Share

Misi Pertama

Penulis: Fin Nabh
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-15 07:33:40

Anak? Hamil? Hemm...

~~~

Tiit tiit…

Alarm ponsel di atas nakas berbunyi nyaring. Aveline meraba permukaan meja kecil di samping tempat tidurnya untuk mematikannya. Setelahnya, ia perlahan bangkit, meregangkan tubuh yang masih terasa pegal.

Ia menguap beberapa kali, lalu menoleh ke sisi tempat tidur yang kosong. Tak ada jejak tubuh suaminya.

Lagi-lagi tidur sendiri..

Aveline mencebik. Merasa sedih tapi tidak ingin terlalu berlarut. Karenanya, dia mengambil napas dan bangkit, masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menyiapkan air hangat. Ia kemudian memilih pakaian kerja untuk Cassian dan meletakkannya rapi di atas tempat tidur.

Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia melangkah ke kamar di sebelah kanan kamar utama, ruang tidur yang kini lebih sering ditempati Cassian.

“Kak Ian.. bangun… Udah pagi,” panggilnya sembari mengetuk pintunya dengan lembut, namun cukup keras untuk membangunkan orang dari tidur.

Tak lama, pintu terbuka. Di baliknya berdiri sosok lelaki dengan rambut hitam acak-acakan, mata sayu, dan piyama dengan dua kancing atas yang terbuka, penampilan khas Cassian setiap kali bangun tidur yang entah kenapa selalu mampu membuat jantung Aveline terhenti sepersekian detik.

Melongo bagai orang bodoh dan itu memalukan.

Cassian hanya melirik sekilas, lalu berjalan begitu saja melewatinya menuju kamar utama tanpa sepatah kata.

Wajah Aveline memerah kemudian menggeleng pelan, mengusir pikiran sendiri yang mulai kemana-mana. Ia lalu melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Menu pagi itu sederhana, roti bakar dengan selai cokelat, kopi untuk Cassian, dan jus buah untuk dirinya. Mereka memang tidak terbiasa sarapan dengan menu yang berat.

Menyeduh kopi adalah akhir dari persiapan sarapannya. Dan saat-saat ini lah Aveline mulai bertingkah aneh. Sambil mengaduk kopi, bibirnya mulai berbisik pelan, seperti berbicara pada kopi… atau mungkin pada dirinya sendiri?

“Semoga hari ini gue bisa ngeliat senyumnya Kak Ian. Hehe…” Ia terkekeh pelan, pipinya merona sendiri saat mengingat senyum suaminya yang jarang diperlihatkan kepadanya.

“Semoga dia sadar… kalau yang nyeduhin kopi tiap pagi tuh bukan jin penunggu rumah. Tapi istri cantik kayak gue.” Ujarnya narsis.

“Nggak apa-apa, pelan-pelan aja, Ave. Doain aja terus, lama-lama bakal kepincut juga.” Ujarnya menyemangati diri sendiri, sambil membawa cangkir kopi ke meja makan. Ia meletakkannya dengan hati-hati di tempat yang biasa diduduki Cassian. Lalu duduk di seberangnya bersama senyum cerianya.

Namun, senyum di wajahnya perlahan memudar. Pandangannya kosong, seperti ada sesuatu yang menguap dari dadanya. Pikirannya melayang…

Delapan dari dua belas bulan usia pernikahan dalam kontrak pernikahannya dengan Cassian, namun hubungan mereka masih berjalan di tempat.

Tidak ada cinta untuknya.

Tidak ada pelukan hangat.

Bahkan kata-kata manis pun tak pernah terdengar.

Padahal, ia telah mencoba. Segala cara yang diajarkan ibu mertuanya, masak menu kesukaan suaminya, penuhi semua kebutuhannya. Semua ia jalankan… kecuali satu hal.

Hal yang belum ia berani berikan.

Hahhh…

Aveline menunduk sambil mendesah pelan. Miris juga yah ternyata.

“Kenapa gak makan?”

Bahu Aveline tersentak. Sendok di tangannya nyaris terlepas. Ia mendongak terlalu cepat, membuat beberapa helai rambut terayun ke wajahnya.

