Cassian punya solusi dan Aveline juga punya..
~~~
“Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?”
Nada suara Papa Vincent begitu tenang… terlalu tenang, sampai-sampai bikin ruangan yang terang itu terasa dingin. Ia duduk tegak di sofa ruang keluarga, jasnya bahkan belum sempat dilepas.
Pesta ulang tahun Stella bahkan belum benar-benar bubar. Tapi Aveline sudah diseret pulang, duduk di sofa seolah siap disidang.
Aveline diam. Hanya menatap ujung karpet. Pertanyaan itu menghantam tanpa aba-aba.
“Maksud Papa apa?”
“Udah pernah… melakukan itu belum?” tanya Papa Vincent, sambil membuat tanda kutip di udara. Jelas, ‘itu’ bukan cuma sekadar kata.
Wajah Aveline sontak memerah ketika mengerti maksud papanya. Pertanyaan itu terlalu blak-blakan, terlalu pribadi. Ia menggeliat canggung di tempat duduknya. “Ya ampun, Pa…” gumamnya pelan. “Ngapain nanya kayak gitu?”
“Karena kamu belum hamil juga sampai sekarang.” Ucap Papa Vincent. “Pernikahan kalian udah delapan bulan, Ave.”
Aveline mencengkeram jemarinya sendiri. Sekuat tenaga menahan detak jantung yang mulai memukul dadanya terlalu keras. Ia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia dan Cassian bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.
Papa Vincent meneliti ekspresi putrinya yang mulai gelisah. “Jangan bilang kalian nggak satu kamar.”
Diam. Tatapan Aveline meluncur ke sisi sofa, lalu ke lantai, lalu ke mana pun asal bukan mata ayahnya.
Sebelum ia sempat jawab, suara lembut Mama Natalia menyela dari arah dapur.
“Udahlah, Pa. Itu urusan rumah tangga mereka. Gak usah terlalu ikut campur.”
Mama Natalia datang dengan dua cangkir teh. Aroma melati langsung memenuhi ruang. Ia meletakkan satu di depan Papa Vincent, satu lagi dekat Aveline, lalu duduk di samping putrinya.
Aveline menghela napas lega. Mama Natalia, seperti biasa, menjadi perisainya. “Iya tuh, bener. Itu privasi aku sama Kak Ian. Gak boleh diumbar sembarangan,” katanya sambil mencoba tersenyum santai.
Papa Vincent mendengus tak puas. “Alesan aja kamu. Kalau tebakan Papa benar, berarti kamu harus usaha lebih keras. Ikatan kalian bakal lebih kuat kalau ada anak.”
“Kalau semua dipaksa, hasilnya nggak akan baik, Pa.” ujar Aveline.
“Bukan maksa. Kamunya aja yang nggak niat,” jawab Papa Vincent ketus. “Papa cuma pengin kamu bangun keluarga yang utuh. Kalau perlu, kamu yang gerak duluan. Cewek juga boleh mulai duluan, ngerti?”
Lalu dia berdiri. Langkahnya menuju tangga, meninggalkan ruangan dengan aroma tekanan yang belum juga hilang.
Aveline menatap punggung ayahnya yang menghilang di balik sudut. Tenggorokannya tercekat. Gimana dia bisa memenuhi harapan itu… kalau suaminya sendiri nggak pernah sekalipun menunjukkan dia mau berbagi ruang, apalagi berbagi hidup?
Mama Natalia meraih bahunya, menepuk pelan. “Jangan simpan di hati, ya, sayang. Papa cuma takut kamu capek sendiri. Dia sayang, tapi caranya memang kadang… nyakitin.”
Aveline menarik napas panjang. Pandangannya kosong. “Tapi… Kak Ian nggak suka sama aku, Ma. Gimana bisa kami punya anak, kalau dia aja nggak mau tidur satu ranjang sama aku?”
Mama Natalia menoleh, menatap wajah putrinya yang mulai rapuh. Dengan hati-hati, ia usap pipi Aveline. “Sayang, nggak semua pernikahan mulai dari cinta. Kadang harus pelan-pelan dibangun. Kadang, cinta datang dari usaha. Cassian mungkin butuh waktu buat sadar…”
Aveline menunduk. Bibirnya bergetar, dan ia berusaha menelan emosi yang memuncak. “Doain aku ya, Ma… Doain biar rumah tangga ini tetap bertahan.”
Mama Natalia tersenyum tipis. “Mama selalu doain. Kamu kuat, Ave. Dan kamu tulus. Kadang, itu aja udah cukup buat narik seseorang pelan-pelan ke sisi kamu.”
