat Adelia tidak nyaman dengan itu.“Oh jadi ini selingkuhan kamu itu?” Ucap Karen dengan sinis.Adelia terdiam, terkejut dengan tuduhan itu. Dia baru saja datang, bahkan belum dipersilahkan duduk, namun ditodong dengan tuduhan yang tak menyenangkan.“Karen..” Tegur Ryan dengan tegas.“Why? Aku cuma mau tau dia tepat gak buat kamu dan Bryan.” Ucap Karen membela dirinya.“Tapi kamu gak perlu kayak gitu. Dia gak nyaman jadinya.” Ujar Ryan.Adelia menatap mereka pikiran berkecamuk. Lama-lama dia juga muak berada di tengah-tengah pertengkaran mantan pasangan suami istri ini. Trus apa coba maksudnya mengatakan Adelia pantas dan tak pantas buat Ryan dan Bryan? Bryan itu siapa lagi?“Maaf menyela. Saya kesini Cuma mau minta tandatangan anda, Pak Ryan. Buka
Rumah Keluarga Rinaldi“Leopard, boss?”“…”“Siap laksanakan, Boss Tiger.”Hans menutup panggilan telefonnya dengan Max. bossnya yang satu itu menginformasikan kalau aka nada bodyguard baru yang akan membantunya mengawal Aurora.“Leopard?” gumam Hans.Ia tau nama itu karena seringkali mendengar rumor dari camp pelatihan fortress. Namun ia belum pernah bertemu dengannya.Hans sendiri memang tidak lama mengikuti training di fortress karena ia memiliki basic beladiri bahkan sebelum bekerja dengan Nicholas. Makanya ia langsung diberi misi begitu bergabung dengan Fortress.“Ayo berangkat, Hans.”Suara Aurora dari belakang Hans terdengar, membuat pria itu menoleh ke arah pintu masuk rumah.“Kita langsung ke kantor pengacara,” ucapnya lagi pada Hans.Hans mengangguk. “Baik. Boss Tiger minta saya
Siang Hari – Kantin Fakultas“Eh.. eh.. itu kan cewek yang selalu ada di ruangannya pak Ryan, kan?”“Ih iya bener. Istrinya kah?”“Kayaknya bukan deh. Istrinya pak Ryan, dokter. Cantik lagi.”“Trus.. trus itu siapa dong?”“Selingkuhannya pak Ryan?”“Ih bisa jadi. Denger-denger, Pak Ryan cere kan?”“Berarti dia PELAKOR dong?”Adelia merasa tidak nyaman. SANGAT AMAT TIDAK NYAMAN. Sejak awal dia duduk di kantin fakultas, suara bisikan dan gosip tentangnya menjadi bahan perbincangan di antara mahasiswa dan dosen-dosen. Bukan hanya hari ini, tetapi sudah berlangsung sejak dia mulai menjadi salah satu penghuni ruangan Ryan Davis dua minggu ini.Dirinya selalu dikaitkan dengan penyebab perceraian Ryan dengan mantan istrinya. Meskipun Adelia hanya menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa pascasarjana, namanya terus digunakan sebagai bahan spekulasi. Dia merasa tidak adil karena tidak pernah berniat merusak hubungan rumah tangga orang lain.Meskipun dia juga memiliki perasaan untuk Ryan, A
“Mulai besok, kamu dateng lagi kesini. Kerjain revisi kamu disini. Saya gak mau dinilai gak kompeten sama dosen-dosen lain kalau tau tesis kamu lolos.”Ucapan Ryan kemarin masih terngiang-ngiang di kepala Adelia. Terdengar berlebihan memang. Tapi Adelia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, karena dari awal Adelia yang salah. Wajar kalau Ryan bersikap begitu.Adelia duduk di kursi tunggu di depan ruangan Ryan setelah mengecek kalau si empunya belum datang. Dia memainkan ponselnya sembari menunggu.Beberapa saat kemudian, Ryan datang dan membuka pintu ruangannya. Adelia bergegas berdiri dan menunggu Ryan selesai.Sekilas, Adelia sempat melihat sebuah seutas senyum dari Ryan. Senyum itu muncul begitu cepat sehingga Adelia tidak terlalu yakin apakah dia benar-benar melihatnya. Sepertinya Ryan menyembunyikan senyumannya dengan sengaja, seolah tidak ingin Adelia mengetahui apa yang ada di balik senyumnya yang singkat itu.“Masuk!” Perintah Ryan. Adelia mengangguk dan ikut masuk ke ru