“Sejak kapan Kak Ian di sini?” Suaranya melengking setengah panik, satu oktaf lebih tinggi dari biasanya.

Cassian mengangkat bahu, cuek.

“Gak lama. Pas kamu nghela napas panjang barusan.” Ia menyeruput kopi, tatapannya datar tapi tidak lepas dari Aveline. Roti bakarnya pun sudah habis.

Baru saat itu Aveline sadar, Cassian sempat memperhatikannya saat ia tenggelam dalam lamunan. Pipi Aveline langsung memanas. Ia menunduk malu.

Berarti dari tadi Kak Ian merhatiin gue, dong? Duhh.. gue gak aneh-aneh kan tadi?  Batin Aveline sedikit panik.

“Aku berangkat dulu.”

Cassian bangkit. Mengambil jas dan tas dari sandaran kursi dengan gerakan cepat.

Aveline buru-buru berdiri dan berjalan di belakangnya. Seperti biasa, ia berusaha memperpanjang interaksi mereka yang singkat.

“Kak, mau aku anterin makan siang gak?” tanyanya penuh harap.

Cassian hanya menggeleng.

“Kalau makan siang bareng, gimana? Sekali.. aja, ya.. ya?” tanyanya lagi. Kali ini ekspresi wajahnya memelas.

Cassian menatapnya sejenak. Terlalu lama untuk hanya menjawab, terlalu singkat untuk dianggap ragu.

“Aku banyak meeting hari ini.”

Alasan klise.

Selalu saja seperti itu, setiap Aveline mencoba mendekat, Cassian selalu punya cara untuk tetap menjaga jarak.

Padahal... Bukankah orang yang sibuk sekalipun tetap butuh makan siang?

Bukankah membawakan makan ke kantor justru menghemat waktu Cassian?

Aveline ingin menyuarakan semua itu. Tapi lidahnya kelu. Ia tahu… ini bukan persoalan makan siang. Cassian yang terus menutup pintu rapat-rapat dan tak memberi celah sedikit pun untuknya masuk.

Aveline mencoba tersenyum lagi. Tapi hanya satu sisi bibirnya yang bergerak, sehingga terlihat masam.

Tak butuh waktu lama, pasangan suami istri itu sampai di halaman depan rumah mereka. Pak Tomo sudah selesai memanaskan mesin mobil Cassian, namun Aveline masih menahan suaminya.

“Mau salim,” tangan Aveline terulur. Seperti kebiasaannya selama pernikahan mereka, mengantar suami pergi bekerja dan mengecup punggung tangan Cassian.

Tangan Cassian secara otomatis menyambut itu, namun wajahnya masih tetap datar.

Ya Tuhan... lindungi suami hamba, mudahkan pekerjaannya, dan pulangkan dia kembali padaku, doa Aveline dalam hati, dibisikkan pelan lewat kecupan kecil yang ia beri di sana.

Lama…

Selalu saja Aveline lama menyita waktunya. Padahal ia tahu, Cassian sudah hampir terlambat ke kantor.

“Ngapain, sih?” Tanya Cassian dengan nada agak kesal.

Aveline mengangkat wajah dan tersenyum, tapi tidak melepaskan genggaman tangan mereka.

“Doain kamu, dong.”

Cassian mengerutkan kening. “Oh.”

Hanya satu kata. Datar. Hambar. Tapi Aveline sudah terbiasa. “Doanya baik, tenang aja,”

tambahnya sambil terkekeh kecil. “Aku mau izin, ya. Hari ini ada acara ulang tahun sepupuku. Jadi pulangnya mungkin agak malam.” Lanjutnya.

“Hemm..” Cassian hanya berdehem pelan. “Mau sampai kapan pegangan tangan?”

Aveline buru-buru melepaskannya, wajahnya merona malu. “Hehe, sorry.” Gue kok agresif banget. Batin Aveline meringis.

“Aku pergi,” Cassian melangkah ke dalam mobil tanpa menoleh lagi.

Aveline tetap berdiri di sana. Melambaikan tangan sampai mobil itu benar-benar hilang dari pandangan.

“See you… hati-hati, ya.” Suara Aveline sayup mengikuti deru mesin yang menjauh.

Dan saat mobil Cassian menghilang di tikungan jalan, Aveline menurunkan tangannya perlahan.

“Suamiku…” gumamnya lirih, diiringi kekeh kecil penuh ironi.

Ia menarik napas panjang dan menepis rasa yang tersisa. Ada pesta yang harus ia hadiri.