Kata-kata itu menyusup ke dalam hati Aveline, memberi sedikit kehangatan dalam kekacauan pikirannya. Ia belum pernah benar-benar mengungkapkan isi hatinya, tapi Natalia bisa merasakannya. The power of a mother’s instinct.
“Udah malam, kamu mau makan dulu di sini?” tanya Mama lembut.
Aveline menggeleng kecil. “Aku pulang aja, Ma. Kasihan suamiku… kalau harus makan sendirian.”
Mama tertawa kecil. “Ya udah, sana. Nanti malah dia yang duluan sampai rumah.”
Aveline berdiri, memeluk Mamanya sebentar, lalu pamit.
Di dalam mobil, Aveline mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada Cassian.
‘Aku gak jadi pulang telat. Kita makan malam bareng di rumah, yah..’ SEND
Setelah mengirimkan pesan itu, ia menyalakan mesin mobil dan bersiap pulang. Namun belum sempat melaju ke jalanan, ponselnya bergetar menandakan balasan dari Cassian.
‘Baguslah. Ada yang mau aku bicarain juga’, balas Cassian.
Respons itu membuat Aveline penasaran. Cassian jarang, bahkan hampir tak pernah membalas pesan yang baginya tak terlalu penting.
Begitu sampai di rumah, Aveline memarkir mobilnya terburu-buru. Ban depannya miring ke luar, tapi ia tak peduli. Kunci mobil segera ia serahkan pada Pak Tomo, satpam yang sigap berdiri di sisi gerbang.
“Bisa tolong diparkir ke garasi, Pak?” ucapnya sambil tersenyum tipis, lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Ia langsung ke kamar mandi, mencuci muka, menyegarkan diri, lalu turun ke dapur untuk mengecek makan malam. Bi Mina sudah menyiapkan semuanya. Jadi dia hanya membantu sedikit.
Dan kemudian…
Suara mesin mobil di luar membuatnya bergegas membuka pintu, menampilkan senyum termanis yang bisa ia berikan, berharap bisa membuat Cassian terpesona.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Senyumnya memudar, berganti dengan tatapan terpana.
Cassian berdiri di sana, dengan rambut sedikit berantakan. Jasnya ia pegang dengan satu tangan, bersama tas kerja. Rompi hitamnya terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dadanya yang basah oleh sisa keringat. Dan yang membuat napas Aveline tercekat adalah… tatapannya.
Mereka saling menatap selama lima detik, dan Aveline merasa ada setitik kelembutan dari tatapan Cassian untuknya.
“Aku mau masuk.”
Suara bariton rendah milik Cassian terdengar kemudian. Cukup untuk menyentak Aveline dari lamunannya. Ia buru-buru minggir, mengambil alih jas dan tasnya.
Cassian lewat begitu saja, tanpa sepatah kata.
Seperti biasa.
“Aku udah nyiapin baju buat kamu di kamar… Aku tunggu di meja makan, yah.”
Lembut. Sehangat yang ia bisa.
Tak ada jawaban.
Ia menarik napas. Udara terasa lebih berat dari biasanya.
Setelah meletakkan jas di laundry dan tas kerja di ruang kerja Cassian, Aveline duduk di ruang makan.
Beberapa menit kemudian, Cassian akhirnya muncul.
Tanpa banyak bicara, mereka duduk dan makan dalam diam. Hanya suara alat makan yang memecah keheningan.
Hingga Aveline memutuskan membuka suara.
“Kamu mau bicara apa?”
Cassian meletakkan gelasnya. Pandangannya lurus ke arah Aveline.
“Aku udah dapet cara buat bujuk Papa kamu.”
Aveline berhenti mengunyah. “Caranya?”
“Ada kenalan. Pemilik perusahaan konstruksi. Kalau kamu nikah sama dia, perusahaan Papa kamu bisa diselamatkan.”
Hah?
Aveline menatapnya tak percaya. "Maksud kamu apa nyuruh aku menikah, sementara aku masih istri kamu?"
Cassian memalingkan wajahnya. “Istri?” gumamnya, seperti mengulang kata yang asing di lidahnya. Sejak awal, Aveline sendiri tahu ia bukan pilihan Cassian. Mungkin tak akan pernah jadi.
“Kalian bisa kenalan dulu. Nanti setelah kontrak kita selesai… kalian bisa menikah.” Ujar Cassian.
Kata-kata Cassian membuat darah Aveline mendidih. Ia menggenggam sendok makannya erat, menahan emosi yang siap meluap. Namun justru di tengah kemarahannya, sesuatu dalam dirinya berubah. Dorongan kuat untuk mempertahankan pernikahan mereka tiba-tiba menjadi lebih besar dari rasa malu.
“Tapi aku punya cara lain.”
Cassian mengernyit. “Apa?”
Aveline menutup mata sejenak, lalu membukanya lagi. Tatapannya kini tajam. Teguh.
“Anak.”
Cassian menoleh cepat.
“…Anak?”
“Aku mau hamil. Dan punya anak kamu.”
Ia tahu, kalimat itu bisa membuatnya tampak putus asa. Tapi ia sudah terlalu lama bertahan dalam diam. Kini saatnya mengambil alih takdirnya sendiri.
Keterkejutan terlihat jelas di wajah Cassian.
“Kalian bisa punya anak kalau udah menikah nanti,” balas Cassian, berusaha membelokkan arah.
Tapi Aveline sudah tak mau berpaling. “Aku mau hamil anak kamu, KAK IAN.” ucapnya penuh penekanan.
Meja berguncang karena Cassian yang tiba-tiba berdiri. “APA?!”
Aveline tak mundur. Tatapannya menusuk balik. Aura yang selama ini tersembunyi dimana ada tekanan, amarah, keberanian dan semua itu menguar.
“Kalau aku hamil sebelum kontrak selesai… kita bikin kontrak baru.”
Cassian menggeleng pelan, seperti tak percaya. “Gila Kamu.”
Ia berbalik, hendak pergi.
Tapi Aveline tak membiarkannya.
“Kak Ian…”
Nada suaranya berubah. Lembut. Tapi penuh komando. Nada yang biasa digunakan Mama Natalia saat Papa Vincent terlalu keras kepala untuk mendengar.
Cassian berhenti. Sapaan yang khas Aveline itu… menyentuh bagian dirinya yang paling ia jaga. Paling ia kunci rapat.
Aveline menghampiri. Menyentuh tangannya. Menautkan jemari mereka, lalu menariknya pelan.
Arah kamar.
Cassian tidak menolak.
Tapi juga tak berkata apa-apa.
Sampai…
Brakkk.
Pintu tertutup.
Lalu diam.
Apa yang terjadi setelahnya… hanya mereka berdua yang tahu.
Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu..~~~Engghh…Aveline terbangun dengan perasaan yang tak nyaman. Kepalanya berdenyut seperti dipukul benda tumpul, dan perutnya… mual. Bukan mual biasa, tapi mual yang merayap pelan dan menghantam keras, membuat tubuhnya lemas tak berdaya.Dengan napas tersengal, ia bangkit dari tempat tidur dan terhuyung ke kamar mandi. Detik berikutnya, suara muntahan menggema di antara dinding porselen, menyisakan rasa asam dan getir di mulutnya.Saat semuanya reda, ia menatap bayangan dirinya di cermin—pucat, lelah, dan kosong.Kembali ke kamar, ia meraih ponsel di sofa. Jemarinya bergerak refleks, membuka layar, berharap ada sesuatu.Satu pesan. Satu panggilan. Apapun.Tapi tidak ada. Hanya jam digital yang terus berlari ke depan, meninggalkannya di belakang. Cassian masih tak memberi kabar.Sejak malam itu, Cassian terus menghindarinya. Ia sengaja melewatkan sarapan dan pulang larut malam untuk me
Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya..~~~Cassian duduk di sofa tunggal masih di ruangan yang sama tempat Aveline tiba-tiba pingsan. Tubuhnya tegang dan rahangnya mengeras. Matanya kosong, menatap Aveline yang terbaring di sofa panjang, wanita yang secara teknis masih istrinya."Saya nggak bisa pastiin, Pak. Sebaiknya cek langsung ke dokter kandungan," ujar dokter perempuan bernama Riana dengan nada hati-hati. Cassian hanya mengangguk singkat, matanya tetap terfokus pada Aveline yang mulai sadar.Aveline perlahan membuka matanya, kebingungan, lalu memberi senyum tipis kepada dokter."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya dokter Riana lembut.Aveline menjawab dengan suara pelan, "Hanya pusing aja.""Terima kasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?" Suara Cassian terdengar datar, seperti biasa.Begitu ruangan sepi, Cassian berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari wajah Aveline, seakan melihatnya terlalu lama b