~~~

“Stella sayang, selamat ulang tahun…” ucap Aveline sambil memeluk erat gadis yang baru menginjak usia tujuh belas tahun itu.

“Kak Ave!” seru Stella, memeluk balik dengan antusias. Senyumnya mekar lebar, sehangat suasana taman belakang yang dipenuhi bunga-bunga segar dan tawa riuh keluarga.

Dari balik pelukannya, Aveline mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda, lalu menyodorkannya. “Ini, spesial buat princess hari ini.”

Mata Stella berbinar saat menerima kotak itu. Dengan hati-hati, ia membukanya, sebuah kalung perak dengan liontin bintang kecil mengilap menanti di dalamnya.

“Cantik banget! Makasih, Kak Ave!” ucapnya, langsung memeluk Aveline lagi dengan lebih erat. Tak butuh waktu lama, kalung itu sudah melingkar manis di lehernya yang jenjang.

Aveline tersenyum, bahagia melihat reaksi senang Stella dan perhatian orang-orang di sekeliling mereka yang ikut tersenyum melihat kehangatan mereka.

Namun, momen itu tak berlangsung lama sebelum sebuah pertanyaan menyusul dari bibir Tante Nirmala, ibunya Stella.

“Cassian nggak ikut, Ave?” Tante Nirmala. Alisnya naik sedikit, nadanya santai tapi tatapannya tajam.

Aveline menggeleng ringan, tetap mempertahankan senyum sopan. “Dia kerja, Tan.”

“Kerja mulu? Nggak bisa luangin waktu buat kesini, ya?”

Aveline menahan napas sejenak, lalu berkata ringan, “Dia sibuk banget, Tan. Lagian Tante juga bikin pestanya di hari kerja begini…”

Senyumnya terangkat, tapi cepat jatuh kembali. Jari-jarinya mencengkeram pegangan handbag, berusaha mengalihkan tekanan dari dadanya ke tangan.

Sebenarnya, bukan salah hari. Bukan juga salah pekerjaan. Cassian memang selalu punya alasan untuk menghindarinya dan keluarga besarnya yang lain, except Papa Mamanya tentunya.

Tante Nirmala tak langsung menanggapi. Mungkin sedang mencerna sesuatu.

Stella cemberut. “Yah… padahal aku juga pengen kado dari Kak Cassian.”

Aveline menoleh dan tersenyum lembut. “Anggap aja itu dari Kak Ave dan Kak Cassian, ya?”

Stella menggeleng cepat, bibirnya mengerucut. “No! Hadiah Kak Ave dan Kak Cassian harus beda.”

Aveline tertawa kecil, mengelus kepala Stella. “Ya udah, nanti Kakak bilangin, ya.”

Stella bersorak lagi, lalu berlarian menyatu dengan suasana pesta. Aveline hanya menggeleng pelan, geli sekaligus maklum. Namanya juga remaja.

Karena merasa haus, Aveline meraih segelas jus jeruk yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Saat baru akan menyesap jus dingin dari gelas di tangannya, suara Tante Nirmala kembali menginterupsi. Kali ini, nadanya berubah serius.

“Ave… kamu nggak lagi ada masalah sama suami kamu, kan?”

Aveline terdiam. Sebentar. Tapi cukup untuk membuat situasi menjadi hening sesaat.

“Enggak kok, Tan. Emangnya kenapa?”

Pandangan matanya sempat melirik ke arah kedua orangtuanya, Papa Vincent dan Mama Natalia, yang sedari tadi hanya diam menyimak dari kejauhan.

“Yah… Tante cuma ngerasa aja. Soalnya Cassian jarang banget ikut ngumpul, apalagi kalo ada acara keluarga. Terus, kamu juga belum isi, kan? Atau kalian lagi nunda?”

Tatapan Aveline yang menunduk, jatuh pada tetesan embun di luar gelas jus jeruk yang sedari tadi di pegang Tante Nirmala. Tiba-tiba saja ia merasa sisa jus di lidahnya lebih manis.

“Suami aku emang lagi sibuk, Tan. Soalnya Papa nyerahin urusan perusahaan ke dia. Jadi dia fokusnya ke sana,” jawabnya cepat, mencoba melempar tanggung jawab ke papanya sendiri.

Tatapan pun bergeser ke Papa Vincent, yang untungnya mengangguk pelan, mengonfirmasi tanpa kata.

“Tapi kamu nggak nunda anak, kan?”