Cassian : "Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh.."~~~"Mana cucuku?"Papa Vincent berseru antusias begitu memasuki rumah, matanya berbinar.Mama Natalia yang menyaksikan kelakuan Papa Vincent hanya bisa menggelengkan kepala. Sepertinya sudah terlalu sering melihatnya bertingkah seperti ini, dan sudah terlalu paham dengan sifatnya.Aveline hanya terkekeh melihat pemandangan itu. Ia dan Cassian sedang berdiri di depan pintu untuk menyambut kedua orang tuanya.Setelah perdebatan semalam dengan Cassian, orang tua mereka mulai menelepon dengan penuh antusias. Berjanji akan datang dan mengunjungi mereka, tanpa menunggu lama.And here they were…Pagi-pagi sekali, kedua orang tua Aveline telah tiba. Sementara ibu mertuanya, Ibu Diana, juga tak kalah antusias. Ibu Diana sedang dalam perjalanan, dijemput oleh salah satu orang suruhan Cassian. Wanita itu tinggal di kota berbeda, menemani Adelia, adik Cassian, yang tengah menempuh pendidikan.“Masih bentuk kecebong kali, Pa.” celetuk Aurora, adi
Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.."~~~“Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Suara itu datang dari belakang.Aveline menatap pantulan Cassian di cermin tanpa langsung berbalik. Tatapannya tetap tenang, tapi ada ketegangan tipis yang muncul di rahang dan bahunya.“Maksudnya?” tanyanya pelan, pura-pura tidak mengerti.Cassian tertawa singkat—sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tahu rencana kamu itu.”Pelan-pelan, Aveline berbalik dan menatapnya langsung. “Aku gak ada rencana apa pun.”Cassian terkekeh sinis, lengkap dengan tatapannya yang menajam. “Kamu selalu tau cara buat kendalikan situasi sesuai mau kamu. Sekarang pun, pasti kamu lagi mikirin cara supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?”Ucapan itu menghantamnya. Dingin dan tajam seperti pisau.Aveline mengepalkan tangan di samping tubuh, berusaha meredam emosi yang mulai naik ke permukaan. “Kamu salah paham.”Cassian melangkah mendekat, begitu dekat hingga suaranya nyaris berbisik di telin
Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ...~~~Rafael menatap Aveline dengan mulut terbuka, ekspresi keterkejutan jelas terlihat di wajahnya. “Pak Cassian suami lo?” Suaranya terdengar hampir tak percaya.Aveline hanya mengangguk pelan, matanya memandangi teman lamanya itu, merasa sedikit bingung dengan reaksi yang begitu besar. “Iya… kenapa?”Rafael tampaknya semakin tercengang. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan informasi yang baru saja didapat.Aveline mengangguk sekali lagi, ragu-ragu. “Ya, tapi kenapa? Emangnya masalah?”“Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Rafael tertawa, seakan tak bisa menahan gelaknya, mengenang masa lalu yang penuh kenangan.Aveline hanya bisa tertawa mendengar itu. Dulu, hidupnya memang cukup hemat. Papa Vincent tidak pernah memberi banyak uang untuk keperluannya sendiri, dan Aveline tahu betul bahwa dia harus b
Aveline mengerti profesionalitas itu seperti apa. Tapi membiarkannya menunggu dan tidak diberi kepastian, bukannya keterlaluan?~~~Aveline meringis kecil, berusaha menutupi rasa canggung yang sempat menyeruak di dada saat menyapa ibu mertuanya yang berdiri di dapur. “Pagi, Bu…” sapanya pelan.Ibu Diana berbalik, menyambutnya dengan senyum hangat yang tak pernah gagal membuat hati terasa lebih ringan. “Pagi, Ave. Sini, sarapan dulu, sayang.” Ia menyerahkan segelas jus segar yang baru saja dibuat.Aveline menerimanya dengan dua tangan, disertai ucapan terima kasih yang tulus. “Makasih, Bu. Ehm… maaf aku bangunnya kesiangan.”Ibu Diana hanya mengangguk lembut, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi kesal. “Tidak apa-apa, sayang. Kamu lagi hamil. Jadi harus banyak istirahat.”Senyuman kecil muncul di wajah Aveline, menandakan rasa lega sekaligus syukur atas pengertian ibu mertuanya. “Kak Ian udah berangkat?” tanyanya sambil melirik ke arah meja makan.Ibu Diana meletakkan sepiring nasi a