Kali ini, Tante Isla yang ikut menimpali. Tante Nirmala dan Tante Isla adalah adik dari Mama Nirmala. Mereka berdua memang dikenal terlalu “kepo” dengan urusan keluarganya yang lain. Perhatian, sih. Tapi kalau terlalu mencampuri, juga tidak baik.

Aveline membalas Tante Isla dengan menggeleng pelan. Kebohongan kecil, tapi perlu. Untuk menjaga retak-retak rumah tangga mereka tak terlihat orang luar.

“Soalnya ya… anak itu bisa bikin hubungan makin erat loh,” ujar Tante Nirmala, masih dengan nada ringan tapi menusuk. “Apalagi kalau kamu hamil, pasti makin disayang sama suami kamu.”

Komentar Tante Nirmala itu spontan membuat Aveline bertatapan dengan Papa Vincent.

Anak? Hamil?

Dua kata sederhana, tapi mengguncang palung pikirannya.

Mungkin... mungkin itu cara satu-satunya untuk menyentuh hati yang sudah beku.

Mungkin cinta bisa tumbuh dari seseorang yang sedang menanti hadirnya kehidupan baru.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Misi Menggoda Hati   Drama di Jalan 2

    “Keluar!” desis Hans dingin sambil menarik paksa Aurora dari kursi penumpang. Gadis itu menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke jalan.Nicholas yang baru saja melumpuhkan rekan Hans menoleh cepat. Matanya menyipit, pupilnya tajam, seperti mata predator yang terkunci pada mangsanya. Sorot itu membuat Hans, meski hanya sekejap, merasakan hawa ancaman.Hans masih tersenyum meremehkan. “Anak kemarin sore mau lawan gue?”Tapi Nicholas tidak menjawab. Ia bergerak. Sekejap, langkahnya meliuk ke kiri, lalu kanan, lincah seperti bayangan yang sulit ditebak. Dalam hitungan detik, ia sudah berada di belakang Hans, menendang keras bagian lutut hingga tubuh Hans sedikit goyah.Hans mendengus, berusaha menahan. Namun Nicholas kembali berputar, kali ini hantaman sikunya mengarah ke rusuk. Suara benturan membuat Hans tersentak, napasnya terhenti sejenak.Sore itu, jalanan yang sepi menjadi arena kecil pertarungan dan Hans mulai menyadari bahw

  • Misi Menggoda Hati   Drama di Jalan

    Aurora tak berkata apa pun, namun tangannya meraih sandaran jok depan untuk bertumpu. Lalu ia melepaskan diri dari pegangan Nicholas.Nicholas mencoba menahan bahunya, tapi Aurora menepis tangan pria itu, meraih gagang pintu, dan menariknya hingga terbuka. Udara luar yang terasa hangat dibandingkan suhu dalam mobil langsung menerpa wajahnya.Tanpa menunggu reaksi pria itu, Aurora melangkah cepat keluar dari mobil.“Ra—” panggilan Nicholas tertahan di tenggorokannya. “Kita baik-baik aja sebelum ini.”Aurora berdiri di pinggir jalan, matanya menatap tajam ke arahnya. “Cih. Itu menurut lo.” Ucapnya sinis. “Lo gak bisa seenaknya muncul lagi di hidup gue buat dijadiin tameng kelakuan lo like the past. Gue gak sudi.”Setelah mengucapkan itu, Aurora berjalan menjauh. Beruntungnya, ada taksi kosong yang lewat.Nicholas keluar dengan cepat dari mobil berusaha untuk menahan Aurora. Namun wanita itu sudah masuk ke dalam taksi yang dihentikannya.“RA…” panggilnya. “Sial…” umpatnya sambil menendan