Aveline mengalami ngidam di tengah malam dan ketahuan ibu mertuanya keluar rumah sendiri..~~~“Halo, Bu,” terdengar suara Ibu mertuanya di telepon, cukup mengejutkan Aveline yang tengah berkutat dengan desain ruangan di tangannya.Ibu hamil itu memilih melanjutkan pekerjaannya tanpa membicarakannya dengan Cassian, untuk menelan kekecewaannya. Masih di tempat yang sama, di sofa panjang di ruangan CEO Rinaldi Corp.“Jangan lupa makan siang, ya. Tadi sarapannya sedikit banget, kan? Karena muntah-muntah,” suara Ibu mertuanya penuh perhatian.Aveline merasa terharu mendengar kekhawatiran itu. “Iya, Bu,” jawabnya pelan, berusaha menahan emosi yang mulai menggenang.“Ibu sudah telepon Cassian juga tadi. Suruh dia ingetin kamu makan,” lanjut Ibu mertuanya.Sebuah senyum tipis muncul di wajah Aveline, meskipun hatinya sedikit terasa perih. “Iya, Bu. Ini lagi nungguin Kak Ian buat makan siang bareng,” jawabnya dengan nada yang sedikit terpaksa.“Yaudah, kalau gitu. Ibu cuma mau bilang itu aja,”
Cassian merasa aneh, apa dia merasa bersalah?~~~“Trus Ian? Kenapa gak bangunin dia kalau memang gak enak bangunin, ibu?”Aveline menggigit bibirnya, berusaha memikirkan jawaban yang bisa diterima oleh ibu mertuanya. Ia tahu betul, ia sudah berjanji untuk tidak merepotkan Cassian selama masa kehamilan ini, termasuk dalam hal-hal kecil seperti malam ini.“Kak Ian capek banget keliatannya, Bu. Aku nggak tega bangunin,” ujarnya akhirnya, pelan.Ibu Diana menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya. Ekspresi wajahnya tidak marah, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak setuju.“Ave, Ian itu suami kamu. Kamu itu tanggung jawab dia. Dia juga punya kewajiban buat penuhi keinginan kamu, apalagi kamu lagi ngidam.”Aveline hanya bisa menunduk. Rasa tak enak mulai menyelinap ke dadanya. Ia memang terbiasa mengurus semuanya sendiri.“Nanti Ibu bilangin Ian. Masa istrinya dibiarkan keluar rumah tengah malam sendirian.”“Jangan, Bu.” Aveline refleks menjawab dengan nada lebih cepat dari sehar
Gue udah nyiapin semuanya… - Anonymous Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat sudut bibir Nicholas terangkat membentuk seringai licik.Tangan kirinya memutar gelas anggur, tapi sorot matanya tak tertuju pada panggung atau kerumunan.Akhirnya..Lalu, seolah semesta memberinya lampu hijau, dari sudut matanya, Nicholas melihat Aveline mulai meninggalkan panggung.Cassian tetap di tempat, dikelilingi beberapa rekan bisnis dan keluarga yang mulai menghampirinya. Aveline tampak melangkah cepat, memegang perutnya sejenak, mungkin merasa tak nyaman. Mungkin hanya ingin mencari ruang bernapas. Atau mungkin, tanpa sadar, dia sedang menuju perangkapnya sendiri.Bagus.Nicholas bangkit dari duduknya dan menyimpan ponselnya ke dalam saku jasnya. Dasi hitamnya disesuaikan sedikit saat ia mulai mengikuti arah langkah Aveline. Dengan jarak aman, tentu saja. Tak terlalu dekat untuk mencurigakan, tapi cukup untuk menjaga pandangannya tak lepas darinya.Di depan koridor menuju area toilet dan kamar
Musik klasik mengalun lembut, seperti aliran air tenang yang mengisi setiap sudut Ballroom Hotel yang luas dan mewah. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu kristal menjuntai megah, memantulkan cahaya ke ribuan kepingan kaca dan permata yang tertanam di dekorasi pesta. Cahayanya menari di atas gaun-gaun mahal, setelan jas buatan tangan, dan wajah-wajah berkelas yang berbaur dalam percakapan sopan penuh basa-basi.Para tamu bercakap-cakap dan menikmati suasana malam yang mewah. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Di atas panggung, Aveline berdiri berdampingan dengan Cassian. Gaun biru safirnya jatuh sempurna, mengikuti lekuk tubuhnya yang kini membulat manis karena kehamilan. Bukannya merusak penampilannya, perut buncit itu justru menambah aura anggun dan kelembutan dirinya malam itu.Tangannya yang halus berusaha tetap
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”