  • Misi Menggoda Hati   Second Chance

    "Hai, Lia. Ini mantan istri saya, Karen. Karen, ini Adelia, mahasiswi saya," ujar Ryan.Adelia tersenyum canggung. Dia tidak mengerti mengapa Ryan memperkenalkannya pada mantan istrinya itu.Karen menatap Adelia dengan tatapan menilai, membuat Adelia tidak nyaman dengan itu.“Oh jadi ini selingkuhan kamu itu?” Ucap Karen dengan sinis.Adelia terdiam, terkejut dengan tuduhan itu. Dia baru saja datang, bahkan belum dipersilahkan duduk, namun ditodong dengan tuduhan yang tak menyenangkan.“Karen..” Tegur Ryan dengan tegas.“Why? Aku cuma mau tau dia tepat gak buat kamu dan Bryan.” Ucap Karen membela dirinya.“Tapi kamu gak perlu kayak gitu. Dia gak nyaman jadinya.” Ujar Ryan.Adelia menatap mereka pikiran berkecamuk. Lama-lama dia juga muak berada di tengah-tengah pertengkaran mantan pasangan suami istri ini. Trus apa coba maksudnya mengatakan Adelia pantas dan tak pantas buat Ryan dan Bryan? Bryan itu siapa lagi?“Maaf menyela. Saya kesini Cuma mau minta tandatangan anda, Pak Ryan. Buka

  • Misi Menggoda Hati   Calon Mantan Istri

    Rumah Keluarga Rinaldi“Leopard, boss?”“…”“Siap laksanakan, Boss Tiger.”Hans menutup panggilan telefonnya dengan Max. bossnya yang satu itu menginformasikan kalau aka nada bodyguard baru yang akan membantunya mengawal Aurora.“Leopard?” gumam Hans.Ia tau nama itu karena seringkali mendengar rumor dari camp pelatihan fortress. Namun ia belum pernah bertemu dengannya.Hans sendiri memang tidak lama mengikuti training di fortress karena ia memiliki basic beladiri bahkan sebelum bekerja dengan Nicholas. Makanya ia langsung diberi misi begitu bergabung dengan Fortress.“Ayo berangkat, Hans.”Suara Aurora dari belakang Hans terdengar, membuat pria itu menoleh ke arah pintu masuk rumah.“Kita langsung ke kantor pengacara,” ucapnya lagi pada Hans.Hans mengangguk. “Baik. Boss Tiger minta saya

  • Misi Menggoda Hati   Rumor dan Orang Misterius

    Siang Hari – Kantin Fakultas“Eh.. eh.. itu kan cewek yang selalu ada di ruangannya pak Ryan, kan?”“Ih iya bener. Istrinya kah?”“Kayaknya bukan deh. Istrinya pak Ryan, dokter. Cantik lagi.”“Trus.. trus itu siapa dong?”“Selingkuhannya pak Ryan?”“Ih bisa jadi. Denger-denger, Pak Ryan cere kan?”“Berarti dia PELAKOR dong?”Adelia merasa tidak nyaman. SANGAT AMAT TIDAK NYAMAN. Sejak awal dia duduk di kantin fakultas, suara bisikan dan gosip tentangnya menjadi bahan perbincangan di antara mahasiswa dan dosen-dosen. Bukan hanya hari ini, tetapi sudah berlangsung sejak dia mulai menjadi salah satu penghuni ruangan Ryan Davis dua minggu ini.Dirinya selalu dikaitkan dengan penyebab perceraian Ryan dengan mantan istrinya. Meskipun Adelia hanya menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa pascasarjana, namanya terus digunakan sebagai bahan spekulasi. Dia merasa tidak adil karena tidak pernah berniat merusak hubungan rumah tangga orang lain.Meskipun dia juga memiliki perasaan untuk Ryan, A

  • Misi Menggoda Hati   Soal Perceraian

    “Mulai besok, kamu dateng lagi kesini. Kerjain revisi kamu disini. Saya gak mau dinilai gak kompeten sama dosen-dosen lain kalau tau tesis kamu lolos.”Ucapan Ryan kemarin masih terngiang-ngiang di kepala Adelia. Terdengar berlebihan memang. Tapi Adelia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, karena dari awal Adelia yang salah. Wajar kalau Ryan bersikap begitu.Adelia duduk di kursi tunggu di depan ruangan Ryan setelah mengecek kalau si empunya belum datang. Dia memainkan ponselnya sembari menunggu.Beberapa saat kemudian, Ryan datang dan membuka pintu ruangannya. Adelia bergegas berdiri dan menunggu Ryan selesai.Sekilas, Adelia sempat melihat sebuah seutas senyum dari Ryan. Senyum itu muncul begitu cepat sehingga Adelia tidak terlalu yakin apakah dia benar-benar melihatnya. Sepertinya Ryan menyembunyikan senyumannya dengan sengaja, seolah tidak ingin Adelia mengetahui apa yang ada di balik senyumnya yang singkat itu.“Masuk!” Perintah Ryan. Adelia mengangguk dan ikut masuk ke ru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status